Beberapa Kendala Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan di Thailand

Pearmsak Makarabhirom

        

Masyarakat lokal telah lama mengelola dan memanfaatkan hutan untuk kehidupan mereka. Sejak Pemerintah pusat mengambil alih pengelolaan hutan dari masyarakat, masyarakat telah menderita dan pengelolaan hutan telah gagal karena kurangnya partisipasi masyarakat. Tulisan ini menganalisa beberapa hambatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Kebijakan pemerintah jangka panjang (1886-1989) menganjurkan konsesi pengusahaan hutan dan budidaya monokultur berskala besar. Pengelolaan hutan dengan pengambilan keputusan dipusat (top-down) menyebabkan kerusakan ekonomi dan ekologi yang serius terhadap negara secara keseluruhan. Sampai tahun 1990-an, bagian timur laut telah mengalami kerusakan yang paling buruk akibat penebangan berlebih dan konversi lahan hutan kedalam tanaman karet, kopi, dan buah-buahan. Program ini juga telah memacu suku terpencil lokal untuk pindah dan menjadi penghuni “ilegal” di tempat lain.

Meskipun konstitusi tahun 1997 mengakui pentingnya partisipasi masyarakat, pelaksanaannya hanya melibatkan pemerintah dan sektor swasta. Sedikit yang telah dilakukan untuk memperluas partisipasi lokal. Ada beberapa alasan dari kegagalan ini. Pemerintah melihat pengelolaan hutan dari segi kebijakan, mengdahulukan nitisat (peraturan dan perundang-undangan yang ketat) daripada ratthasat (diplomasi), mengutamakan kepentingan pengusaha, dan pemusatan pengambilan keputusan pada tingkat nasional dengan kurang memahami kondisi lokal. Selanjutnya, pegawai pemerintah sering memiliki sikap yang negatif menghadapi masyarakat lokal yang tergantung pada hutan. Mereka melihat pemanfaatan hutan sebagai pengrusakan hutan tanpa memahami bagaimana masyarakat lokal mengelola hutan. Untuk meningkatkan pemahaman pemerintah dan memperluas kepercayaan semua pihak, pegawai harus ikut dalam aktivitas sosial masyarakat dan meninjau kembali kebijakan, program, dan komitmen terhadap masyarakat.

Pengelola hutan juga dibatasi oleh kurangnya pelatihan dalam konsep, strategi, dan metode partisipasi di dalam pengelolaan hutan. Pendidikan partisipasi dengan mengikutsertakan pegawai pemerintah dan masyarakat lokal untuk bekerja sama harus didorong. Akhirnya, kurangnya insentif bagi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam pengelolaan hutan, dan jika mereka melakukannya, mereka tidak menerima keuntungan yang pantas. Kenyataanya, meskipun di dalam rancangan hutan kemasyarakatan sebelum disahkan Senat, masyarakat pedalaman miskin dilihat sebagai ancaman terhadap hutan.

Hutan kemasyarakatan bukan hanya pengelolaan hutan, tetapi cara menuju perubahan yang luas dan penguatan lokal. Hal itu dapat menghasilkan pendapatan dan menguatkan kemampuan lokal dalam mengelola sumberdaya hayati. Hal tersebut membantu pembangunan sumberdaya manusia melalui peningkatan kesadaran dan pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang baik. Akhirnya, hal tersebut akan membantu menyeimbangkan pembuatan keputusan antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal.

Pearmsak Makarabhirom

Read the full unabridged version of the article (in English) HERE

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 2 (October 2002). Disaster and Rehabilitation

issue_2_banner_small