Menyanyikan Modernitas Islami: Menciptakan Kembali Nasyid di Malaysia

Oleh Tan Sooi Beng

     

Sejak Partai Islam oposisi se-Malaysia (PAS, Partai Islam Se Malaysia) mengambil alih pemerintahan di Kelantan di tahun 1990, teater tradisional seperti wayang kulit dan makyong (sebuah teater Melayu) dianggap sebagai tidak islami dan dilarang dipertunjukkan di publik. Bagi kalangan muslim ortodoks, bentuk-bentuk teater tradisional adalah haram (dilarang) karena dipergelarkan untuk keperluan-keperluan spiritual, termasuk penyembuhan. Roh-roh dipercaya dibangkitkan saat pertunjukkan-pertunjukkan ini berlangsung dan cerita-cerita non-islami (seperti epik Ramayana dan Mahabharata dari India) digunakan. Yang lebih buruk lagi, Pak Dogol, badut dari wayang Kelantan, tidak hanya berperan sebagai abdi dari Seri Rama, pahlawan di teater perwayangan, tetapi juga dianggap sebagai dewa kecil Hindu. Wanita juga dilarang untuk ambil bagian dalam segala bentuk konser dan pertunjukan hiburan langsung di Kelantan sejak tahun 2002 karena suara perempuan dianggap aurat, bagian dari tubuh yang harus ditutup (Star, 19 September 2002).

Media telah memilih untuk berfokus pada tindakan-tindakan dari golongan Muslim konservatif ini. Walaupun begitu, seperti dunia Islam yang lain, ada tipe-tipe  Muslim yang beragam yang merangkul interpretasi-interpretasi yang berbeda dari praktek-praktek Islami dan budaya (Hefner 1997, p. 6-7). Selama dua dekade terakhir, telah terjadi pertumbuhan di kalangan menengah Islami modern di Malaysia yang menerima tantangan dari modernitas tetapi dengan sesuatu yang berbeda. Seperti Gole (2002) kemukakan, kaum Muslim ini memproyeksikan sebuah budaya yang modern tetapi Islami. Bagi mereka, musik mempunyai peranan penting tidak hanya dalam penyebaran ajaran Islam tetapi juga menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang dapat beradaptasi dengan dunia modern.

Tulisan ini mengamati perkembangan dari nasyid pop, sejenis musik Islami populer yang melibatkan pemain dan penonton dalam sebuah dialog tentang modernitas Islami di Malaysia. Nasyid pop menarik bagi kalangan muda Muslim karena memproyeksikan sebuah modernitas Malaysia non-barat yang beradaptasi dengan tren global dalam musik populer dan menggunakan teknologi, media dan strategi pemasaran baru. Para musisi juga mengidentifikasikanya sebagai sebuah pergerakan Islami global melalui teks musikal, elemen musik, gambar video, dan kostum. Dalam waktu yang bersamaan mereka menciptakan kembali interpretasi lokal modern dari Islam dan memasukkan elemen musikal lokal Malaysia  di dalam lagu-lagu mereka.

Perkembangan Nasyid di  Malaysia

Istilah nasyid berasal dari kata ansyada yang berarti “nyanyian dari puisi.” Dipercaya bahwa ketika Nabi Muhammad untuk pertama kalinya pergi dari Mekah ke Medinah, dia disambut oleh orang-orang Medinah dengan sebuah nyanyian nasyid Tola’al Badru’ Alaina (Akhirnya bulan telah menyinari kita, lihat cuplikan audio di www.rabbani.com.my, bagian multimedia). Saat ini nasyid cenderung berarti suatu tipe nyanyian pengabdian Islami dengan lirik memuja Allah atau mengkombinasikan tema-tema keagamaan lain, seperti cinta secara universal, moral yang baik, atau persaudaraan dalam Islam. 1

Di Malaysia,  nasyid pertama kali dipertunjukkan secara informal oleh guru-guru dan murid Islam sebagai pengisi jeda dalam acara pembacaan Qur’an sebelum Perang Dunia II. Lagu-lagu  nasyid mempunyai peranan yang penting dalam menyebarkan pengajaran Islam dan Nabi Muhammad. Lagu ini juga mendorong moral dan praktek-praktek Islami. Lagunya dinyanyikan secara a cappella atau ditemani oleh gendang kecil seperti  rebana atau kompang. Bahasa Arab, yang awalnya digunakan, secara pelan-pelan digantikan oleh bahasa Melayu. Di tahun 1950-an dan 1960-an, nasyid dianjurkan di sekolah-sekolah dan dipertunjukkan pada perlombaan pembacaan Qur’an yang diselenggarakan oleh Departemen Agama di tingkat propinsi dan nasional. Penyanyi nasyid  yang berpentas di perlombaan seperti ini harus mengikuti peraturan yang tegas: Anggota kelompok hanya terdiri dari laki-laki saja atau wanita saja – kelompok campuran tidak diperbolehkan. Para wanita harus menutup aurat, para laki-laki harus memakai songkok atau kopiah untuk menutup kepalanya, dan semua peserta berdiri tegak tidak bergerak dengan tangan mereka bertepuk atau berada di samping saat mereka bernyanyi. Hanya bahasa Arab dan Melayu dan tidak  menggunakan instrumen lain selain rebana. Pada saat ini, nasyid juga dipertunjukkan di perayaan-perayaan keagamaan seperti Awwal Muharram dan Aidil Fitri (Matusky dan Tan 2004, p. 263-264).

Kebangkitan Islam dan Perkembangan Nasyid Era Baru

Di tahun 1970-an, kebangkitan Islam atau usaha untuk memajukan Islam (dikenal dengan gerakan dakwah) dimulai di Malaysia. Dakwah berarti “memanggil” atau “menjawab panggilan” dan pekerjaan misionari sebagai salah satu dari tujuan utama dari pergerakan. Para analis menyimpulkan alasan dari kebangkitan Islam adalah sebagai respon dari kebijakan pembangunan negara yang berorientasi Barat, kebangkitan dari kelas menengah Malaysia yang prihatin tentang ketidak-seimbangan sosial, dan pendalaman kesadaran suku bangsa, khususnya antara Cina dan Melayu (Shamsul A.B. 1997). 2 Revolusi Iran, pertumbuhan kekuatan ekonomi di Timur Tengah, dan kekecewaan di dunia Muslim dengan nasionalisme sekuler juga memberikan masukan terhadap kebangkitan Islam di Malaysia. Para pelajar yang belajar di luar negeri, termasuk di Timur Tengah, kembali ke Malaysia dengan idealisme Islami baru.

Organisasi-organisasi dakwah muncul dengan berbagai perbedaan tujuan tetapi berbagi keprihatian terbesar untuk merevitalisasi Islam. Organisasi-organisasi ini mendorong komitment yang lebih kuat untuk pengajaran Al Qur’an  dan Al Hadith (perbuatan/perkataan dari Nabi Muhammad) untuk membawa ke gaya hidup yang lebih Islami. 3

Kebangkitan Islam di Malaysia sebagian besar terjadi di perkotaan dan berbasis kelas menengah. Khususnya para pelajar dari universitas lokal merupakan pengikut dakwah yang kuat. Seperti di bagian lain dari dunia Islam, bentuk baru dari “penampilan Islami” muncul dalam kehidupan masyarakat, seperti penutup (hijab) dipakai oleh kaum wanita Muslim, yang secara lokal dikenal sebagai tudung atau mini-telekung, 4 dan buku-buku, majalah dan kaset Islami (Gole 2002). Sebuah kelas menengah Muslim yang berpendidikan tinggi mulai memperdebatkan tentang keprihatinan modern seperti penghapusan kemiskinan, jasa dari ekonomi pasar, peran wanita di masyarakat, pluralisme, dan ketidak-seimbangan sosial. Mereka dipengaruhi oleh ide-ide dari generasi sebelumnya dari para pereformasi Muslim yang telah mencoba untuk menginterpretasikan kembali dan membuat Islam lebih responsif terhadap kebutuhan dari dunia modern (Hefner 1997, p.5). 5

Sementara itu, nasyid  menjadi sebuah media untuk dakwah. Di tahun 1980-an, kelompok-kelompok seperti Darul Arqam mempopularisasikan nasyid melalui konser-konser langsung dengan berafiliasi dengan kelompok musik Nada Murni dan The Zikr. Kelompok-kelompok yang memodernisasikan nasyid dengan menggabungkan penggunaan instrumen perkusi ini, merupakan kelompok non-komersil; mereka melakukan pertunjukkan langsung di pertunjukkan budaya Darul Arqam dan mendistribusikan kaset rekaman mereka sendiri untuk penyebaran lebih lanjut bagi para pengikutnya (Ahmad Fauzi 2005, p. 17, n46).

Nasyid juga dipromosikan oleh pemerintah nasional karena Islam menjadi sebuah komponen penting dalam kebijakan kebudayaan. 6 Perlombaan-perlombaan diselenggarakan di sekolah-sekolah dan universitas dan pertunjukkan-pertunjukkan disiarkan di televisi secara nasional. Para partisipan menyanyikan lirik dalam bahasa Melayu memuja Allah, memberikan nasihat kepada para pengikutnya untuk mengabdi kepada Allah dan mematuhi Qur’an, dan menekankan pembangunan nasional melalui Islam (Tan 1989/90, p. 143). Oleh karena itu nasyid telah menjadi sebuah  media untuk mempromosikan Islam di garis menengah. Sedangkan di tahun 1950-an dan 1960-an, kelompok-kolompok gender campuran, pergerakan tubuh, dan instrumen modern tidak diperbolehkan.

Di tahun 1990-an, sebuah proyek untuk menciptakan nasyid era baru dibentuk oleh Departemen Islam dari Departemen Perdana Menteri. Ini mengikuti narative baru dari modernitas, Wawasan 2020, yang diformulasikan oleh Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohamed saat itu (Mahathir 1991). Menurut Wawasan 2020, jalan Malaysia menuju kemodernan sebaik dituntun oleh kesadaran spiritual, agama dan moral. Islam mempunyai peranan penting dalam merealisasilkan wawasan ini.

 Konsep nasyid era baru diaktualisasikan dalam sebuah pertunjukan televisi secara langsung di pertandingan nasyid di tingkat nasional tahun 1994. Pertunjukkan diulang kembali pada malam penutupan dari Pertandingan Membaca Qur’an tahun 1995. Para pengajar dari Universiti Teknologi Mara (UiTM) dan beberapa konsultan asing dari Mesir turut bekerja dalam proyek ini. Nasyid era baru merupakan pertunjukkan yang secara total mengkombinasikan lagu, tarian, teater, puisi, dan pujian termasuk penggunaan kostum dan perlengkapannya. Menurut

Fakhariah bt. Datuk Hj. Lokman,  seorang pengajar dari UiTM yang terlibat dalam pembuatan dan menyusunan nasyid  untuk pertunjukkan tersebut, “Penggunaan media baru dan juga pencahayaan dan sound sistem digital serta penggunaan bentuk-bentuk kontemporer dalam seni menunjukkan ‘Islam yang dinamis dan mampu beradaptasi dan berasimilasi untuk bertahan di kondisi dunia modern. Bentuk baru ini universal, mempunyai idealisme Islami, mempromosikan pengertian Islam dalam sebuah pandangan dunia dan menciptakan persatuan di antara negara-negara di dunia’ (percakapan pribadi, 5 Februari 2005).

 Lagu pembukaan, Ahlan (Selamat datang), dikarang oleh Dr. Abdel-Hamid Mash’aal dari Mesir, dimaksudkan untuk mendemonstrasikan bahwa Islam itu melewati batas-batas umur, suku dan gender. Dinyanyikan dalan bahasa Arab, Melayu, Inggris, Mandarin, dan Tamil, kata “selamat datang” disoroti dalam berbagai bahasa (Ahlan / Selamat Datang/ Welcome/ Huan Ying/ Vanekem), dan para pemain mewakili berbagai suku bangsa yang berpakaian dalam kostum nasional yang berbeda-beda, wanita bernyanyi di samping pria secara publik untuk pertama kalinya.

Beberapa lagu lainnya berfokus tentang keprihatinan modern dan permasalahan sosial (seperti obat-obat bius, AIDS dan perang) dan mendorong Muslim yang telah berpaling untuk kembali ke keyakinannya dan Islam (selebaran pertunjukkan, 11 Januari 1995). The Cry of Bosnia (Tangisan dari Bosnia), juga dikarang oleh Prof. Dr. Abdel-Hamid Mash’aal, merupakan nasyid anti-perang yang dinyanyikan dalam bahasa Inggris, Arab dan Melayu:

Dengan aliran darah para Muslim di tanah Bosnia dan

Herzegovina… Rasa berkabung bagi dunia Islam… Dengan air mata dari para Ibu (yang telah kehilangan anaknya) yang menangis.. Dengan darah dari perawan yang diperkosa… Dengan tangisan para bayi… Tarikan nafas yang menyakitkan dari para orang tua yang terkejut.. Dengan perusakan masjid-masjid… Rasa berkabung bagi dunia Islam… .

Pertunjukkan ini diakhiri dengan Wawasan 2020, yang dikarang oleh Fakhariah Lokman, dinyanyikan dalam bahasa Inggris. Sekali lagi, para pemain dari segala umur dan suku bangsa, termasuk wanita, bernyanyi bersama-sama tentang tujuan dari Wawasan 2020.

Sebuah negara Malaysia yang bersatu dengan akal sehat dan berbagi takdir… sebuah masyarakat Malaysia yang secara psikologi bebas, aman dan berkembang… masyarakat yang dewasa dan demokrasi.. masyarakat yang bermoral dan etika penuh… masyarakat dewasa, liberal dan toleran… masyarakat ilmu dan maju… masyarakat yang peduli  dan peduli budaya secara penuh… sebuah masyarakat ekonomi.. dan masyarakat makmur.

 Kritikus koran memuji pertunjukkan nasyid era baru sebagai “modern dan menghibur” karena lagu-lagu barunya diiringi peralatan musik yang melatar belakangi penyanyi nasyid, seorang pemain oud (kecapi dari Timur Tengah) menyanyikan sebuah lagu Arab yang indah… [dan]… penyanyi-penyanyi pop seperti Fauziah Latiff, Sharifah Aini dan Ning Baizura mengenakan pakaian-pakaian Islami yang bergaya” (New Straits Times, 12 Februari 1994). Yang lain menuliskan bahwa musik merupakan cara yang efektif untuk menyebarkan Islam (Utusan Malaysia, 13 Januari 1995).

Pembuatan Nasyid Pop: Global, Islami dan Lokal

Melihat apa yang telah dilakukan Nada Murni dari Darul Arqam dan nasyid era baru, sebuah bentuk komersial baru dari nasyid yang lebih dikenal dengan nasyid pop muncul di Malaysia di tahun 1990-an. Dengan tetap mempertahankan lirik yang memuji Allah dan bersemangat mengikuti ajaran Islam dan Nabi, nasyid pop  komersial dinyanyikan secara a capella (dalam dua atau tiga bagian harmoni) atau dengan iringan instrumental. Lagu-lagu ini diproduksi dan didistribusikan ke kalangan pendengar oleh perusahaan-perusahaan rekaman. Sebuah tipe baru yang beradaptasi dengan berbagai tipe musik pop Anglo-Amerika (seperti  musik dari kelompok musik para pria remaja Westlife dan Backstreet Boys), sementara mengkombinasikan irama dunia (world beat) dengan ritme lokal. Instrumen perkusi dari Malaysia dan bagian dunia lain juga dipergunakan.

Nasyid pop komersial pertama adalah oleh kelompok Raihan (“aroma surga”). Menurut Farihin Abdul Fattah, produser dari album pertama Raihan Puji-pujian (1997, lihat audio klip di www.raihan.com.my, lagu/lirik), sebuah perusahaan rekaman Warner memutuskan untuk “meningkatkan musik nasyid” dengan menambahkan perkusi pada nyanyian di proyek suara baru. Farihin menjelaskan bahwa seorang pemain perkusi dari Amerika Steve Hassan Thornton, yang juga mengarang perkusi dan bermain untuk  musik dunia (world music) Malaysia lain dan pemain musik pop, “telah selesai memainkan perkusi Latin sementara itu saya bermain lebih banyak dengan perkusi Nusantara (NST 17 Maret, 19 Juli 1997).

Setelah Raihan (Warner), kelompok-kelompok nasyid pop lainnya bermunculan di Malaysia. Kelompok-kelompok yang cukup penting meliputi Hijjaz (Hijjaz Records, sebelumnya BMG), Rabbani (KRU Music-EMI), Brothers (Ambang Klasik), dan In-Team (Hijjaz Records). Kelompok-kelompok wanita termasuk HAWA (Juara Records), Solehah (Polygram), dan Mawaddah (Mawaddah Productions). Sampai-sampai murid sekolahan juga membentuk kelompok-kelompok sendiri (Star, 1 Agustus 1997), dan penyanyi-penyanyi pop lainnya seperti Waheeda, Mawi, dan Ramli Sarip telah bergabung dalam aliran musik ini.

Bagian selanjutnya memberi ilustrasi bahwa nasyid pop populer di antara kaum muda Muslim karena modern, Islami dan menunjuk identitas Malaysia. Bentuk baru dari musik dakwah juga menyediakan sebuah forum untuk para pemain dan pemirsa Muslim untuk mendebatkan tentang kemodernan yang tidak ke-Barat-baratan.

collage

Tren Pop Global

Nasyid pop  telah disesuaikan dan secara terus menerus beradaptasi dengan tren global modern dalam musik populer. Seperti dalam kelompok musik remaja Anglo-Amerika, seluruh struktur musikal dari nasyid pop terdiri dalam perselang-selangan antara suara solo, paduan suara dan seksi instrumental pendek. Bagian paduan suara dinyanyikan dalam dua atau tiga bagian harmoni. Kelompok-kelompok seperti Devotees, Firdaus, dan Mestica bereksperimen dengan musik hip-hop, rock dan bentuk-bentuk dan ritme musik dunia. Instrumen-instrumen musik dari negara asing seperti gendang conga, cowbell, shaker, dan keyboard atau synthersizer digabungkan dengan gendang lokal. Pertunjukkan-pertunjukkan langsung diselenggarakan dalam konser hall dengan sistem suara digital dan pencahayaan termutakhir.

Nasyid pop dikomersialisasi dan dikemas untuk didistribusikan melalui perusahaan rekaman termasuk yang bermodal trans-nasional seperti Warner, EMI, dan BMG, dan dijual dalam bentuk CD, video CD (VCD), dan kaset. Strategi pemasaran dari perusahaan-perusahaan trans-nasional meliputi pertunjukkan langsung, video klips, situs internet, majalah penggemar, sesi penanda-tanganan bintang, poster, kaos, dan berbagai barang lain. Sebagai hasil dari strategi ini, album pertama Raihan Puji-Pujian (1997) terjual lebih dari 650.000 kopi, membuat rekaman mereka terjual paling banyak di Malaysia pada waktu itu (NST, 24 Maret 2000). Di tahun  2000, Raihan menyelesaikan film-nya yang pertama, Syukur 21, merupakan sebuah cara efektif yang lain dalam pemasaran lagu-lagu nasyid dan pesan-pesan dakwah  mereka.

 Klips video nasyid pop juga mengikuti format video musik dunia global. Mereka memperbandingkan bagian-bagian warna dan  hitam dan putih. Bentuk yang paling dominan dari video musik nasyid memperlihatkan para penyanyi melakukan lip-syncing dengan latar belakang yang berubah secara kontinyu termasuk pegunungan, sungai dan padang pasir – semua ciptaan Allah – dan juga kaum Muslim bersembahyang di masjid-masjid. Seperti pop global tipe lainnya, video musik muncul secara reguler di televisi nasional dan VCD (untuk karaoke) sangat mudah didapatkan untuk konsumsi pribadi di rumah.

Mengikuti tren pop global, teknologi baru seperti komputer dan internet dipergunakan untuk proses produksi dan pemasaran. Group nasyid  yang paling populer mempunyai situs internet sendiri; para penggemarnya dapat mendengar dan men-download lagu-lagu dan lirik favorite mereka, ber-chating­ dengan penggemar yang lain, melihat photo-photo dan video klip dari para penyanyi dan membaca tentang kehidupan anggota-anggota group. (lihat, contohnya, www.raihan.com.my, www.rabbani.com.my, www.hijjaz.com.my dan www.mawaddah.com.my). Nasyid e-zones, portal, web logs, forum diskusi dan situs-situs lain juga tersedia (contohnya www.nasyeed.com.my dan www.liriknasyid.com).[7] Nada nasyid dapat juga di­­-download sebagai nada dering pada telephone genggam. Sarkissian (2005, p. 145) secara benar telah menunjukkan bahwa “internet telah menjadi sebuah alat penting, tidak hanya untuk diseminasi nasyid, tetapi juga untuk penciptaan suatu bentuk komunitas di antara kelompok-kelompok dengan para penggemarnya.”

Islam Global Modern

Selain beradaptasi dengan tren pop global, para penyanyi nasyid dan pemirsanya mengidentifikasikan dengan Muslim modern di seluruh dunia melalui tema Islami universal yang diproyeksikan dalam lirik-lirik lagu, dan juga penggunaan istilah-istilah bahasa Arab dan tipe musik dan liukan vocal dalam gaya nyanyian dari Timur Tengah. Gambar-gambar video tentang para Muslim sembahyang di masjid-masjid dari berbagai tempat di dunia dan gambaran para Muslim melaksanakan ibadah haji di Mekah juga digunakan sebagai latar belakang. Banyak penyanyi pria mengenakan baju Islami global atau baju Melayu (baju panjang Melayu) di atas celana dan kopiah (tutup kepala) dalam warna-warna pastel atau gelap. Baru-baru ini, kelompok-kelompok seperti Dirwana. Nowseeheart, dan In-Team telah ditampilkan dalam pakaian kesehari-harian kasual atau berleher polo dan jaket gaya barat.

Peraturan yang berhubungan dengan partisipasi wanita dan cara berpakaian juga secara tidak langsung mengidentifikasikan dengan Muslim di seluruh dunia. Kelompok-kelompok wanita ada tetapi mereka sangat kecil dibandingkan dengan kelompok pria. Tidak seperti dalam nasyid era baru, tidak ada kelompok campuran. Para pemain wanita menutup kepala mereka seperti para kaum wanita di tempat-tempat lain di dunia Muslim untuk dalam berpartisipasi dalam kehidupan publik. Tetapi mereka menutupnya dengan baju panjang yang berwarna-warni atau baju kurung (baju panjang Melayu) dan mengikat kerudung mereka dengan cara-cara kreatif dan bergaya.  Seperti yang telah dikemukakan oleh Gole (2002, p. 177, 180) penutup atau kerudung “diakui oleh sebuah generasi baru dari wanita… sebagai sebuah simbol budaya yang membedakan dalam sebuah konteks modernitas non-barat.” Dalam konteks Muslim, partisipasi wanita dalam pertunjukkan dan pemakaian kerudung dianggap modern. Walaupun ada beberapa keterbatasan dalam partisipasi wanita, nasyid memberikan cara baru bagi wanita Muslim untuk mengekpresikan diri sendiri di publik.

Untuk memperlihatkan perhatian bagi para saudara-saudari Muslim mereka di bagian lain dari muka bumi ini, kelompok-kelompok nasyid seperti Raihan, Brothers, Saujana, Hijjaz, dan Nowseeheart merekam sebuah album untuk mengumpulkan dana untuk para pengungsi Kosovo di tahun 1999. Hal yang sama, sebagian hasil dari album Rabbani, yang berjudul Aman, disumbangkan untuk para pengungsi Afghan (NST 16 November 2001), dan kelompok wanita Mawaddah membuat komposisi lagu-lagu tentang bencana tsunami di Aceh (lihat www.mawaddah.com.my).

Nasyid pop baru mengenalkan bahwa Muslim dan berbagai negara dan kaum non-Muslim dapat hidup secara harmonis. Karena dalam nasyid era baru, nasyid pop disajikan dalam berbagai bahasa, seperti Melayu, Arab, Mandarin dan Urdu, untuk memperlihatkan kepada para pendengarnya yang berasal dari negara-negara dan suku bangsa yang berbeda. Album Raihan Syukur, (Terimakasih, 1997) melibatkan suara dari Yusuf Islam (yang sebelumnya bernama Cat Stevens) dan beberapa lagu dinyanyikan dalam bahasa Inggris. Lagu oleh Yusuf Islam dan Raihan, komposisi dalam bahasa Inggris oleh Yusuf Islam, God is Light, diiringi dengan kompang dan rebana Melayu serta sejumlah instrumen perkusi lainnya. Liriknya memuja Allah:

Betapa hebat keajaiban dari surga… Dan keindahan malam yang tak terukur dengan waktu…Betapa hebat dan betapa hebatnya Sang Pencipta… dan bintang-bintangnya seperti permata yang tak ternilai jauh diatas jangkauan para raja-raja…

Album Raihan di tahun 2003, Gema Alam, sebuah lagu Mandarin, Cing Ai Cing Ai (Cinta untuk Tuhan). Para penyanyinya terinspirasi untuk membuat komposisi sebuah lagu Mandarin karena “Raihan mempunyai para pengikut di antaranya komunitas Muslim di bagian selatan dari Cina. Kelihatannya mereka menyukai musiknya walaupun mereka tidak mengerti bahasa Melayu” (Star, 5 Februari 2003). Hit terakhir Raihan, Allahu (Allah-ku), dinyanyikan dalam bahasa Urdu dan Melayu. Ini merupakan adaptasi dari sebuah lagu qawalli (musik pengabdian dari kaum Sufi di India dan Pakistan) oleh penyanyi Nusrat Fateh Ali Khan yang memuja Sang Maha Besar (Star, 11 Juni 2004).

Para penyanyi nasyid menciptakan solidaritas dengan kaum Muslim di Asia Tenggara dan bagian lain di dunia melalui kolaborasi dan pertunjukkan di berbagai komunitas Muslim. Contohnya Raihan, telah melakukan rekaman dengan Yusuf Islam dan melakukan pertunjukkan dengan kelompok pop Indonesia Sheila on 7 dan kelompok nasyid  Indonesia Snada. Dengan bernyanyi dalam berbagai bahasa, Raihan memperlihatkan diri kepada kaum Muslim dari bagian lain di dunia dan telah diundang untuk melakukan pertunjukkan untuk komunitas Muslim di Kuwait dan negara-negara lain di Timur Tengah, Afrika Selatan, Inggris, dan Australia (NST, 6 November, 2004). Kelompok-kelompok dari Malaysia seperti Raihan dan Rabbani dan kelompok-kelompok Indonesia seperti Snada dan Haddad Alwi populer di kedua negara dan CD serta VCD mereka tersedia di kedua negara (Barendregt 2003). Semua perkembangan ini menjadi bukti dalam pembentukan sebuah komunitas Muslim global.

Identitas Lokal

Kelompok-kelompok nasyid pop juga telah mencoba untuk memproyeksikan identitas lokal Malaysia dalam lagu-lagu mereka. Puji-pujian oleh Raihan mempergunakan gendang Melayu seperti kompang dan rebana, yang secara tradisional telah digunakan untuk mengiringi beberapa tipe musik Islami. Gendang-gendang itu bertautan di antara ritme dasar masri yang mengiringi tarian sosial di Malaysia dan mirip dengan sebuah ritme yang digunakan dalam tarian beledi dari Timur Tengah. Sebagai tambahan dari gambaran Islam dalam konteks internasional, banyak dari video klip Raihan yang menggambarkan pemandangan lokal seperti gendung pencakar langit modern yang ada di Kuala Lumpur dan masjid di kota-kota Malaysia.

Rabbani juga telah melakukan eksperimen dengan suara-suara baru dan menggabungkan dengan lagu-lagu rakyat Melayu tradisional seperti Lagu Ulik Mayang (lagu dari teater Ulik Mayang) dan Wau Bulan dalam lagu-lagunya (www.utusan.com.my, 29 Februari 2000). Dalam album Intifada (EMI 2001), Rabbani mengundang komposer seperti Bong (produser dari Amuk), Pak Ngah (yang terkenal karena musik tradisionalnya) dan KRU (penyanyi rap pop) untuk menyumbang dalam album itu. Hal ini menghasilkan sebuah campuran dari musik pop, tradisional dan dunia. Lirik-lirik dari judul lagu berputar tentang kebangkitan Rabbani di dunia musik dan bagaimana kelompok ini telah mencapai statusnya saat ini. Tempo dari album ini lebih rancak daripada nasyid pop lainnya, dan diakhiri dengan segmen yang dimainkan dengan gamelan, serunai dan gendang Melayu. Album Rabbani MTV Qiblat (2004) telah menggabungkan ritme inang tarian sosial Malysia dengan tipe musik pop dangdut. Instrumen-instrumen seperti tabla India telah dikombinasikan dengan kompang, rebana Malaysia dan gendang conga.

Penyanyi-penyanyi nasyid Malaysia menyampaikan berbagai narasi tentang modernitas Islami. Interpretasi-interpretasi lokal muncul ketika pesan universal dari Islam berinteraksi dengan wacana nasional dari pembangunan dan modernisasi. Pesan dari Wawasan 2020 dan penciptaan sebuah negara berteknologi modern dengan identitas spiritual dan budayanya sendiri digambarkan dalam film dengan biaya 1,8 juta ringgit dari Metrowealth Movies yang berjudul Syukur 21. Film ini bersetting di abad 21 dalam kota fiksi berteknologi tinggi, Raudah, yang mempunyai perumahan dan area rekreasi, shopping mall, institusi akademis dan kantor pemerintahan sendiri. (Ini bukannya tidak disengaja bahwa film ini bersetting di tahun 2021, satu tahun setelah Malaysia dijadwalkan mencapai Wawasan 2020, dan difilmkan di kapital administratif modern baru Putrajaya). Raudah dilengkapi dengan teknologi terkemuka dan kota ini dipelihara oleh teknologi komputerisasi yang canggih. Kamal, seorang insinyur Malaysia yang pernah bekerja dengan NASA di New York selama tiga puluh tahun, dikirim ke Raudah dalam sebuah program pertukaran. Malapetaka muncul saat sekelompok lokal yang dipimpin oleh Azmi berusaha untuk menyabotase usaha Kamal; hasilnya badai, banjir, dan kematian. Semua berakhir dengan baik ketika kelompok Azmi menyadari kesalahannya, dan minta maaf dari Kamal dan memohon pertolongan dari Allah. Pesan-pesan Raihan secara jelas dinyatakan dalam lagu di bagian akhir:

O Tuhan aku tidak berhak atas cintamu… maafkan aku dan terimalah pertaubatanku… Kamu yang maha pemaaf… kami adalah abdimu… pengampunan dari Tuhan… walaupun setinggi apapun seseorang pelajari ilmu, dia tidak akan pernah melebihi Tuhan… Hukum dari ilmu adalah hukum dari Allah…

Ekskutif direktur dari Metrowealth Movie, Mohd. Aliff Najmi mengatakan bahwa, “dalam film, kita hidup di sebuah dunia modern yang belum berkompromi dengan kemanusiaan dan cinta” (NST, 24 Maret 2000, juga lihat www.movies.mwig.com).

Yang lebih baru, Mawaddah meluncurkan sebuah album berjudul Islam Hadhari (Peradaban Islam) bersamaan dengan pengenalan sepuluh prinsip dengan nama yang sama oleh Perdana Menteri saat ini Abdullah Ahmad Badawi. Sepuluh prinsip Islam Hadhari “bertujuan untuk memperkuat kaum Muslim Malaysia untuk berkompetisi secara global” dan meliputi “keyakinan dan kesalehan kepada Allah, sebuah pemerintahan yang adil dan terpercaya, manusia yang bebas dan mandiri, menguasai ilmu pengetahuan, pembangunan ekonomi yang seimbang dan komprehensif, kehidupan yang berkualitas bagus, perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas dan wanita, integritas budaya dan moral, menjaga lingkungan dan pertahanan kuat” (Star, 24 September 2004). Album Mawaddah menampilkan lagu-lagu seperti Masyarakat Harmoni, Malaysia Indah, dan Islam Yang Telah Berkembang.  Judul lagu memanggil kaum muda Muslim untuk menciptakan sebuah budaya baru untuk toleransi, bekerja sama dengan orang lain, berkeyakinan kepada Tuhan, dan bekerja keras (lihat lirik di www.mawaddah.com.my).

Ketegangan-ketengangan Artistik

Sebagai obyek komersial dan juga bentuk Islami, nasyid baru menyebabkan sejumlah tegangan-tegangan yang menjadi subyek dalam perdebatan meriah di media massa, situs-situs internet, dan majalah-majalah penggemar. Sementara para kritikus melawan komersialisasi dari musik dakwah Islami, para pemain merasa hal ini boleh saja asalkan pesan dari Islam diproyeksikannya. Raihan mengatakan bahwa, “sukses telah membuat kami semakin merendah. Kami selalu mengingatkan diri sendiri bahwa sukses itu hanya saat yang sementara saja” (Star, 11 Juni 2004).

Para pemain dan kritikus juga tidak setuju dengan bentuk nasyid pop mana yang sebaiknya diambil (Malay Mail, 6 April 2004). Rabbani telah dikritik karena “telah melampaui batas dan membelok dari tata cara nasyid.” Untuk beberapa orang, Intifada dari Rabbani “terdengar terlalu pop untuk menyampaikan pesan-pesan Islam” (Star, 9 April 2001). Pemusik lain mengatakan bahwa bentuk-bentuk berbeda dari musik dapat digunakan selama pesan-pesannya dibawa. Untuk kelompok-kelompok seperti Rabbani, “membuat nasyid menjadi lebih komersial dan universal akan membantu mereka untuk mencapai mimpi-mimpi mereka dalam menyebarkan pesan-pesan Islam” (NST, 13 Januari 2001).

Sebagai tambahan, tegangan-tegangan timbul ketika para elemen konservatif berarguman bahwa wanita bernyanyi secara publik tidak dapat diterima karena suara dari wanita adalah aurat. Produser Mawaddah, Dzulkifli Abdul Razak tidak setuju, dengan mengatakan bahwa “selama (wanita bernyanyi)… tidak menyebabkan para penggemarnya menjadi terobsesi dengan penyanyi atau membuat mereka berbuat hal yang buruk, hal ini masih diperbolehkan.” Dia lebih lanjut menjelaskan bahwa setiap menyanyi Mawaddah diharuskan “mempraktekan gaya hidup Islami… Mereka diajar untuk tidak mencari kemasyuran, tetapi untuk mengabdi dalam menyebaran pesan-pesan Islam.” Manajer Mawaddah, Murshidah Mustapha, menjelaskan bahwa para gadis Mawaddah, dipimpin oleh Khaulah Ashaari yang 18 tahun, putri dari mantan pemimpin Darul Arqam, Ashaari Muhamad, telah “melepaskan penutup muka dan busana gelap ciri dari wanita Darul Arqam di masa lalu… Gaya busana yang lama tidak lagi sesuai… kami ingin memberikan potret Islam sebagai agama yang indah, dan penampilan menarik sangatlah penting. Walaupun begitu, kami selalu memastikan bahwa para penyanyi kita tidak mengenakan pakaian yang ketat atau terbuka” (NST, 6 November, 2004, lihat www.mawaddah.com.my, gallery,  untuk photo-photo dari kostum-kostum Mawaddah).

Apakah konser-konser musik langsung sebaiknya diperbolehkan terus menjadi perdebatan dalam lingkaran Muslim orthodoks, di mana banyak orang yang merasa bahwa musik pop mungkin bisa menyebabkan orang untuk melupakan tugas-tugas keagamaannya. Di negara bagian Kelantan, di mana pertunjukkan tradisional dan musik rock telah dilarang, Pemerintahan PAS terlihat melunak pendiriannya tentang konser musik populer untuk memenangkan kembali dukungan yang dari mereka yang meninggalkan partai yang berkuasa UMNO di pemilihan umum tahun 2004. Walaupun adanya ketidak-samaan pendapat di antara para anggotanya, sebuah konser langsung yang menampilkan idola pop Fantasia Asmaawi Ani, atau yang lebih dikenal dengan Mawi, seorang penyanyi veteran M. Nasir, kelompok nasyid Rabbani, dan mantan rocker yang menjadi penyanyi dakwah, Akil Hayy, telah dilaksanakan dalam acara final dari perayaan pendeklarasian Kelantan sebagai sebuah kota Islami pada 1 Oktober 2005. Konser tersebut dilaksanakan dengan peraturan yang cukup ketat bahwa tidak boleh ada terlalu banyak tarian atau gerakan badan, tidak ada pemain wanita, hanya tipe-tipe lagu tertentu dengan isi Islami yang boleh dipertunjukkan, dan para penonton pria dan wanita ditempatkan di tempat yang terpisah (Star Minggu, 18 September 2005).

Dari survey ini, saya telah berusaha untuk menunjukkan bahwa nasyid telah menjadi plural dan global dalam dua dekade terakhir. Nasyid pop menarik bagi generasi lebih muda yang ingin melakukan rekonsiliasi keyakinan agamanya dengan penampilan dari modernitas dan musik pop. Ini mempunyai peranan penting dalam penciptaan Muslim modern dan melibatkan kaum Muslim dalam pertukaran yang menarik tentang modernitas Islami di Malaysia. Para pemusik berusaha untuk memproyeksikan sebuah Islam yang moderat dan modern melalui nasyid pop sementara partai-partai politik seperti PAS menggunakannya untuk mencapai legitimasi di antara para pemilih muda dan untuk menunjukkan bagi non-Muslim bahwa partai ini tidak kaku dan ketinggalan jaman seperti yang dikemukakan para pengkritiknya.

Oleh Tan Sooi Beng
Professor Etnomuzikologi di Departemen Musik
Universiti Sains Malaysia

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 8-9 (March 2007). Culture and Literature

Referensi

 Ahmad Fauzi Abdul Hamid. 2005. “Contestations and Peace Building between the State and Autonomous Islam in Malaysia.” Makalah dipresentasikan dalam Lokakarya Regional, “Peace Building in Multi-Ethnic, Multi-Religious Southeast Asia,” Sekolah Ilmu-ilmu Social, Universitas Ilmu Malaysia, bekerja sama dengan The Ford Foundation, Jakarta, 29 April-1 Mei 2005, Hotel City Bayview, Penang.
Al Faruqi, Lois Ibsen Lamya. 1985. “Music, Musicians and Muslim Law.” Asian Music 17(1): 2-36.
Barendregt, Bart. 2003. “Nasyid in the Making: Transnational Soundscapes for Muslim Southeast Asia.” Makalah dipresentasikan dalam Lokakarya Internasional KITLV tentang Studi-studi Asia Tenggara, South-East Asian Pop Music in a Comparative Perspective, 8-12 Decsmber 2003, Leiden.
Barendregt, Bart, dan Wim van Zanten. 2002. “Popular Music in Indonesia; Mass-mediated Fusion, Indie and Islamic Music since 1998.” Yearbook for Traditional Music 34: 67-113.
Gole, Nilufer. 2002. “Islam in Public: New Visibilities and New Imaginaries.” Public Culture 14(1): 173-190.
Hefner, Robert. W. 1997. “Islam in an Era of Nation-States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia.” Dalam Hefner, Robert W., dan Patricia Horvatich (1997: 3-42).
Hefner, Robert W., dan Patricia Horvatich. 1997. Islam in an Era of Nation-States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia, Honolulu: Penerbitan Universitas Hawaii (3-42).
Kahn, Joel. 2003. “Islam, Modernity, and the Popular in Malaysia.” Dalam Virginia Hooker dan Noraini Othman, ed., Islam, Society and Politics. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
KKBS (Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia). 1973. Asas Kebudayaan Kebangsaan, Kuala Lumpur.
Mahathir Mohamad. 1991. Malaysia: The Way Forward. Vision 2020. Kuala Lumpur: Centre for Economic Research and Services, Malaysian Business Council.
Performance Booklet. 1995. Pertunjukkan Spesial (Malam Penutupan), Sebuah Pertunjukkan Islami, Konsep Mashaaliman, Dengan berkerja sama dengan Institut Teknologi Mara, 11 Januari, PWTC, Kuala Lumpur.
Roff, William. 1967. The Origins of Malay Nationalism. Kuala Lumpur: Penerbitan Universitas Malaya.
Sarkissian, Margaret. 2005. “Religion Never Had It So Good: Contemporary Nasyid and the Growth of Islamic Popular Music in Malaysia.” Yearbook for Traditional Music 37: 124-152.
Shamsul A. B. 1997. “Identity Construction, Nation Formation, and Islamic Revivalism in Malaysia.” Dalam Hefner, Robert W., dan Patricia Horvatich (1997: 207-231).
Matusky, Patricia, dan Tan Sooi Beng. 2004. The Music of Malaysia: The Classical, Folk and Syncretic Traditions. Aldershot: Penerbitan Ashgate.
Tan Sooi Beng. 1990. “The Performing Arts in Malaysia: State and Society,” Asian Music, XXI (1), pp. 137-171.

Koran-koran

New Straits Times, Star, Utusan Malaysia, Malay Mail.

Websites (last accessed 26 January 2014)

 www.hijjaz.com.mywww.mawaddah,com.my,  www.nasyeed.com.my, www.liriknasyid.com 

Notes:

  1. Menurut Al Faruqi (1985), Ada tiga jenis ekspresi musik dalam Islam: (i) yang sah (halal atau diperbolehkan), terdiri dari jenis musik yang mempunyai karakteristik gaya seperti alunan Al Qur’an, yang dikenal sebagai non-musiqa (non-musik); (ii) yang controversial (halal –  boleh, mubah– tidak penting, makruh – tidak disukai, dan haram – dilarang), dianggap sebagai musiqa; dan  (iii) yang dilarang (haram), dianggap sebagai musiqa  yang dipertunjukkan berhubungan dengan praktek-prakter yang dilarang yang tidak sesuai dengan perilaku Islami. Sebagai bait puisi dengan tema perbuatan baik, nasyid dikarakterisasikan sebagai halal non-musiqa.
  2. Ribuan pelajar, termasuk anggota dakwah di universitas-universitas, melakukan demonstrasi untuk melakukan protest tentang kelaparan dan kemiskinan rakyat di tahun 1974.
  3. Dua dari organisasi dakwah terbesar adalah Darul Arqam, sebuah organisasi berbasis tanah komunal yang berupaya untuk perekonomian mandiri dan dilarang di tahun 1994, dan ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia, Organisasi Pemuda Islam Malaysia, didirikan tahun 1971), yang populer di antara para mahasiswa dan termasuk anggota-anggota yang berpartisipasi dalam partai politik. Lihat Shamsul (1997) untuk diskusi lebih lanjut.
  4. Dua dari organisasi dakwah terbesar adalah Darul Arqam, sebuah organisasi berbasis tanah komunal yang berupaya untuk perekonomian mandiri dan dilarang di tahun 1994, dan ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia, Organisasi Pemuda Islam Malaysia, didirikan tahun 1971), yang populer di antara para mahasiswa dan termasuk anggota-anggota yang berpartisipasi dalam partai politik. Lihat Shamsul (1997) untuk diskusi lebih lanjut.
  5. Perkembangan awal dalam reformasi modern Islami terjadi di tahun 1920-an dan 1930-an dan disebarkan oleh Kaum Muda (Roff 1967). Mereka mengemukakan visi mereka tentang sebuah masyarakat yang modern dan Islami yang akan membawa kemajuan ke dunia Melayu.
  6. Di tahun 1971, dalam sebuah konggres nasional diputuskan bahwa budaya nasional Malaysia seharusnya “berbasis pada budaya dari orang-orang asli/lokal di wilayah tersebut,” bahwa “elemen-elemen dari budaya lain yang sesuai dan layak dapat dimasukkan,” dan bahwa “Islam akan menjadi sebuah elemen penting” (KKBS 1973: vii).