Tiga perspektif ketidakpastian mengenai Myanmar yang berubah

Maung Zarni

Tiga perspektif ketidakpastian mengenai Myanmar yang berubah

Berbagai perubahan yang terjadi di Myanmar dalam tiga tahun terakhir benar-benar membingungkan. Melihat sepintas berbagai peristiwa yang terjadi di dalam kurun waktu tiga tahun tersebut akan meyakinkan siapa saja yang ragu bahwa transisi yang tengah terjadi saat ini di Myanmar benar-benar nyata. Bagaimanapun, yang seharusnya dipertanyakan adalah, ke arah mana transisi berjalan dan bagaimana sebaiknya memahami transisi tersebut.

Setelah Thomas Carothers dan Larry Diamond, dua pakar terkemuka dunia soal demokratisasi, mengunjungi Myanmar, mereka mengambil kesimpulan yang sama: tujuan, definisi dan modus operandi dari demokrasi yang diterapkan oleh Naypyidaw berseberangan dengan nilai-nilai dasar dari pemerintahan berdasarkan perwakilan. Carothers menyetarakan reformasi yang terjadi di Myanmar dengan reformasi dari kepemimpinan Arab satu dekade sebelum Kebangkitan dunia Arab (Arab springs) yang diwarnai dengan kekerasan. Ia menyatakan bahwa “Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Arab bukanlah reformasi yang berkaitan dengan demokratisasi, melainkan upaya-upaya yang dirancang dengan sedemikian cermat untuk menghalangi munculnya demokrasi yang sesungguhnya dengan cara meredakan perasaan-perasaan tidak puas yang menyebar luas atas rezim yang berkuasa.” 1  Diamond jauh lebih tegas di dalam menyatakan pendapatnya: “Menurut saya transisi masih ada di dalam tahap yang sangat dini dan pada saat ini tidaklah jelas apakah pemilihan demokratis akan menjadi hasil akhir dari transisi atau apakah pemilihan demokratis itu sendiri merupakan hasil dari transisi.” 2

Tetapi mengapa komunitas masyarakat internasional memeluk para jenderal dan para mantan jenderal Myanmar dan menyirami Naypydaw dengan bantuan keuangan bernilai ratusan juta dolar atas nama rakyat Myanmar, reformasi, dan transisi demokrasi? Berbagai pujian dan pemberian bantuan bagi para reformis berlangsung pada saat yang sama dengan pembantaian dan kejahatan atas kemanusian terhadap etnis Rohingya, 3 kekerasan massal anti-Muslim yang dilancarkan dalam kampanye ala neo-Nazi Buddhis, 4 membludaknya jumlah pengungsi dari perang Kachin, serta pemberitaan secara luas tentang keterlibatan dan tanggung jawab Naypyidaw? 5

JDollars-Jigsaw-awaban spontan atas pertanyaan tersebut adalah “kapitalisme global”. Para jenderal-jenderal Myanmar telah menyetujui transformasi ekonomi politik Myanmar yang berada di dalam kondisi sakit dengan bantuan pihak asing menuju pasar bebas sebagai ganti atas akses terhadap ekonomi Myanmar. Bagaimanapun, perlu disebutkan di sini, terlepas dari adanya sejumlah konsensus, keterlibatan total dari Westin Myanmar yang liberal sebagian besar berlangsung dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Naypyidaw. 6

Pada kenyataannya, dari sudut pandang para kapitalis global, Myanmar adalah “rumah pelacuran sumber daya” yang pertama dan yang terdepan, “pasar batas” 7 yang paling menjanjikan, dan pasak-roda yang strategis bagi “strategi-strategi utama” dalam permainan Kekuatan-kekuatan Besar yang sepertinya terus-menerus berkelanjutan, di dalam kebangkitan atau kemunduran. Semenjak munculnya transformasi kapitalis yang dipicu oleh perkembangan teknologi beberapa ratus tahun yang lalu, cara pandang setiap negara di atas bumi dengan potensi tanah, sumber daya alam, dan tenaga kerja terhadap komunitas manusia sebagai ‘pasar’ dan ‘sumber dari sumber daya alam dan tenaga kerja’ sudah menjadi sangat umum.

Di dalam Forum Ekonomi Dunia di Naypyidaw pada bulan Juni 2013, segalanya berpusat tentang “demokrasi” yang dipimpin oleh kelompok elit, “masyarakat sipil” yang trampil, dan “pasar bebas” yang memiliki tanggung jawab secara sosial. Tapi pada dasarnya, kebijakan politik internasional terhadap Myanmar dirancang untuk menarik keuntungan yang sebesar mungkin dari salah satu pasar batas terakhir di dunia; contoh yang lainnya adalah Korea Utara.

Pada bulan Juni ini, mantan Menteri Luar Negeri Amerika, Madeline Albright terlihat sedang minum Coke langsung dari botolnya pada suatu upacara di Yangoon tempat dimana Coca Cola, salah satu dari sekian perusahaan klien firma konsultasi Albright-Stonebridge milik Albright, 8 membuka perusahaan pembotolan pertama di Myanmar. 9 Sebagai ketua dari Institusi Demokrasi Nasional US, Albright diberitakan berada di Myanmar untuk mempromosikan demokrasi, saling kepercayaan dengan US dan untuk menyampaikan pada “orang-orang yang belum pernah mencicipi” bagaimana cara yang tepat meminum kola. Tapi orang Amerika tidaklah sendirian.

Thein Sein, President of Myanmar since March 2011, at the World Economic Forum
Thein Sein, President of Myanmar since March 2011, at the World Economic Forum

Di tengah-tengah terjadinya pembunuhan massal atas masyarakat Rohingya dan Muslim dan dokumentasi keterlibatan otoritas tertinggi di dalamnya, 10 negara Islam Qatar tidak memiliki keraguan sedikitpun saat memenangkan kontrak-kontrak telekom di Myanmar bernilai beberapa trilyun dolar bersama-sama dengan Norwegia. Mediator-mediator perdamaian resmi di Oslo telah menjamin kontrak telefon yang relatif menguntungkan untuk perusahaan nasional Telenor dari orang yang diprediksikan akan meraih Nobel perdamaian 2012, Presiden Thein Sein, sementara pada saat yang sama orang-orang Kachin, Karen, Shan, Karenni, dan Mon masih menunggu keberhasilan dari upaya mediasi perdamaian Oslo. 11 Kontrak telefon lebih penting dibandingkan perdamaian! Telanor demi Perdamaian!

Seandainya Karl Marx masih hidup, ia mungkin akan mendefinisikan proses yang dialami Myanmar pada saat ini: perampasan lahan di berbagai tempat, peralihan ekonomi resultan, kondisi para buruh yang memprihatinkan, kondisi kerja yang buruk, migrasi yang dipaksakan, konflik-konflik kekerasan, impor teknologi, cara-cara dan lini-lini baru dalam produksi, penanaman modal, projek-projek pembangunan skala besar dan seterusnya, sebagai ekonomi kontan yang marjinal, yang bersumber dari suatu proses zalim yang ia sebut dengan “akumulasi primitif” (primitive accumulation).

Di sini saya mengusulkan suatu cara baru dalam membaca kondisi Myanmar yang mencerminkan mengapa kajian tentang Myanmar selama ini cukup terbelakang di kalangan Orientalis (Orientalist backwater) dan menyesuaikan sekaligus memperbaharui pendekatan Braudellian sebagaimana yang telah disodorkan oleh Victor Lieberman dalam kajian Asia Tenggara. 12 Kita perlu memusatkan perhatian kita pada satu akibat utama dari proses-proses global, yaitu transformasi kapitalis Myanmar sebagai pasar batas. Karena proses inilah, jauh dibandingkan faktor-faktor lainnya, yang mempengaruhi objek-objek penelitian kita: masyarakatnya dan juga, penelitian itu sendiri. Tiga perspektif yang saya temukan paling dapat diuji-ulang secara empiris dan sesuai dalam menjelaskan perubahan-perubahan yang membingungkan adalah suatu perspektif tentang kepastian yang disebut di sini sebagai “Tiga Perspektif Ketidakpastian”, yaitu ketidakpastian nasional tradisional, ketidakpastian global dan ketidakpastian manusia.

Yang pertama, ketidakpastian nasional secara langsung merujuk pada perasaan permanen mengenai ketidakpastian mengenai keberlangsungan suatu negara, yang dalam pemahaman paling kasar dapat diartikan sebagai ketidakpastian berkaitan dengan kemampuan suatu rezim untuk bertahan. Yang kedua, ketidakpastian global didefinisikan sebagai perasaan secara keseluruhan tentang ketidakpastian  dan kerentanan tatanan ekonomi dan politik dunia, yang pada akhirnya bergantung pada keamanan tiap-tiap negara dalam tatanan politik dan ekonomi dunia. Yang ketiga dan yang terakhir, ketidakpastian manusia merujuk pada “kepastian individu dan masyarakat yang didalamnya tiap individu hidup bersebrangan dengan kepastian negara dan batas-batasnya.” 13

 Pada intinya, ‘Tiga perspektif ketidakpastian’ yang diusulkan di sini menyatakan bahwa semenjak Perang Dingin berakhir, kapitalisme global telah menyatukan komunitas, lingkungan alam, dan politik-ekonomi nasional menjadi suatu kesatuan yang sangat berpengaruh di dalam suatu proses yang dikenal luas dengan istilah globalisasi. Di sini, ketiga ketidakpastian yang disebutkan di sini saling bersaing menjadi posisi primer di dalam hal pengambilan kebijakan dan prakteknya. Seraya berbicara tentang tatanan internasional yang dapat diprediksi dan berdasarkan atas aturan-aturan, setiap negara bersiap-siap atas terjadinya beragam kemungkinan, seperti perang. Disebabkan karena adanya perasaan ketidakpastian yang mendalam, baik secara domestik maupun internasional, bahkan Amerika Serikat dipergoki memata-matai kawan politik, warga negara Amerika, dan lawan-lawan politik seperti yang dapat dilihat dari skandal PRISM baru-baru ini.

Meskipun ketiga perpektif yang diusulkan di sini tidak sepenuhnya saling bertentangan satu sama lain, isu tentang kerentanan, misalnya masalah pengungsi, orang-orang terlantar, dan pengangguran biasanya ditempatkan sebagai masalah yang dapat ditunda penyelesaiannya. Keamanan dan kesejahteraan pribadi dan masyarakat diinjak-injak, baik secara kenyataan atau hanya sebagai gambaran, khususnya ketika dua rezim ketidakpastian lainnya – rezim ketidakpastian nasional dan global- bekolaborasi dan membentuk simbiosis eksklusif yang tidak dapat diprediksi lewat perhitungan secara strategis dan tindakan politik. Inilah sebab mengapa sering terdengar cerita-cerita tentang bagaimana kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang diambil oleh negara, 14 perusahaan, dan badan-badan multilateral, dan institusi-institusi finansial internasional berkontribusi secara kolektif pada perusakan yang dialami oleh masyarakat biasa dan orang-orang yang tak-dikenal, tempat hidup alami mereka dan akses-akses mereka terhadap pekerjaan, keamanan, kebebasan bergerak dan berkumpul, dan lain-lain.

The developing Yangon pictured at night
The developing Yangon pictured at night

Saya percaya “Tiga perspektif ketidakpastian” yang diusulkan di sini sangat sesuai untuk menjelaskan kondisi Myanmar (demikian pula kasus-kasus nasional serupa lainnya) dan ini mencerminkan kenyataan yang dapat diuji-ulang secara objektif. Perspektif ini juga menempatkan kajian Myanmar dan kondisi-kondisi Myanmar di dalam konteks konsekuensi proses yang paling lengkap dari transformasi kapitalis yang tengah dialami oleh Myanmar sebagai “pasar batas”.

Dilihat dari sudut pandang ketidakpastian-ketidakpastian ini, reformasi demokrasi atas-bawah yang sedang berlangsung pada saat ini sebenarnya bukanlah mengenai demokratisasi Myanmar, tapi pada dasarnya berkaitan dengan elit-elit pemerintahan Myanmar mengadakan persetujuan antar pemimpin negara dengan badan-badan kapitalis global, sementara pada saat yang sama membentuk kelas sosial pribadi mereka, yang dikenal dengan kroni militer-kapitalis. Di dalam persetujuan-persetujuan ini, mereka membuka pasar batas yang selama ini diincar banyak pihak dan sebagai gantinya memperoleh normalisasi, pengakuan kedaulatan, legitimasi, dan akses atas modal dan pasar global, dan teknologi. Naypyidaw membuka Myanmar dengan persyaratan-persyaratan yang menguntungkan para pemegang kekuasaan di Myanmar, militer beserta rezim ketidakpastian nasionalnya. Dalam proses ini , bahkan politisi Myanmar yang paling berpengaruh dan ikon global Aung San Suu Kyi terperangkap di dalam panggung kapitalis global dan ia tidak lagi memegang kekuasaan dalam mengontrol naskah, tata panggung, nada, atau liriknya.

Upaya-upaya untuk meniadakan warga muslim Rohingya yang masih terjadi sampai saat ini merupakan contoh kasus empiris dalam “Tiga perspektif ketidakpastian”. Terlepas dari kemiskinan luar biasa yang tersebar luas di negara bagian Rakhine, yang ditempati bersama oleh kaum muslim Rohingya dan kaum Budhis Rakhine, yang baru-baru ini dihebohkan dengan serentetan peristiwa kekerasan massal, daerah ini telah menjadi daerah yang strategis dan menguntungkan di dalam naiknya ekonomi kapitalis Myanmar – daerah ini merupakan daerah pelabuhan yang strategis, daerah pertanian yang subur dengan potensi untuk industri pertanian, industri perikanan, zona ekonomi spesial yang bernilai milyaran dolar dan tempat asal dari pipa rangkap gas dan minyak yang disalurkan menuju China.

Pada saat terjadinya perang sipil antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur pada 1971, Jenderal Tikka dari Pakistan Barat memberikan perintah yang menakutkan kepada tentara-tentaranya: “Yang kuinginkan adalah wilayah Pakistan Timur, bukan orang-orangnya.” 15 Ketakutan yang sama juga terjadi di wilayah Myanmar Barat; rezim militer Myanmar mungkin saja hanya menginginkan wilayah tersebut, tanpa orang-orang Rohingya di dalamnya.

Tanpa adanya konstektualisasi yang memadai tentang transisi yang terjadi di Myanmar di dalam hubungan yang saling-silang melalui tiga perspektif yang dijelaskan di atas, pemahaman kita tentang reformasi, perubahan, dan demokratisasi akan tetap berada dalam kondisi setengah matang- layaknya kondisi demokrasi yang tengah diterapkan oleh rezim ketidakpastian nasional Naypyidaw dan ketidakpastian kapitalis-kapitalis global.

Dr. Maung Zarni
Associate Fellow, Universitas Malaya dan
Visiting Fellow, Sekolah Ekonomi London

(Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary). 
 Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 14 (September 2013). Myanmar

Notes:

  1. Wawancara dengan Thomas Carothers, Irrawaddy, 7 Mei 2012 <http://www.irrawaddy.org/archives/3706> (diakses 1 Juli 2013).
  2. Wawancara dengan Larry Diamond, Irrawaddy, 24 Juli 2012 <http://www.irrawaddy.org/archives/9883> (diakses 1 Juli 2013).
  3. “All You Can Do is Pray: Crimes against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State”, Human Rights Watch, 22 Agustus 2013
  4. Kosak Tuscangate, “Burmese neo-Nazi Movement Rising against the Muslims”, Asia Sentinel, 22 Maret 2013 <http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5276&Itemid=409>  (diakses 1 Juli 2013). Lihat pula: Maung Zarni, “Myanmar’s Neo-Nazi Buddhists Get Free Rein”, Asia Times, 3 April 2013 <http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/SEA-01-090413.html> (diakses 1 Juli 2013).
  5. Special Report: Myanmar Gives Official Blessing to Anti-Muslim Monks”, Reuters, 27 Juni 2013 <http://www.reuters.com/article/2013/06/27/us-myanmar-969-specialreport-idUSBRE95Q04720130627> (diakses 1 Juli 2013).
  6. Untuk analisa yang mendasar atas evolusi kebijakan Barat atas Myanmar selama 25 tahun terakhir, lihat: Maung Zarni, Burma/Myanmar: Its Conflicts, Western Advocacy, and Country Impact, The World Peace Foundation, The Fletchers School of Law and Diplomacy, Tufts University, 25 Maret 2013.  <http://sites.tufts.edu/reinventingpeace/2013/03/25/burmamyanmar-its-conflicts-western-advocacy-and-country-impact/> (diakses 2 Juli 2013.)
  7. Dalam pembicaraan meja bundar yang disiarkan lewat internet tentang perekonomian negara pada Forum Ekonomi Dunia akan Asia Timur (World Economic Forum on East Asia) di Naypyidaw, Juni 2013, Ketua Dialog Shangri-La dan pimpinan utama Lembaga internasional Kajian Strategi yang bermarkas di London menyatakan tanpa edeng-aling bahwa Myanmar adalah pasar batas, yaitu perusahaan swasta, dibandingkan utusan diplomatik asing, perlu mendalami soal pemerintahan Myanmar dan segala urusan dalam negerinya.
  8. Soal usaha Albright-Stonebridge, lihat <http://www.albrightstonebridge.com/> (diakses 1 Juli 2013).
  9. Coca-Cola Opens Myanmar Bottling Plant”, Associated Press, 4 Juni 2013 <http://www.komonews.com/news/business/Coca-Cola-opens-Myanmar-bottling-plant-210090851.html>  (diakses 1 Juli 2013).
  10. Untuk perspektif yang menyeluruh soal kesaling-terkaitan antara rasisme popular anti-Muslim dan peran instrumental negara, lihat Maung Zarni, “Buddhist Nationalism in Burma”, Tricycle, Spring 2013 <http://www.tricycle.com/feature/buddhist-nationalism-burma> (diakses 1 Juli 2013).
  11. Burma Awards Lucrative Mobile Contracts”, BBC, 27 Juni 2013 <http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-23078620> (diakses 1 Juli 2013).
  12. Liam C. Kelley, “Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, c. 800-1830, Volume I: Integration on the Mainland (Review)”, Journal of World History, vol. 17, no. 1 (Maret 2006), hal. 102-104 <http://muse.jhu.edu/journals/jwh/summary/v017/17.1kelley.html> (diakses 1 Juli 2013).
  13. Lihat <http://www.lse.ac.uk/internationalDevelopment/research/CSHS/Home.aspx> (diakses 1 Juli 2013).
  14. Upaya terakhir Amerika dalam menangani masalah-masalah hak buruh, lingkungan hidup, dan korupsi di luar negeri, perlu diperhatikan dengan seksama karena ini adalah pendekatan baru yang ditentang perusahaan-perusahaan Amerika dan Kamar Dagang Amerika. Lihat:  “U.S. Companies Investing in Myanmar Must Show Steps to Respect Human Rights”, New York Times, 30 Juni 2013 <http://www.nytimes.com/2013/07/01/world/asia/us-companies-investing-in-myanmar-must-show-steps-to-respect-human-rights.html?_r=0> (diakses 1 Juli 2013).
  15. “Wawancara dengan Major General Rao Farman Ali AKA: The Butcher of Bengal”, 13 Maret 2010. <http://etongbtong.blogspot.com/2010/03/interview-of-major-general-rao-farman.html> (diakses 1 Juli 2013).