Brunei Darussalam: Kesultanan Absolut dan Negara Modern

Naimah S Talib

         

Brunei Darussalam: Kesultanan Absolut dan Negara Modern

Brunei Darussalam (arti harafiah: Rumah perdamaian) adalah sebuah negara kecil dan independen dengan satu-satunya pemerintahan kesultanan di Asia Tenggara. Semenjak memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1984, kesultanan Brunei telah berhasil mengukuhkan kekuasaannya dan sekarang telah memiliki kontrol yang tak tersaingi atas negara. Apa yang menyebabkan durabilitas kesultanan absolut Brunei? Dalam artikel ini pengarang berargumen bahwa kesultanan Brunei telah berhasil mensentralisasikan kekuatan di kantor sultan, telah berhasil memanfaatkan landasan tradisional dan religius untuk melegitimasi kesultanan dan telah berhasil menunjukkan bahwa kesultanan adalah sebuah pemerintahan yang stabil. Kesultanan Brunei telah berhasil menghindari tuntutan reformasi politik dengan cara penggunaan efektif hasil keuntungan hidrokarbon melalui pengadaan program kesejahteraan yang berlimpah dan ekstensif.  Sebagai sebuah institusi politik neo-tradisional, kesultanan Brunei telah menunjukkan kemampuannya untuk beradaptsi dan berkembang di dalam lingkungan global yang dinamis.

Latar belakang sejarah

Sultan Brunei (Yang Dipertuan Negara) merupakan bagian dari garis keturunan sultan yang telah memerintah secara terus-menerus selama 600 tahun. Sultan yang berkuasa pada saat ini, haji Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah, adalah penguasa yang ke-29. Brunei memiliki populasi kecil sekitar 400 ribu jiwa, terdiri atas 66% Melayu 1 dan wilayahnya terbagi ke dalam dua bagian, setiap wilayah bagian dikelilingi oleh negara bagian timur Malaysia, Sarawak. Setelah mencapai puncak kekuasaan pada abad ke-16, kesultanan melemah dan pada abad ke-19, wilayah kekuasaannya menjadi semakin menyusut karena tekanan dari Brooke Rajah (si “Raja putih”; James Brooke) dari wilayah tetangga Sarawak. Pembentukan wilayah residensi Inggris di Brunei pada 1906 menjadi jalan keluar dari  ancaman lenyapnya kesultanan. Pada akhir periode residensi Inggris pada tahun 1959, otonomi internal diberikan pada Brunei dan sang sultan diberikan kekuasaan eksekutif. Sebuah konstitusi baru mulai diberlakukan pada tahun 1959 yang menjadi dasar pembentukan Dewan Legislatif yang anggotanya sebagian dipilih berdasarkan pemilihan. 2 Partai Rakyat Brunei (PRB) kemudian memenangkan semua kursi untuk Dewan Legislatif berdasarkan hasil pemilihan. Tetapi, adanya perlawanan bersenjata yang diprakarsai oleh PRB pada tahun 1962 terhadap rencana persatuan Brunei dan Malaysia menghambat para kandidat terpilih untuk memulai tugas mereka secara resmi. 3 Perlawanan bersenjata tersebut, walaupun dengan cepat dipadamkan oleh Inggris, merupakan suatu peristiwa penting di dalam sejarah politik Brunei; peristiwa tersebut menyebabkan perasaan tak berdaya dan tidak aman yang masih bertahan sampai sekarang. Peristiwa tersebut juga menyediakan alasan bagi Omar Ali Saifuddin III, yang kemudian menjadi sultan Brunei, dengan dalih untuk memberlakukan peraturan-peraturan darurat, untuk menunda perubahan konstitusi dan juga mempengaruhi keputusan sultan untuk menolak penggabungan Brunei dengan Malaysia. Menolak untuk mengalah pada tekanan Inggris untuk mengadakan perubahan konstitusi, sang sultan mengundurkan diri pada tahun 1967 dan menyerahkan tahta kerajaan pada putranya, haji Hassanal Bolkiah. 4 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kolonisasi Inggris memberi nafas kehidupan bagi kesultanan yang telah melemah dan terpecah-pecah, dan mengubahnya menjadi suatu autokrasi yang tersentralisasi.

Membentuk sebuah negara neo-tradisional

Banyak pakar yang telah mempertanyakan kemampuan kerajaan absolut untuk bertahan dalam jangka waktu panjang. Para teoritis di bidang modernisasi, misalnya Huntington, berpendapat bahwa rezim kerajaan tidak akan mampu bertahan melawan tekanan negara modern. 5 Para penguasa kerajaan dihadapkan pada apa yang telah digambarkan oleh Huntington dan pakar yang lain sebagai “dilema raja”, modernisasi mengurangi kekuasaan dan otoritas raja, dan mengharuskan para penguasa kerajaan untuk berbagi kekuasaan dengan beragam kelompok sosial baru, seperti kelas menengah urban, yang tumbuh dengan pesat. 6 Berdasarkan teori modernisasi, kelas menengah mendorong terjadinya perubahan dan partisipasi politik yang lebih besar, dan ini menjadi penyebab kejatuhan kerajaan. Tetapi, kerajaan-kerajaan yang sangat bergantung pada minyak seperti kerajaan di Timur Tengah dan Brunei telah berhasil menghambat kemungkinan ini dan justru berkembang dan tumbuh sebagai negara neo-tradisional yang konservatif, patrialistik dan sangat otoriter. Mereka menggunakan suatu formula legitimasi yang dilandaskan atas dasar agama, budaya, dan tradisi. Sebagai tambahan, sebagai respons terhadap perkembangan sosial ekonomi yang pesat, mereka telah mengembangkan formula legitimasi sehingga meliputi penampilan di bidang ekonomi yang didukung oleh program kesejahteraan yang melimpah. Para penguasa berusaha untuk membentuk hubungan yang kuat dan tahan lama dengan rakyatnya. 7

Setelah memperoleh kemerdekaan pada tahun 1984, Brunei dihadapkan pada tugas yang luar biasa sulit untuk membentuk institusi pemerintahan. Sultan memiliki kekuasaan mutlak, tapi pada saat yang sama ia memahami pentingnya pengembangan institusi profesional milik pemerintah yang akan membantu dirinya dalam memenuhi kebutuhan untuk memerintah suatu negara modern. Suatu bentuk pemerintahan kabinet diumumkan pada tahun 1984. Tetapi, di dalam kabinet tersebut, sang sultan masih memiliki kekuasaan yang luar biasa. Ia berfungsi sebagai perdana menteri, menteri keuangan, dan menteri dalam negeri pada saat yang bersamaan. 8 Untuk meringankan masalah “dilema raja”, sang sultan memperkerjakan golongan elit baru berpendidikan tinggi di dalam pemerintahan yang ia bentuk dengan tujuan untuk mengurangi ketidakpuasan di antara beragam kelompok sosial yang baru muncul. Dengan menjalin persekutuan dengan para elit-elit baru ini, sang sultan juga berhasil mengurangi ketergantungannya pada keluarga kerajaan dan golongan elit tradisional. Para teknokrat dan golongan elit berpendidikan tinggi diberikan posisi yang penting di dalam pemerintahan yang dibentuk oleh sang sultan. Putra sang sultan, pangeran haji Al-Muhtadee Billah, diangkat sebagai putra mahkota pada tahun 1998 dan dipromosikan sebagai menteri senior pada tahun 2005. Selama dekade terakhir, ia telah diberi peran yang lebih penting lagi, kadang-kadang mewakili sang sultan, menghadiri acara publik dan menyambut tamu-tamu penting dari negara asing untuk menjamin terjadinya transisi kekuasaan yang berjalan mulus. Semenjak kemerdekaan, jarang sekali ada upaya untuk memperkenalkan perwakilan pemerintah dengan posisi penting, dan kekuasaan tersentralisasi pada sang sultan dan kerabat dekatnya.

Hassanal Bolkiah, Sultan of Brunei
Hassanal Bolkiah, Sultan of Brunei

Selain menyerap golongan elit berpendidikan tinggi ke dalam badan eksekutif dan birokrasi milik pemerintah, sultan juga berusaha mengambil hati golongan masyarakat Brunei yang lain melalui pengadaan program kesejahteraan yang melimpah dan komprehensif. Ekonomi Brunei sangat bergantung pada ekstraksi sumber daya alam, Brunei bergantung pada minyak dan gas bumi dengan total 90% dari pemasukan ekspor dan lebih dari setengah dari Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product)-nya. 9 Institusi negara adalah penyerap tenaga kerja terbesar, pada saat ini mem-pekerjakan 25% dari seluruh populasi Brunei dan pemerintah menyediakan standar hidup yang tinggi, 10 dengan GDP perkapita sebesar US$ 51,760 11 – salah satu yang tertinggi di Asia. Kesultanan Brunei telah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dengan kenaikan GDP sebesar 2.6% pada tahun 2011, seiring kenaikan harga minyak. Brunei memiliki tingkat inflasi rendah dan tidak mengenal adanya kebijakan pajak penghasilan pribadi. 12 Kemampuan kesultanan Brunei untuk menyediakan program kesejahteraan yang berlimpah menjamin legitimasi yang sangat diperlukan oleh negara di dalam lingkungan politik tanpa perwakilan politik dan bentuk partisipasi politik yang berarti.

Masyarakat Brunei diatur dengan ketat dan media dikontrol dengan ketat. Undang-undang darurat diperbarui setiap dua tahun walaupun tidak ada ancaman serius terhadap kesultanan semenjak 1962. Setiap ancaman telah diatasi dengan respons yang cepat dan kuat. Salah satu partai politik pertama yang terbentuk, Partai Demokrasi Nasional Brunei (BNDP), dibentuk pada tahun 1985, menuntut pembentukan suatu demokrasi parlementer berdasarkan monarki konstitusional, penghapusan undang-undang darurat dan pengadaan pemilihan umum. 13 Partai tersebut dengan cepat dibekukan pada tahun 1988 di bawah Undang-undang Komunitas (Societies Act), dan pemimpinnya, Abdul Latif Chuchu, ditangkap dengan dasar Undang-Undang Darurat. 14  Sejumlah partai politik lain juga telah muncul tapi dengan jumlah keanggotaan yang sedikit dan partai-partai tersebut memilih untuk menghindari kritik secara terang-terangan tentang keluarga kesultanan. Meskipun partai-partai ini memiliki kebijakan yang lebih moderat, merekapun dibekukan oleh pemerintah. Satu-satunya partai politik di Brunei pada saat ini adalah Partai Pembangunan Nasional (National Development Party). 15

Revisi Konstitusi 2004

Saat Brunei memasuki abad ke-21 dan menjadi matang sebagai sebuah negara, banyak orang di Brunei mengharapkan terlembaganya kembali pemilihan umum dan kesempatan untuk berpartisipasi di dalam pemerintah. 16 Tetapi, serangkaian amandemen konstitusional yang diumumkan pada 2004 justru memberi sang sultan kekuasaan yang jauh lebih besar. Meskipun Dewan Legislatif dengan keanggotaan yang sebagian didasarkan atas pemilihan difungsikan kembali pada 2004, keseluruhan anggotanya dipilih oleh sultan dan anggota-anggotanya meliputi sang sultan sendiri, saudara laki-laki sang sultan, pangeran Mohamed Bolkiah, putra mahkota, menteri-menteri kabinet, tokoh-tokoh penting masyarakat dan perwakilan-perwakilan dari berbagai daerah. 17 Kabinet yang difungsikan kembali ini diberi tugas untuk mengesahkan amandemen konstitusional tahun 2004 yang mencakup peraturan baru yang disusun sedemikian rupa untuk menjadi landasan bagi sultan sebagai penguasa mutlak. Amandemen baru ini mengklarifikasi kekuasaan sang sultan, memberinya otoritas luar biasa dan menempatkan dirinya di atas hukum, baik dalam kapasitas resmi maupun personal. 18 Dalam amandemen konstitusional yang baru ini, posisi dari Dewan Legislatif menjadi semakin lemah. Walaupun ada kemungkinan diselenggarakannya pemilihan, Dewan penasehat hanya terdiri dari anggota-anggota terpilih yang bertemu setiap tahun pada bulan Maret untuk berdiskusi tentang anggaran dan masalah-masalah yang berkaitan dengan pemerintahan yang menjadi perhatian publik.

Berdasarkan konstitusi tahun 1959, Dewan penasehat memiliki fungsi pengawasan dan setiap hukum harus mendapat persetujuan Dewan penasehat sebelum disahkan. Tetapi, amandemen tahun 2004 meniadakan kondisi ini, dan dengan demikian membuat Dewan Legislatif secara efektif menjadi lembaga pemberi stempel cap tanpa arti. 19 Pemilihan langsung anggota Dewan Legislatif sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tey berpendapat bahwa amandemen konstitusi tahun 2004 telah membuat sang sultan menjadi fondasi (atau Grundnorm) dari sistem hukum di Brunei. 20 Horton menyatakan bahwa amandemen konstitusional pada tahun 2004 mengindikasikan suatu hasrat untuk membungkus kesultanan dalam suatu bentuk demokrasi liberal tanpa benar-benar menjadi suatu demokrasi liberal. 21

Mempromosikan Sebuah Ideologi Nasional

Emblem of Brunei
Emblem of Brunei

Setelah memperoleh kemerdekaan, sultan mempromosikan ideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan tujuan untuk meningkatkan kesetiaan rakyat terhadap negara. Ideologi ini telah menjadi dasar penting dari legitimasi politik sang sultan, ideologi ini mengangkat Islam sebagai agama nasional, menjamin hak-hak dari masyarakat etnis Melayu, dan membenarkan garis keturunan sang sultan sebagai sistem pemerintahan yang relevan. Ideologi ini memungkinkan kesultanan untuk memposisikan dirinya sebagai pelindung Islam dan dengan demikian memberikan legitimasi yang jauh lebih besar lagi kepada pemerintahan sang sultan.

MIB diformulasikan oleh pejabat yang dekat dengan sultan sebagai upaya untuk mendefinisikan identitas nasional dalam kaitan dengan Islam, budaya Melayu, dan kesetiaan kepada sultan. 22 Salah seorang pendukung setia MIB, Pehin Hj Abdul Aziz Umar, seorang mantan menteri pendidikan, menjelaskan bahwa sistem pemerintahan yang telah dipraktikan oleh kesultanan selama lebih dari 600 tahun itu unik dalam konteks dunia Melayu, dan kekuasaan sultan adalah mutlak. 23 MIB juga digambarkan sebagai alternatif yang lebih sesuai dengan kondisi Brunei dibanding konsep demokrasi negara Barat, karena ideologi ini menekankan pada hubungan yang istimewa dan intim antara sang sultan dan rakyatnya. Sang sultan menyatakan bahwa ideologi tersebut adalah kemauan Tuhan, 24 tapi sangat menggoda untuk berargumen bahwa sebenarnya penerapan ideologi tersebut adalah upaya dengan niat terselubung untuk mensosialisasikan masyarakat Brunei agar menerima norma-norma dan nilai-nilai yang berkaitan dengan kesultanan absolut.

Sistem kesultanan Brunei bersifat patrialistik dan pribadi. sultan digambarkan sebagai simbol negara dan subyek dari kesetiaan warga. Sang sultan memiliki minat yang sangat dalam dalam hal masalah publik, dan ia mengunjungi distrik-distrik jarak jauh untuk memonitor perkembangan dari proyek-proyek pembangunan. 25 Sang sultan melakukan rotasi tempat ia beribadah shalat Jumat di mesjid-mesjid di seluruh Brunei untuk menunjukkan hubungannya yang dekat dengan Tuhan dan komitmennya yang kuat terhadap Islam. Tetapi, sebagai akibatnya, sang sultan juga harus menjadi pribadi tanpa cela karena ia dipandang tidak hanya sebagai seorang pemimpin politik tapi sebagai seseorang yang tanpa cela dan tanpa tandingan. Pemerintahan yang baik dan bersih juga diharapkan dari anggota keluarga kerajaan yang lain. Publik menunjukkan ketertarikan terhadap persoalan hukum yang melibatkan saudara laki-laki termuda sang sultan dan mantan perdana menteri, pangeran Jefri, yang dituduh menggelapkan uang negara sebesar 15 juta dolar pada akhir tahun 1990-an. Untuk mempertahankan legitimasi kesultanan, sang sultan dengan segera menyatakan ketidaksetujuannya terhadap tindakan adiknya dan telah berupaya untuk memperoleh kembali aset-aset negara melalui prosedur hukum, meskipun upaya tersebut menghabiskan banyak biaya.

Prospek

Sebagai sebuah negara neo-tradisional, Brunei telah menunjukkan bahwa ia mampu untuk mengatasi kebutuhan modern dari warganya sekaligus menyediakan keamanan dan stabilitas. Tetapi, pada abad ke-21, saat Brunei menjadi matang sebagai suatu negara, hambatan-hambatan dan rintangan-rintangan dalam mengatur suatu negara modern menjadi nyata. Sang sultan menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan negara untuk menyediakan layanan sosial dan kebutuhan publik senantiasa berada dalam tekanan seiring kenaikan harga barang-barang. Sampai pada saat ini, Brunei masih bergantung pada minyak dan gas sebagai sumber pemasukan negara dan upaya untuk meragamkan ekonomi belum memberikan hasil yang diharapkan. Negara juga sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan produksi minyak dan gas. Tantangan bagi kesultanan Brunei pada saat ini adalah bagaimana caranya negara bisa menjamin akan selalu mampu untuk memenuhi tuntutan publik dalam negeri akan keperluan umum dan standar kehidupan yang tinggi. Sultan harus berhati-hati dalam menjamin bahwa pendukung pemerintahannya, baik itu kaum elit anggota keluarga raja, atau kelas menengah dengan status sosial yang beranjak naik, untuk terus mendukung pemerintahan yang ia pimpin. Dengan absennya partisipasi politik, sang sultan juga harus berusaha keras untuk memikat lebih banyak orang-orang desa dan perkotaan dan terus berupaya membuat mereka percaya bahwa ia menjalankan pemerintahan dengan baik.

Naimah S Talib
Jurusan Ilmu Politik
Universitas Canterbury

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 13 (March 2013). Monarchies in Southeast Asia

 Daftar Pustaka

Anderson, Lisa. 1991. Absolutism and the Resilience of the Monarchy in the Middle East. Political Science Quarterly, vol.1, no.1, hal. 1-15.
Braighlinn, G. 1992. Ideological Innovation under Monarchy: Aspects of Legitimation Activity in Contemporary Brunei. Comparative Asian Studies no.9.
Cooke, Kieren. 2012. Brunei Darussalam: Diversifying is hard to do. Global: The International Briefing <http://www.global-briefing.org/2012/07/diversifying-hard-to-do/> (diakses 10 Desember 2012.)
Davidson, Christopher M. 2009. The United Arab Emirates: Prospects for Political Reform. Brown Journal of World Affairs, vol.15, no.2, hal. 117-127.
Freedom House website <http://www.freedomhouse.org/report/freedom-world/2011/brunei> (diakses 30 November 2012).
Government of Brunei website <http://www.gov.bn/bm/Pages/About-Brunei.aspx> (diakses 3 Desember 2012).
Horton, A.V.M. 2005. Window-Dressing an Islamizing Sultanate. Asian Survey, vol.45, no.1, hal. 180-185.
Hussainmiya, B. A. 1995. Sultan Omar Ali Saifuddin III and Britain: The Making of Brunei Darussalam. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Huntington, Samuel P. 1968. Political Order in Changing Societies, New Haven and London: Yale University Press.
Koh Wee Chian. 2011. A Macroeconomic Model of Brunei Darussalam. CSPS Strategy and Policy Journal, vol 2 (July), hal. 55-72.
Leake, David. 1990. Brunei: The Modern Southeast Asian Islamic Sultanate. Kuala Lumpur: Forum.
Menon, K.U. 1987. Brunei Darussalam in 1986: In Search of the Political Kingdom. Southeast Asian Affairs 1987. Singapore: ISEAS.
Mohd Yusop Hj Damit, Hj. 2004. Brunei Darussalam: Steady Ahead. Southeast Asian Affairs 2004, hal. 61-70. Singapore: ISEAS.
___________________. 2007. Brunei Darussalam: Towards a New Era. Southeast Asian Affairs 2007, hal. 101-113. Singapore: ISEAS.
Pehin Orang Kaya Hj Awang Abdul Aziz bin Begawan Pehin Udana Hj Awang Umar. 1992. “Melayu Islam Beraja sebagai Falsafah Negara Brunei Darussalam,” dalam Sumbangsih UBD: Esei-esei Mengenai Negara Brunei Darussalam, editor Hj Abu Bakar bin Hj Apong. Brunei: Universiti Brunei Darussalam.
Roberts, C. and Lee, Poh Onn. 2009. Brunei Darussalam: Cautious on Political Reform, Comfortable in ASEAN, Pushing for Economic Diversification. Southeast Asian Affairs 2009, hal. 61-82 Singapore: ISEAS.
Saunders, Graham. 1994. A History of Brunei. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Talib, Naimah S. 2002. A Resilient Monarchy: The Sultanate of Brunei and Regime Legitimacy in an Era of Democratic Nation-states. New Zealand Journal of Asian Studies, vol.4, no.2, hal. 134-147.
Tey Tsun Hang. 2007. Brunei’s Revamped Constitution: The Sultan as Grundnorm? Australian Journal of Asian Law, vol. 9, no. 2, hal. 264-288.
World Bank website <http://www.data.worldbank.org> (diakses 26 November 2012).

Notes:

  1. Government of Brunei website, <http://www.gov.bn/bm/Pages/About-Brunei.aspx> (diakses 3 Desember 2012).
  2. B A Hussainmiya, Sultan Omar Ali Saifuddin III and Britain: The Making of Brunei Darussalam (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995).
  3. Graham Saunders, A History of Brunei, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1994), hal.147.
  4. Ibid., hal.160.
  5. Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies (New Haven and London: Yale University Press, 1968).
  6. Christopher M. Davidson, “The United Arab Emirates: Prospects for Political Reform,” Brown Journal of World Affairs, vol.15, no.2 (2009), hal.118.
  7. Lisa Anderson, “Absolutism and the Resilience of the Monarchy in the Middle East,” Political Science Quarterly, vol.1, no.1 (1991), hal .4
  8. David Leake, Brunei: The Modern Southeast Asian Islamic Sultanate (Kuala Lumpur: Forum, 1990), hal.68. Sultan memegang tiga jabatan: perdana menteri, menteri keuangan dan menteri pertahanan, di samping juga sebagai Pimpinan tertinggi Angkatan bersenjata kerajaan Brunei.
  9. Koh Wee Chian, “A Macroeconomic Model of Brunei Darussalam,” CSPS Strategy and Policy Journal, vol. 2, July (2011), hal.70.
  10. C.Roberts and Lee Poh Onn, “Brunei Darusslama: Cautious on Political Reform, Comfortable in ASEAN, Pushing for Economic Diversification,” Southeast Asian Affairs 2009 (Singapore: ISEAS, 2009), hal.74.
  11. World Bank <http://www.data.worldbank.org> (diakses 26 November 2012).
  12. Kieren Cooke, “Brunei Darussalam: Diversifying is hard to do,” Global: The International Briefing <http://www.global-briefing.org/2012/07/diversifying-hard-to-do/> (diakses 10 Desember 2012).
  13. K.U. Menon, “Brunei Darussalam in 1985: In Search of the Political Kingdom”, Southeast Asian Affairs 1987, (Singapore: ISEAS, 1987), hal.94.
  14. Naimah S. Talib, “A Resilient Monarchy: The Sultanate of Brunei and Regime Legitimacy in an Era of Democratic Nation-states,” New Zealand Journal of Asian Studies, vol.4, no.2 (2002), hal.138.
  15. See Freedom House <http://www.freedomhouse.org/report/freedom-world/2011/brunei> (diakses 30 November 2012).
  16. Hj Mohd Yusop Hj Damit, “Brunei Darussalam: Steady Ahead”, Southeast Asian Affairs 2004 (Singapore: ISEAS, 2004), hal. 66-67
  17. Hj Mohd Yusop Hj Damit, “Brunei Darussalam: Towards a New Era”, Southeast Asian Affairs 2007, (Singapore: ISEAS, 2007), hal. 104.
  18. Tey Tsun Hang, “Brunei’s Revamped Constitution: The Sultan as the Grundnorm?” Australian Journal of Asian Law, vol.9, no.2 (2007), hal. 270.
  19. Ibid., hal. 269.
  20. Ibid., hal. 276.
  21. A.V.M.Horton, “Window-Dressing an Islamizing Sultanate,” Asian Survey, vol.45, no.1 (2005), hal. 181.
  22. G. Braighlinn, “Ideological Innovation under Monarchy: Aspects of Legitimation Activity in Contemporary Brunei,” Comparative Asian Studies, no.9 (1992), hal. 42.
  23. Pehin Orang Kaya Hj Awang Abdul Aziz bin Begawan Pehin Udana Hj Awang Umar, “Melayu Islam Beraja Sebagai Falsafah Negara Brunei Darussalam,” dalam Sumbangsih UBD: Esei-esei Mengenai Negara Brunei Darussalam, editor by Hj Abu Bakar bin Hj Apong (Brunei: Universiti Brunei Darussalam, 1992).
  24. Saunders, hal.187.
  25. Hj Mohd Yusop, 2004, hal.67