Untuk Siapa, Mengubah Tanah Menjadi Kapital? Krisis dan Alternatif bagi Komodifikasi Lahan di Laos

Miles Kenney-Lazar

Pada 3 Agustus 2017, Komite Pusat Partai Revolusi Rakyat Laos (selanjutnya disebut Partai)—satu-satunya partai politik yang diizinkan oleh hukum dan merupakan lembaga politik dominan di Laos—mengeluarkan resolusi untuk peningkatan pengelolaan dan pengembangan lahan. 1 Resolusi itu (dalam istilah Laos, mati) secara mengejutkan melancarkan kritik terhadap berbagai kebijakan pengelolaan lahan pemerintah di masa lalu, terutama yang menyangkut investasi lahan dan proyek-proyek komodifikasi, atau apa yang sejak 2006 oleh pemerintah disebut sebagai “Mengubah Tanah menjadi Kapital” (kan han thi din pen theun, atau turning land into capital, TILC). 2 Sejumlah masalah terkait TLIC ditemukan, terutama bahwa proyek ini “masih belum memiliki kerangka hukum yang komprehensif, karena pemerintah dan masyarakat belum menerima manfaat sebanyak yang seharusnya” dan bahwa “perampasan tanah untuk melayani proyek pembangunan tidak hanya menjadi beban berat tetapi juga masalah sensitif, yang mempengaruhi ketertiban umum”. 3

Resolusi tersebut mencerminkan keprihatinan Partai dan Negara (di Laos sering dirujuk sebagai “Partai-Negara”, atau phak-lat, karena dalam praktiknya posisi keduanya tumpang tindih) terhadap potensi konflik lahan yang mengancam penerimaan mereka oleh masyarakat. Dengan demikian, Partai menunjuk sejumlah pemimpin baru, terutama Perdana Menteri Thongloun Sisoulith, per 2016 untuk menjalankan pemerintahan dengan jalan berbeda. Mereka diberi mandat untuk menegaskan kendali pemerintah yang lebih ketat atas isu-isu yang dirasakan menjadi perhatian terbesar bagi masyarakat Laos: korupsi yang meluas, perdagangan narkoba, maraknya penebangan liar, dan soal lahan. 4 Laos sering dikritik karena praktik anti-demokrasinya terkait berbagai hal yang menunjukkan bahwa Partai-Negara dalam praktiknya mendominasi segala aspek kehidupan politik di negara itu. Namun, komitmen formal terhadap prinsip-prinsip sentralisme demokratis Leninis ini terkadang secara tidak berimbang memicu kekhawatiran warga negara dalam melancarkan kritik ke atas—terutama dalam bentuk keluhan yang disampaikan kepada Majelis Nasional (National Assembly, NA)—dan mempengaruhi pengambilan keputusan dari atas-bawah.

Resolusi itu juga menunjukkan bahwa pemberian sewa tanah negara dan konsesi kepada investor dalam negeri dan asing—komponen utama TLIC yang disahkan sejak 1992, tetapi baru mendapatkan daya tarik sejak awal 2000-an (lihat Baird, dalam edisi ini)—telah mencapai batasnya. Menyadari bahwa konsesi lahan telah menyebabkan dampak yang merusak dalam lingkup lingkungan-sosial sementara menghasilkan manfaat publik yang terbatas, pemerintah mengajukan moratorium atas jenis-jenis konsesi lahan sejak 2007, kendati dengan keadaan negara yang melemah dari waktu ke waktu. Masyarakat yang terkena dampak semakin mengeluh tentang perampasan tanah mereka atau menolak untuk merelakan sebagian besar lahan pertanian dan hutan mereka. 5 Pejabat kabupaten dan provinsi telah mencatat dan melaporkan kepada atasan mereka bahwa sebagian besar lahan yang diberikan kepada perusahaan oleh pemerintah pusat sama sekali tidak tersedia. Akibatnya, investor mulai mencari cara lain untuk mengakses tanah, seperti dengan menyewakan tanah dari masyarakat dan yang berstatus kepemilikan rumah tangga atau pada mereka yang terlibat dalam pertanian kontrak, terutama di sektor pertanian.

Dengan demikian, kebijakan TLIC berada di persimpangan jalan karena pemerintah mempertimbangkan bagaimana kebijakan ini semestinya direvisi, khususnya dalam rancangan amandemen UU Pertanahan yang pada saat penulisan artikel ini rancangan diajukan untuk ditinjau oleh Majelis Nasional per Oktober 2018. Menimbang bahwa TLIC berperan penting dalam Resolusi Partai tentang tanah, agaknya kebijakan ini akan tetap bertahan. Namun, Partai-Negara dan masyarakat Laos secara umum bergulat dengan pertanyaan yang belum terselesaikan—tanah diubah menjadi kapital, untuk siapa? Dan siapa yang menentukan bagaimana tanah diubah menjadi kapital atau bidang lahan yang mana yang ditargetkan untuk diubah? Hingga sekarang, manfaat TLIC barulah ditunjukkan oleh para investor lahan dan negara, sementara sebagian besar efeknya ditanggung oleh pengguna lahan Laos dan masyarakat luas. Dalam artikel ini, saya menentang bahwasanya Negara-Partai menganggap serius persoalan upaya memeratakan “perihal baik” dan “perihal buruk” dari TLIC, lantaran pada saat yang sama pemerintah tidak siap untuk mengambil kebijakan yang substansial dan reformatif bagi persoalan ekonomi-politik yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, krisis tata kelola tanah dalam konteks TLIC di Laos agaknya akan berlanjut karena “yang lama sedang sekarat dan yang baru tidak dapat terwujud”. 6

Janji Samar untuk Mengubah Tanah menjadi Kapital

Pada Agustus 2017, saya berpartisipasi dalam sebuah proyek penelitian yang mengevaluasi bagaimana TLIC beroperasi selama sepuluh tahun terakhir. 7 Tiga puluh tiga wawancara yang dilakukan—yang berfungsi sebagai dasar pembuktian untuk artikel ini—menunjukkan bahwa secara keseluruhan, orang-orang Laos, termasuk mereka yang bekerja di luar pemerintah dalam lembaga swadaya masyarakat internasional (international non-govermental organizations, INGOs), asosiasi nirlaba (non-profit associations, NPAs), dan perusahaan konsultan Laos, memiliki sentimen serupa atas kebijakan TLIC. Tanggapan salah seorang responden mewakili perspektif ini dengan jelas: “kebijakan itu baik secara prinsip, tetapi ada banyak masalah dalam penerapannya. Tidak ada transparansi, akuntabilitas/pertanggungjawaban, atau tata kelola yang baik dalam penerapannya. Semua ini dilakukan dengan sistem dari atas-bawah”. 8 Berfokus pada implementasi alih-alih isi kebijakan adalah strategi khas yang digunakan oleh orang-orang Laos untuk secara halus membidik kritik mereka terhadap kebijakan pemerintah. Meski demikian, beberapa responden menyatakan apresiasi mereka yang tulus atas intensi kebijakan tersebut, terutama mempertimbangkan cara-cara persinggungannya dengan aspirasi masyarakat Laos atas pembangunan. 9

Salah satu alasan mengapa TLIC secara abstrak terbilang menarik bagi orang-orang Laos adalah karena keterangannya yang samar, dibandingkan dengan berbagai bentuk penerapan konkretnya. Banyak responden di Laos memahami maksud kebijakan tersebut dalam kemungkinan pemaknaan yang paling luas: untuk meningkatkan produktivitas ekonomi lahan suatu negara lewat berbagai bentuk investasi untuk menghasilkan manfaat dalam basis yang luas bagi negara dan rakyatnya. TLIC tidak memiliki definisi konkret karena ketentuan ini tidak pernah benar-benar ditulis dan dikeluarkan sebagai kebijakan resmi, dilaporkan karena ketidaksetujuan komite perancang mengenai makna tepatnya! 10 Para responden mengungkapkan berbagai pemahaman tentang berbagai tujuan kebijakan: 1) menghasilkan nilai ekonomi berbasis luas, 2) mendanai proyek pemerintah, 3) privatisasi dan komodifikasi lahan negara, dan 4) mempertahankan kendali Laos atas lahan sebagai aset nasional atau publik. Selain itu, mereka mengidentifikasi berbagai proyek yang sesuai dengan kerangka kerja TLIC, terkadang mereka tidak sepakat tentang jenis-jenis yang telah merupakan contoh “nyata” dari TLIC. Jenis-jenis ini meliputi 1) memperdagangkan lahan negara dengan investor swasta untuk hadirnya infrastruktur, khususnya gedung kantor pemerintah, 11 2) menjual lahan negara untuk membiayai infrastruktur jalan, seperti kasus Jalan 450 Tahun, 12 3) memberikan lahan negara kepada investor dalam bentuk sewa dan konsesi, 4) sertifikasi tanah untuk tujuan menciptakan dan mengembangkan pasar tanah.

Tujuan dan model TLIC yang berbeda ini hanya disatukan oleh gagasan besar untuk menghasilkan nilai ekonomi dari lahan demi tujuan mengembangkan infrastruktur, menciptakan pendapatan pemerintah, dan membangun kesejahteraan. Namun, berbagai jalan untuk mencapai tujuan-tujuan ini terbilang sangat problematis, sebagaimana diutarakan dengan meyakinkan oleh para responden. Ketika pihak kementerian menukar lahan mereka demi Gedung kantor baru, mereka menyerahkan aset pemerintah yang signifikan ke sektor swasta, menimbulkan pertanyaan bagi nilai dari kesepakatan semacam itu bagi pemerintah dan orang-orang yang diwakilinya. Strategi penjualan lahan untuk membiayai infrastruktur jalan ini telah menyebabkan pengambilalihan lahan secara tidak adil dari warga Laos dan dihambat oleh masalah kompensasi lantaran rendahnya harga yang ditawarkan. 13 Konsesi dan sewa lahan negara telah menimbulkan dampak sosial-lingkungan negatif dan hanya menghasilkan manfaat ekonomi yang terbatas bagi pemerintah dan masyarakat pedesaan (lihat Gambar 1). 14 Pada akhirnya, sertifikasi tanah menyebabkan hadirnya spekulan tanah yang intens dan meningkatkan harga tanah di daerah perkotaan. 15

Lao-Fishermen-urban-land-concession--Vientiane-KRSEA
Figure 1: Fishermen at the periphery of an urban land concession in Vientiane, Laos that has displaced wetlands-based livelihoods.

Kombinasi dari faktor-faktor ini menciptakan kesadaran pada tingkat pemerintahan tertinggi yang berada di luar kendali TLIC, bahwa mereka gagal mencapai tujuan ekonomi yang dikehendaki sementara hal ini mengarahkan dampak negatif bagi masyarakat Laos. Seperti yang dinyatakan Thongloun Sisoulith pada pertengahan 2016, tidak lama setelah ia menjabat sebagai perdana menteri, kebijakan tersebut “telah mengalami banyak tantangan selama beberapa tahun terakhir karena beberapa proyek yang dijalankan sesuai dengan kebijakan ini belum terbukti efektif dan telah menyebabkan celah dalam pengumpulan pendapatan” dan bahwa proyek-proyek semacam itu “menimbulkan dampak negatif pada masyarakat dan menciptakan lebih banyak konflik di masyarakat”. 16 Jadi, jika kebijakan TLIC belum memberikan manfaat signifikan bagi pemerintah atau masyarakat Laos, maka hal ini diperuntukkan bagi siapa? Pemerintah mengakui krisis, tetapi tetap tidak yakin bagaimana mengatasinya dan bagaimana cara membentuk jalan baru pembangunan. Meski demikian, beberapa alternatif telah mulai muncul, yang mengubah dinamika kapitalisasi lahan di negara ini, kendati peraturan pemerintah masih terbilang tidak terlampau proaktif.

Mengubah tanah menjadi kapital bagi rakyat?

Meski konsesi lahan mendapat perhatian paling besar dari media dalam bentuk wacana TLIC yang mendorong transformasi sosial-lingkungan yang signifikan, ada beberapa jalan lain dalam mengkapitalisasi lahan dengan potensi lebih besar untuk menghasilkan manfaat bagi masyarakat miskin pedesaan. Bentuk-bentuk investasi alternatif, terutama di sektor pertanian, telah didorong dengan munculnya perlawanan petani dan tanggapan peraturan pemerintah terhadap dampak konsesi lahan. Alternatif semacam itu muncul, termasuk yang dilakukan petani dan koperasi pertanian serta pelaku pertanian kontrak lewat agribisnis. 17 Selain itu, beberapa perusahaan telah mulai menyewakan tanah dari masing-masing lingkup rumah tangga, seperti menggunakannya untuk menanam pisang di Laos bagian utara, sehingga mereka dapat dikatakan telah melampaui peran pemerintah. 18 Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya telah memiliki perjanjian konsesi juga telah mulai menegosiasikan perjanjian sewa dengan masyarakat yang menolak menyerahkan tanah mereka. 19 Masing-masing alternatif ini dapat sama merusaknya secara sosial-lingkungan dengan konsesi lahan dan sama sekali bukan solusi ideal. Sebagai contoh, pemerintah melarang ekspansi perkebunan pisang lebih lanjut karena dampaknya yang merusak bagi tanah dan kesehatan manusia serta hewan. 20 Namun, semua itu tetaplah langkah-langkah penting, terlepas dari bentuk-bentuk TLIC berbasis konsesi yang sebagian besar manfaatnya diperoleh oleh perusahaan dan pemerintah, serta dampaknya ditanggung oleh masyarakat pedesaan dan umum. Karena pemerintah berkomitmen pada TLIC sebagai gagasan kebijakan, ada baiknya mempertimbangkan berbagai cara yang melibatkan masyarakat sipil, petani, reformator pemerintahan, dan masyarakat luas Laos untuk membentuknya menjadi praktik yang lebih berorientasi pada masyarakat.

Miles Kenney-Lazar
Assistant Professor, Department of Geography, National University of Singapore

Note: The same phrasing of the title was first used for the Laos section title of the Mekong State of Land Report: Ingalls, M.L., Diepart, J.-C., Truong, N., Hayward, D., Neil, T., Phomphakdy, M., Bernhard, R., Fogarizzu, S., Epprecht, M., Nanthavong, V., Vo, D.H., Nguyen, D., Nguyen, P.A., Saphanthong, T., Inthavong, C., Hett, C. and Tagliarino, N. 2018. State of Land in the Mekong Region. Centre for Development and Environment, University of Bern and Mekong Region Land Governance. Bern, Switzerland and Vientiane, Lao PDR, with Bern Open Publishing.

Bibliograpy

Baird, I.G. 2010. Land, Rubber and People: Rapid Agrarian Changes and Responses in Southern Laos. Journal of Lao Studies, 1(1): 1-47.
Baird, I.G. 2017. Resistance and Contingent Contestations to Large-Scale Land Concessions in Southern Laos and Northeastern Cambodia. Land, 6(1): 1-19.
Barney, K. 2011. Grounding Global Forest Economies: Resource Governance and Commodity Power in Rural Laos. Ph.D. Thesis. Toronto: York University.
Dwyer, M. 2007. Turning Land into Capital. A Review of Recent Research on Land Concessions for Investment in the Lao PDR. Vientiane: LIWG.
Dwyer, M.B. 2013. Territorial Affairs: Turning Battlefields into Marketplaces in Postwar Laos. Ph.D. Thesis. Berkeley: University of California, Berkeley.
Friis, C. and J.Ø. Nielsen. 2016. Small-scale Land Acquisitions, Large-scale Implications: Exploring the Case of Chinese Banana Investments in Northern Laos. Land Use Policy, 57: 117-129.
Goh, B. and A.R.C. Marshall. 2017. Cash and Chemicals: For Laos, Chinese Banana Boom a Blessing and Curse. Reuters. 11 May.
Gramsci, A. 1971. Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. New York: International Publishers, pg. 276.
High, H. 2014. Fields of Desire: Poverty and Policy in Laos. Singapore: NUS Press.
Ingalls, M.L., Diepart, J.-C., Truong, N., Hayward, D., Neil, T., Phomphakdy, M., Bernhard, R., Fogarizzu, S., Epprecht, M., Nanthavong, V., Vo, D.H., Nguyen, D., Nguyen, P.A., Saphanthong, T., Inthavong, C., Hett, C. and Tagliarino, N. 2018. State of Land in the Mekong Region. Centre for Development and Environment, University of Bern and Mekong Region Land Governance. Bern, Switzerland and Vientiane, Lao PDR, with Bern Open Publishing.
Kenney-Lazar, M. 2012. Plantation Rubber, Land Grabbing and Social-Property Transformation in Southern Laos. Journal of Peasant Studies, 39(3-4): 1017-1037.
Kenney-Lazar, M. 2016. Resisting with the State: Authoritarian Land Governance in Laos. PhD Thesis. Worcester, MA: Clark University.
Kenney-Lazar, M., M.B. Dwyer, and C. Hett. 2018. Turning Land Into Capital: Assessing a Decade of Policy in Practice. Vientiane: LIWG.
Kenney-Lazar, M., D. Suhardiman, and M.B. Dwyer. 2018. State Spaces of Resistance: Industrial Tree Plantations and the Struggle for Land in Laos. Antipode. Early online view, DOI: 10.1111/anti.12391.
KPL News. 2016. PM Urges Evaluation of the Turning Land Into Capital Policy. 6 July.
Lao People’s Revolutionary Party (LPRP). 2017. Resolution of the Party’s Central Committee.
McAllister, K. 2015. Rubber, Rights, and Resistance: The Evolution of Local Struggles Against a Chinese Rubber Concession in Northern Laos. Journal of Peasant Studies, 42(3-4): 817-837.
Pathammavong, B., M. Kenney-Lazar, and E.V. Sayaraj. 2017. Financing the 450 Year Road: Land Expropriation and Politics ‘All the Way Down’ in Vientiane, Laos. Development and Change, 48(6): 1417-1438.
Sayalath, S. and S. Creak. 2017. Regime Renewal in Laos: The Tenth Congress of the Lao People’s Revolutionary Party. Southeast Asian Affairs, 179-200.
Shi, W. 2008. Rubber Boom in Luang Namtha: A Transnational Perspective. Vientiane: GTZ.
Suhardiman, D., M. Giordano, O. Keovilignavong, and T. Sotoukeea. 2015. Revealing the Hidden Effects of Land Grabbing Through Better Understanding of Farmers’ Strategies in Dealing with Land Loss. Land Use Policy, 49: 195-202.
Vientiane Times. 2013. Property Prices in Vientiane Continue to Soar. 7 February.
Vientiane Times. 2016. Govt Gives Green Light for Two Eucalyptus Operators. 30 March.
Vientiane Times. 2017. Lao PM Vows to Address Chronic Land Issues. 2 June.

Notes:

  1. Lao People’s Revolutionary Party (LPRP). 2017. Resolution of the Party’s Central Committee on the Enhancement of Land Management and Development in the New Period. No. 026/CC. Vientiane Capital.
  2. Dwyer, M. 2007. Turning Land into Capital. A Review of Recent Research on Land Concessions for Investment in the Lao PDR. Vientiane: LIWG.
  3. LPRP 2017, section I.
  4. Sayalath, S. and S. Creak. 2017. Regime Renewal in Laos: The Tenth Congress of the Lao People’s Revolutionary Party. Southeast Asian Affairs, 179-200.
  5. McAllister, K. 2015. Rubber, Rights, and Resistance: The Evolution of Local Struggles Against a Chinese Rubber Concession in Northern Laos. Journal of Peasant Studies, 42(3-4): 817-837; Baird, I.G. 2017. Resistance and Contingent Contestations to Large-Scale Land Concessions in Southern Laos and Northeastern Cambodia. Land, 6(1): 1-19; Kenney-Lazar, M., D. Suhardiman, and M.B. Dwyer. 2018. State Spaces of Resistance: Industrial Tree Plantations and the Struggle for Land in Laos. Antipode. Early online view, DOI: 10.1111/anti.12391.
  6. Gramsci, A. 1971. Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. New York: International Publishers, pg. 276.
  7. Kenney-Lazar, M., M.B. Dwyer, and C. Hett. 2018. Turning Land Into Capital: Assessing a Decade of Policy in Practice. Vientiane: LIWG.
  8. Interview, 16 October 2017.
  9. High, H. 2014. Fields of Desire: Poverty and Policy in Laos. Singapore: NUS Press.
  10. Kenney-Lazar et al. 2018.
  11. Vientiane Times. 2017. Lao PM Vows to Address Chronic Land Issues. 2 June.
  12. Pathammavong, B., M. Kenney-Lazar, and E.V. Sayaraj. 2017. Financing the 450 Year Road: Land Expropriation and Politics ‘All the Way Down’ in Vientiane, Laos. Development and Change, 48(6): 1417-1438.
  13. Pathammavong et al. 2017.
  14. Baird, I.G. 2010. Land, Rubber and People: Rapid Agrarian Changes and Responses in Southern Laos. Journal of Lao Studies, 1(1): 1-47; Barney, K. 2011. Grounding Global Forest Economies: Resource Governance and Commodity Power in Rural Laos. Ph.D. Thesis. Toronto: York University; Kenney-Lazar, M. 2012. Plantation Rubber, Land Grabbing and Social-Property Transformation in Southern Laos. Journal of Peasant Studies, 39(3-4): 1017-1037; Dwyer, M.B. 2013. Territorial Affairs: Turning Battlefields into Marketplaces in Postwar Laos. Ph.D. Thesis. Berkeley: University of California, Berkeley; Suhardiman, D., M. Giordano, O. Keovilignavong, and T. Sotoukeea. 2015. Revealing the Hidden Effects of Land Grabbing Through Better Understanding of Farmers’ Strategies in Dealing with Land Loss. Land Use Policy, 49: 195-202.
  15. Vientiane Times. 2013. Property Prices in Vientiane Continue to Soar. 7 Februar
  16. KPL News. 2016. PM Urges Evaluation of the Turning Land Into Capital Policy. 6 July.
  17. Shi, W. 2008. Rubber Boom in Luang Namtha: A Transnational Perspective. Vientiane: GTZ; Dwyer 2011.
  18. Friis, C. and J.Ø. Nielsen. 2016. Small-scale Land Acquisitions, Large-scale Implications: Exploring the Case of Chinese Banana Investments in Northern Laos. Land Use Policy, 57: 117-129.
  19.  Vientiane Times. 2016. Govt Gives Green Light for Two Eucalyptus Operators. 30 March; Kenney-Lazar, M. 2016. Resisting with the State: Authoritarian Land Governance in Laos. PhD Thesis. Worcester, MA: Clark University.
  20. Goh, B. and A.R.C. Marshall. 2017. Cash and Chemicals: For Laos, Chinese Banana Boom a Blessing and Curse. Reuters. 11 May.