Pembunuhan nir kemajuan di Siam: Dari Pembunuh Bayaran ke Orang-orang Berseragam

Prajak Kongkirati

Thailand tidaklah asing dengan pembunuhan politik. Sejak kebangkitan sistem parlementer dan pemilihan umum (pemilu) di akhir tahun 1970an, masyarakat Thailand telah menyaksikan meningkatnya pembunuhan sejumlah anggota parlemen, orang kaya baru, kepala daerah, dan pengumpul-suara oleh orang-orang bersenjata bayaran yang profesional. Pembunuhan politik ini adalah pembunuhan pribadi-perusahaan yang berkaitan dengan persaingan pemilu nasional dan daerah, oleh saingan politik dan bisnis yang menyewa orang-orang bersenjata untuk melenyapkan lawan. Pria bersenjata ini sebagian besar adalah pembunuh bayaran yang profesional, mantan penjaga keamanan, penjahat kecil-kecilan, polisi sampingan dan anggota militer. Kekerasan terjadi baik sebelum dan setelah pemilu: kandidat yang berhasil akan diancam dengan kekerasan, diculik atau dibunuh oleh pesaingnya selama jalannya kampanye. Pengumpul-suara yang tidak setia juga dibunuh oleh atasan mereka sendiri, dan pengumpul-suara yang berhasil, dilenyapkan oleh pesaingnya. Benedict Anderson berpendapat bahwa meningkatnya kelaziman pembunuhan dengan latar belakang politik di akhir tahun 1980an mencerminkan “nilai pasar” yang tinggi dari anggota parlemen di Thailand, sehingga hal itu menandakan kepentingan yang lebih besar dari pemilihan umum dalam menentukan siapa yang akan mendapatkan kekuasaan politik. Pembunuhan yang tersebar luas atas kandidat dan pengumpul-suara mereka, oleh karena itu, menunjukkan “kemajuan” dari demokrasi parlementer di Thailand (Anderson 1990). Pastinya itu adalah “kemajuan” dengan harga.

Menurut penelitian saya, keterlibatan pembunuh bayaran dalam kekerasan pemilu telah dilaporkan untuk pertama kalinya pada pemilu tahun 1976. Pembunuhan mantan anggota parlemen dari Samut Songkram pada tanggal 16 November 1976 menandai munculnya kekerasan pribadi. Menurut polisi, kematian anggota parlemen berasal dari konflik politik dengan lawannya selama kampanye. Beberapa bulan setelah pemilu, sekelompok pembunuh bayaran menembaknya mati dengan senjata berat dari jarak dekat. Dua minggu kemudian, polisi menangkap salah satu dari pelaku. Pelaku yang tertangkap mengakui bahwa dia telah menerima 30 ribu baht untuk melakukan pekerjaan tersebut, dan kelompoknya terdiri dari tiga anggota, dengan ketua kelompoknya adalah seorang tentara yang sudah tidak bertugas lagi yang diberhentikan dari kesatuannya karena kelakuan buruknya. Berdasarkan penyelidikan polisi, “komplotan yang disewa untuk membunuh” ini juga disewa untuk membunuh politisi lainnya. 1

Di Thailand, pembunuh bayaran ini bekerja untuk siapa saja yang memiliki cukup uang untuk membayar mereka. Mereka dapat diperoleh dengan mudah, tidak berhubungan dengan siapapun, mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat, dan merupakan pelaku bisnis yang profesional dalam arti yang paling murni. Bisnis dari pembunuh bayaran ini terkait dengan pertumbuhan kejahatan terorganisasi dan bisnis tersembunyi di perkotaan Bangkok pada tahun 1950-an. Jago tembak yang disewa memberikan perlindungan untuk bidang ekonomi liar (perjudian, narkoba, pelacuran) dengan cara melenyapkan pesaing, perusuh, atau “kesulitan tidak terduga” (Suriyan 1989). Di akhir tahun 1970an, pembunuhan bayaran meluas dan berhubungan dengan persaingan pemilu. Dengan meningkatnya permintaan, usaha ini memberikan keuntungan besar dan menarik banyak orang. Seiring berjalannya waktu, jago tembak yang disewa menjadi tersusun, mapan, dan memiliki daya saing.

Bisnis jago tembak bayaran cukup menarik bagi berbagai macam orang, termasuk pengangguran, preman muda, preman lokal, petani, pekerja berketerampilan rendah, pengemudi taksi dan pengendara sepeda motor, tukang, dan olahragawan. Hal ini memberikan kesempatan bagi polisi dan perwira militer yang buruk. Beberapa aparat negara membiarkan dan mengambil keuntungan dari usaha pembunuhan bayaran. Mereka menggunakan pelatihan profesional dengan paksaan untuk kepentingan pribadi dengan banyak perwira sampingan sebagai pembunuh bayaran. Pelanggan lebih memilih layanan “ahli kekerasan resmi,” karena mereka tidak hanya paling tenang dan terlatih baik, tetapi juga memiliki keterangan dari orang dalam tentang proses peradilan pidana dan lembaga terkait. 2 Banyak dari mereka dilindungi oleh perwira tinggi, yang disebut “mafia polisi/militer” yang terlibat dalam usaha liar. Bagi pemerintah, “pembunuh bayaran berseragam” adalah yang paling berbahaya dan sulit untuk ditangkap. 3 Kasus yang paling memalukan adalah Letnan Kolonel “T” (nama julukan) yang menjadi terkenal di tahun 1980an sebagai perwira yang kejam dan tidak jujur. Dia dan anak buahnya memeras uang, menagih hutang, menyelundupkan barang-barang. Ketika bisnis bangunan meledak pada tahun 1990-an, dia melindungi pemborong dan membantu pengembang lahan tidak jujur yang mengusir warga lokal; jika warga melawan, dia menggunakan kekerasan, mendorong mereka keluar dan membakar habis harta benda mereka. Akhirnya, dia membuat usaha penyewaan senjata sendiri, bersamaan dengan berperan sebagai agen dan pembunuh bayaran. Sarangnya terdiri dari 5-6 aparat negara berpangkat rendah dan hanya melakukan kasus-kasus golongan atas. Pekerjaan yang mengantarkannya kepada ketenaran nasional dan yang menghentikan riwayat pekerjaan yang kejam dan lama adalah pembunuhan gubenur provinsi Yasothon pada tahun 2001. 4 Letnan Kolonel “T” hanya salah satu contoh, di antara banyak, dari pejabat publik yang menjadi pembunuh bayaran (pribadi). Data menunjukkan banyak ahli kekerasan pemerintah yang masih aktif dan tidak bertugas tetap terlibat dalam usaha/ bisnis kekerasan sampai saat ini. Persekongkolan antara aparat keamanan negara dan usaha kekerasan ini berjalan sangat mendalam. 5

Sejak tahun 1980-an, pemilu telah mencapai peningkatan kadar pentingnya sebagai cara kerja untuk mengambil dan mempertahankan kekuasaan dan untuk mengelola perubahan politik di Thailand. Dasawarsa tahun 1980-an dan 1990-an menyaksikan perubahan penuh susunan politik Thailand, dari “kediktatoran militer-birokratis” ke sistem politik parlementer. Pada intinya, ada peralihan kekuasaan bertahap dari kelompok lama; dari pemimpin militer yang birokratis ke gabungan baru yang terdiri dari para elite usaha nasional dan provinsi. Berkelanjutan dan mengumpulnya kepentingan yang berkembang dari kekuatan birokrasi ini luar biasa dan menimbulkan dampak tertentu pada proses pembuatan-kebijakan. Pada saat yang sama, kurun waktu ini adalah titik awal dari apa yang disebut politik uang, kegiatan yang menyebabkan korupsi dan kampanye pemilu sulit dikendalikan. Sudut pandang negatif yang dirasakan tersebar luas dari politik uang ini menyebabkan pembentukan gerakan perubahan politik di awal tahun 1990-an, yang menelurkan Undang-Undang Dasar 1997 dengan tujuan utama untuk membatasi politik uang dan mengurangi pengaruh politisi bergaya majikan. Setelah Undang-Undang baru diumumkan dengan resmi, pengamat mengharapkan semua jenis pelanggaran pemilu, termasuk kekerasan pemilu, menghilang atau menurun dengan cepat. Kekerasan dan ancaman, bagaimanapun, masih digunakan oleh para calon dan partai politik untuk mendapatkan jalan masuk ke kekuasaan.

Lintasan politik Thailand dan pola pembunuhan politik telah berubah cepat setelah terjadinya kudeta militer tahun 2006. Setelah tahun 2006, para elite tradisional telah memperlemah parlemen dan demokrasi pemilu melalui campur tangan militer, kegiatan yudisial, dan perlawanan gerakan sosial. Golongan kecil elite yang tidak terpilih telah menegaskan kekuasaan di atas Undang-Undang Dasar dalam sistem politik. Perselisihan sengit antara gerakan sosial dan militer telah membawa masyarakat Thailand ke dalam kebuntuan dan perputaran kekerasan yang terus-menerus. Banyak pakar dan para pendukung-kudeta memuji kudeta tahun 2006 karena kudeta tersebut berlangsung tanpa pertumpahan darah. Namun, seiring perjalanan kegiatan politik yang terjadi, jelaslah bahwa kudeta ini adalah yang paling kejam dalam sejarah Thailand, dalam hal dampak lanjutannya. Kudeta menyebabkan kematian dan kerusakan yang besar karena telah memperuncing konflik, memperdalam pembagian politik, dan menimbulkan pertentangan yang luas antara pasukan keamanan dan para pelaku pengunjuk rasa dan antara kelompok penentang pengunjuk rasa. Melihat gejala politik, masyarakat Thailand telah menyaksikannya sejak kudeta, orang dapat melihat munculnya berbagai bentuk kekerasan: tumbuhnya gerakan sosial yang bersemangat (baik Kaos Kuning dan Merah), penggunaan komplotan penjahat dan preman dalam pertentangan politik, kehadiran dan keterlibatan pasukan paramiliter (baik yang bergabung dengan gerakan atau bertindak sendiri secara mandiri) dalam unjuk rasa, bentrokan keras antara pengunjuk rasa yang bergabung dengan gerakan yang berbeda, kebangkitan tentara yang berpolitik dan penindasan dengan kekerasan atas rakyat sipil, penggunaan kekuatan yang selektif oleh kelompok keamanan dalam menghadapi para pengunjuk rasa, penggunaan penembak jitu oleh tentara untuk membunuh para pengunjuk rasa, pembunuhan pemimpin gerakan massa di siang hari di bawah surat keputusan darurat, pengeboman di ibukota dengan menjadikan sasaran gedung-gedung pemerintahan dan daerah unjuk rasa, penggunaan beragam senjata perang di semua sisi pertikaian.

Soldiers of the Royal Thai Army take cover near a Red Shirt barricade in Bangkok.
By Roland Dobbins from Singapore, Singapore – L1002468, CC BY 2.0, Link

Pemberangusan oleh militer pada April-Mei 2010, ketika pemerintah memerintahkan tentara untuk menekan unjuk rasa Kaos Merah yang dipimpin oleh Front Persatuan untuk Demokrasi melawan Kediktatoran (United Front for Democracy against Dictatorship, UDD) yang menduduki beberapa daerah pusat kota Bangkok antara Maret dan Mei 2010, menandai puncak dari politik kekerasan. Pertentangan antara militer dan Kaos Merah di sekeliling batas luar lokasi unjuk rasa berakhir dalam penumpasan kekerasan pada 19 Mei 2010, menewaskan 94 orang dan melukai ribuan orang. 6 Peristiwa kekerasan setelah masa kudeta 2006 menunjukkan pola baru kekerasan di Thailand. Tentara telah kembali ke panggung politik sebagai peran utama, melakukan tindakan yang paling kejam dan bertanggung jawab untuk bagian yang tinggi atas korban yang tewas. Pemberangusan pada April-Mei 2010 menggambarkan penindasan politik yang paling kejam dalam sejarah modern Thailand, dengan korban tewas yang resmi melebihi korban tewas dari tiga keadaan suram politik sebelumnya: pemberontakan yang dipimpin mahasiswa di tahun 1973, pembunuhan masal di tahun 1976 dan unjuk rasa demokrasi di tahun 1992 (People’s Information Center 2012). Meningkatnya kekerasan negara sejak kudeta tahun 2006 merugikan kemajuan politik karena itu menyebabkan kerusakan yang demokratis. Mengutip pernyataan Benedict Anderson, itu adalah “kekerasan nir kemajuan.”

Setelah kudeta tahun 2006 kekerasan berasal dari kerentanan elite tradisional dan pengikisan kekuasaan mereka pada masa demokrasi kerakyatan dan politik massa yang berkembang sejak Undang-Undang Dasar tahun 1997. Para elite yang tidak terpilih menggunakan kekerasan untuk menggulingkan pemerintah terpilih, menggagalkan proses demokrasi dan memperkuat kembali kekuasaan mereka. Sejarah berulang pada tahun 2014 ketika junta, di bawah nama Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (National Council for Peace and Order, NCPO), yang dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-o-cha datang berkuasa pada Mei 2014 setelah mereka melakukan kudeta menggulingkan pemerintahan terpilih Yingluck Shinawatra, saudara perempuan dari mantan perdana menteri Thaksin. Kudeta 2014 berhasil membawa Thailand kembali ke pemerintahan sewenang-wenang militer yang menindas mirip dengan pemerintahan pemimpin Marshall Sarit Thanarat pada tahun 1950-an, dengan birokrasi dan politik menguasai militer di bawah perlindungan kerajaan (Thak 1979). Di bawah pemerintahan militer yang menindas, kebebasan sipil dibatasi, kebebasan berbicara diawasi dan diperiksa, kritik dituntut dan kegiatan politik dilarang. Sejak kudeta, para jenderal militer menetapkan diri mereka sebagai elite penguasa baru dengan meningkatkan status, ruang lingkup kekuasaan, anggaran dan tenaga kerja mereka. Mereka juga mempertahankan kekuasaan mereka melalui rancangan Undang-Undang Dasar dengan memperlemah demokrasi mayoritas dan mengacaukan kekuatan partai politik dan masyarakat sipil (Prajak 2016). Hal ini, sekali lagi, bahwa, dalam Kerajaan yang goyah dengan kudeta dan kekerasan yang tak terkendali, para pembunuh bayaran berseragam telah kembali ke tengah panggung, dan tidak ada harapan mereka akan kembali masuk ke barak di masa mendatang.

Prajak Kongkirati
Fakultas Ilmu Politik, Universitas Thammasat

REFERENSI

Anderson, Benedict (1990), “Murder and Progress in Modern Siam,” New Left Review, no.181 (May-June): 33-48.
Nostitz, Nick (2009), Red VS. Yellow (Bangkok: White Lotus).
People’s Information Center (2012), Khwamching phuea khwamyutitham: Het kan lae phonkrathop chak kan salai kan chumnum me sa phruetsa pha 53 [Truth for Justice: the April-May 2010 Crackdown] (Bangkok: PIC).
ศูนย์ข้อมูลประชาชนผู้ได้รับผลกระทบจากการสลายการชุมนุมฯ (ศปช.) (2555), ความจริงเพื่อความยุติธรรม: เหตุการณ์และผลกระทบจากการสลายการชุมนุมเมษาพฤษภา 53 (กรุงเทพฯ: ศปช.)
Prajak Kongkirati (2016). “Thailand’s Failed 2014 Election: The Anti-Election Movement, Violence and Democratic Breakdown, ” Journal of Contemporary Asia 46 (3): 467-485.
Sirirat Burinkun (2005), “Botbat thahan mafia nai sangkhom thai” [The Roles of Mafia Soldiers in Thailand], M.A. thesis, Thammasat University.
ศิริรัตน์ บุรินทร์กุล (2548), “บทบาททหารมาเฟียในสังคมไทย” วิทยานิพนธ์มหาบัณฑิต มหาวิทยาลัยธรรมศาสตร์.
Suriyan Sakthaisong (1989), Senthang mafia [Mafia’ Paths] (Bangkok: Matichon).
สุริยัน ศักดิ์ไธสง (2532), เส้นทางมาเฟีย, (กรุงเทพฯ: มติชน)
Thak Chaloemtiarana (1979), Thailand: The Politics of Despotic Paternalism (Bangkok: Social Science Association of Thailand).

Notes:

  1. Thai Rath, 17-18, 20, 30 November 1976.
  2. Wawancara, pemilik kegiatan perlindungan dunia penjahat, Bangkok, 6 April 2012.
  3. Wawancara, polisi senior di Divisi Penekanan Kejahatan, Bangkok, 11 April 2012.
  4. Pembunuhan ini disebabkan oleh konflik atas proyek bangunan besar di provinsi Yasothon. Pada tanggal 29 September 2006, Mahkamah Agung menjatuhinya hukuman mati bersama dengan dua ajudan militer dekatnya (Sirirat 2005: 53-54; Manager Daily, 27 Oktober 2009).
  5. Wawancara, polisi senior di Divisi Penekanan Kejahatan, Bangkok, 11 April 2012; wawancara, dua wartawan penyelidikan dalam urusan militer, 12 April 2012, 20 April 2012.
  6. Untuk catatan dari permusuhan yang sengit dan pemberangusan yang terjadi setelah kudeta, lihat Nostitz 2009; People’s Information Center 2012.