Tanah-Hutan Adat di Laos pada Abad XXI: Kapitalisme Agraria dan “Jaminan Penghidupan Tanpa Komodifikasi”

Keith Barney & Alex van der Meer Simo

KRSEA-Laos-sticky-rice

Selama dua dasawarsa terakhir, aliansi luas aktor domestik dan internasional Republik Demokratik Rakyat Laos telah merancang intervensi kebijakan tentang masalah “memperkuat kepemilikan adat”. Tujuannya adalah untuk membangun perlindungan hukum bagi hak-hak masyarakat pedesaan atas lahan hutan bersama, dalam konteks penutupan yang meluas lantaran akuisisi lahan skala besar. Hak kepemilikan yang terjamin akan dipromosikan lewat prosedur partisipatif yang diperkuat untuk perencanaan penggunaan lahan, dan pengembangan prosedur formalisasi, dengan tujuan akhir menuju pendaftaran yang lebih luas dan pemberian sertifikat tanah komunal atau kolektif. Terlepas dari inovasi percontohan ini, upaya pemajuan menuju target ini menemui masa penangguhannya. 1

Pada skala desa, proses lokal yang terkait dengan komersialisasi pertanian terus berlangsung. Hasil dari transisi pertanian Laos meliputi penutupan lahan yang luas baik ‘dari atas’ (melalui akuisisi lahan milik perusahaan negara untuk proyek agribisnis dan infrastruktur), dan privatisasi tanah ‘dari bawah’ (melalui keterlibatan petani skala kecil dalam ledakan hasil pertanian, dan penyewaan serta penjualan tanah desa). Sementara investasi komersial telah mendukung perolehan mata pencaharian yang penting bagi banyak orang pedesaan, kombinasi ini juga menyebabkan impitan yang meluas pada lingkungan bersama di sepenjuru Laos. Dalam konteks ini, perlindungan hak atas tanah bersama hutan desa adat selain merupakan area penting untuk kebijakan pertanahan, juga adalah persoalan empiris kompleks yang menentang solusi kebijakan pengulangan (boiler plate).

Dalam intervensi ini, kami meneruskan bahwa persoalan utama terkait formalisasi hak atas tanah di Laos tidak hanya berkaitan dengan narasi tentang bagaimana tanah hutan adat dapat berfungsi sebagai basis sehari-hari bagi perikehidupan desa, dan (mungkin) sebagai ‘jaringan pengaman’ darurat bagi kaum miskin. Metafora jaring pengaman mengecilkan peran para petani Laos sebagai ‘slot subsisten’ yang terlalu disederhanakan, dan hanya berperan sedikit dalam membingkai bagaimana mata penghidupan di pedesaan diartikulasikan dengan kapitalisme agraria. Membangun di atas apa yang oleh Haroon Akram-Lodhi dan Cristóbal sebut sebagai “jaminan subsisten yang tidak dikomodifikasi” (non-commodified subsistence guarantee, NCSG), tujuan kami adalah untuk mengarahkan perhatian pada bagaimana tanah adat dan komunal dapat menjadi penyangga melawan kekuatan dislokasi dari kapitalisme agrarian, serta sebagai sumber penghidupan otonom di pedesaan Laos. 2 Namun, para peneliti hak adat dan hak milik komunal tanah sedang berubah, dan para petani sendiri berpartisipasi secara luas dalam rantai nilai dan pasar tanah pada agribisnis baru. Tantangannya bukan hanya untuk membangun perlindungan terhadap tanah adat, melainkan juga untuk mendekati gagasan ‘commoning’ (sebagai demodifikasi sebagian tanah adat), dalam hal yang relevan secara lokal, dan didasarkan pada keinginan kolektif masyarakat serta aspirasi penghidupan.

A remote rural village of Laos . Image: Dino Geromella / Shutterstock.com

Penutupan Lahan oleh Kapitalisme dan Produksi Petani

Suatu diskusi singkat tentang konsep-konsep kunci dalam studi agraria kritis dapat mendampingi kami membangun argumen. Ragam pertanyaan tentang tanah, sebagaimana dirangkum oleh Akram-Lodhi, secara mendasar berkaitan dengan “siapa yang mengendalikan (tanah), bagaimana ia dikendalikan, dan tujuan dari pengendalian itu”. 3 Penutupan lahan didefinisikan sebagai “privatisasi aset dalam ruang tertentu (space-specific)”, 4 dan bagi Akram-Lodhi, baik penutupan maupun kemunculan kapitalisme dapat dipahami sebagai “berakar pada perubahan konten dan makna relasi properti sosial”. 5 Salah satu jenis pembatasan modal melibatkan wilayah perbatasan, yang tidak hanya menyoal ruang di pinggiran geografis, tetapi juga “setiap ruang kehidupan sosial yang masih relatif tidak dikolonisasi oleh relasi produksi kapitalis”. 6 Perihal kedua melibatkan pembongkaran sumber-sumber penyediaan sosial yang tidak tunduk pada logika monetisasi dari modal, termasuk cara hidup subsisten tanpa pasar.

Di bawah relasi kapitalis agraria, tanah secara tak terelakkan diubah menjadi modal, menghasilkan akumulasi tetapi juga dislokasi. Sementara rumah tangga dengan ekonomi marjinal dapat menggabungkan subsisten dasar dari kepemilikan tanah mereka dengan menjual tenaga kerja mereka, mereka yang gagal mengakumulasi modal untuk investasi baru teknologi atau tanah, atau menjadi korban dari dinamika utang dapat dipaksa menjual kepemilikan tanah mereka dengan penggunaan logika akumulasi, berinvestasi kembali, atau terpaksa binasa. Alternatifnya, kemampuan untuk mempertahankan pijakan di bidang produksi tanpa pasar, (seperti melalui akses ke tanah dan sumber daya adat) dapat memberikan keuntungan mata pencaharian yang penting bagi para petani kecil. Akram-Lodhi dan Kay menulis:

Kendali atas tanah dapat membawa bersamanya kemungkinan produksi untuk penggunaan langsung, suatu jaminan subsisten non-komodifikasi yang memberi petani suatu tingkat otonomi dari modal yang dapat mengamankan penghidupan, meski hal itu tidak akan membuka kemungkinan akumulasi. 7

NCSG semacam ini setidaknya dapat menawarkan (jika bukan jaringan pengamanan darurat) dukungan dasar bagi petani kecil. Dalam kasus-kasus lain, mempertahankan beberapa lahan hutan desa dan sumber daya komunal sebagai ruang non-komodifikasi dapat mendukung para anggota yang menghadapi paparan keadaan cekak terhadap pasar tenaga kerja upahan, semisal ketika tanah ditutup tanpa penyediaan opsi pekerjaan yang sesuai dengan upah. Dalam hal ini, NCSG dapat mewakili suatu bentuk diversifikasi porto folio, tetapi berada di luar, atau setidaknya jauh dari, logika dan perintah pasar. 8

Persoalan agraria seputar tanah ulayat dan komunal di Laos juga berimplikasi pada tenga kerja. Sementara kaum muda tertarik pada pertanian pekerjaan upahan di luar pertanian untuk memperoleh pendapatan tunai yang besar, sebagian besar posisi yang tersedia terkait dengan beberapa risiko dan kerentanan. Dengan demikian, istilah sosial ekonomi migrasi tenaga kerja terbilang penting. Semua hal setara, rumah tangga petani yang mempertahankan akses ke tanah produktif dapat menempatkan diri dalam posisi negosiasi yang lebih kuat terhadap pasar tenaga kerja. NCSG juga dapat menawarkan sebagian sumber penghidupan yang otonom dari negara dan proyek komersial yang didalangi perusahaan, yang cenderung salah kelola, gagal, atau bentuk-bentuk baru pengawasan dan kendali politik, menempatkan berbagai kendala atas kebebasan petani dalam mengelola tanah dan sumber daya desa sesuai dengan tradisi dan preferensi mereka. 

‘Jaminan Subsisten Tanpa Komodifikasi’ di Pedesaan Laos

Sebagaimana di tempat lain, proses transisi agraria di Laos meningkatkan nasib pertanian rakyat, dan masa depan hak ulayat dan komunal. Jonathan Rigg dkk. baru-baru ini mengeksplorasi persoalan ini sehubungan dengan “kegigihan petani kecil” di Asia Tenggara. 9 Namun, definisi ‘pertanian rakyat’ dan ‘pertanian petani’ mungkin tidak sesuai dengan kepemilikan tanah yang karakteristik pengaturan kepemilikan sumber dayanya kerap cukup luas dan tumpang tindih di banyak pedesaan di Laos, di mana wilayah desa dapat memperpanjang hingga lebih dari 2.000 atau 3.000 hektar (atau lebih). Di Laos, tanah ulayat semacam itu sering diorganisir sebagai bagian-bagian kecil yang tumpang tindih dan musiman dengan akses komunal dan hak guna berbasis rumah tangga. Dalam konteks seperti itu, bentuk “pendapatan lingkungan” tunai dan non-tunai dapat menjadi sangat penting bagi penghidupan.

Penelitian terkini oleh penulis kedua di Laos tengah mendokumentasikan secara dekat penggunaan subsisten dan nilai pendapatan tunai dari lusinan produk sumber daya alam yang berasal dari tanah ulayat dan komunal. Ia memilih secara acak empat komunitas yang juga merupakan tujuan skema perkebunan perusahaan dan petani kecil. Pekerjaan lapangan dilakukannya pada kisaran 2016-2017 (survei dilakukan pada 25 rumah tangga per desa), untuk mengidentifikasi rata-rata penghasilan rumah tangga tahunan sebesar 1.272 dolar AS (nilai uang tunai) dari produk makanan yang bersumber dari wilayah adat di sekitarnya. Dihitung oleh van der Meer Simo, keseluruhan ‘pendapatan lingkungan’ tunai dan non-tunai menyumbang rata-rata 2.316 dolar AS per rumah tangga per tahun, atau 44% dari rata-rata keseluruhan pendapatan rumah tangga di empat desa yang disurvei. Pendapatan lingkungan ‘non-pasar’ sepenuhnya (mis. sumber daya yang hanya dikonsumsi, tidak dijual), mewakili rata-rata 1.355 dolar (AS) per rumah tangga per tahun, atau 22% dari keseluruhan penghasilan rumah tangga. Angka-angka ini menunjukkan nilai ‘NCSG’ di desa-desa yang disurvei. Sementara manfaat strategi pengelolaan lahan yang berbeda harus dikontekstualisasikan di wilayah relatif dengan input tenaga kerja yang diperlukan, poin utamanya adalah bahwa akses ke tanah ulayat masih menjadi landasan untuk produksi rumah tangga, menawarkan selain fleksibilitas mata pencaharian juga sebagian alternatif untuk mengatasi kerentanan dan paksaan yang membosankan dari jenis pekerjaan di perkebunan atau menjadi buruh migran.

Foto 1: ‘Jaminan subsisten non-komodifikasi’ di pedesaan Laos: ikan, ketan, jaew (saus cabai), sayuran lokal dan ‘lao lao’ (wiski beras). Provinsi Khammouane, Laos, 2006 (dengan penulis pertama, kedua dari kanan)

Relasi Properti Sosial dan Reforma Agraria di Laos

Kami menyajikan argumen di atas untuk mempertimbangkan tanah hutan adat dan komunal di Laos sedikit saja dalam hal debat ‘jaring pengaman’ dan lebih banyak dalam hal bagaimana NCSG dapat membantu masyarakat pedesaan mengarahkan daya kekuatan (sweeping force) pembangunan agraria. Pada bagian ini, kami menambahkan kompleksitas lebih lanjut, berdasarkan pada pemahaman tentang lahan ulayat sebagai institusi yang tertanam secara sosial yang dengan sendirinya mengalami transformasi signifikan.

Sebagaimana yang diidentifikasi oleh Dressler dkk. di dataran tinggi Palawan, Filipina, basis untuk jaminan subsistensi non-pasar dalam sistem perladangan di Asia Tenggara terletak pada relasi properti sosial adat, yang mengatur lanskap multi-fungsi melalui pendekatan “mata pencaharian brikolase”. 10 Hal ini sampai ke inti gagasan tanah sebagai ‘tertanam secara sosial’. 11 Di pedesaan Laos, lahan bersama hutan-desa juga tertutup, sebagian karena percepatan pemesanan lahan petani informal (di Laos, kerap disebut chap chong). Klaim chap chong tidak selalu adil antara rumah tangga, antara lelaki dan perempuan, atau dalam pengertian antargenerasi. Sementara chap chong secara historis digunakan untuk mencadangkan tanah bagi anak-anak mereka, kini chap chong juga digunakan untuk privatisasi tanah demi produksi komersial. Ada juga kepentingan yang signifikan oleh masyarakat dalam hal penyewaan atau penjualan tanah hutan adat untuk keuntungan komersial. Tren semacam ini menantang pendekatan menyeluruh untuk ‘melindungi tanah ulayat’, dan berimplikasi pada upaya mempromosikan sertifikasi tanah ulayat (communal land titling, CLT).

Foto 2: “Akses non-pasar ke sumber daya makanan di pedesaan Laos: ikan bakar dan sup ikan kukus dengan telur, jaew, sayuran hutan, ketan dan lao lao. Provinsi Khammouane, 2006. “Foto oleh K. Barney.

Pendekatan yang Mendasar bagi Reformasi Kebijakan Hutan-Lahan di Laos

Memberikan dukungan kebijakan untuk proses reformasi hukum di Laos merupakan upaya yang menantang. Di Laos, sistem pengambilan keputusan bisa tidak jelas, dan pemerintah Laos berhati-hati dalam mengelola seberapa banyak pengaruh dari masyarakat luar maupun masyarakat sipil domestik. 12 Sampai saat ini, hanya segelintir hutan masyarakat dan lahan gambut komunal atau kolektif yang mendapatkan formalisasi melalui CLT, meski inisiatif lain agaknya sedang menunjukkan kemajuan. Sementara CLT dapat berfungsi sebagai penopang hak-hak sumber daya dalam konteks akusisi tanah yang sedang berlangsung, sebuah program untuk meluncurkan CLT juga dapat mempersempit kisaran pilihan ekonomi bagi penduduk desa. Agaknya masih belum jelas bagaimana hak rumah tangga formal dan informal atas lahan hutan akan diseimbangkan dengan pengadaan sertifikat tanah komunal.

Meski berbagai upaya ini tidak akan pernah sempurna, masih diperlukan upaya untuk menyelaraskan kebijakan negara dengan kenyataan setempat, serta untuk mencapai pengaturan penguasaan formal yang fleksibel dan memberikan perlindungan sosial. Kami berpendapat bahwa cara alternatif untuk memahami hak ulayat dan tanah ulayat adalah dalam hal bagaimana ruang tersebut dapat memberikan ‘jaminan subsisten yang tidak dikomodifikasi’, dalam menghadapi kapitalisme agraria yang semakin dalam. Ada ruang untuk penelitian lebih lanjut di Laos yang mengeksplorasi berbagai dimensi pada tema hubungan properti sosial dalam transisi kapitalis, seperti yang dikembangkan dalam literatur studi agraria. Keseimbangan antara komodifikasi dan jaminan subsisten, dan formalisasi tanah ulayat dalam konteks komersialisasi dan pasar tanah, adalah masalah kebijakan yang kritis, yang akan membentuk transisi agraria di Laos pada abad ke-21.

Keith Barney & Alex van der Meer Simo
Keith Barney, Resources, Environment and Development Group, Crawford School of Public Policy, The Australian National University
Alex van der Meer Simo, Fenner School of Environment and Society, The Australian National University

Bibliografi

Akram-Lodhi, H. and C. Kay. 2008. Peasants and Globalization: Political Economy, Rural Transformation and the Agrarian Question. London: Routledge
Akram-Lodhi, H. 2007. Land, Markets and Neoliberal Enclosure: An Agrarian Political Economy Perspective. Third World Quarterly 28(8): 1437- 1456.
Dressler, W., J. de Koning, M. Montefrio and J. Firn. 2016. Land Sharing Not Sparing in the ‘Green Economy’: The Role of Livelihood Bricolage in Conservation and Development in the Philippines. Geoforum 76: 75-89.
Hirsch, P. and N. Scurrah. 2015. The Political Economy of Land Governance in Lao PDR. Vientiane: Mekong Region Land Governance.
Ironside, J. 2017. The Recognition of Customary Tenure in Lao PDR. MRLG Thematic Study Series #8. Vientiane: MRLG.

 

Notes:

  1. Ironside, J. 2017. The Recognition of Customary Tenure in Lao PDR. MRLG Thematic Study Series #8. Vientiane: MRLG. hlm. iv.
  2. Akram-Lodhi, H. and C. Kay. 2008. Peasants and Globalization: Political Economy, Rural Transformation and the Agrarian Question. London: Routledge. hlm. 228.
  3. Akram-Lodhi, H. 2007. Land, Markets and Neoliberal Enclosure: An Agrarian Political Economy Perspective. Third World Quarterly 28(8): 1437- 1456, hlm. 1442.
  4. Ibid. hlm. 1443.
  5. Ibid. pg. 1443. Lihat juga Ellen Wood. 2002. The Origin of Capitalism: A Longer View. London: Verso.
  6. Ibid. hlm. 1444.
  7. Akram-Lodhi and Kay, 2008. hlm. 228.
  8. Elaborasi yang kompleks dimungkinkan pada masalah komodifikasi. Produk petani kecil ditetapkan sebagai komoditas yang ditanam melalui metode padat modal, atau produk yang berasal dari akses lahan komersial, tidak termasuk dalam pendekatan kami terhadap NCSG.
  9. Rigg, J., A. Salamanca dan E. Thompson. 2016. The Puzzle of East and Southeast Asia’s Persistent Smallholder. Journal of Rural Studies 43: 118-133. 
  10. Dressler, W., J. de Koning, M. Montefrio and J. Firn. 2016. Land Sharing Not Sparing in the ‘Green Economy’: The Role of Livelihood Bricolage in Conservation and Development in the Philippines. Geoforum 76: 75-89.
  11. Polanyi, K. 1944, 2001. The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
  12. Hirsch, P. and N. Scurrah. 2015. The Political Economy of Land Governance in Lao PDR.Vientiane: Mekong Region Land Governance. hlm. 4-5, 14.