Memasukkan Agama ke dalam Undang-Undang dan Mempolitisisasi Agama di Malaysia Dewasa Ini

Yvonne Tew

Pada tahun 2016, pemimpin partai oposisi Parti Islam Se-Malaysia (PAS) memperkenalkan sebuah rancangan undang-undang guna memperluas kewenangan mahkamah Syariah di Malaysia untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat. Rancangan tersebut menuai keberatan dari masyarakat sipil dan kelompok oposisi, namun juga mendapat dukungan dari sebagian masyarakat Malaysia lainnya yang dibuktikan dengan adanya demonstrasi besar di Kuala Lumpur pada bulan Februari 2017. Meskipun koalisi yang berkuasa Barisan Nasional telah menangguhkan perdebatan parlemen mengenai rancangan undang-undang tersebut, pada awalnya mereka menyatakan dukungannya atas rancangan tersebut dan satu menteri negara baru-baru ini menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat perkembangan Islam di negara tersebut. 1

Selama dua dasawarsa terakhir, pertumbuhan Islamisasi dalam wacana politik dan hukum Malaysia telah memicu perdebatan antar dua pendapat mengenai identitas nasional, yaitu  sebagai negara sekuler atau negara Islam.  Posisi Islam yang ditinggikan adalah hasil dari pergeseran yang mantap dan mendalam, yang pada awalnya berasaskan negara sekuler Malaysia menjadi berlandaskan pengertian atas Undang-Undang Dasar yang semakin agamis.

Pembuatan Undang-undang Dasar dan Lahirnya sebuah Bangsa

Penyusunan awal Undang-Undang Dasar (UUD) Malaysia pada saat pendirian negara   adalah cerminan dari persaingan beragam kepentingan di dalam masyarakat multi-etnis Malaysia, yang terdiri dari penduduk mayoritas-Melayu dan juga etnis minoritas keturunan Tionghoa dan India. UUD masa kemerdekaan itu mulai berlaku ketika Federasi Melayu tidak lagi menjadi jajahan Inggris dan menjadi sebuah negara berdaulat pada tanggal 31 Agustus 1957.

Salah satu perwujudan dari kontrak sosial yang dirundingkan pada saat pendirian negara adalah Pasal 3(1) deklarasi UUD: “Islam adalah agama Federasi; tetapi agama-agama lain dapat diamalkan dalam damai dan rukun.” Catatan sejarah memberikan bukti bahwa mereka yang terlibat dalam proses perumusan UUD menyatakan bahwa pencantuman pasal 3(1) tidak akan mengacaukan dasar sekuler Undang-undang. 2 Hakim Abdul Hamid, satu-satunya anggota panitia UUD  yang mendukung disertakannya Pasal 3(1), menggambarkan aturan posisi Islam dalam UUD sebagai “tidak berbahaya,” dengan menyatakan bahwa itu tidak akan “mencegah negara menjadi negara sekuler.” 3 Memang, pasal 3(4) UUD menyatakan bahwa “tak ada dalam Pasal ini yang melemahkan aturan lainnya di dalam UUUD ini,” dan Pasal 11(1) menjamin bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk menganut dan mengamalkan” agamanya.

Mempolitikkan Islam

Pemahaman awal demikian tentang Pasal 3(1) aturan posisi Islam dalam UUD telah bergeser tajam. Selama seperempat abad ini, ketentuan Pasal 3(1) telah dipakai oleh sejumlah tokoh politik dan hukum sebagai sebuah rencana kerja untuk memperluas kedudukan agama dalam ketertiban umum.            

Politisasi dalam Islam telah menjadi bagian utama di dalam medan perang antara partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), yang merupakan bagian dari koalisi Barisan Nasional, dengan PAS. PAS, yang memiliki basis pemilihan yang konservatif, yang utamanya di negara bagian utara Semenanjung Malaysia, telah lama menyatakan komitmennya untuk mendirikan sebuah negara Islam. Partai oposisi ini menguasai negara bagian Kelantan pada tahun 1990, dan partai ini masih berkuasa hingga saat ini, dan juga memerintah negara bagian Kedah (2008-2013) dan Terengganu (1999-2004).

Bangkitnya PAS sebagai sebuah partai Islam oposisi menciptakan panggung persaingan antara PAS dan UMNO yang dimulai sejak tahun 1980an dan semakin intensif di tahun 1990an, di sebuah negara tempat umat Muslim-Melayu merupakan mayoritas pemilih. Dengan latar belakang ini, pada September 2001, mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengumumkan bahwa “UMNO ingin menegaskan dengan jelas bahwa Malaysia adalah negara Islam.” 4 Pernyataan Mahathir Mohamad kemudian digemakan oleh Najib Razak, yang waktu itu adalah Wakil Perdana Menteri dan Perdana Menteri saat ini, yang menyanggah gagasan Malaysia sebagai negara sekuler, dengan menegaskan bahwa “Islam adalah agama resmi kita dan kita adalah negara Islam.” 5 Pada Oktober 2017, seorang wakil Menteri dari Kantor Perdana Menteri menegaskan bahwa pemerintah Barisan Nasional masih tetap bertanggung jawab untuk menjadikan Malaysia sebagai negara Islam. 6

Perdebatan tentang Islamisasi di Malaysia telah membuat kedudukan Islam dalam UUD sebagai sorotan wacana umum. Ketegangan mengenai kedudukan Islam dalam UUD semakin diperumit oleh pengertian di dalam UUD tentang siapa yang dianggap sebagai orang Melayu, antara lain,  yaitu seseorang “yang menganut agama Islam.” 7 Selain agama dan identitas etnis yang dianggap saling terkait erat di dalam masyarakat Malaysia, posisi Islam dilihat erat kaitannya dengan kedudukan khusus orang Melayu. 8 Beberapa dasawarsa terakhir ini dapat kita saksikan menguatnya gagasan akan keunggulan bangsa Melayu yang terkait erat dengan nasionalisme Melayu-Islam di beberapa kalangan masyarakat Malaysia tertentu. 9

Menangani Agama di Malaysia Saat ini

Pengadilan telah memainkan peran penting dalam yudisialisasi masalah agama di Malaysia. Pasal 3(1) telah menjadi tiitk fokus pertarungan dua kelompok yang berlawanan tentang identitas konstitusional negara Malaysia—dan hampir tidak dapat digambarkan saat ini sebagai “tidak berbahaya.” Kelompok sekuler berpendapat bahwa kedudukan Islam di dalam UUD hanya untuk seremonial dan bahwa dasar UUD Malaysia bersifat sekuler. 10 Mereka yang mendesak pengakuan Malaysia sebagai negara Islam berpendapat bahwa Pasal 3(1) memberikan peran yang lebih tinggi bagi Islam di ruang publik. Penafsiran yang meluas atas Pasal 3(1) ini sangat bertentangan dengan pemahaman atas aturan kedudukan Islam di dalam UUD yang disahkan oleh pernyataan Mahkamah Agung dalam sebuah keputusan penting tahun 1988, Che Omar v. Jaksa Penuntut Umum. Keputusan itu menyebutkan bahwa kedudukan Islam di dalam Pasal 3 hanya terbatas pada “tindakan-tindakan yang berhubungan dengan ritual dan seremonial” dan bahwa hukum di negara tersebut adalah hukum sekuler. 11 Dua tahun kemudian, Mahkamah Agung menegaskan kembali dasar sekuler UUD dengan memanfaatkan pernyataan para perumus bahwa mengakui Islam sebagai agama negara “sama sekali tidak akan memengaruhi hak-hak sipil non-Muslim.” 12

Pemahaman ini telah berubah cepat. Selama dua dasawarsa terakhir, telah terjadi perubahan dramatis dalam wacana peradilan di Malaysia demi mengangkat kedudukan Islam dalam tatanan konstitusional. Pengadilan sipil telah menghindari pelaksanaan wilayah wewenang peradilan (yurisdiksi) atas beberapa bidang utama yang melibatkan hak-hak yang dijamin oleh UUD seperti kebebasan beragama dan persamaan. Hakim pengadilan sekuler pelan-pelan telah mengoper wilayah wewenangnya kepada pengadilan Syariah, dan sebagai akibatnya, wewenang pengadilan agama dan kekuatan kelembagaan pengadilan agama semakin berkembang.

Misalnya, kasus Lina Joy. Lahir dari keluarga Melayu-Muslim, Lina Joy kemudian pindah agama Kristen dan berusaha untuk menikah dengan tunangannya yang beragama Kristen. Karena dia masih diakui secara resmi sebagai Muslim dan berada di bawah yurisdiksi hukum Syariah, dia tidak dapat menikah karena setiap  Muslim harus membuat akad/mengikat janji pernikahan mereka berdasarkan Hukum Keluarga Islam (Aturan Federal) tahun 1984, yang melarang pernikahan dengan non-Muslim. Kantor urusan pendaftaran penduduk nasional menolak untuk mengubah status agama di kartu identitasnya tanpa sertifikat murtad/pindah agama dari Pengadilan Syariah.

Lina Joy mengajukan keberatan konstitusional ke pengadilan sipil atas dasar bahwa perpindahan agama dilindungi berdasarkan Pasal 11 tentang hak kebebasan beragama. Pada tahun 2007, pengadilan banding tertinggi Malaysia memutuskan untuk menolaknya, dengan menganggap keluarnya Lina Joy dari Islam tidak dilindungi berdasarkan jaminan UUD tentang hak untuk “menganut dan mengamalkan” agama seseorang sebab itu adalah masalah agama bagi pengadilan Syariah untuk memutuskan kasus itu. Mayoritas hakim di Peradilan Federal memandang kemurtadan sebagai masalah yang berkaitan dengan Hukum Islam, yang oleh karena itu berada dalam yurisdiksi Peradilan Syariah. 13 Keputusan yang mengejutkan dalam kasus Lina Joy disampaikan oleh Hakim Ketua, menulis pendapatnya mewakili suara mayoritas: “seseorang tidak bisa meninggalkan atau memeluk agama dengan keinginannya dan nafsunya sendiri belaka.” 14Bidang hukum lainnya yang diperdebatkan meliputi persoalan perwalian dan pindah agama antara pasangan yang masuk Islam dan pasangan non-Muslim. Kasus-kasus ini muncul ketika salah satu orang tua—biasanya ayah—masuk Islam dan kemudian mengubah agama anak-anaknya, tanpa sepengetahuan orang tua lainnya. Ayah yang baru saja masuk Islam kemudian mendaftarkan kasus ke peradilan Syariah untuk bercerai dan perwalian. Masalahnya? Ibu non-Muslim tidak bisa menggugat tatanan pindah agama dan perwalian yang dikabulkan oleh peradilan agama karena non-Muslim tidak dapat memasuki peradilan Syariah.

Kasus yang dialami Indira Gandhi menggambarkan dilemma yurisdiksi hukum ini. 15 Dia dan suaminya sama-sama penganut agama Hindu saat mereka menikah di bawah hukum perdata. Kemudian, setelah masuk Islam, mantan suaminya diam-diam mengubah agama ketiga anak-anak mereka menjadi Islam di peradilan Syariah. Pengadilan Banding mengubah keputusan pengadilan yang lebih rendah untuk membatalkan kepindahan agama anak-anak di Pengadilan Syariah. Pengadilan menyatakan tidak diragukan lagi bahwa pindah/masuk agama Islam adalah murni  masalah agama yang hanya bisa diputuskan oleh peradilan Syariah. 16 Kasus Indira Gandhi, yang saat ini tertunda/sedang menunggu keputusan di hadapan Peradilan Federal, adalah gambaran lain dari barisan kekurangan yurisdiksi hukum yang kerap terjadi di dalam sistem-ganda di Malaysia antara peradilan sekuler dan peradilan agama.

Penafsiran yang meluas atas Pasal 3(1) tentang aturan kedudukan Islam menurut UUD oleh pengadilan sipil juga telah menyebabkan peningkatan kedudukan tinggi Islam dalam tatanan publik. Para hakim pengadilan sipil telah mengesahkan kedudukan Islam sebagai lensa penafsiran untuk menimbang aturan-aturan lainnya di dalam UUD.

Pada tahun 2009, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan aturan yang melarang Uskup Agung Katolik Roma Tituler dari Kuala Lumpur menggunakan kata “Allah” dalam buletin mingguan Katolik yang berbahasa-Melayu, Herald. 17 Gereja Katolik menggugat aturan Menteri tersebut dengan alasan bahwa itu melanggar hak gereja untuk menganut agama dan mengamalkan agamanya. Pada tahun 2013, Pengadilan Banding dengan suara bulat menguatkan aturan pemerintah dengan memutuskan bahwa kebebasan beragama gereja tersebut tidak dilanggar karena kata “Allah” bukan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama dan praktik ajaran agama Kristen. 18 Menurut Pengadilan, tujuan dari Pasal 3(1) “adalah untuk melindungi kesucian Islam sebagai agama negara dan juga untuk melindungi terhadap ancaman yang dihadapi atau kemungkinan dan ancaman yang mungkin terjadi terhadap agama Islam.” 19

Politik dan Agama Konstitusional di Malaysia Masa Sekarang

Perdebatan atas kedudukan agama terus tampil menonjol dengan jelas di Malaysia modern. Perkembangan politik belakangan ini menunjukkan sebuah keengganan oleh koalisi yang berkuasa di Malaysia untuk berjuang menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh meningkatnya konservatisme Islam di negara ini. Selain menangguhkan perdebatan mengenai usulan untuk meningkatkan kekuasaan peradilan Syariah dalam menjatuhkan hukuman, pemerintah pada Agustus 2017 mencabut sebuah rancangan undang-undang yang betujuan untuk menyelesaikan perselisihan mengenai perpindahan agama anak-anak yang salah satu orangtuanya pindah menjadi Muslim sementara pasangannya tetap non-Muslim, yang akan melarang perpindahan agama anak-anak tanpa persetujuan kedua orang tua.

Pengadilan memainkan peran penting dalam menentapkan taruhan pertarungan atas kedudukan agama dalam tatanan publik Malaysia.  Sementara sebagian besar perhatian tertumpu pada ketegangan di bidang politik dan masalah  umum lainnya, bidang hukum sangat penting sebagai situs perselisihan ini. Pertarungan hukum selama dua daswarsa terakhir menggarisbawahi pentingnya pertanyaan-pertanyaan mengenai agama dan sekularisme bagi sebuah bangsa di persimpangan jalan untuk mengambil keputusan mengenai identitasnya. Perdebatan atas kedudukan Islam dalam tatanan konstitusional mencerminkan sebuah perjuangan yang mendalam dan terus berlanjut atas jiwa UUD di Malaysia masa sekarang.

Yvonne Tew
Lektor Kepala, Pusat Hukum Universitas Georgetown

banner Image: Statue of Tunku Abdul Rahman outside the Malaysian House of Parliament. He served as the first Chief Minister of the Federation of Malaya from 1955 to 1957, before becoming Malaya’s first Prime Minister after independence in 1957.

Bibliografi

Joseph M. Fernando, The Position of Islam in the Constitution of Malaysia, 37 Journal of Southeast Asian Studies 249 (2006)
Joseph Chinyong Liow, Religion and Nationalism in Southeast Asia (2016)
Yvonne Tew, Originalism at Home and Abroad, 52 Columbia Journal of Transnational Law 780 (2014).

Notes:

  1. Pemerintah BN berkomitmen untuk menjadikan Malaysia sebagai negara Islam, Melayu Mail Online (14 Oktober 2017), http://www.themalaymailonline.com/malaysia/article/bn-government-committed-in-making-malaysia-an-islamic-state.
  2. Lihat, misalnya, Laporan Federasi Panitia Konstitusi Malaysia (London: Her Majesty’s Stationery Office, 1957) (Reid Report) at ¶ 11. Lihat secara umum Joseph M. Fernando, The Position of Islam in the Constitution of Malaysia, 37 JOURNAL OF SOUTHEAST ASIAN STUDIES 249 (2006).
  3. Reid Report, paragraf 11
  4. Lihat Mahathir Mohamad, Pidato pada Rapat Umum Tahunan ke 30 Partai Gerakan Malaysia (29 September 2001), di paragraph 18, tersedia di http://www.pmo.gov.my/ucapan/?m=p&p=mahathir&id=482 (diterjemahkan dari bahasa Melayu oleh penulis).
  5. Malaysia Bukan Negara Sekuler, kata Najib, BERNAMA, (17 Juli 2007).
  6. Lihat catatan no. 1 di atas.
  7. ed. Const. (Malay.), pasal 160.
  8. Id., pasal 153(1).
  9. Lihat Joseph Chinyong Liow, Religion and Nationalism in Southeast Asia 135-74 (2016).
  10. Lihat Yvonne Tew, Originalism at Home and Abroad, 52 Colum. J. Transnat’l L. 780 (2014).
  11. Che Omar bin Che Soh v. Jaksa Penuntut Umum [1988] 2 Malayan L.J. 55, 56-57.
  12. Teoh Eng Huat v. Kadhi Pasir Mas (1990) 2 Malayan L.J. 300, 301-02.
  13. Lina Joy, (2007) 4 Malayan L. J. 585, pada paragraf 16.
  14. dem pada paragraf 14. (diterjemahkan dari bahasa Melayu).
  15. Pathmanathan a/l Krishnan v. Indira Gandhi a/p Mutho (2016) Current L. J. 911
  16. Idem pada paragraf 33
  17. Menteri Dalam Negeri & Ors v. Uskup Agung Katolik Roma Tituler dari Kuala Lumpur (2013) Malayan L. J. 468 (Pengadilan Banding).
  18. dem pada paragraf 51.
  19. Idem pada paragraph 33.