Antropologi Seni dan Narasi Non-manusia/Queer di Perbatasan Selatan

Sheep (2017-2018) by Samak Kosem

Pada awal 2017, saya memulai karya etnografi visual dalam penelitian baru mengenai perbatasan Pattani, untuk sebuah proyek tentang menjadi “Queer Muslim”. Sejak saya menulis artikel reflektif “Waria di Pesantren” (“Pondan under the Pondok”) (Samak2017a) tentang kenangan masa kecil saya tentang praktik homoseksual di pesantren tempat saya belajar agama selama enam tahun, pengalaman-pengalaman itu masih membuat saya bertanya-tanya, bagaimana ini terjadi di suatu tempat yang tampaknya sangat anti-homoseksualitas?

Pada tahun yang sama, ada percekcokan besar di antara para cendekiawan dan aktivis baik di dalam maupun di luar tiga provinsi “Ujung Selatan” Thailand yang membahas tentang bagaimana membuka percakapan tentang homoseksualitas bagi diskusi umum, dan bagaimana membuat para waria dan identitasnya terlihat di dalam masyarakat (lihat Anticha 2017). Pada saat itu, berbicara tentang menjadi waria dalam Islam adalah topik yang sangat sensitif. Kemudian, suatu hari mantan murid saya dari perguruan tinggi Islam bertanya apakah saya pernah melihat domba liar di Pattani? Saya bertanya-tanya mengapa saya tidak pernah memperhatikan domba-domba yang hidup di antara kita. Tiba-tiba pertanyaan itu datang lagi kepada saya: mengapa ada begitu banyak domba di Pattani, dan bagaimana mereka terlihat sangat kotor, berkeliaran seperti anjing liar.   

Subyek-subyek yang non-manusia

Membaca Haraway (1991), memberi kita gagasan tentang aktor non-manusia yang menantang asumsi kita akan aktor sosial, dan hibriditas manusia dan non-manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ada cara untuk memahami konteks sosial dan budaya masyarakat Muslim di Thailand Selatan dengan menggunakan kerangka ontologi yang berkiblat pada obyek dalam konsep pascahumanisme (Ming 2019). Saya mengerjakan ulang proyek saya meneliti keanehan dalam masyarakat Muslim untuk juga melihat aktor non-manusia sebagai salah satu aktor sosial yang menceritakan kehidupan sosial dan budaya, sebagaimana mereka hidup di lingkungan yang sama dengan kita para manusia.

Setelah mengikuti domba selama tiga bulan, saya menyadari bahwa mereka tidak tersesat, tetapi tinggal di kandang bersama di sebelah masjid, bersama dengan domba dan hewan lain milik masyarakat setempat. Saya menggunakan GPS untuk menandai tempat-tempat yang dilalui domba, mirip dengan cara antropolog mengikuti kepala desa untuk belajar tentang pengaturan desa. Dalam kasus saya, si domba membawa saya ke semua tempat ke mana mereka biasanya pergi, termasuk kuburan, pesantren, masjid, pasar, toko-toko dan pos pemeriksaan militer. Para pemiliknya mengatakan kepada saya bahwa domba tahu ke mana mereka bisa pergi dan tempat yang tidak bisa mereka lalui, jadi hewan-hewan memiliki persepsi tempat dan kadang-kadang mereka dapat menyadari batas-batas antara umat Buddhis Thailand dan Muslim Melayu dengan melihat tempat mereka di samping jalan.

Domba adalah non-manusia—tepatnya, hewan—tetapi kemudian saya menyadari ada subyek non-manusia lainnya yang perlu dipertimbangkan. Saya menyadarinya setelah menghabiskan beberapa malam di kedai teh bahwa orang-orang kerap bercerita tentang jin (asalnya istilah Arab; pengada supernatural yang diciptakan oleh Tuhan yang hidup di dunia yang sejajar dengan manusia, tetapi tidak terlihat. Terkadang penduduk setempat memanggilnya pi, ungkapan Thailand untuk kata hantu). Membaca tulisan Furhman Ghostly Desire (2016) memungkinkan saya untuk berpikir tentang kepribadian waria, yang saya bandingkan dengan jin dalam kepercayaan Islam, untuk membandingkan ketaktampakan orang-orang waria dan jin. Anehnya, penduduk setempat suka membicarakan beberapa subyek, sementara ada subyek-subyek lain yang tak mereka bahas sama sekali.

“Domba” (“Sheep”) (2017-2018) oleh Samak Kosem. Atas izin dari seniman dan Bangkok Art Biennale Collection.
“Festival Pengorbanan No. 3 dan No. 4” (“Festival of Sacrifice no. 3 and no. 4”) (2018) oleh Samak Kosem. Atas izin terhadap koleksi pribadi di Kuala Lumpur.

Subyek non-manusia ketiga yang saya perhatikan adalah “gelombang”. Saya menemukan bahwa pantai di Selatan adalah semacam “zona nyaman” bagi penduduk setempat dan banyak perempuan Muslim yang menjual makanan di sana untuk mencari nafkah. Saya mengumpulkan sampah plastik dari pantai untuk menciptakan “ombak” dalam karya seni saya; benda-benda itu juga berfungsi sebagai narator saya, memberi tahu saya jejak kehidupan yang tinggal di sana, dan ombak menjadi perlambang, bagi saya, gender dan mata pencaharian. Saya mengikuti beberapa mahasiswa seni ke Desa Thepha di provinsi tetangga Songkhla, dan kami belajar tentang kata-kata berbeda—baik bahasa Thai dan Melayu—yang digunakan penduduk setempat untuk menggambarkan berbagai jenis gelombang, dan bagaimana hal itu menunjukkan betapa mereka berhubungan dengan lingkungan mereka sebagai bagian dari perikehidupan dan keseharian mereka dalam hubungannya dengan alam. Namun, desa-desa ini berada di bawah rencana pemerintah untuk direlokasi demi pembangunan pembangkit listrik baru, karenanya mereka lantas melancarkan protes di Bangkok. Saya membuat film dokumenter untuk merekam situasi dan menceritakan makna dari gelombang selatan, dalam bentuk seni. 

“Partikel di Talo Kapo” (“Particle on Talo Kapo”) (2018) oleh Samak Kosem. Atas izin dari seniman.

Seni dan antropologi dalam praktik

Seni tidak hanya menjadi subyek bagi para antropolog untuk fokus pada budaya material, tetapi juga wadah aktif demi perubahan—dalam konsepsi seni dan dalam perdebatan tentang definisi seni yang terlibat secara sosial yang dikaitkan dengan rasa budaya (Morphy dan Perkins 2006). Karya video saya “Sheep” (2017-2018) menyiratkan hierarki dan kekerasan agama dan mewakili wajah lain masyarakat Muslim dalam budaya Ujung Selatan, menunjukkan bagaimana manusia berinteraksi dengan non-manusia dari perspektif manusia, serta berfungsi sebagai metafora atas orang-orang dari Ujung Selatan di dalam negara Thailand dan kekerasan (Thanavi 2018). Menciptakan mitos tentang “domba yang terstigmatisasi” tidak berbeda dengan upaya negara untuk mendefinisikan warga di Ujung Selatan (Samak 2017b).

Dalam proyek “etnografi non-manusia” ini (2017-2020), saya telah menciptakan karya lintas praktik antropologis dan seni fotografi dengan membuat “catatan lapangan” yang menggabungkan pengetahuan dan metodologi penelitian akademik dengan seni kontemporer. Catatan lapangan dipamerkan di Bangkok Art Biennale (BAB) pertama pada 2018, setelah saya membahas “ketakteralihbahasakan” dengan kurator Patrick D. Flores. Saya memutuskan untuk menerjemahkan catatan-catatan saya yang aslinya ditulis dalam bahasa Thailand ke dalam bahasa Melayu, menggunakan aksara Jawi. Inilah cara saya membuka percakapan dengan penyimak, untuk menunjukkan bagaimana narasi dan pengetahuan—menjadi beban dan batasan pada pemahaman kita. Saya juga ingin memberikan kepekaan terkait rumitnya ketidakpedulian dan perbedaan budaya kita; bahkan sebagai warga negara dari negara yang sama, kesenjangan antara bahasa Melayu lokal dan aksara Jawi tetap tidak dapat diatasi bagi orang Thailand “normal” dari luar daerah. Satu-satunya cara untuk memahami adalah melalui foto atau visual. Namun pada saat bersamaan, karya tersebut mencoba mengungkapkan jarak hubungan ini guna menunjukkan kepada pemirsa Thailand bagaimana riwayat-riwayat hidup ini telah diabaikan.

Misalnya, dalam proyek “gelombang” saya membahas arti gelombang. Gelombang biasanya adalah suara, tetapi bisa berupa bising yang tidak ingin didengar oleh siapa pun, seperti juga suara orang-orang Melayu Muslim setempat. “Kerudung Tipis” (2018), adalah karya video bisu,  menghadirkan non-manusia yang mengisahkan tentang bagaimana “gelombang” berhubungan dengan lingkungan, masyarakat, budaya, dan orang-orang. Keheningan ombak dalam film dokumenter ini adalah metafora bagi gelombang kehidupan sosial dalam budaya Melayu yang sering terabaikan. Warga desa Thepha telah berjuang melawan negara untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara yang menghancurkan ombak di lepas pantai. Gelombang juga dapat merujuk pada situasi dengan para fundamentalis; di selatan mereka berbicara tentang “gelombang baru” yang merujuk pada fundamentalis Islam (Willis 2019).

Catatan-catatan lapangan Domba (Sheep Fieldnotes) (2017) oleh Samak Kosem. Atas izin Natasha Sidharta.

Video kedua tentang ombak, “Di Tepian Pantai” (“By The Shore of The Sea”) (2019) adalah narasi seorang perempuan dan pengalamannya dengan ombak di kota kelahirannya, termasuk kisahnya sendiri yang mencerminkan identitas dan dirinya sendiri sebagai seorang perempuan Muslim. Dalam video itu, dia menyuarakan narasinya sendiri dan narasi perempuan lain; dia juga menyuarakan ombak di benaknya yang tidak pernah bisa diklaim. Video pendek ini mengeksplorasi semua suara sebagai bentuk gelombang; yang juga termasuk benturan suara angin kencang, gelombang ombak, dan suara perempuan. Untuk menemukan apa yang ingin kita dengar—atau tahan untuk mendengarnya—gelombang-gelombang ini selalu bergulir dalam pikiran kita dari satu pantai ke pantai lain. 

“Kerudung Tipis” (“A Thin Veil”) (2018) oleh Samak Kosem. Atas izin Daisuke Miyatsu dan seniman.
“Di Tepian Pantai” (“By the Shore of the Sea”) (2019) oleh Samak Kosem. Atas izin MAIIAM Contemporary Art Museum dan seniman.

Mempertimbangkan non-manusia sebagai konstruksi/obyek, pos pemeriksaan merupakan simbol kontrol negara dan subyek yang mengontekstualisasikan politik sosial-budaya dalam kehidupan sehari-hari. Karya ini, “Pos Pemeriksaan Selamanya” (“Forever Checkpoint”) (2019), diproduksi dalam bentuk video musik romantis untuk membuat kontras dengan kekerasan simbolis yang diwakili oleh pos pemeriksaan. Serangan fisik dan kekerasan terus-menerus terjadi di tiga provinsi paling selatan, yang telah membangun citra provinsi perbatasan sebagai “biang keladi”. Perbatasan militer—dengan lebih dari 2.000 pos pemeriksaan—cukup menjelaskan bagaimana rasa takut dan kecemasan dibangun oleh rezim militer di Thailand. Serta dengan menunjukkan bagaimana orang-orang yang dicurigai terlihat dalam kehidupan sehari-hari di pos pemeriksaan militer—bagaimana orang-orang diasumsikan tidak terkenali, misterius, dan tidak terlihat—adalah upaya saya untuk menampilkan interpretasi (Myers 2006) kekerasan oleh negara Thailand.  

The Day I Became… (2018) by Samak Kosem and Patiparn Boontarig. Courtesy of Chengdong Liu and the artist.

Etnografi visual dari waria yang tidak terlihat

Pada akhir 2017, ketika sedang menunggu di sebuah kios pangkas rambut di sebuah jalan dekat universitas di Pattani, saya melihat dua gadis Muslim berhijab menghentikan sepeda motor mereka di depan kios pangkas rambut itu. Mereka menunggu sebentar, dan tukang cukur keluar berbicara kepada mereka. Beberapa saat kemudian, ketika memotong rambut saya, tukang cukur memberi tahu saya bahwa kedua gadis itu memintanya untuk mencukur rambut mereka seperti potongan pria. Si tukang cukur merasa tidak nyaman karena dia jarang memotong rambut perempuan, tetapi dia mengerti bahwa dua gadis tersebut tidak akan punya pilihan. Dua perempuan yang menginginkan potongan rambut pria, ke mana mereka bisa pergi tanpa dihakimi?

Pengamatan ini—semacam penelitian lapangan—mengilhami saya untuk membuat seni video tentang para queer Muslim. “Hari Saya Menjadi…” (“The Day I Became…”) (2019) adalah kisah seorang Muslim tomboi 1 yang meninggalkan kampung halamannya di Yala untuk bekerja di Bangkok. Mereka pindah dari rumah bukan sekadar pindah, tetapi juga merasa bahwa (dis)orientasi seksual mereka selalu dituding berdosa. Pulang ke rumah tidak serta-merta memberi mereka rasa nyaman akan adanya ruang individual—sekarang ia masih bergumul dengan keluarganya tentang agama, stigma sosial, dan rasa malu keluarga. Pindah ke luar bukan hanya masalah ruang, melainkan juga menjauh dari agama mereka sebelumnya. Potongan rambut tidak hanya keputusan gender, tetapi juga bagian dalam hidup untuk menjadi “mantan Muslim”.

Mengetahi kehidupan non-manusia berarti melihat refleksi sekunder yang membantu kita memahami bagaimana kehampaan dipengaruhi oleh normalitas dan tidak diterima dalam wacana agama dan peraturan sosial. Muslim lokal mengatakan “tidak ada homoseksualitas dalam Islam, tidak ada gay di komunitas kami”. Ini menunjukkan bagaimana waria harus hidup dan mengolah rasa di dalam masyarakat Muslim—tersembunyi dan serba rahasia. Di perbatasan Selatan, orang-orang diperlakukan tidak manusiawi bukan hanya lewat tindakan negara terhadap penduduk setempat, melainkan juga dalam bagaimana penduduk setempat tidak menghormati waria. Terakhir, terkait narasi non-manusia/waria, kita dapat mempertimbangkan bagaimana baik jin dan waria sama-sama tidak terlihat. Namun, dalam kenyataannya, cerita tentang jin masih memiliki ruang untuk dibicarakan, tetapi kewariaan tidak pernah menjadi narasi ataupun dibicarakan.

Samak Kosem
Peneliti, Center of Excellence in Women and Social Security, Universitas Walailak
Mahasiswa Doktoral, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Chiang Mai

References:

Anticha Sangchai. 2017. “กรณีห้องเรียนเพศวิถี: สิทธิความหลากหลายทางเพศกับชายแดนใต้/ปาตานี” [SOGIE Rights and Thailand’s Southern Border Provinces/PATANI: The Case of Buku’s Gender and Sexuality Classroom], Thammasat Journal of History. Vol.4, No.1 (January-June), pp 209-268.
Fuhrmann, Arnika. 2016. Ghostly Desires: Queer Sexuality and Vernacular Buddhism in Contemporary Thai Cinema. (Durham: Duke University Press).
Haraway, Donna. 1991. Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature. (New York: Routledge)
Ming Panha. 2019. “หลังมนุษยนิยมกับวรรณคดีวืจารณ์: กรณีศึกษาด้านภววิทยาเชิงวัตถุของแกรห์ม ฮาร์แมน” [Posthumanism and Literary Criticism: A Case Study of Object-Oriented Ontology by Graham Harman]. In Suradech Chotiudompant (ed.), นววิถี: วิธีวิทยาร่วมสมัยในการศึกษาวรรณกรรม [New Turns in The Humanities: Contemporary Methodology in Literature Studies]. (Bangkok: Siam Panya Publishing).
Morphy, Howard and Perkins, Morgan (eds.). 2006. The Anthropology of Art: A Reader. (New Jersey: Blackwell Publishing).
Myers, Fred. 2006. “Representing Culture: The Production of Discourse(s) for Aboriginal Acrylic Paintings”. In Howard Morphy and Morgan Perkins (eds.), The Anthropology of Art: A Reader. (New Jersey: Blackwell Publishing).
Samak Kosem. 2017a. “ปอแนใต้ปอเนาะ: ชาติพันธุ์วรรณาย้อนมองดูตัวเองของ“เควียร์มุสลิม”และความทรงจำวัยเด็กในโรงเรียนสอนศาสนา” บPondan under the Pondok: Reflexive: Ethnography of “Queer Muslim” and Childhood Memories in the Religious School, Thammasat Journal of History. Vol.4, No.1 (January-June), pp.161-206.
Samak Kosem. 2017b. “สหสายพันธุ์นิพนธ์ของแกะเร่ร่อนในรูสะมีแล” [Multi-species of the Stray Sheep in Ru-Sa-Mi-Lae], in Thanom Chapakdee et al (eds), เปิดโลกสุนทรีย์ในวิถีมนุษยศาสตร์ (Exploring Aesthetic Dimensions in the Humanities). Conference proceeding on 11st Thai Humanities Forum, 8-9 September 2017, Srinakharinwirot University. Pp.709-719.
Thanavi Chotpradit. 2018. “Sheep (بيريڠ): Documentary of the Nonhuman”. Chiang Mai Art Conversation. <http://www.cac-art.info/users/thanavichotpradit/journal/60/> (accessed 25 April 2020).
Willis, David. 2019. “David Willis in Conversation with Samak Kosem”. Degree Critical. <https://degreecritical.com/2019/03/22/david-willis-in-conversation-with-samak-kosem/> (accessed 25 April 2020)

 

Notes:

  1. “Tomboi” atau “toms” (dalam konteks Thailand) adalah lesbian yang bergaya busana dan bicara “maskulin” dengan jelas.