Tiga tindakan yang harus diutamakan dalam memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan

Nguyen Hung Son

Ketegangan-ketegangan di Laut Cina Selatan telah memanas beberapa tahun belakangan ini tanpa menguntungkan siapapun, baik itu Cina, ASEAN, atau komunitas internasional. Banyak pihak yang telah memperingatkan bahwa Laut Cina Selatan akan menjadi “konflik di masa depan,” 1 bahwa situasi saat ini telah “menemui jalan buntu” yang mungkin mengarah pada “konflik bersenjata,” 2 dan bahwa konflik Laut Cina Selatan “memerlukan perhatian yang mendesak dari penyusun strategi dan pembuat kebijakan.” 3 Skenario yang paling buruk dapat saja terjadi apabila pihak-pihak yang terlibat di dalam sengketa tidak dapat menyelesaikan sengketa, membiarkan konflik meledak dan menyebabkan ketidakstabilan di kawasan, menghapus tahun-tahun yang telah diwarnai dengan perdamaian yang berkesinambungan, stabilitas dan perkembangan ekonomi. Sebagai pemangku-kepentingan atas Laut Cina Selatan, ASEAN dan Cina seharusnya melaksanakan tiga tindakan berikut untuk memelihara perdamaian dan stabilitas.

Pertama, ASEAN dan Cina harus memperkuat rasa saling percaya satu sama lain.

Cina mencurigai beberapa negara anggota ASEAN telah membiarkan atau bahkan memfasilitasi kebijakan Amerika yang bersumbu di Asia (salah satu kebijakan luar negeri pemerintahan Obama) dan melibatkan Amerika dalam konflik Laut Cina Selatan. Di dalam berbagai kesempatan Cina mengingatkan ASEAN untuk “tidak mengambil posisi” dalam permainan kekuasaan regional. 4 ASEAN, pada sisi yang lain, dengan halus menyatakan kekhawatiran 5 atas niat hegemoni Cina di Laut Cina Selatan yang ditandai dengan penggunakan kekuatan militer dan para-militer untuk mengubah status quo Laut Cina Selatan yang sudah rentan. Deklarasi Air Defense Identification Zone (Zona Identifikasi Pertahanan Udara, ADIZ) atas Laut Cina Timur  yang dilakukan oleh Cina secara sepihak baru-baru ini dan kebijakan tentang penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi Hainan yang mengharuskan kapal-kapal ikan asing yang beroperasi di dua pertiga wilayah Laut Cina Selatan untuk meminta izin dari pejabat pemerintahan Cina untuk menangkap ikan, telah menimbulkan keraguan atas kemampuan Cina untuk menyelaraskan ucapan dan tindakannya – terlebih atas penegasan pemerintah Cina yang baru untuk meneruskan kebijakan sebagai tetangga ASEAN yang baik. Rasa saling tidak percaya seperti ini dapat menyebabkan timbulnya siklus aksi dan reaksi. Misalnya, penguatan angkatan bersenjata atau militerisasi di regional yang mungkin memperburuk lebih jauh kondisi keamanan dan merusak keseimbangan kekuasaan di Laut Cina Selatan dengan berbagai akibat yang akan menimbulkan ketidakstabilan. ASEAN dan Cina perlu segera menghentikan rasa saling tidak percaya seperti ini. Cina perlu meyakinkan kembali ASEAN bahwa Cina akan meneruskan kemajuannya yang damai dengan tegas menjalankan apa yang telah diumumkan oleh para pemimpin Cina, dan mengendalikan diri lebih keras. Yang terpenting, Cina perlu membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan militer Cina merupakan sebuah alasan bagi ASEAN untuk bergembira, dan bukannya malah merasa takut. Cina telah dengan jelas menunjukkan bagaimana ledakan ekonominya telah memberi keuntungan bagi kemakmuran di kawasan. Cina dapat melakukan hal tersebut dengan memanfaatkan kapabilitas armada lautnya dengan mengirimkan kapal-kapal modern yang dimilikinya bukan ke wilayah maritim yang dipersengketakan, tetapi untuk membantu memerangi bajak laut dan perampokan bersenjata, atau untuk menolong orang dan kapal yang menemui kesulitan dan membutuhkan bantuan di Laut Cina Selatan, misalnya dalam berbagai operasi penyelamatan saat bencana besar seperti pada saat taifun Haiyan menerjang Filipina di tahun 2013. Cina harusnya menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa teritorial akan ditempuh terus-menerus secara damai, tanpa menggunakan kekuatan militer atau para-militer, ataupun ekonomi. Cina seharusnya menepis setiap keraguan yang dimiliki ASEAN; bahwa Cina secara tulus mengutamakan dialog di dalam menyelesaikan konflik dengan bersikap lebih terbuka dan berusaha untuk lebih terlibat di dalam diskusi-diskusi dengan ASEAN mengenai Laut Cina Selatan, misalnya di dalam negosiasi tentang Code of Conduct yang mengikat secara regional.

ASEAN, pada sisi yang lain, harus meyakinkan Cina bahwa ASEAN tidak mencari bantuan dari kekuatan-kekuatan politik eksternal untuk menghadapi Cina. ASEAN perlu untuk menunjukkan bahwa tindakan ASEAN melibatkan kekuatan-kekuatan politik utama bertujuan untuk menciptakan keseimbangan yang dinamis 6 dan kerangka kerjasama yang menguntungkan bagi setiap pihak. ASEAN juga perlu menunjukkan pada Cina bahwa Asia Tenggara tidak berminat dan tidak memiliki kapasitas untuk campur tangan di dalam permainan kekuatan politik dunia, dan bahwa ASEAN masih sangat menjunjung tinggi ideologi ASEAN untuk mewujudkan wilayah Asia Tenggara yang damai, bebas, dan otonom bahkan hingga pada saat ini. Seperti yang disampaikan oleh Hugh White, seorang sarjana asal Australia, secara blak-blakan namun tepat bahwa “ASEAN tidak akan membantu Amerika dalam mengatur Cina untuk kepentingan Amerika.” 7

Kedua, ASEAN dan Cina seharusnya bekerja lebih keras untuk memperkuat dasar-dasar tatanan yang berasaskan hukum di Laut Cina Selatan, khususnya UNCLOS 1982.

Cina dan ASEAN sama-sama setuju bahwa UNCLOS merupakan dasar bagi terciptanya tatanan hukum di Laut Cina Selatan. Cina menyatakan “sangat penting untuk memelihara prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dari UNCLOS.” 8 ASEAN menyerukan untuk “menghormati sepenuhnya prinsip-prinsip Hukum Internasional yang diakui umum, termasuk UNCLOS 1982.” 9 Meskipun demikian, ada banyak perbedaan yang menjadi nyata di dalam proses penafsiran, penerapan, dan pelaksanaan UNCLOS yang menyebabkan timbulnya sejumlah peristiwa kesalahpahaman antara para pihak yang bersengketa. Klaim Cina tentang “hak-hak historis” atas Laut Cina Selatan merupakan salah satu contohnya. Cina bersikeras bahwa “hak-hak historis” tersebut tetap ada meski Cina ikut menandatangani UNCLOS, 10 ASEAN berpendapat bahwa hak-hak historis semacam itu sudah sepenuhnya dipertimbangkan dan didiskusikan di dalam proses negosiasi UNCLOS tahun 1982 11 dan oleh karena itu, sudah tidak berlaku lagi dengan adanya Konvensi tersebut. Perbedaan penafsiran atas UNCLOS juga dapat disebabkan berasal dari ketidakjelasan yang disengaja pada saat negosiasi isi UNCLOS dan isu-isu maritim yang baru muncul belakangan tidak sepenuhnya atau belum dipertimbangkan dengan seksama selama proses penyusunan konvensi tersebut.

Ketidakjelasan yang disengaja yang dimaksud di sini, misalnya ketidakjelasan tentang tatanan pulau-pulau dan juga tentang wilayah-wilayah maritim yang buram yang muncul di dalam UNCLOS karena salah-paham mengingat banyaknya pulau kecil, batu karang dan wilayah yang muncul saat laut surut di Laut Cina Selatan. Hak-hak dan batasan dari keberadaan aparat militer pada Zona Ekonomi Eksklusif dari suatu negara pantai yang digolongkan sebagai tindakan “bertujuan damai” dan “kebebasan pelayaran” juga menjadi perdebatan, seperti yang dicerminkan di dalam kasus di tahun 2009. Meskipun demikian, UNCLOS mewajibkan negara-negara pantai yang terhubung satu sama lain dalam laut semi-tertutup (semi-enclosed sea) untuk mengadakan kerjasama dalam berbagai aspek dan menyediakan sangat sedikit penjelasan, atau bahkan tidak sama sekali, tentang bagaimana kerjasama seperti itu seharusnya dilakukan. Sebagai contoh, bagaimana latihan militer dapat dilakukan tanpa mengancam keamanan navigasi dan lingkungan, atau bagaimana negara-negara harus bekerjasama untuk memelihara stok ikan.

On a rocky shore of the South China Sea
On a rocky shore of the South China Sea

Isu-isu yang baru muncul terkait pendayagunaan ruang maritim dan atau sumber daya maritim juga dapat memicu berbagai sengketa atau insiden baru. Isu-isu yang belum atau tidak diatur, seperti: kabel bawah laut dalam konteks pendayagunaan wilayah bawah laut di kawasan; peningkatan aktivitas-aktivitas bio-prospecting dalam pencarian sumber daya baru yang bersumber dari lautan; peningkatan pariwisata maritim khususnya eco-turisme; peningkatan jumlah instalasi yang sudah usang; dan bangunan-bangunan di laut (masalah-masalah mengenai dekomposisi dan retro-fit) yang mungkin akan mempengaruhi keamanan navigasi, terutama apabila bangunan-bangunan tersebut sudah tidak ditempati lagi, 12 semuanya dapat menjadi sumber sengketa dan ketegangan apabila tidak dikelola dengan tepat. Pada akhirnya, bahkan di dalam suatu lingkungan yang diatur dengan baik dengan penafsiran seragam, penerapan dan pelaksanaan atas aturan-aturan yang ada itu, sengketa masih mungkin saja terjadi. Misalnya, kecelakaan yang disebabkan oleh peningkatan cepat lalu lintas di dalam jaringan komunikasi Laut Cina Selatan yang sibuk. Kerjasama untuk meminimalisasi resiko dari insiden seperti itu selaras dengan kepentingan jangka panjang ASEAN, Cina, dan pengguna-pengguna Laut Cina Selatan lainnya. UNCLOS merupakan dasar terpenting dari tatanan hukum di Laut Cina Selatan. UNCLOS telah menjadi dasar penyusunan DOC dan akan menjadi dasar bagi penyusunan COC. Oleh karena itu, sangat penting dan perlu bagi ASEAN dan Cina untuk mempromosikan pemahaman tentang UNCLOS secara timbal balik, dan mempersempit celah perbedaan penafsiran atas konvensi tersebut guna mewujudkan harmonisasi di dalam penerapan dan pelaksanaannya. Langkah awal untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menyelaraskan klaim-klaim maritim yang diajukan ASEAN dan Cina sesuai dengan isi UNCLOS.

Ketiga, Cina dan ASEAN harus segera bekerja untuk menyusun suatu Code of Conduct yang bersifat mengikat di Laut Cina Selatan.

Penting untuk diingatkan bahwa merampungkan sebuah Code of Conduct yang mengikat secara regional tentang Laut Cina Selatan telah menjadi aspirasi ASEAN semenjak awal 1990-an, 13 yang juga disetujui oleh Cina ketika Cina menyatakan persetujuan untuk memulai proses negosiasi sebuah COC secara regional pada akhir 1990-an. DOC, yang ditandatangani pada 2002, merupakan COC yang tidak kunjung selesai karena ASEAN dan Cina terpaksa merampungkan suatu dokumen yang cacat ketika mereka tidak mencapai kata sepakat soal ruang lingkup penerapan dari dokumen seperti itu. 14 ASEAN dan Cina kemudian menegaskan kembali di dalam dokumen DOC itu sendiri (butir ke-10) dan di antara Kepala Negara dari kedua belah pihak pada 2006, 15 bahwa mereka akan terus melanjutkan tugas yang belum selesai tersebut dan bekerja hingga tersusunnya suatu Code of Conduct mengenai Laut Cina Selatan. Di bulan September 2013, ASEAN dan Cina memulai memulai proses konsultasi tentang COC dengan mengadakan pertemuan Pejabat Senior yang pertama untuk membahas COC di Suzhou, Cina. Pertemuan yang kedua direncanakan pada April 2014 di Thailand. Akan tetapi, meskipun ASEAN tetap berupaya untuk mencapai suatu kesimpulan awal tentang proses COC, Cina sama sekali tidak terlihat tergesa-gesa di dalam proses penyusunan COC, dan sampai saat ini belum tercapai persetujuan tentang jadwal atau rencana kerja yang spesifik berkaitan dengan proses konsultasi tersebut.

Banyak yang percaya bahwa peran proaktif Cina untuk menyusun COC akan menguntungkan Cina karena hal tersebut menunjukkan bahwa ASEAN dan Cina dapat bekerja-sama untuk menyelesaikan masalah mereka. Ini akan menjadi jaminan yang paling kuat untuk mencegah campur tangan pihak asing di dalam konflik Laut Cina Selatan, seperti yang diharapkan Cina. Di dalam proses penyusunan COC, ASEAN dan Cina harus selalu mengingat titik-titik lemah DOC dan menjamin bahwa COC yang akan disusun itu tidak akan menjumpai masalah yang sama. Pertama, COC harus menjadi lebih detail dan mencoba untuk menghindari, semampu mungkin, keraguan bahasa yang kerap dijumpai pada DOC. Kedua, COC harus menyediakan mekanisme yang jelas untuk menjamin kepatuhan pihak-pihak yang bersengketa di dalam pelaksanaan COC, misalnya dengan menyediakan mekanisme peninjauan ulang yang terinstitusi. Ketiga, COC harus menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa di dalam penafsiran dan penerapan COC itu sendiri. Terakhir, COC harus menyediakan tidak hanya aturan dan prinsip yang menyeluruh, tetapi juga petunjuk prosedur yang jelas yang dapat membantu pihak-pihak yang terjebak dalam sengketa untuk menemukan jalan guna mencegah meledaknya sengketa itu.

Ada banyak alasan kuat untuk percaya bahwa situasi di Laut Cina Selatan dapat dikendalikan. Kepentingan-kepentingan geostrategis ASEAN dan Cina di Laut Cina Selatan dapat diselaraskan. Berbagai pandangan hukum oleh ASEAN dan Cina tentang Laut Cina Selatan dapat diselaraskan. Banyak perbedaan antara ASEAN dan Cina di Laut Cina Selatan yang muncul atau diperparah oleh salah pengertian atau tidak adanya saling pengertian yang dapat diatasi melalui dialog dan kerjasama di antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, ASEAN dan Cina harus mengambil langkah-langkah segera untuk melaksanakan tiga tindakan yang disebutkan di atas guna menstabilkan kondisi strategis, memperkuat dasar hukum di kawasan dan mempromosikan rasa saling percaya untuk meredakan ketegangan di Laut Cina Selatan.

Nguyen Hung Son
Direktur, Institut Kebijakan Kajian Laut Cina Selatan
Akademi Diplomasi Vietnam

Pandangan yang ada dalam tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis. 

(Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary)

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 15 (March 2014). The South China Sea

Notes:

  1. Robert Kaplan, “The South China Sea Is the Future of Conflict”, Foreign Policy, Sept/Oct 2011
  2. International Crisis Group Report, “Stirring up the South China Sea: Regional response”
  3. Michael Wisley dari Lowye Institute, “What is at stake in the South China Sea”, 25 July 2012
  4. Pesan Fu Ying disampaikan di Bangkok pada Juni 2012, dimuat dalam The Nation; lihat: http://www.nationmultimedia.com/politics/Chinese-minister-Asean-can-shape-power-play-in-E-A-30184834.html
  5. Pertemuan Menteri Luar Negeri Negara-Negara Anggota ASEAN di Bali, Juli 2011, menyatakan kekhawatiran yang serius atas berbagai insiden yang terjadi di Laut Cina Selatan; lihat: http://www.asean.org/documents/44thAMM-PMC-18thARF/44thAMM-JC.pdf
  6. Seperti yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia dalam dialog Shangri-la, Singapura, Juli 2012, dilaporkan di situs Kementrian Luar Negeri Indonesia:  http://www.setkab.go.id/mobile/international-4585-sby-encourages-durable-peace-for-asia-pacific-architecture-to-forge-a-new-understanding-of-stability-and-prosperity.html
  7. Komentar Hugh White dari Lowye Institute, The Interpreterhttp://www.lowyinterpreter.org/post/2012/08/02/ASEAN-wont-help-US-manage-China.aspx
  8. Disampaikan oleh Juru Bicara Kementrian Luar Negeri Cina pada 21 Juli 2012, lihat: http://www.fmprc.gov.cn/eng/xwfw/s2510/t955114.htm
  9. Prinsip nomor 4 dari Enam Prinsip ASEAN tentang Laut Cina Selatan
  10. Pasal 14 dari Zona Ekonomi Eksklusif and Continental Shelf Act (26 Juni 1998) menyatakan bahwa “aturan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak historis Republik Rakyat Cina.”
  11. Lihat proposal Filipina pada UNCLOS at A/AC.138/SC.II/L.46
  12. Hasim Djala, “Thirty years after the adoption of UNCLOS 1982,” Jakarta Post, 21 August 2012.
  13. Pasal 4 dari Deklarasi ASEAN tentang Laut Cina Selatan menyatakan “Menyerahkan pada semua pihak yang terkait untuk menerapkan prinsip-prinsip yang termuat di dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia sebagai dasar untuk menyusun sebuah code of international conduct di Laut Cina Selatan.”
  14. Ralf Emmers, “ASEAN, China and the South China Sea: an opportunity missed”, IDSS Commentaries, 30/2012
  15. Pada Konferensi Tingkat Tinggi Peringatan 15 Tahun Hubungan ASEAN-Cina, ASEAN dan Cina berjanji untuk “bekerja untuk mewujudkan penggunaan, berdasarkan kesepakatan maksimum, suatu code of conduct di Laut Cina Selatan, yang akan meningkatkan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut” (Pasal 14 dari Deklarasi Bersama, lihat: http://www.aseansec.org/18894.htm).