Wanara: Mengaburkan Batas-Batas Klasifikasi Komik di Indonesia

Febriani Sihombing

Komik adalah salah satu dari bentuk publikasi yang paling signifikan di Indonesia. Angka penerbitan awal untuk publikasi komik terjemahan adalah lima kali lebih besar (15,000 per judul) dibandingkan judul-judul yang lain (Kuslum, 2007; Indonesia Today, 2012). Buku-buku dengan penjualan terbaik di Indonesia merupakan edisi terjemahan komik Jepang (Kuslum, 2007). Sayangnya, jumlah komik yang ditulis dan diterbitkan di Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan yang diimpor.

Penerbit komik besar Elex Media Komputindo (EMK) menerbitkan 52 terjemahan komik Jepang dan 1 komik lokal per bulan. M&C, salah satu penerbit komik besar yang lain, mengakui bahwa 70% dari buku terbitan mereka merupakan terjemahan komik Jepang (Kuslum, 2007). Popularitas komik terjemahan Jepang juga didukung dengan strategi lintas media (cross media strategy) yang mereka terapkan. Keberadaan komik Jepang menciptakan kesadaran tentang komik lokal di dalam masyarakat Indonesia (Ahmad. Et. al, 2005: 1, 2006: 5, 44-45; Darmawan, 2005). Cerita tentang komik Jepang sebagai suatu ancaman atas komik Indonesia muncul di dalam Koran nasional Kompas (26 November 2007); dan di dalam beberapa pameran komik seperti “Pameran Komik DI:Y (Daerah khusus: Dirimu sendiri)” tahun 2007 dan “Ekshibisi Sejarah Komik Indonesia” (2011).

Para pembaca telah menyadari beberapa perbedaan kecil yang memisahkan komik lokal dan bagaimana komik asing berbeda satu sama lain. Satu alasan mengapa para pembaca memiliki pengetahuan tentang perbedaan kecil tersebut adalah melalui pengenalan terbitan komik asing pada periode yang berbeda. Komik pahlawan super dari Amerika diimpor pada tahun 1950-an, sementara komik petualangan Tintin dan Asterix dari Eropa dibawa masuk ke pasar Indonesia pada tahun 1970-an. Komik Jepang memasuki pasar pada penghujung tahun 1980-an. Satu alasan lain adalah komik asing memiliki gambar yang berbeda. Kombinasi dari kedua faktor tersebut mendorong pengklasifikasian komik berdasarkan wilayah geopolitik seperti yang terlihat di sejumlah terbitan (Ahmad et. al. 2005, 2006; Giftanina, 2012; Darmawan, 2005), dan di dalam praktek penerbitan komik. Para pembaca, penerbit, dan seniman merujuk bahwa banyak komik lokal digambar dengan gaya komik asing.

Gaya di sini merujuk pada suatu kebiasaan komik yang abstrak. Di dalam diskusi mengenai komik Indonesia, gaya merujuk pada penggambaran karakter/tokoh, tata letak panel, atau tema- elemen-elemen yang berkaitan dengan stereotipe visual. Contoh yang paling utama meliputi: karakter dengan mata besar di komik Jepang (manga), komik pahlawan super Amerika dengan gambar yang realistis, dan gambar dengan gaya ligne claire di komik-komik Eropa (Giftania, 2012; Ahmad, et. al. 2005, 2006:109). Para penerbit bisa mengarahkan seniman mereka untuk menggambar menggunakan suatu gaya tertentu. 1 Sejumlah penerbit di Indonesia dengan jelas menyatakan di dalam panduan tentang penyusunan naskah komik bahwa mereka menolak komik gaya Jepang (misalnya Terrant Comics) (lihat Darmawan, 2005: 261), sementara beberapa penerbit menerima semua gaya (misalnya Makko). Seorang editor dapat dengan terang-terangan menggunakan suatu gaya di sampul belakang komik. Satu contoh adalah Mat Jagung (Dahana, 2009) yang menyatakan bahwa komik tersebut digambar dengan menggunakan gaya Eropa. 2

Mengidentifikasi gaya dari suatu komik sangatlah berguna karena dengan cara demikian pembaca komik dapat dengan mudah dikelompokkan (Ahmad et. al, 2006: 83-87). Hafiz Ahmad, Alvanov Zpalanzani, dan Beny Maulana menyebutkan di dalam buku mereka Histeria! Komikita (2006) mengenai segmentasi pembaca melalui kecondongan yang berbeda akan gaya komik (Ahmad et. al, 2006: 93-100). Mereka menyatakan bahwa para pembaca enggan membaca komik yang dibuat dengan gaya lain (Ahmad et. al, 2006:93), dengan demikian para pembaca komik Jepang hanya dapat diperkenalkan dengan komik Indonesia yang dibuat dengan gaya Jepang. Disebutkan pula bahwa kecondongan terhadap suatu gaya tertentu terlihat jelas pada generasi yang berbeda (Ahmad et. al, 2006:94). Semenjak dekade 1940-an dan 1950-an komik impor dari Amerika masuk ke pasar Indonesia, dan dimulailah ledakan populer komik pahlawan super ala Indonesia, seperti Garuda Putih, Puteri Bintang, dan Sri Asih (Ahmad et. al, 2006: 94). 3 Komik Eropa masuk ke pasar Indonesia sebelum gelombang komik Jepang pada tahun 1980-an ketika terjemahan komik Jepang masuk ke pasar Indonesia bersama-sama dengan animasi. Oleh karena itu, setiap generasi menerima pengaruh dari budaya komik yang berbeda (Ahmad et. al, 2006:94). Ketika para pembaca komik ini membuat komik mereka sendiri, mereka meniru gaya yang paling mereka kenal. Mereka juga menyerahkan naskah untuk publikasi pada penerbit yang menerima gaya yang mereka gunakan dalam menggambar. Dengan demikian, gaya telah menjadi standar yang nyaman untuk mengidentifikasi suatu keindahan dan kecondongan di dalam membaca, menulis, dan menerbitkan komik.

FIGURE 1a: Translated foreign comics (American, Japanese, European) in Indonesia
Gambar 1a: Terjemahan komik-komik asing (KiriàKanan: Amerika, Jepang, Eropa] di Indonesia
FIGURE 1b: Local comics (American style, Japanese style, European gaya)
Gambar 1b: Komik-komik lokal (KiriàKanan: gaya Amerika, gaya Jepang, gaya Eropa

Sebagai seorang pembaca, saya telah memahami konsep tentang gaya yang berbeda-beda secara intuisi. Penjelasan yang ditawarkan Giftanina (2012) dan Ahmad et. al (2006) di atas adalah seteliti tiap upaya umum lain dalam menjelaskan mengenai gaya yang berbeda di dalam berbagai diskusi. 4 Akan tetapi, sebagai seorang yang mempelajari komik secara ilmiah, saya masih menemukan kesulitan untuk menemukan rasionalitas dibalik kebutuhan untuk mengklasifikasi gaya berdasarkan label geopolitik. Klasifikasi tersebut telah menyebabkan banyak kontroversi seperti: pencarian untuk menemukan suatu gaya yang unik dan berbeda untuk Indonesia. Giftanina (2012) memberi satu hipotesis bahwa cita rasa Indonesia yang unik atas keindahan dapat berkontribusi pada peta gaya komik secara global, sementara ada upaya-upaya lain seperti yang dilakukan oleh MKI dan oleh sejumlah penerbit lainnya (Terrant Comics) untuk mengisolasi gaya Jepang yang tengah popular pada saat ini di dalam upaya untuk menciptakan suatu gaya Indonesia yang unik.

Tulisan ini tidak akan membuat klaim seperti itu, justru tulisan ini akan memperluas diskusi yang sudah dimiulai Giftanina (2012) dan Ahmad et. al (2006) mengenai masalah dan potensi yang ada di belakang klasifikasi tentang gaya. Dengan mendiskusikan komik Indonesia, Wanara, saya akan menjelajahi batas-batas yang kabur tentang gaya yang berbeda di Indonesia. 

WANARA

Wanara ditulis dan digambar oleh Sweta Kartika. Sejak Mei 2011, Sweta Kartika menerbitkan komik yang ia buat tiap bulan melalui internet: Makko (http://makko.co). Setiap bagian cerita terdiri atas lebih sedikit dari 30 halaman.

Makko adalah penerbit yang menerima naskah untuk publikasi dari semua gaya:

“Kami tidak mendukung penulisan ke dalam satu gaya komik tertentu. Komik tidak harus digambar dengan menggunakan gaya yang spesifik seperti manga, US, Eropa, manhwa, manhua, dan lain-lain. Kami memiliki standar spesifik kami sendiri untuk menyeleksi komik yang akan kami gunakan.” (Makko.Co. Perusahaan Penerbitan Komik)

Panduan penulisan naskah tersebut mengakui gaya komik yang berbeda di Indonesia dan tidak pernah memberi label terhadap komik yang mereka terbitkan dengan suatu gaya spesifik tertentu. Oleh karena itu, seseorang dapat mulai membaca Wanara tanpa mengasumsikan suatu gaya asing dilabelkan pada karya mereka.

Wanara menampilkan sejumlah petualangan dari seorang siswa Sekolah Menengah Atas yang bernama Seta. Seta adalah seorang yang mempraktekkan ilmu bela diri dan penggemar pahlawan super, yang mencoba menyelamatkan seorang veteran pahlawan super. Pahlawan super yang sudah lanjut usia ini, Panca, diculik oleh sebuah organisasi yang disebut dengan P.CO, yang dipimpin oleh Panda. Brata, seorang pengikut dari Panca, juga sedang di dalam perjalanan untuk menyelamatkan Panca. Seta dan Brata bertemu dengan pahlawan muda yang lain dengan tujuan yang sama dan membentuk perkumpulan pahlawan super yang baru, “Wanara”. “Wanara” melanjutkan tugas dari generasi pahlawan sebelumnya untuk mengalahkan kejahatan.

FIGURE 2: The main characters of Wanara
Gambar 2: Tokoh-tokoh utama di dalam Wanara

Kisah petualangan Wanara punya latar belakang di wilayah perkotaan Indonesia pada masa modern. Sebagai seorang siswa SMA, Seta mengenakan seragam yang ditetapkan oleh pemerintah atau pakaian normal lainnya yang dikenakan oleh remaja umumnya. Latar belakang Wanara didasarkan pada realitas Indonesia dengan sentuhan fiksi-sains melalui keberadaan hewan yang menyerupai manusia, karakter yang berbentuk tidak seperti manusia, teknologi bernuansa masa depan, dan aksi supernatural. Latar belakang ini dikontraskan dengan penggambaran elemen tradisional Jawa dan Sanskrit. Contohnya adalah penggunaan keluarga kerajaan Jawa kontemporer di dalam alur cerita, dan ilustrasi tentang kuil dan motif Jawa kuno. Mereka juga menggunakan keraton Yogyakarta.

FIGURE 3a: The landscape of Wanara
Gambar 3a: Latar Belakang Wanara
FIGURE 3b: The landscape of real life Indonesian Culture
Gambar 3b: Latar belakang dari budaya Indonesia pada kehidupan nyata
FIGURE 4a: The decoration of Wanara
Gambar 4a: Dekorasi di dalam Wanara
FIGURE4b: The decoration of Javanese Culture
Gambar 4b: Dekorasi dari kebudayaan Jawa

Saya menikmati cerita Wanara yang menarik yang dikemas dengan aksi yang menggetarkan hati. Adegan-adegan aksi digambarkan dengan jelas melalui satu seri panel yang berkesambungan.

FIGURE.5: The action in Wanara Chapter 5: L→R p. 14 – 17 (left to right, top to bottom)
Gambar.5: Aksi di dalam Wanara Bab 5: Kiri→Kanan halaman 14 – 17 (kiri ke kanan, atas ke bawah)

Keempat halaman ini tidak hanya terdiri dari panel-panel yang menceritakan dengan mendetail satu aksi setelah yang lain, tetapi juga menunjukkan kembali kecepatan dari aksi yang terjadi. Garis-garis vertikal menggambarkan kecepatan jatuh sementara garis-garis diagonal di belakang Mr. Q. menggambarkan monster yang tengah bergerak dengan kecepatan manusia super. Membaca melalui gambar ini, saya berpikir bahwa Wanara digambar dengan gaya Jepang. Terlepas dari gambaran yang realistis dari lingkungan sekolah di Indonesia dan pengingat konstan tentang kebudayaan Jawa (sampul dari setiap edisi Wanara menggambarkan sebuah maskot dengan dekorasi tradisional Jawa), gaya panel dan pergerakan di dalam komik membuat saya dengan cepat mengasosiasikan Wanara dengan gaya Jepang.

Meskipun Wanara tidak diberi label sebagai komik gaya Jepang oleh penerbit komik tersebut, rasa kedekatan dengan gaya Jepang tidak membuat saya terkejut. Saya menyadari bahwa Wanara memiliki elemen-elemen visual yang umum pada komik Jepang seperti komposisi panel-panel yang tidak seragam menunjukkan aksi-aksi mendetail yang umum ditemui pada komik shonen Jepang. Bentuk balon-balon percakapan, penggunaan onomatopoeia, gambar-gambar hitam dan putih dengan screentones dan dua tubuh yang berbeda dari karakter yang sama (perubahan bentuk tubuh dari karakter yang muncul pada situasi-situasi bernuansa komedi).

FIGURE. 6: Deformed bodies: Chapter 10 p.10
Gambar. 6: Perubahan bentuk tubuh karakter: Bab 10 halaman 10

Terlepas dari konsistensi atas stereotipe visual dengan gaya Jepang, terselip beberapa halaman berwarna yang menitikberatkan pada adegan-adegan aksi;

FIGURE. 7: Examples from Special Chapter and colored page within other chapter
Gambar. 7: Contoh-contoh dari Bab Spesial dan Halaman Berwarna di dalam Bab-Bab Lainnya

Gambar-gambar pada kesempatan-kesempatan ini lebih realistis dengan panel-panel simetris dan sudut-sudut dramatis. Dalam hal ini, konsep tentang Wanara sebagai komik bergaya Jepang beralih menjadi komik gaya pahlawan super Amerika.

Perhatian saya untuk mengasosiasikan komik Indonesia dengan suatu gaya tertentu merefleksikan bagaimana klasifikasi ini telah berakar kuat di dalam pikiran saya. Perubahan gaya di dalam Wanara membuktikan keahlian menggambar sang seniman, Sweta Kartika, yang memungkinkan dirinya untuk menguasai gaya yang berbeda-beda. Hal ini juga merupakan pengingat yang mengganggu tentang betapa cepatnya untuk mengasosiasikan gambar tertentu dengan gaya geopolitik yang lebih umum ditemukan di dalam komik Indonesia.

Wanara memiliki penggambaran yang berbeda terhadap dua generasi pahlawan super: generasi yang lebih tua dan generasi yang lebih muda. Impor genre Eropa dan Jepang pada tahun 1980-an memperkenalkan konsep tentang tokoh dengan tipe badan tidak berotot yang ambil bagian di dalam adegan aksi (keseharian, Ahmad et. al, 2005: 18, 58). Generasi yang lebih tua digambar dengan gaya Amerika, sementara generasi yang lebih muda digambar dengan menggunakan frame-frame yang lebih kecil, minim kostum, dan hanya mengenakan pakaian biasa di dalam pertarungan. Kehadiran dua generasi mewakili budaya komik yang berbeda yang utama di dua generasi yang berbeda.

FIGURE 8: The bodies of the old generation
Gambar. 8. Bentuk Tubuh dari Generasi Tua

Melalui bacaan-bacaan ini, Wanara memiliki potensi untuk memufakatkan estetika komik yang berbeda yang ada di komik Indonesia.

Batasan-batasan dan Potensi dari Klasifikasi Geopolitik melalui Wanara

Keberadaan komik-komik asing sangatlah luar biasa sehingga klasifikasi geopolitik telah menjadi suatu standar. Klasifikasi ini memulai sejumlah kecenderungan ekstrem untuk mengesampingkan gaya tertentu dengan tujuan untuk menemukan suatu domain keindahan yang eksklusif (seperti kebijakan komik Terrant yang melarang penyerahan naskah komik gaya Jepang). Masalah utama dari klasifikasi geopolitik berada di dalam eksklusivitasnya. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa sebuah komik yang digambar, ditulis, dan diterbitkan di Indonesia tetapi digambar dengan gaya asing tidak dapat dianggap sebagai komik Indonesia. Akan tetapi, Sweta Kartika meniadakan ‘peraturan’tersebut lewat karyanya, Wanara.

Melalui Wanara, sebuah komik yang oleh pembaca dikenali sebagai komik Jepang, diselipi berbagai elemen yang diasosiasikan dengan gaya komik asing lainnya. Wanara menunjukkan bahwa satu komik tidak akan pernah dapat secara eksklusif tergolong ke dalam satu gaya, dan dengan demikian mengaburkan perbedaan-perbedaan dari gaya yang berbeda. Klasifikasi seperti ini menghambat perkembangan karya-karya di masa mendatang yang memungkinkan kombinasi gaya yang berbeda. Hal tersebut membatasi kreativitas seorang pengarang/seniman dari meminjam, dan menggabungkan hasil ciptaan rekan sesama pengarang/seniman. Wanara merupakan contoh yang jelas dari kelenturan estetika komik, bahwa gaya memiliki potensi untuk berkembang di luar dari batasan apapun. Oleh karena itu, untuk memperluas estetika komik, seharusnya tidak ada satu halpun yang diisolasi dengan menggunakan klasifikasi atau definisi yang kaku.

Meski demikian, konsep tentang gaya tidak seharusnya ditinggalkan dengan segera. Di dalam kasus Indonesia, kesadaran tentang gaya dipicu oleh sejarah tentang pengaruh komik asing, yang menciptakan kecondongan untuk estetika yang berbeda. Seno Gumira Ajidarma (2011) menunjukkan bahwa komik Indonesia Panji Tengkorak dibuat-ulang sebanyak tiga kali dengan estetika yang berbeda-beda (1965, 1985, 1996). Contoh yang sama dapat terlihat dari Wanara, yaitu terdapat suatu penyatuan dari dua gaya visual yang berbeda dari dua generasi komik yang berbeda.

Istilah gaya yang telah menjadi standar di dalam publikasi komik di Indonesia menunjukkan pentingnya mengenali keberadaan dan praktikalitas tentang kategori estetika yang berbeda-beda di Indonesia di dalam teknikalitas penerbitan, misalnya panduan penyusunan naskah. Para peneliti seharusnya tidak hanya menangani tentang betapa konsep demikian mengandung masalah, tetapi juga harus menangani fungsi dan potensinya. Kaum terdidik harus sadar dengan setiap implikasi politik di dalam pertanyaan mengenai identitas di dalam diskusi mereka; dan bagaimana hal tersebut dapat melemahken kelenturan estetika komik.

Oleh: Febriani Sihombing
Kandidat Doktor, Program Pascasarjana Universitas Tohoku

(Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary)

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 16 (September 2014) Comics in Southeast Asia: Social and Political Interpretations

Daftar Pustaka

Ahmad, Hafiz, Alvanov Zpalanzani, and Beni Maulana. 2005. Martabak: Keliling Komik Dunia. Jakarta: Elex Media Komputindo
_____. 2006. Martabak: Histeria! Komikita. Jakarta: Elex Media Komputind
Ajidarma, Seno Gumira. 2011. Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbinacangan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Bonneff, Marcel. 1998. Komik Indonesia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Darmawan, Hikmat. 2005. Dari Gatotkaca Hingga Batman. Yogyakarta: Orakel.
Dwinanda, Reiny. 2007. “’Gerilya’ Komik Indonesia” dalam Republika, 11 Maret 2007. http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=285841&kat=id=306
Giftanina, Nanda. 2012. Hilangnya Identitas Kultural dalam Perkembangan Komik Lokal Indonesia. http://www.scribd.com/doc/46912306/Masa-Depan-Komik-Indonesia-Sebagai-Medium-Visual-as-Kultural. [Diakses: 27 Juni 2012]Indonesia Today. 2012. “Dunia Perbukuan Indonesia di Ujung Tanduk” dalam Indonesia Today, 29 Juni 2012. http://www.itoday.co.id/pendidikan/dunia-perbukuan-indonesia-di-ujung-tanduk
Kartika, Sweta. 2011 ~ 2013. Wanara. http://makko/co [Diakses: 1 Februari 2014]Kuslum, Umi. 2007. “Masih dalam Dekapan “Manga”” dalam Kompas, 26 November 2007.
McCloud, Scott. 1993. Understanding Comics. New York: Harper Perennial.
_____. 2001. Memahami Komik [Indonesian translation of McCloud 1993]. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Wawancara dengan artis studio komik Seven Art Land, Rie, di Cilandak (18 September 2010).

Notes:

1 Wawancara dengan artis komik Indonesia Rie, 18 September 2010.
2Mat Jagung adalah satu contoh model yang layak untuk dipuji. Strip komik dengan tema anti-korupsi ini dibuat dengan gaya komik Eropa dan telah sukses menarik perhatian para pembaca setiap minggu.’ (Dahana, 2009)
3 Diskusi tentang bagaimana komik asing memberi pengaruh di dalam pembuatan komik Indonesia dimulai pada penerbitan komik Indonesia yang pertama Komik Indonesia (1998) yang didasarkan pada disertasi karangan seorang peneliti komik, Marcel Bonneff, tentang komik-komik Indonesia Les Bandes Dessinnes Indonesiennes (1976). Di dalam disertasinya itu, Bonneff menyatakan bahwa genre pertama dari komik Indonesia menerima banyak pengaruh dari komik asing. Sebagai contoh: genre silat didasarkan atas komik Cina yang populer pada tahun 1960-an di Indonesia (Bonneff, 1998: 24). Pertanyaan saya terhadap konsep Bonneff tentang pengaruh komik asing terhadap gaya Indonesia dapat dibaca di IMRC/NUS.
4 Pengarang dan jurnalis Seno Gumira Ajidarma, di dalam disertasinya tentang komik Indonesia Panji Tengkorak (2011) menulis tentang tiga estetika yang berbeda di Indonesia melalui tiga kali pembuatan ulang komik klasik Panji Tengkorak (1968, 1985, 1996). Tulisannya adalah satu-satunya pembahasan yang tidak pernah berupaya untuk mengklasifikasikan estetika di dalam klasifikasi geopolitik akan gaya, layaknya yang umum didiskusikan di tempat lain di Indonesia. Melalui perbedaan-perbedaan visual dari tiga versi Panji Tengkorak, ia menyatakan bahwa reproduksi budaya merupakan konstruksi dari ideologi yang populer pada tiap waktu tertentu.
Pengarang Hikmat Darmawan juga berupaya untuk mendiskusikan tentang komik asing, termasuk catatan secara ideologi dan budaya, di dalam Dari Gatotkaca hingga Batman (2005), dan pengaruh mereka terhadap Indonesia. Ia menyimpulkan dengan mendorong Indonesia untuk menciptakan ikon komik dan model produksi yang khas Indonesia. Dua tulisan ini tidaklah begitu dikenal di luar kalangan peneliti komik Indonesia. Sementara itu, buku karangan Ahmad et. al adalah buku populer yang dapat diperoleh di toko buku utama.

Notes:

  1. Wawancara dengan artis komik Indonesia Rie, 18 September 2010.
  2. Mat Jagung adalah satu contoh model yang layak untuk dipuji. Strip komik dengan tema anti-korupsi ini dibuat dengan gaya komik Eropa dan telah sukses menarik perhatian para pembaca setiap minggu.’ (Dahana, 2009)
  3. Diskusi tentang bagaimana komik asing memberi pengaruh di dalam pembuatan komik Indonesia dimulai pada penerbitan komik Indonesia yang pertama Komik Indonesia (1998) yang didasarkan pada disertasi karangan seorang peneliti komik, Marcel Bonneff, tentang komik-komik Indonesia Les Bandes Dessinnes Indonesiennes (1976). Di dalam disertasinya itu, Bonneff menyatakan bahwa genre pertama dari komik Indonesia menerima banyak pengaruh dari komik asing. Sebagai contoh: genre silat didasarkan atas komik Cina yang populer pada tahun 1960-an di Indonesia (Bonneff, 1998: 24). Pertanyaan saya terhadap konsep Bonneff tentang pengaruh komik asing terhadap gaya Indonesia dapat dibaca di IMRC/NUS.
  4. Pengarang dan jurnalis Seno Gumira Ajidarma, di dalam disertasinya tentang komik Indonesia Panji Tengkorak (2011) menulis tentang tiga estetika yang berbeda di Indonesia melalui tiga kali pembuatan ulang komik klasik Panji Tengkorak (1968, 1985, 1996). Tulisannya adalah satu-satunya pembahasan yang tidak pernah berupaya untuk mengklasifikasikan estetika di dalam klasifikasi geopolitik akan gaya, layaknya yang umum didiskusikan di tempat lain di Indonesia. Melalui perbedaan-perbedaan visual dari tiga versi Panji Tengkorak, ia menyatakan bahwa reproduksi budaya merupakan konstruksi dari ideologi yang populer pada tiap waktu tertentu.
    Pengarang Hikmat Darmawan juga berupaya untuk mendiskusikan tentang komik asing, termasuk catatan secara ideologi dan budaya, di dalam Dari Gatotkaca hingga Batman (2005), dan pengaruh mereka terhadap Indonesia. Ia menyimpulkan dengan mendorong Indonesia untuk menciptakan ikon komik dan model produksi yang khas Indonesia. Dua tulisan ini tidaklah begitu dikenal di luar kalangan peneliti komik Indonesia. Sementara itu, buku karangan Ahmad et. al adalah buku populer yang dapat diperoleh di toko buku utama.