Disebut sebagai sebuah dokumen yang menjadi batu loncatan antara hubungan ASEAN dan Cina mengenai Laut Cina Selatan pada tahun 2002, dokumen Declaration on the Conduct of Parties in the South Cina Sea (DOC) belum berhasil memenuhi misinya untuk membangun rasa saling percaya di antara negara-negara yang terlibat di dalam konflik Laut Cina Selatan dan untuk mencegah konflik Laut Cina Selatan berkembang lebih jauh. Selama ini dokumen DOC hanya berfungsi untuk memberi batasan-batasan moral bagi para pihak yang terkait. Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri, dokumen DOC setidak-tidaknya telah berperan sebagai referensi ketika muncul masalah atau terjadi ketegangan dan juga berperan sebagai dasar untuk negosiasi mengenai penyusunan dokumen code of conduct (COC).
Saat ini negara-negara ASEAN dan Cina baru saja memulai proses diskusi dokumen COC, karena itu sangat penting bagi para pihak yang terkait dalam sengketa untuk mengatasi titik-titik lemah dari dokumen DOC ketika mereka mendiskusikan dan menegosiasikan dokumen COC.
Apa yang dapat diketahui dari proses penyusunan dokumen DOC?
Negara-negara anggota ASEAN dan Cina menandatangani dokumen DOC pada November 2002 di Kamboja setelah melalui negosiasi berkepanjangan yang memakan waktu beberapa tahun. Di dalam pandangan banyak analis, dokumen DOC pada dasarnya tidak lebih dari satu bentuk kompromi di antara dua posisi: tidak melakukan apapun atau membentuk perjanjian resmi yang mengikat secara hukum. Isi dari dokumen DOC dengan jelas menyebutkan tiga tujuan: mempromosikan upaya-upaya untuk membangun rasa saling percaya di antara para pihak, melibatkan diri di dalam kerjasama maritim, dan menyediakan dasar diskusi dan penyusunan suatu dokumen COC yang formal dan dengan kekuatan hukum yang mengikat.
Sejumlah pengamat percaya bahwa dokumen DOC tidak sepenuhnya gagal. Sebagai suatu bentuk perwujudan niat politik yang baik dari para pihak, dokumen DOC telah berperan besar dalam membantu mempertahankan kestabilan Laut Cina Selatan secara menyeluruh. Dokumen DOC telah berperan sebagai wadah bagi semua pihak yang bersengketa untuk berkomunikasi dan bertukar pandangan. Beberapa pengamat percaya bahwa dokumen DOC setidaknya berperan sebagai pembatas moral bagi semua negara yang bersengketa di Laut Cina Selatan di dalam bertindak. Mereka juga setuju lebih jauh bahwa sebenarnya dokumen DOC telah berkontribusi dalam terjalinnya sejumlah bentuk kerja sama di Laut Cina Selatan: misalnya riset seismik bersama antara Cina, Vietnam dan Filipina dari 2005 sampai 2008.
Namun demikian, sebagian besar analis kecewa karena kurang efektifnya dokumen DOC dalam pemenuhan ketiga tujuan yang terkandung di dalamnya. Sampai sejauh ini, tidak satupun negara yang terlibat dalam sengketa yang mematuhi isi dokumen DOC sepenuhnya, meskipun sesungguhnya pelanggaran atas pasal-pasal yang termuat di dalam dokumen DOC cukup bervariasi dari satu negara ke negara lain. Setelah perampungan dokumen DOC, hanya ada sedikit contoh dari proyek-proyek kerjasama bilateral maupun multilateral di Laut Cina Selatan yang terbentuk. Dan bahkan sebelum tahun 2011, perkembangan tentang pembicaraan mengenai penyusunan suatu dokumen COC berlangsung sangat lambat dan tidak begitu berhasil.
Ada sejumlah alasan di balik beberapa kegagalan ini. Banyak analisis yang percaya bahwa dokumen DOC itu sendiri sebenarnya cacat karena tidak memiliki kekuatan yang resmi untuk mengekang tindakan pihak-pihak yang bersengketa di Laut Cina Selatan. Dokumen DOC tidak memiliki mekanisme untuk memonitor atau bahkan, memaksa para pihak untuk mematuhi isinya. Sejumlah analisis berpendapat bahwa Cina tidak punya kepentingan dalam proses menyusun DOC dan tidak begitu berniat melaksanakan isi DOC kalau-kalau malah isinya akan memgancam klaim kedaulatan Cina di Laut Cina Selatan. Lebih spesifik lagi, banyak yang percaya bahwa Cina tidak berminat untuk mendorong terjadinya kerjasama di Laut Cina Selatan karena Cina tidak senang dengan adanya konsultasi internal di antara empat negara anggota ASEAN yang terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan, persis sebelum berlangsungnya pertemuan ASEAN-Cina berkaitan dengan dokumen DOC. Lebih jauh lagi, dapat juga dikatakan bahwa situasi yang relatif stabil di Laut Cina Selatan sebelum 2008 merupakan salah satu penyebab mengapa pihak-pihak yang terlibat sengketa tidak berniat mengambil langkah serius untuk melaksanakan DOC baik secara individu maupun secara kolektif.
Isi dari dokumen DOC menyediakan sedikit informasi mengenai bagaimana upaya-upaya membangun rasa saling percaya dan kerjasama di antara pihak-pihak yang bersengketa di Laut Cina Selatan akan dilakukan. Yang dipahami secara umum pada saat itu adalah para pihak yang terlibat harus menyikapi DOC dengan mengadakan langkah berikutnya seperti diskusi lebih jauh mengenai lingkup kerjasama, syarat-syarat spesifik, dan kebijakan-kebijakan untuk mendorong terjalinnya kerjasama.
Di masa awal tahun pertama setelah penandatanganan dokumen DOC, baik negara-negara anggota ASEAN maupun Cina memang telah berupaya untuk menjalin kerjasama maritim. Pada tahun 2003, Cina dan negara-negara anggota ASEAN memutuskan untuk mengadakan pertemuan reguler Pejabat Senior ASEAN-Cina (Senior Official’s Meeting/SOM) guna membahas pelaksanaan DOC. Mereka juga membentuk sebuah grup kerjasama untuk menangani hal-hal spesifik berkaitan dengan masalah tersebut. Pada bulan Desember 2004, pertemuan SOM tentang DOC yang pertama diadakan di Kuala Lumpur, dan dalam pertemuan tersebut mereka memutuskan untuk membentuk grup kerjasama guna membahas pelaksanaan DOC. Mereka juga menyusun sebuah dokumen yang menjelaskan susunan, fungsi dan tanggung jawab dari grup kerjasama tersebut. Grup kerjasama tersebut bertugas untuk mempelajari dan menyediakan gagasan berkaitan dengan kebijakan pengimplementasian DOC, juga untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan yang mungkin dapat menyebabkan konflik Laut Cina Selatan bertambah parah. Grup kerjasama tersebut juga diharapkan untuk mengusulkan tenaga-tenaga ahli yang dapat menyediakan bantuan teknis atau saran kebijakan. Grup kerjasama tersebut diharapkan untuk mengadakan pertemuan setidaknya dua kali dalam setahun dan menyampaikan laporan kepada SOM setelah tiap pertemuan. Bidang-bidang kerjasama yang diadakan meliputi perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah tentang laut, navigasi keamanan maritim, operasi pencarian-penyelamatan dan anti-kriminal lintas negara.
Pertemuan pertama dari grup kerjasama tersebut berlangsung di Manila dari 4 Agustus sampai 5 Agustus 2005. Pada pertemuan tersebut ASEAN mengajukan sebuah contoh dokumen berisi tujuh butir petunjuk terkaitan dengan pelaksanaan DOC. Butir kedua dari dokumen tersebut menyatakan bahwa ASEAN akan meneruskan tradisi untuk mengadakan konsultasi internal antar anggota ASEAN sebelum bernegosiasi dengan Cina. Cina menolak butir kedua ini, dengan alasan bahwa Laut Cina Selatan hanya terkait dengan sejumlah anggota ASEAN saja, dan bukan keseluruhan ASEAN. Jadi, Cina menyatakan bahwa Cina lebih memilih untuk berdiskusi langsung dengan negara-negara ASEAN yang terkait daripada berhubungan dengan ASEAN secara kolektif. Perbedaan pandangan tentang butir kedua ini terus membayang-bayangi pertemuan-pertemuan berikutnya. Pada pertemuan kedua grup kerjasama yang diadakan di Sanya pada 2006, suatu kesepakatan yang sangat penting berhasil dicapai: semua pihak yang bersengketa setuju untuk memusatkan perhatian pada 6 hal lingkup kerja sama.
ASEAN dan Cina bahkan pada akhirnya setuju untuk merampungkan petunjuk-petunjuk tentang pelaksanaan DOC pada Juli 2011 pada pertemuan Menteri Luar Negeri Cina-ASEAN. Kedua belah pihak berhasil menemui kata sepakat mengenai isu kesatuan ASEAN. Pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Cina yang diselenggarakan pada November 2011, mantan Perdana Menteri Cina, Wen Jiabao, menyatakan bahwa Cina berniat untuk terus menjadi tetangga yang baik, teman baik, dan mitra yang baik bagi ASEAN. Ia menyatakan bahwa Cina berniat untuk bekerjasama dengan negara-negara ASEAN untuk melaksanakan DOC secara keseluruhan. Ia juga menambahkan bahwa Cina berniat mendiskusikan penyusunan COC. Wen juga berjanji untuk menyediakan pinjaman sebesar 10 milyar dolar Amerika (termasuk di dalamnya pinjaman preferensial sebesar 4 milyar dolar Amerika) untuk proyek-proyek infrastruktur di negara-negara ASEAN.
Sejak akhir 2011 sampai pertengahan 2012, pejabat-pejabat senior ASEAN bekerja dalam menyusun kerangka sebuah dokumen yang menggambarkan garis-garis besar bagi dokumen COC. Karena negara-negara ASEAN melakukan hal tersebut tanpa partisipasi langsung dari Cina, Cina merasa tidak senang, tetapi tidak memprotes secara langsung wujud nyata dari solidaritas ASEAN tersebut. Pada pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Phnom Penh pada Juli 2012, ketika ASEAN mengajukan kepada Cina dokumen yang mengandung unsur-unsur utama dokumen COC itu, Cina masih menunjukkan niat untuk bekerjasama dengan ASEAN dalam proses penyusunan COC.
Meskipun Beijing tidak menentang pembukaan negosiasi mengenai COC, mantan menteri luar negeri Cina, Yang Jiechi, menegaskan bahwa diskusi soal COC dapat didasarkan pada kesepakatan penuh terhadap isi dokumen DOC oleh semua pihak. Ia menambahkan, “Cina berharap semua pihak yang terlibat akan bekerja lebih keras untuk memajukan rasa saling percaya, memajukan kerjasama, dan mendukung terbentuknya kondisi yang diperlukan bagi penyusunan COC.” 1
Pada Agustus 2013, menteri luar negeri Cina yang baru Wang Yi mengajukan empat pandangan mengenai proses COC. Pertama, perampungan COC akan memerlukan waktu yang cukup lama karena kompleksitas isu Laut Cina Selatan. Kedua, proses COC harus melalui kesepakatan maksimal dan menghormati batas-batas kenyamanan dari tiap pihak yang bersengketa. Ketiga, campur tangan dari pihak luar harus dihindari. Keempat, negosiasi harus diadakan secara bertahap. Pada dasarnya, proses COC harus sejalan dengan pelaksanaan DOC.
Pada 15 September 2013, Pertemuan Pejabat Senior Cina-ASEAN yang pertama diadakan di Suzhou. Semua pihak setuju untuk memulai proses COC dengan bertumpu pada prinsip menghormati konsensus dan pembahasan yang bertahap. Proses COC sudah pasti akan sangat melelahkan atau mengalami penundaan yang cukup lama, bertentangan dengan harapan-harapan dari negara-negara di wilayah yang sama atau kekuatan luar seperti Amerika.
Apa yang dapat COC pelajari dari DOC?
Proses penyusunan dokumen DOC memiliki banyak titik kelemahan. Pertama, sangat disayangkan bahwa sejak akhir 1990-an sampai 2002, para pihak yang terlibat di dalam negosiasi jatuh pada godaan untuk berkompromi dan merampungkan suatu dokumen yang tidak punya kekuatan mengikat. Sebagai akibatnya, kepatuhan pihak yang terkait terhadap isi dokumen DOC hanya dapat dilandaskan atas niat baik politik yang ada. Akan tetapi, niat baik politik dapat hilang dengan mudah di bawah kondisi domestik dan eksternal yang berbeda. Tidak adanya kekuatan hukum yang mengikat juga menandakan kurangnya koordinasi di antara institusi-institusi internal dari tiap negara yang terkait. Ini juga telah menjadi sumber sengketa dan ketegangan di Laut Cina Selatan selama beberapa tahun belakangan ini.
Di dalam dokumen DOC tidak dikenal adanya sanksi atau penalti atas pelanggaran isi dokumen DOC. Bahkan tidak dikenal adanya mekanisme untuk menjatuhkan sanksi retoris atupun reputasi atas pihak-pihak yang tidak mematuhi isi dokumen DOC. Pihak-pihak yang bersengketa justru kelihatannya berlomba-lomba untuk melanggar isi dokumen DOC, ketimbang mematuhinya.
Karena di dalam dokumen DOC tidak dimuat penjelasan mengenai lingkup wilayah yang diatur oleh dokumen DOC muncul ketidakjelasan mengenai lingkup wilayah berlakunya dokumen DOC. Oleh karena itu, pada saat terjadi sengketa pihak-pihak yang bersengketa selalu berdalih bahwa tindakan mereka terjadi di bagian Laut Cina Selatan yang termasuk ke dalam zona maritim mereka. Sebagai tambahan atas ketidakjelasan tentang ruang lingkup berlakunya isi dokumen DOC, tidak adanya penjelasan mengenai tindakan apa saja yang dianggap sebagai pelanggaran juga telah membuat pelaksanaan DOC menjadi lebih kompleks. Pihak-pihak yang bersengketa cenderung mengambil tindakan-tindakan sepihak di Laut Cina Selatan, khawatir bahwa tindakan oleh pihak yang lain justru akan menimbulkan dampak negatif atas klaim-klaim dan kepentingan pribadi mereka., khususnya karena pelanggaran atas isi dokumen DOC tidak mengenal penalti atau denda apapun.
Proses untuk mewujudkan sejumlah proyek kerjasama yang dimuat dalam dokumen DOC berlangsung sangat lambat. Dari analisis di atas sangat jelas bahwa penegasan berulang-ulang oleh sejumlah negara ASEAN tentang isu Laut Cina Selatan sebagai isu ASEAN versus Cina merupakan salah satu penyebab penundaan pelaksanaan proyek tersebut. Konflik yang tak kunjung selesai di antara sejumlah pihak yang bersengketa juga telah menghambat lingkup kerjasama fungsional yang ada.
Dari tahun 2002 hingga tahun 2009, penanganan isu Laut Cina Selatan sepertinya tidak mendapat campur tangan pihak eksternal. Hal ini mungkin disebabkan karena selama selang waktu tersebut situasi di Laut Cina Selatan secara keseluruhan dapat dikatakan relatif stabil sehingga pihak-pihak yang tidak terlibat langsung di dalam sengketa tidak merasa perlu untuk campur tangan. Akan tetapi semenjak 2009, pihak-pihak eksternal kelihatannya telah berusaha lebih keras dalam mengatasi konflik keamanan di Laut Cina Selatan. Dapat juga dikatakan bahwa keterlibatan pihak-pihak eksternal tersebut telah memberi tekanan atas pihak-pihak yang bersengketa untuk mempercepat pelaksanaan isi dokumen DOC.
Berdasarkan atas proses DOC, kelihatannya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa proses perampungan COC tidak akan berjalan dengan mudah. Akan sangat mungkin terjadi negosiasi yang alot di dalam proses penyusunan COC. Juga ada sejumlah alasan untuk percaya bahwa suatu dokumen COC mungkin tidak akan cukup untuk menjaga dan menjamin perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan, atau bahkan guna menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan.
Tetapi untungnya, pihak-pihak yang bersengketa, setelah beberapa dekade, telah mengembangkan atau telah setuju secara terbuka akan sejumlah prinsip dan norma-norma guna mengatasi konflik di Laut Cina Selatan. Prinsip-prinsip ini dengan jelas dijabarkan di dalam dokumen DOC dan di dalam dokumen-dokumen lain yang dihasilkan melalui negosiasi ASEAN-Cina. Semua pihak yang bersengketa telah sepakat pada prinsip untuk menyelesaikan konflik melalui jalan damai. Mereka telah setuju untuk mematuhi UNCLOS dan hukum-hukum internasional lain yang relevan di dalam menangani dan menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan. Mereka setuju untuk menggunakan pendekatan secara bilateral apabila wilayah yang dipersengketakan hanya melibatkan dua negara; dan menggunakan pendekatan secara multilateral apabila area yang dipersengketakan melibatkan lebih dari dua negara. Terlepas dari konflik-konflik kecil dan adu mulut yang kerap terjadi, pihak-pihak yang bersengketa kelihatannya benar-benar berniat untuk bekerjasama di dalam menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan.
Kesimpulan
Pada saat ini belum dapat dipastikan seberapa cepat proses COC dapat berjalan dan seberapa efektif dokumen COC yang baru dalam mengekang tindakan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa. Demi perdamaian dan stabilitas dalam jangka waktu panjang di Laut Cina Selatan, sangatlah penting bagi dokumen COC untuk dapat menjamin bahwa pihak-pihak yang bersengketa akan mematuhi isi dokumen COC, mempromosikan upaya-upaya untuk membangun rasa saling percaya, dan melaksanakan aktivitas-aktivitas kerjasama di dalam lingkup kerja yang tidak sensitif. Agar dokumen COC dapat menjadi efektif, kelemahan-kelemahan dari dokumen DOC dan sejumlah faktor yang telah menunda pelaksanaan DOC harus dapat diatasi.
Mingjiang Li
Associate professor, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS)
Nanyang Technological University, Singapura
(Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary)
Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 15 (March 2014). The South China Sea
Notes:
- http://www.china.org.cn/world/2012-07/13/content_25897836.htm. ↩