Membongkar Integritas Pemilu Myanmar: Tinjauan Pasca-Kudeta

Pada 1 Februari 2021, Tatmadaw (militer), melakukan kudeta di Myanmar, merebut kendali politik negara, dan membenarkan tindakan mereka dengan dalih adanya kecurangan meluas dalam pemilihan umum November 2020.[1] Dalam pemilu yang mereka maksud itu, Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy, NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi meraih kemenangan telak, memperoleh 920 (atau 82%) dari total 1.117 kursi yang diperebutkan, sementara Partai Solidaritas dan Pembangunan (Union Solidarity and Development Party, USDP) yang didukung militer hanya memperoleh 71 kursi atau 6,4% dari kursi yang diperebutkan.[2]

Setelah kudeta, Tatmadaw mengumumkan Keadaan Darurat untuk periode awal satu tahun.[3] Saat periode ini berakhir pada Februari 2022, Keadaan Darurat diperpanjang enam kali, masing-masing selama enam bulan, pola ini berlanjut hingga 31 Juli 2024. Jenderal Senior Min Aung Hlaing menunjuk dirinya sendiri sebagai Perdana Menteri Myanmar pada 1 Agustus 2021, enam bulan setelah kudeta militer, yang menandai pembentukan pemerintahan sementara (caretaker government) di bawahnya.[4] Ia kemudian mengambil alih posisi pejabat presiden pada 22 Juli 2024 dan memperpanjang Keadaan Darurat hingga 31 Januari 2025.[5] Tatmadaw membenarkan perpanjangan Keadaan Darurat ini dengan dalih bahwa kerusuhan dan ketidakstabilan menimbulkan risiko yang terlalu besar untuk mengadakan pemilu.[6]

Kendati Min Aung Hlaing, sebagai ketua Dewan Administrasi Negara (State Administration Council, SAC), berjanji untuk menyelenggarakan pemilu multi-partai setelah kudeta,[7] ia malah menggunakan perpanjangan Keadaan Darurat untuk secara sistematis membongkar kerangka kerja pemilu multi-partai pra-kudeta yang berkembang secara positif sejak 2003.

Perkembangan setelah kudeta pada 2021 menunjukkan adanya upaya Tatmadaw merebut kembali kekuasaan dari reformasi demokratis yang sempat menghilangkan pengaruhnya.[8] Proses perebutan kembali kekuasaan ini melibatkan pengembalian kontrol atas kerangka kerja pemilu negara untuk melemahkan peran kekuatan pro-demokrasi, sehingga memungkinkan Tatmadaw mengukuhkan wewenangnya dengan memanipulasi kerangka kerja hukum, menekan perbedaan pendapat, dan meminggirkan partai-partai oposisi.

Peta Panduan menuju Demokrasi

Pada 2003, militer Myanmar memperkenalkan visi reformasi politik baru yang disebut sebagai “Peta panduan menuju Demokrasi yang berkembang berdasarkan Disiplin”. Proses yang terdiri atas tujuh langkah ini[9] bertujuan untuk meningkatkan legitimasi rezim di dalam negeri dan internasional setelah beberapa dasawarsa pemerintahan militer yang ketat.[10] Peta panduan ini menguraikan pendekatan secara bertahap dalam membangun struktur pemerintahan yang demokratis, dimulai dengan mengadakan kembali Pertemuan Nasional (National Convention) guna menetapkan prinsip-prinsip konstitusional. Proses ini kemudian akan berlanjut ke penyusunan konstitusi baru dan pada akhirnya menciptakan pemilihan umum yang bebas dan adil.

PBB[11] menyuarakan keprihatinan bahwa peta panduan tujuh langkah yang disusun oleh militer itu kurang partisipasi dan transparansi, lantaran tidak melibatkan partai-partai politik dan pemangku kepentingan dalam proses tersebut. Terlepas dari sejumlah kritik itu, Tatmadaw tetap melanjutkan peta panduan dan memberlakukan Konstitusi 2008, yang secara efektif mengukuhkan kekuasaannya.[12] Konstitusi ini menetapkan 25% kursi parlemen bagi perwakilan militer yang tidak terpilih, memberikan hak veto kepada militer atas amandemen konstitusi, memastikan militer tetap memiliki peran dominan dalam pemerintahan sehingga reformasi demokratis hanya di permukaan saja.[13]

Pada November 2010, Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara (State Peace and Development Council, SPDC), yang merupakan pemerintah militer Myanmar, menyelenggarakan pemilihan umum, tetapi menghadapi boikot dari NLD dan beberapa partai pro-demokrasi lainnya. Kelompok-kelompok ini mengungkapkan kegagalan SPDC dalam memenuhi syarat-syarat penting bagi terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil, seperti dengan jalan mengurangi kekuasaan militer yang tertuang dalam Konstitusi 2008, yang memberi Tatmadaw kendali penting atas parlemen. Mereka juga menuntut pemantauan pemilu internasional dan pembebasan semua tahanan politik, termasuk Daw Aung San Suu Kyi, sebagai prasyarat untuk terlibat.[14]

Lantaran kurangnya jaminan bagi pemilu yang bebas dan adil, NLD dan partai-partai pro-demokrasi lainnya menarik diri dari proses pemilu sehingga Partai Solidaritas dan Pembangunan Persatuan (USDP) yang pro-militer memperoleh 129 dari 224 kursi pada Pemilu 2010, yang diselenggarakan di bawah tuduhan penyimpangan yang meluas.[15] Terlepas dari tuduhan-tuduhan tersebut, sejak 2011 Myanmar memiliki pemerintahan sipil di atas kertas, yang menyiapkan panggung bagi Pemilu 2015.

Taunggyi, Myanmar – March 2021: Peaceful protesters against the military coup: R. Bociaga / Shutterstock.com

Perkembangan Pemilu Pasca-Pemilihan Umum 2010

Pemilihan Umum 2010 ditafsirkan oleh masyarakat internasional sebagai langkah kelima dari tujuh langkah peta panduan junta menuju demokrasi yang disiplin, dengan penyelenggaraan perwakilan terpilih dan membangun negara yang modern, maju, dan demokratis di bawah demokrasi yang disiplin, sebagai langkah keenam dan ketujuh.[16]

Kerangka kerja pemilu diubah oleh pemerintah sipil yang didukung oleh militer, yang dipimpin oleh Jenderal Thein Sein, yang mengepalai Partai Solidaritas Persatuan dan Pembangunan (USDP), guna memungkinkan adanya partisipasi dalam pemilu yang jurdil.[17] Perubahan-perubahan ini meningkatkan inklusivitas melalui proses pendaftaran pemilih yang baru dan meningkatkan peluang bagi pendaftaran partai politik, termasuk meningkatkan transparansi dengan menetapkan lebih banyak ketentuan bagi Komisi Pemilihan Umum (Union Election Commission, UEC) untuk menegakkan peraturan yang lebih ketat mengenai pendanaan kampanye politik.[18]

Sebagai hasilnya, NLD mampu menghidupkan kembali dan merevitalisasi dirinya, mendirikan cabang-cabang partai di seluruh negeri dan memperluas jaringan dan keanggotaan di seluruh negeri. Pada pemilihan sela tahun 2012, yang diadakan untuk mengisi 46 kursi kosong parlemen (dari total 664 kursi) dan 2 kursi parlemen lokal di wilayah Bago/Pegu dan Ayeyarwady/Irrawaddy, NLD memenangkan semua kursi kecuali dua kursi, termasuk ketua NLD Aung San Suu Kyi yang memenangkan kursi di Majelis Rendah.[19]

Dengan meningkatnya popularitas NLD dan perubahan dalam sistem pemilu, Pemilu 2015 dilihat sebagai duel antara NLD dan USDP yang merupakan partai politik ultranasionalis dan pro-militer.[20] Lebih jauh lagi, popularitas Aung San Suu Kyi di kalangan masyarakat mendorong berbagai kelompok etnis untuk memilih NLD. Faktor-faktor ini membantu menjelaskan bagaimana pada 2015 NLD berhasil memenangkan pemilu dengan 135 kursi Majelis Tinggi dan 255 kursi Majelis Rendah, meski militer masih memegang kekuasaan yang cukup besar.[21]

Pemilu 2015 menandai titik balik penting dalam transisi demokrasi Myanmar.[22] Reformasi-reformasi penting diperkenalkan untuk memperkuat kerangka kerja pemilu dalam persiapan bagi Pemilu 2020. Reformasi tersebut termasuk meningkatkan Komisi Pemilihan Umum (UEC) untuk memastikan keterbukaan dan kredibilitas, memperbaiki proses pendaftaran pemilih, dan menyempurnakan kerangka hukum bagi praktik pemilu.[23] Selain itu, lokakarya di tingkat kota dan nasional bertujuan meningkatkan manajemen pemilu dan membangun mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif.[24]

Reformasi-reformasi ini, bersama dengan popularitas Aung San Suu Kyi, pertumbuhan ekonomi, dan konflik etnis, memungkinkan NLD untuk mengamankan 396 dari 476 kursi dalam Pemilu 2020, sementara USDP yang pro-militer memperoleh 35 kursi.[25]

Teachers protest against the military coup in February 2021, Hpa-An, Kayin State, Myanmar. Wikipedia Commons

Perkembangan Legislasi Pemilu Pasca-Kudeta (2021-2024)

Setelah kudeta tahun 2021, militer berusaha mengubah peta pemilu dengan melemahkan peran oposisi politik, sehingga menyumbang kemerosotan demokrasi multipartai dan mengukuhkan kendalinya, terutama setelah hasil pemilu tahun 2015 dan 2020.

Pada Maret 2021, setelah pemberlakuan Darurat Militer melalui Perintah 1/2021,[26] 2/2021,[27] dan 3/2021,[28] junta membentuk “pengadilan khusus atau pengadilan militer” dengan mengalihkan kekuasaan eksekutif dan yudikatif kepada komandan militer regional di bawah Pasal 419 Konstitusi 2008. Pengadilan-pengadilan ini bertujuan menegakkan keamanan dan mempercepat proses peradilan bagi para pengurus partai politik dan penggiat yang ditangkap setelah kudeta. Beroperasi di bawah kendali militer, pengadilan-pengadilan ini kerap menghasilkan vonis cepat tanpa pendampingan hukum yang memadai.[29]

Pada Mei 2021, U Thein Soe sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum yang ditunjuk junta, secara terbuka menyerukan pembubaran dan penghapusan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dan menuduh partai tersebut merencanakan kegiatan illegal untuk memenangkan Pemilu 2020 (The Irrawaddy, May 2021). Per Juli 2021, Komisi Pemilihan Umum yang dikendalikan oleh junta membatalkan hasil Pemilu 2020, dengan dalih adanya kecurangan dan penyimpangan yang dilakukan oleh NLD.[30] Selain itu, intimidasi terhadap anggota NLD meningkat, dengan penggerebekan kantor,[31] penangkapan,[32] dan pembunuhan anggota.[33]

Pada November 2021, junta militer mendakwa para pemimpin tertinggi NLD dengan tuduhan melakukan kecurangan pemilu,[34] menargetkan pejabat pemilu yang ditunjuk oleh pemerintah yang dipimpin oleh NLD, menangkap dan mendakwa mantan ketua Komisi Pemilihan Umum[35] dan lebih dari 100 komisioner pemilu[36] dengan tuduhan kecurangan pemilu. Pada Juli 2022, junta telah mendakwa dan mendenda lebih dari 2.400 anggota Komisi Pemilihan Umum atas beberapa tuduhan terkait Pemilu 2020.[37]

Dengan demikian, junta telah memulai perubahan administratif dan hukum untuk meruntuhkan berbagai kemajuan dan hasil Pemilu 2020. Setidaknya terdapat tiga perubahan yang perlu dicatat.

Pertama, pergeseran dari sistem yang-pertama-melewati-pos (first-past-the-post, FPTP) ke perwakilan proporsional (proportional representation, PR) diusulkan oleh para pemimpin militer dan partai-partai pro-militer.[38] Soal ini sudah selalu menjadi bahan pembicaraan  junta setelah kudeta pada 2021. PR dipandang sebagai strategi untuk melemahkan partai-partai oposisi dengan melemahkan kemampuan mereka untuk meraih suara mayoritas, bahkan kendati mereka memperoleh suara terbanyak di suatu negara bagian. Sistem ini, dipadukan dengan penataan ulang daerah pemilihan (redistricting) yang bias politik dan kurangnya mekanisme pengawasan independen, dapat memastikan bahwa partai-partai yang didukung militer tetap memiliki pengaruh dalam pemilu-pemilu mendatang.[39] Penarikan ulang daerah pemilihan yang lebih besar bisa memusatkan atau mencairkan demografi pemilih, yang selanjutnya akan menggiring pembagian kursi agar menguntungkan rezim.[40]

Kedua, pada Januari 2023, junta Myanmar memberlakukan Undang-Undang Pendaftaran Partai Politik,[41] menggantikan undang-undang tahun 2010. Undang-undang tersebut diubah pada Januari 2024 oleh Dewan Administrasi Negara (SAC), sehingga  dikenal sebagai Undang-Undang Dewan Administrasi Negara No. 15/2024,[42] yang semakin memperketat pendaftaran dan kegiatan partai politik. Undang-undang baru ini mencakup berbagai ketentuan yang ditujukan untuk melemahkan partai-partai oposisi dan menghalangi kemampuan mereka untuk mengikuti pemilu. Khususnya, undang-undang ini melarang siapa pun yang dihukum karena melakukan kejahatan atau menjalani hukuman penjara untuk bergabung dengan partai politik, sebuah ketentuan yang menyingkirkan banyak tokoh oposisi terkemuka. Para tokoh yang terkena ketentuan ini di antaranya Aung San Suu Kyi dan Presiden NLD Win Myint, keduanya dihukum lantaran tuduhan bermotif politik setelah kudeta 2021. Suu Kyi dinyatakan bersalah atas tuduhan korupsi, melanggar pembatasan COVID-19, dan melanggar Undang-Undang Rahasia Negara, sementara Win Myint dihukum karena pelanggaran terkait terorisme.[43]

People marked the places where people were killed by the dictator’s bullets in Yangon, Myanmar on 4 March 2021. Photo: Maung Nyan / Shutterstock.com

Undang-undang tersebut juga memberlakukan persyaratan pendaftaran yang ketat, memberi waktu hanya 60 hari bagi partai politik untuk mendaftar ke lembaga otoritas pemilu agar terhindar dari pembubaran. Hingga tenggat waktu yang ditentukan, 40 partai politik dibubarkan, termasuk NLD, yang memilih untuk tidak mendaftar.[44] Tun Myint, sekretaris komite eksekutif NLD wilayah Yangon, membenarkan adanya penolakan partai dengan alasan ketidakabsahan badan-badan pemilu yang dibentuk oleh dewan militer.[45] Selain itu, undang-undang tersebut melarang keikutsertaan partai politik yang ditetapkan sebagai organisasi teroris. Termasuk juga oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (National Unity Government, NUG), yang secara aktif menentang junta dan secara resmi dicap sebagai kelompok teroris oleh rezim pada September 2021,[46] sehingga secara efektif dilarang untuk berpartisipasi dalam proses politik.

Ketiga, mengadakan pemilu berjenjang (staggered election) adalah strategi lain yang digunakan oleh militer untuk memastikan kekuatan politiknya.[47] Pemilu berjenjang hanya bersaing untuk sebagian kursi legislatif pada waktu tertentu.[48] Pendekatan ini muncul dari upaya junta mempertahankan kendali atas wilayah-wilayah yang dipegang oleh kelompok-kelompok etnis bersenjata dan pasukan perlawanan, sehingga sulit mengadakan pemilu nasional.[49] Pendekatan ini diharapkan dapat menyebarkan kursi secara lebih merata dan menguntungkan militer dan partai-partai sekutunya, sehingga memungkinkan mereka memperoleh lebih banyak kursi dibandingkan sistem sebelumnya.[50]

Perkembangan-perkembangan tersebut telah merusak peta panduan yang dibuat oleh Dewan Administrasi Negara (SAC) untuk memulihkan stabilitas dan pemerintahan pasca-kudeta, yang menekankan perdamaian, dialog politik, pemulihan ekonomi, rekonsiliasi nasional, dan pada akhirnya pemilu.[51]

Dengan mengecualikan atau membatasi keterlibatan oposisi, terutama NLD, dan memanipulasi aturan pemilu, junta memastikan bahwa hanya wakil-wakilnya saja yang berpeluang memenangkan kursi.[52] Penerapan sistem representasi proporsional dan absennya kelompok-kelompok oposisi utama semakin mengukuhkan dominasi faksi-faksi pro-militer di parlemen.[53] Akan tetapi, stabilitas politik yang tampak ini tidak menjamin; ini justru dapat meningkatkan konflik, karena kekuatan-kekuatan perlawanan dan kelompok-kelompok etnis terus menolak kekuasaan junta.[54]

Taunggyi, Myanmar, March 2021: Myanmar military cracks down on peaceful protesters. Photo: R. Bociaga / Shutterstock.com

Simpulan

Sejak kudeta tahun 2021, salah satu strategi utama militer Myanmar adalah menggembor-gemborkan upayanya di kalangan negara-negara ASEAN dan dunia internasional, dalam mengatasi dugaan kecurangan pemungutan suara dari Pemilu 2020. Militer berusaha mendapatkan legitimasi melalui langkah-langkah hukum dan administratif dengan mengadakan pemilu ulang. Namun, peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak kudeta justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: junta secara sistematis merubuhkan pencapaian demokratis, menekan oposisi, dan merongrong standar-standar pemilu internasional. Termasuk juga memanipulasi kerangka hukum yang mengatur pemilu, melemahkan kriteria pemilu yang bebas dan adil, dan membatasi pengawasan pemilu yang independen. Akibatnya, militer membentuk sistem pemilu yang tidak berintegritas, yang memungkinkan mereka untuk menegaskan “legitimasi” baik secara langsung maupun tidak langsung melalui partai politik proksi, dan dengan demikian mengonsolidasikan kendali mereka atas negara.

Oleh Sanjay Gathia, Asia Centre

Kepustakaan

[1] San Yamin Aung (2020) ‘Myanmar military claims to find over 70,000 irregularities on voter lists’, The Irrawaddy, melalui: https://www.irrawaddy.com/election-2020/myanmar-military-claims-find-70000-irregularities-voter-lists.html; Myanmar News Agency (2021) ‘MoFA issues “Press Statement” on current situation of Myanmar’, The Global New Light of Myanmar (GNLM), melalui: https://www.gnlm.com.mm/mofa-issues-press-statementon-current-situation-of-myanmar.

[2] The Irrawaddy (2021) ‘Myanmar junta officially annuls NLD’s 2020 election win’, The Irrawaddy, melalui: https://www.irrawaddy.com/news/burma/myanmar-junta-officially-annuls-nlds-2020-election-win.html.

[3] Aljazeera (2021) ‘Full text of Myanmar army statement on state of emergency’, Aljazeera, melalui: https://www.irrawaddy.com/news/burma/myanmar-junta-officially-annuls-nlds-2020-election-win.html; “Martial Law Order 1/2021” (2021), GNLM, at: https://www.gnlm.com.mm/martial-law-order-1-2021.

[4] The Irrawaddy (2021) ‘Fears of another long dictatorship as Myanmar coup maker appoints himself PM’, The Irrawaddy, melalui: https://www.irrawaddy.com/news/burma/fears-of-another-long-dictatorship-as-myanmar-coup-maker-appoints-himself-pm.html.

[5] Myanmar International TV (MITV) (2022a) ‘NDSC announcement: Declaration of State of Emergency extended further 6 months’, MITV, melalui: https://www.myanmaritv.com/news/ndsc-announcement-declaration-state-emergency-extended-further-6-month; Myanmar International TV (MITV) (2022b) ‘NDSC announcement: Declaration of State of Emergency extended further 6 months’, MITV, melalui: https://www.myanmaritv.com/news/ndsc-announcement-declaration-state-emergency-extended-further-six-months; Eleven (2023) ‘NDSC decides to extend country’s State of Emergency by further six months’, Eleven, melalui: https://elevenmyanmar.com/news/ndsc-decides-to-extend-countrys-state-of-emergency-by-further-six-months; AP News (2023) ‘Myanmar’s military-led government extends state of emergency, forcing delay in promised election’, https://apnews.com/article/myanmar-military-state-of-emergency-extend-c860a06985f42265088b53c0ea80029e; AFP (2024) ‘Myanmar junta extends state of emergency by 6 months’, New Straits Times, melalui: https://www.nst.com.my/world/world/2024/01/1008253/myanmar-junta-extends-state-emergency-6-months; The Irrawaddy (2024) ‘Myanmar’s dictator extends Emergency Rule again, citing election preparations’, melalui: https://www.irrawaddy.com/news/politics/myanmars-dictator-extends-emergency-rule-again-citing-election-preparations.html.

[6] Reuters (2024) ‘Myanmar junta extends emergency rule amid escalating conflict’, Reuters, melalui: https://www.reuters.com/world/asia-pacific/myanmar-military-extends-emergency-rule-another-6-months-2024-07-31.

[7] Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) Myanmar Team (2021) ‘Myanmar in Crisis: Human Rights Situation, February 2021’, OHCHR, melalui: https://bangkok.ohchr.org/5902-2; VOA News (2021) ‘Myanmar Junta forms Caretaker Government; Min Aung Hlaing is Prime Minister’, VOA News, melalui: https://www.voanews.com/a/east-asia-pacific_myanmar-junta-forms-caretaker-government-min-aung-hlaing-prime-minister/6209015.html.

[8] Mikael Gravers (2021) ‘Making sense of Myanmar’s coup’, East Asia Forum, melalui: https://eastasiaforum.org/2021/02/02/making-sense-of-myanmars-coup; Office of the State Administration Council (nd.) ‘State Administration Council’, Office of the State Administration Council, melalui: https://sacoffice.gov.mm/en/stateadministration.

[9] Htet Aung (2007) ‘Burma’s rigged road map to democracy’, The Irrawaddy, melalui: https://www2.irrawaddy.com/article.php?art_id=8052.

[10] Government of Myanmar (2023) ‘Road Map to Democracy in Myanmar’, Government of Myanmar via Way Back Machine, melalui: https://web.archive.org/web/20101024033536/http://www.myanmar.gov.mm/Perspective/persp2003/8-2003/map.htm.

[11] United Nations (2003) ‘Myanmar’s seven-step peace process not inclusive, lacks timeline – Annan’, United Nations, melalui: https://news.un.org/en/story/2003/11/85072-myanmars-seven-step-peace-process-not-inclusive-lacks-timeline-annan.

[12] W. Elliot Bulmer (2022) A New Constitution for Myanmar: Towards Consensus on an Inclusive Federal Democracy, International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), melalui: https://www.idea.int/sites/default/files/publications/a-new-constitution-for-myanmar.pdf

[13] Ibid.; Gilles Saphy dan Michael Lidauer (2022) ‘Elections At a Crossing Point: Considerations for Electoral Design in Post-Coup Myanmar’, International IDEA, melalui: https://www.idea.int/sites/default/files/publications/elections-at-a-crossing-point-electoral-design-in-postcoup-myanmar.pdf.

[14] Myanmar Election Watch (nd.) ‘History of Elections in Myanmar’, Myanmar Election Watch, melalui: https://myanmarelectionwatch.org/en/history-of-elections-in-myanmar.

[15] Aung San Suu Kyi (2010) ‘Burmese election won by military-backed party’, The Guardian, melalui: https://www.theguardian.com/world/2010/nov/09/burma-usdp-wins-election.

[16] Nehginpao Kipgen (2009) ‘Reconciliation Myanmar needs’, The Korea Times, melalui: https://www.koreatimes.co.kr/www/news/opinon/2009/12/137_58118.html.

[17] BBC News (2015) ‘Timeline: Reforms in Myanmar’, BBC News, melalui: https://www.bbc.com/news/world-asia-16546688.

[18] Ibid.

[19] Michael F. Martin (2012) ‘Burma’s April Parliamentary By-Elections’, Congressional Research Service, US Congress, melalui: https://crsreports.congress.gov/product/pdf/R/R42438/8; Tin Maung Maung Than (2013) ‘Myanmar’s 2012 By-Elections: The Return of NLD’, Southeast Asian Affairs: 204–219, melalui: http://www.jstor.org/stable/23471145.

[20] Nakanishi Yoshihiro dan Osada Noriyuki (2015) ‘The 2015 Myanmar General Election: A Historic Victory for the National League for Democracy’, Institute of Developing Economies, Japan External Trade Organization, melalui: https://www.ide.go.jp/library/English/Research/Region/Asia/pdf/201601_osada_en.pdf.

[21] Jonah Fisher (2015) ‘Myanmar’s 2015 landmark elections explained’, BBC News, melalui: https://www.bbc.com/news/world-asia-33547036.

[22] Avery Davis-Roberts (2017) Myanmar: 2015 General Elections Final Election Report, The Carter Center, melalui: https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/election_reports/myanmar-2015-final.pdf.

[23] Ibid.

[24] International Foundation for Electoral System (nd.) ‘ADR Case Study: Myanmar’, International Foundation for Electoral System, melalui: https://www.ifes.org/adr-case-study-myanmar; Hsu Mon Aung (2018) ‘Reforming municipal elections in Myanmar’, International IDEA, melalui: https://www.idea.int/news/reforming-municipal-elections-myanmar.

[25] Union Election Commission (UEC) (2020) ‘၂၀၂၀ ပြည့်နှစ် ပါတီစုံဒီမိုကရေစီအထွေထွေရွေးကောက်ပွဲ ရလဒ်များ ထုတ်ပြန်ပြီးစီးကြောင်း အသိပေးကြေညာခြင်း [Announcement – Results of the 2020 Multi-party Democratic General Election]’, UEC, melalui: https://www.uec.gov.mm/news_preview_detail.php?action=news_detail&news_id=cC%2FMl34obsrydRAr00ukbCZSuEksJjy6RHXX9Uv2lyU%3D.

[26] “Martial Law Order 1/2021” (2021), GNLM, melalui: https://www.gnlm.com.mm/martial-law-order-1-2021.

[27] “Martial Law Order 2/2021” (2021), GNLM, melalui: https://www.gnlm.com.mm/martial-law-order-2-2021.

[28] “Martial Law Order 3/2021” (2021), GNLM, melalui: https://www.gnlm.com.mm/martial-law-order-3-2021.

[29] Human Rights Watch (2023) ‘“Our Numbers Are Dwindling”: Myanmar’s post-coup crackdown on lawyers’, Human Rights Watch, melalui: https://www.hrw.org/report/2023/06/08/our-numbers-are-dwindling/myanmars-post-coup-crackdown-lawyers.

[30] The Irrawaddy (2021) ‘Myanmar junta officially annuls NLD’s 2020 election win.

[31] Reuters (2021) ‘Myanmar’s NLD says offices raided in “unlawful acts”, computers, documents seized’, Reuters, melalui: https://www.reuters.com/world/asia-pacific/myanmars-nld-says-offices-raided-unlawful-acts-computers-documents-seized-2021-02-03.

[32] RFA Burmese (2023) ‘Nearly 2,000 NLD party members jailed under Myanmar junta’, Radio Free Asia, melalui: https://www.rfa.org/english/news/myanmar/nld-09272023165502.html.

[33] The Irrawaddy (2023) ‘Myanmar’s ousted NLD says 93 members killed, 1,200 detained by junta’, The Irrawaddy, melalui: https://www.irrawaddy.com/news/burma/myanmars-ousted-nld-says-93-members-killed-1200-detained-by-junta.html.

[34] Rebecca Ratcliffe (2021) ‘Myanmar: Aung San Suu Kyi charged with election fraud and “lawless actions”’, The Guardian, melalui: https://www.theguardian.com/world/2021/nov/16/myanmar-aung-san-suu-kyi-charged-with-election-and-lawless-actions.

[35] Ratcliffe (2021) ‘Myanmar: Aung San Suu Kyi charged with election fraud’.

[36] The Irrawaddy (2023) ‘Myanmar regime to charge 2020 election local officials’, The Irrawaddy, melalui: https://www.irrawaddy.com/news/burma/myanmars-ousted-nld-says-93-members-killed-1200-detained-by-junta.html.

[37] The Irrawaddy (2022) ‘Myanmar regime jails former election chief and his staff’, The Irrawaddy, melalui: https://www.irrawaddy.com/news/burma/myanmar-regime-jails-former-election-chief-and-his-staff.html.

[38] Myanmar Now (2021) ‘Myanmar coup leader considers shift to electoral system favoured by military’, Myanmar Now, melalui: https://myanmar-now.org/en/news/myanmar-coup-leader-considers-shift-to-electoral-system-favoured-by-military; U Win (2023) ‘Proportional Representation in Myanmar? A View from In-Country by U Win’, Opposition International, melalui: https://opposition.international/2023/01/31/proportional-representation-in-myanmar-a-view-from-in-country-by-u-win.

[39] Asian Network for Free Elections (ANFREL) (2022) ‘Myanmar’s junta switch to PR system beneficial only to them’, ANFREL, melalui: https://anfrel.org/myanmars-junta-switch-to-pr-system-beneficial-only-to-them; Lidauer (2022) ‘Elections At a Crossing Point: Considerations for Electoral Design in Post-Coup Myanmar’.

[40] Andrew Nachemsom dan Frontier (2022) ‘Rigging the system: the junta’s PR makeover’, Frontier Myanmar, melalui: https://www.frontiermyanmar.net/en/rigging-the-system-the-juntas-pr-makeover.

[41] “Political Parties Registration Law” (2023), Myanmar Digital News, melalui: https://www.mdn.gov.mm/en/political-parties-registration-law.

[42] “ Law Amending the Political Parties Registration Law (State Administration Council Law No 15/2024)” (2024), Ministry of Information, melalui: https://www.moi.gov.mm/moi:eng/news/12913.

[43] Aljazeera (2022) ‘Myanmar court sentences ex-politician to 173 years in prison’, Aljazeera, melalui: https://www.aljazeera.com/news/2022/11/3/myanmar-court-sentences-ex-lawmaker-to-173-years-in-prison; RFA Burmese (2023) ‘Myanmar’s opposition party refuses to re-register under new junta law’, Radio Free Asia, melalui: https://www.rfa.org/english/news/myanmar/myanmar-party-refuses-02062023193308.html.

[44] Myanmar Election Watch (2024) ‘Updated: List of Political Parties Abolished by Myanmar Junta-Appointed Union Election Commission’, Myanmar Election Watch, melalui: https://myanmarelectionwatch.org/mm/news/updated-list-political-parties-abolished-dissolved-myanmar-junta-union-election-commission.

[45] RFA Burmese (2023) ‘Myanmar’s opposition party refuses to re-register under new junta law’.

[46] DW (2021) ‘Myanmar junta designates shadow government as “terrorists”’, DW, melalui: https://www.dw.com/en/myanmar-junta-designates-shadow-government-as-terrorist-group/a-57473057.

[47] Priscilla A. Clapp dan Ye Myo Hein (2022) ‘In Myanmar, sham elections aren’t the path to stability’, United States Institute of Peace, melalui: https://www.usip.org/publications/2022/10/myanmar-sham-elections-arent-path-stability.

[48] Naw Gladys Maung Maung (2021) ‘Burma’s Electoral System Change and Proportional Representation’, Salween Institute for Public Policy, melalui: https://www.salweeninstitute.org/uploads/1/2/6/3/12630752/si-proportional-representation-gladys-eng-full.pdf.

[49] RFA Burmese (2024) ‘Myanmar junta commits to staggered 2025 election’, Radio Free Asia, melalui: https://www.rfa.org/english/news/myanmar/election-2025-08262024083618.html.

[50] Mi Kun Chan Non dan Ashley South (2024) ‘Don’t fall for the fake election in Myanmar’, East Asia Forum, melalui: https://eastasiaforum.org/2024/10/11/dont-fall-for-the-fake-election-in-myanmar.

[51] Ministry of Information (MOI) (2021) ‘Five-Point Road Map of the State Administration Council’, MOI, melalui: https://www.moi.gov.mm/moi:eng/news/3631.

[52] Bangkok Post (2023) ‘Myanmar elections “likely” in 2025’, Bangkok Post, melalui: https://www.bangkokpost.com/world/2641903/myanmar-elections-likely-in-2025.

[53] Nu Tsen Mun (2020) ‘Electoral System at a Crossroads: Recalculation of the 2015 Election Results under the Proportional Representation System’,The Salween Institute for Public Policy, melalui: https://www.salweeninstitute.org/uploads/1/2/6/3/12630752/sipp_electrolsystem-at-a-crossroad-english.pdf; Transnational Institute (2020) ‘The 2020 General Election in Myanmar: A Time for Ethnic Reflection’, Myanmar Policy Briefing 24, Transnational Institute, melalui: https://www.tni.org/files/publication-downloads/myanmar_policy_briefing_24_the_2020_general_election_in_myanmar.pdf.

[54] Joshua Kurlantzick (2023) ‘War-torn Myanmar plans to hold elections: Will they have any effect?’, Council on Foreign Relations, melalui: https://www.cfr.org/article/war-torn-myanmar-plans-hold-elections-will-they-have-any-effect.