Survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang menunjukkan bahwa di antara semua usia, tingkat penggunaan ponsel pintar melebihi 90% pada 2019, dan tingkat penggunaan LINE, aplikasi media sosial terpopuler di Jepang, melebihi 90% pada 2020 (Institute for Information and Communication Policy; IICP, 2022). Saat ini, media sosial adalah bagian dari infrastruktur sosial di Jepang, yang memungkinkan orang berkomunikasi dan mengakses berbagai informasi terlepas waktu dan tempatnya. Artikel ini membahas peran media sosial dalam partisipasi politik di Jepang, dengan berfokus pada generasi muda yang disebut sebagai “penduduk asli digital” (“digital native”). Pertama, akan dibahas situasi partisipasi politik di kalangan anak muda Jepang, lalu diikuti dengan dua kasus aksi politik terkait media sosial yang perlu diperhatikan. Terakhir, akan dibahas tantangan partisipasi politik generasi muda Jepang melalui media sosial.
Bentang partisipasi politik kaum muda Jepang
Ciri partisipasi politik kaum muda Jepang dapat dilihat dari tingkat kepedulian yang sedang dan rendahnya tingkat kemampuan perubahan politik (political efficacy). Pertama, hal tersebut terlihat dari jumlah pemilih, yang merupakan ukuran umum partisipasi politik. Di Jepang, menurut statistik resmi pemerintah Jepang (Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi/ MIC, 2022), persentase voting terakhir pada dua pemilihan umum nasional sebanyak 52% (Majelis Tinggi; Juli 2022) dan 56% (Majelis Rendah; Oktober 2021). Seperti negara-negara demokrasi lainnya, pemilih muda Jepang tidak aktif dalam pemilihan umum. Jumlah pemilih usia 20-an tahun yang berpartisipasi dalam pemilihan umum (pemilihan Majelis Rendah) termasuk yang terendah dalam 18 kali pemilu sejak 1969. Hasil terakhir menunjukkan sekitar 37%, yang merupakan sekitar setengah dari jumlah pemilih usia 60-an (71%, termasuk kelompok tertinggi). Selain itu, meski warga negara usia 18 dan 19 tahun diizinkan untuk memilih pada 2016, jumlah mereka tergolong terendah kedua pada pemilihan nasional, kecuali pada 2016 saat mereka kali pertama ikut dalam pemilu. Prosedur yang merepotkan dalam pengurusan surat keterangan domisili bagi mereka yang pindah ke daerah lain untuk kuliah adalah alasan yang sekiranya dapat menjelaskan angka ini (MIC, 2016), tapi dampaknya secara statistik tampak terbatas.
Kedua, sikap orang muda Jepang tentang partisipasi politik sebagai alasan tingginya angka golput yang terus meningkat tampaknya tercermin dalam survei internasional. Pemerintah Jepang melakukan survei internasional dengan mengambil sampel orang muda usia 13 hingga 29 tahun di tujuh negara: Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, dan Swedia (Kantor Kabinet/ CAO, 2014). Hasilnya menunjukkan sebanyak 50% peserta survei Jepang tertarik dengan politik dalam negeri, hampir sama dengan persentase peserta dari negara-negara lain. Hanya sepertiga dari peserta survei Jepang yang merasa puas dengan situasi masyarakat di negara mereka. Namun, terlepas dari ketidakpuasan itu, hanya sepertiga peserta yang menunjukkan tingkat kemampuan perubahan politik dan kemauan partisipasi politik, yang termasuk paling rendah di antara negara-negara lain.
Kecenderungan ini telah diamati secara konstan dalam survei internasional lainnya atas kaum muda usia 17 hingga 19 tahun di Jepang dan di 5 atau 8 negara lainnya (Nippon Foundation, 2019; 2022). Semua survei tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa di antara negara-negara itu, kaum muda Jepang terbilang memiliki perspektif paling negatif tentang masa depan negara mereka dan diri mereka sendiri, serta tingkat kemampuan perubahan politik dan kemauan partisipasi politik yang paling rendah. Alasannya bukan karena kurangnya agensi, sebab setengah dari peserta survei Jepang menunjukkan minat pada isu-isu sosial dan politik, dan lebih dari setengahnya mengaku punya semacam agensi dalam perjalanan hidup mereka, seperti dalam perkara memilih teman, pasangan, pekerjaan, dan sebagainya. Sebuah penelitian kualitatif menyebut sikap kaum muda Jepang terhadap berbagai percakapan politik itu sebagai “pendiam yang penuh perhatian—saya tertarik pada politik, tapi tidak mau membicarakannya” (Kligler-Vilenchik dkk, 2021 597).
Media sosial sebagai alat partisipasi politik modern di Jepang
Metode aksi politik yang melibatkan warga Jepang tampaknya terbatas dibandingkan dengan negara lainnya. Survei World Values yang terbaru (Wave Seven; Haerpfer dkk., 2022) memperlihatkan bahwa kecuali menandatangani petisi secara luring, hanya sedikit orang Jepang yang terlibat dalam aksi politik lain secara daring maupun luring: boikot, demonstrasi damai, mogok kerja, mencari informasi secara daring, menandatangani petisi elektronik, mendorong orang lain secara daring untuk melakukan aksi apa pun, dan mengorganisir kegiatan politik melalui internet. Di Jepang tingkat mereka yang menjawab bahwa mereka pernah berpartisipasi dalam tujuh pilihan tersebut lebih rendah dibandingkan setidaknya 40 dari 63 hingga 65 negara dalam survei tersebut.
Namun, media sosial telah memainkan peran tertentu dalam beberapa peristiwa politik di Jepang. Ada beberapa aksi politik oleh warga Jepang selama satu dasawarsa terakhir yang patut diperhatikan, yang memanfaatkan media sosial sebagai platform protes. Pada 2015, mahasiswa di wilayah metropolitan Tokyo membentuk sebuah kelompok politik bernama ‘Aksi Darurat Mahasiswa untuk Demokrasi Liberal’ (‘Student Emergency Action for Liberal Democracy’), yang dikenal dengan sebutan ‘SEALDs’. Mereka memprotes rancangan undang-undang kebijakan keamanan yang mengizinkan Pasukan Pertahanan Diri untuk menggunakan hak pertahanan diri kolektif, yang mereka anggap “tidak konstitusional”. Mereka melakukan demonstrasi jalanan berulang kali di depan parlemen hingga RUU tersebut disahkan, dan kegiatan tersebut disebar di media sosial, terutama Twitter. Meski SEALDs adalah kelompok simbolis yang diorganisir oleh para mahasiswa, puluhan ribu orang dari semua kelompok usia bergabung, dan kelompok-kelompok yang terkait mengadakan demonstrasi berulang kali di beberapa daerah di Jepang (Kingston, 2015).
Contoh lain terjadi pada 2020, yang dikenal sebagai ‘demo Twitter’ (demonstrasi di Twitter) oleh warga negara yang menentang perubahan interpretasi atas undang-undang dan pengajuan RUU baru yang diajukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe saat itu. Perubahan kontroversial ini dikritik sebagai cara untuk memungkinkan Hiromu Kurokawa—kepala Kejaksaan Tinggi Tokyo yang saat itu dianggap dekat dengan pemerintahan Abe—untuk mengambil alih jabatan jaksa agung, yang merupakan jabatan tertinggi di antara para jaksa penuntut umum. Dengan kata lain, para kritikus menganggapnya sebagai pelanggaran pemerintahan terhadap independensi Kejaksaan. Pada 8 Mei pukul 19.40, sebuah twit diunggah oleh akun anonim seorang perempuan feminis yang bekerja sebagai spesialis periklanan di Tokyo, yang saat itu memiliki lebih dari 13.000 pengikut (Murakami & Yamamitsu, 2020). Di tengah keadaan darurat COVID-19 yang tidak membolehkan adanya demonstrasi di jalan, twit itu melancarkan protes atas upaya pemerintah tersebut dengan menyerukan “Demo di Twitter saja,” dan tagar “Saya menentang usulan revisi Undang-Undang Kantor Kejaksaan” yang hingga 10 Mei petang hari telah dibagikan lebih dari 4,7 juta kali (Asahi Shimbun, 2020). Pada 18 Mei, Abe mengumumkan penundaan pembahasan RUU tersebut, dengan alasan “kurangnya pemahaman publik”, dan empat hari kemudian, pengunduran diri Kurokawa disetujui oleh Kabinet setelah adanya laporan atas perjudian mah-jong ilegal yang dilakukannya. Toriumi (2021) menyatakan bahwa sekitar setengah dari twit yang relevan diunggah oleh hanya 2% dari akun yang terlibat, tetapi akun banyak orang dari berbagai lapisan, termasuk di antaranya kalangan selebritas, ikut pula menyinggung masalah tersebut.
Berbagai tantangan partisipasi politik dalam media sosial
Seperti yang telah disebutkan di atas, Twitter tampaknya telah memainkan peran penting sebagai platform yang menghubungkan para peserta dan pendukung demonstrasi jalanan, dan terjadinya demonstrasi virtual. Survei tahunan terbaru mengenai media sosial oleh pemerintah Jepang (IICP, 2022) menunjukkan bahwa 67% remaja dan 79% orang usia 20-an menggunakan Twitter di Jepang. Oleh karenanya, Twitter akan menjadi “ladang” partisipasi politik yang potensial bagi kaum muda Jepang. Namun, ada beberapa tantangan yang perlu diperhitungkan.
Pertama, di media sosial orang-orang dapat terpapar opini hanya dari posisi politik tertentu bahkan tanpa menyadarinya, dan hal ini dapat digunakan untuk memengaruhi opini publik. Contoh utamanya adalah kasus Cambridge Analytica. Cambridge Analytica, perusahaan swasta asal Inggris, mengekstrak “data bervolume besar” (“big data”) dari Facebook dan menggunakannya sebagai “manipulasi psikologis” daring demi kampanye pemilihan Presiden di AS (Kleinman, 2018). Di Twitter Jepang, juga telah dilaporkan tanda-tanda “propaganda diam-diam”, meski dampaknya masih belum dapat disimpulkan. Yoshida dan Toriumi (2018) menganalisis unggahan ulang twit (retweet) di Jepang yang dilakukan sebelum dan sesudah pemilihan umum 2017. Mereka menunjukkan bahwa bahkan pengguna yang tidak mengikuti akun partai politik mana pun telah terpapar informasi dari partai politik tertentu. Schäfer dkk. (2017) mengikuti aktivitas bot di Twitter Jepang sebelum dan sesudah pemilihan umum 2014, dan berpendapat bahwa aktivitas bot tersebut menyebarkan twit yang mendukung Perdana Menteri Jepang saat itu, Shinzo Abe, dan mengkritik para pengkritiknya. Fenomena serupa juga diamati terjadi selama di luar periode pemilihan umum di Jepang: Fukuma dkk. (2022), menunjukkan bahwa polarisasi di Twitter meliputi topik-topik terkait berita harian di Jepang, yang kerap diunggah oleh sekelompok kecil kalangan yang berisik dan aktivitas bot.
Kedua, pembagian posisi politik dapat menjadi terang-terangan di media sosial termasuk Twitter, seperti yang ditunjukkan dari berbagai kasus di negara lain. Media sosial seperti Twitter memvisualisasikan ‘opini publik daring’ tentang isu-isu politik dan memungkinkan pengguna mengirim opini mereka secara bebas kepada pengguna lain. Dalam artian yang baik, orang-orang berkumpul di semacam “warung kopi” tempat mereka dapat melakukan percakapan politik secara anonim di mana saja dan kapan saja, tapi hal ini dapat juga memperkuat eksposur selektif dan komunikasi yang agresif. Polarisasi politik di internet telah ditunjukkan sejak penyebaran blog (Adamic & Glance, 2005), dan adanya ‘ruang gema’ politik di Twitter (misalnya, Bail dkk., 2018; Conover dkk., 2011; Colleoni dkk., 2014; Yardi & Boyd, 2010). Fenomena ini juga dilaporkan di Jepang, beberapa topik tertentu hanya dibicarakan di dalam komunitas dan jaringan pengguna tertentu di Twitter (Takikawa & Nagayoshi, 2017).
Ketiga, dalam hal partisipasi politik, media sosial seperti Twitter dapat mengubah lingkungan, tetapi tidak serta-merta dapat mengubah sikap masyarakat. Seperti yang telah dibahas di atas, hanya sedikit orang Jepang yang tampaknya melakukan aksi politik, dan kaum muda Jepang cenderung memiliki tingkat kemampuan perubahan politik yang rendah, begitu juga keinginan untuk berpartisipasi dalam politik yang rendah, sehingga dapat diperkirakan partisipasi nyata mereka secara daring maupun luring (misalnya, Gil de Zúñiga dkk., 2012). Karakter penggunaan Twitter di Jepang ditunjukkan dengan tingginya tingkat pengguna anonim. Dalam sebuah survei internasional yang dilakukan oleh pemerintah Jepang (MIC, 2014), tingkat pengguna anonim Twitter di Jepang sebanyak 75%, sementara dari lima negara lainnya (AS, Inggris, Prancis, Korea Selatan, dan Singapura) hanya 31% hingga 45%. Juga dilaporkan, kecenderungan yang sama pada tingkat mereka yang ragu-ragu menggunakan nama asli mereka di media sosial, di antara para peserta survei usia belasan hingga 20-an tahun, meski kelompok usia muda tersebut adalah generasi pertama “penduduk asli digital”. Hal tersebut mungkin saja mencerminkan hambatan psikologis pengguna media sosial Jepang dalam menyuarakan pendapat mereka di depan umum.
Kesimpulan
Dua kasus yang dibahas di atas menyiratkan kemungkinan media sosial sebagai wadah virtual yang umum digunakan oleh warga negara Jepang untuk terlibat dalam partisipasi politik. Kaum muda Jepang cenderung memiliki tingkat kemampuan perubahan politik dan kemauan partisipasi politik yang rendah, tetapi memiliki kepedulian yang tinggi terhadap isu-isu sosial dan politik. Namun, sebuah artikel di Reuters (Murakami & Yamamitsu, 2020) menjelaskan “demo Twitter” pada 2020 sebagai “kemarahan daring yang jarang terjadi”, twit-twit yang menyebutkan isu-isu politik dengan ekspresi kemarahan cenderung diunggah oleh pengguna yang aktif secara politik, sementara pengguna lain cenderung mengungkapkan kecemasan mereka (Uchida, 2018). Selain itu, korelasi antara partisipasi politik daring dan luring telah diamati di negara lain (Leyva, 2017; Chen dkk., 2016; Barberá & Rivero, 2015; Bekafigo & McBride, 2013; Vaccari dkk., 2013). Oleh karena itu, media sosial mungkin hanya memungkinkan warga negara yang aktif secara politik di Jepang untuk melakukan aksi kolektif, tetapi tidak mendorong warga negara lain untuk bergabung dengan mereka, seperti yang ditunjukkan oleh survei World Values terbaru. Di sisi lain, beberapa peneliti juga menunjukkan bahwa partisipasi politik yang lebih kasua di media sosial dapat mendorong orang untuk bergabung dalam aksi politik secara luring (Vaccari dkk., 2015). Bagaimanapun, peran media sosial bagi demokrasi modern di Jepang membutuhkan sikap dan perilaku aktif dari generasi muda, keduanya dapat dibangun dalam lingkungan sosial yang terus berubah.
Atsuhiko Uchida
Banner photo: Josh Soto, Unsplash
References
Adamic, L. A., & Glance, N. (2005). The political blogosphere and the 2004 US election: divided they blog. In Proceedings of the 3rd international workshop on Link discovery (pp. 36-43).
Asahi Shimbun. (2020). 4.7 million tweets blast revision bill to delay Abe ally’s retirement. Asahi Shimbun. Retrieved from https://www.asahi.com/ajw/articles/13362865
Bail, C. A., Argyle, L. P., Brown, T. W., Bumpus, J. P., Chen, H., Hunzaker, M. F., Lee, J., Mann, M., Merhout, F., & Volfovsky, A. (2018). Exposure to opposing views on social media can increase political polarization. Proceedings of the National Academy of Sciences, 115(37), 9216-9221.
Barberá, P., & Rivero, G. (2015). Understanding the political representativeness of Twitter users. Social Science Computer Review, 33(6), 712-729.
Bekafigo, M. A., & McBride, A. (2013). Who tweets about politics? Political participation of Twitter users during the 2011gubernatorial elections. Social Science Computer Review, 31(5), 625-643.
CAO. (2014). Heisei 25 nendo Waga Kuni to Shogaikoku no Wakamono no Ishiki ni kansuru Chosa [2013 Survey on Opinions of Young People in Japan and Foreign Counties]. CAO. Retrieved from http://www8.cao.go.jp/youth/kenkyu/thinking/h25/pdf_index.html
Chen, H. T., Chan, M., & Lee, F. L. (2016). Social media use and democratic engagement: a comparative study of Hong Kong, Taiwan, and China. Chinese Journal of Communication, 9(4), 348-366.
Conover, M., Ratkiewicz, J., Francisco, M., Gonçalves, B., Menczer, F., & Flammini, A. (2011). Political polarization on twitter. Proceedings of the international aaai conference on web and social media, 5(1), 89-96.
Colleoni, E., Rozza, A., & Arvidsson, A. (2014). Echo chamber or public sphere? Predicting political orientation and measuring political homophily in Twitter using big data. Journal of communication, 64(2), 317-332.
Fukuma, T., Noda, K., Kumagai, H., Yamamoto, H., Ichikawa, Y., Kambe, K., Maubuchi, Y., & Toriumi, F. (2022). How Many Tweets DoWe Need?: Efficient Mining of Short-Term Polarized Topics on Twitter: A Case Study From Japan. arXiv preprint arXiv:2211.16305.
Gil de Zúñiga, H., Jung, N., & Valenzuela, S. (2012). Social media use for news and individuals’ social capital, civic engagement and political participation. Journal of Computer‐Mediated Communication, 17(3), 319-336.
Haerpfer, C., Inglehart, R., Moreno, A., Welzel, C., Kizilova, K., Diez-Medrano J., M. Lagos, P. Norris, E. Ponarin & B. Puranen (eds.). (2022). World Values Survey: Round Seven – Country-Pooled Datafile Version 5.0. Madrid, Spain & Vienna, Austria: JD Systems Institute & WVSA Secretariat.
IICP. (2022). Reiwa 3 nendo Johotsushin Media no Riyojikan to Johokodo nikansuru Chosa [2021 Survey on Usage Time of Information and Communication Media]. MIC. Retrieved from https://www.soumu.go.jp/iicp/research/results/media_usage-time.html
Kingston, J. (2015). SEALDs: Students Slam Abe’s Assault on Japan’s Constitution. The Asia-Pacific Journal: Japan Focus, 13 (36).
Kleinman, Z. (2018). Cambridge Analytica: The story so far. BBC. Retrieved from https://www.bbc.co.uk/news/technology-43465968
Kligler-Vilenchik, N., Tenenboim-Weinblatt, K., Boczkowski, P. J., Hayashi, K., Mitchelstein, E., & Villi, M. (2022). Youth political talk in the changing media environment: a cross-national typology. The International Journal of Press/Politics, 27(3), 589-608.
Leyva, R. (2017). Exploring UK Millennials’ Social Media Consumption Patterns and Participation in Elections, Activism, and “Slacktivism”. Social Science Computer Review, 35(4), 462-479.
MIC. (2014). ICT no Shinka ga motarasu Shakai eno Impact nikansuru Chosakenkyu [Survey on the Social Impact of the Evolution of ICT.]. MIC. Retrieved from https://www.soumu.go.jp/johotsusintokei/linkdata/h26_08_houkoku.pdf
MIC. (2016). 18 sai Senkyoken ni kansuru Ishiki Chosa Houkokusho [Opinion Poll on Suffrage of 18 Years Old Report]. MIC. Retrieved from http://www.soumu.go.jp/menu_news/s-news/01gyosei15_02000153.html
MIC. (2023). Kokusei-senkyo no Nendaibetsu Touhyouritsu no Suii nitsuite [Change on Turnout of General Elections by Age]. MIC. Retrieved from http://www.soumu.go.jp/senkyo/senkyo_s/news/sonota/nendaibetu/index.html
Murakami, S. & Yamamitsu, E. (2020). Rare online outrage in Japan forces Abe to delay controversial bill. Reuters. Retrieved from https://jp.reuters.com/article/us-japan-politics-socialmedia/rare-online-outrage-in-japan-forces-abe-to-delay-controversial-bill-idUSKBN22X0Z8
Nippon Foundation. (2019). 18 sai Ishiki Chosa “Dai 20 kai: Kuni ya Shakai nitaisuru Ishiki” (9 kakoku) [18 Years Old Opinion Survey “20th: Attitudes towards Country and Society” (9 countries)]. The Nippon Foundation. Retrieved from https://www.nippon-foundation.or.jp/what/projects/eighteen_survey
Nippon Foundation. (2022). 18 sai Ishiki Chosa “Dai 46 kai: Kuni ya Shakai nitaisuru Ishiki” (6 countries) [18 Years Old Opinion Survey “20th: Attitudes towards Country and Society” (6 countries)]. The Nippon Foundation. Retrieved from https://www.nippon-foundation.or.jp/what/projects/eighteen_survey
Schäfer, F., Evert, S., & Heinrich, P. (2017). Japan’s 2014 general election: Political bots, right-wing internet activism, and prime minister Shinzō Abe’s hidden nationalist agenda. Big data, 5(4), 294-309.
Takikawa, H., & Nagayoshi, K. (2017). Political polarization in social media: Analysis of the “Twitter political field” in Japan. In 2017 IEEE international conference on big data (big data) (pp. 3143-3150). IEEE.
Toriumi, F. (2021). Quantitative Analysis of Diffusion in Bursting Phenomena: How the Twitter Demo Spread in Japan. Japan marketing journal, 40(4), 19-32.
Uchida, A. (2018). HOW DO JAPANESE PEOPLE TALK ABOUT POLITICS ON TWITTER? ANALYSIS OF EMOTIONAL EXPRESSIONS IN POLITICAL TOPICS ON JAPANESE TWITTER. Psychologia, 61(2), 124-157.
Vaccari, C., Valeriani, A., Barberá, P., Bonneau, R., Jost, J. T., Nagler, J., & Tucker, J. (2013). Social media and political communication: a survey of Twitter users during the 2013 Italian general election. Rivista italiana di scienza politica, 43(3), 381-410.
Vaccari, C., Valeriani, A., Barberá, P., Bonneau, R., Jost, J. T., Nagler, J., & Tucker, J. A. (2015). Political expression and action on social media: Exploring the relationship between lower-and higher-threshold political activities among Twitter users in Italy. Journal of Computer-Mediated Communication, 20(2), 221-239.
Yardi, S., & Boyd, D. (2010). Dynamic debates: An analysis of group polarization over time on twitter. Bulletin of science, technology & society, 30(5), 316-327.
Yoshida, M., & Toriumi, F. (2018). Do Political Detachment Users Receive Various Political Information on Social Media?. arXiv preprint arXiv:1806.10173.