Pendahuluan
Walaupun banyak perubahan yang telah terjadi setelah peristiwa tragis pada Mei 1998, termasuk revisi paling terbaru dalam Udang-Undang Kewarga-negaraan (terbit Nomor12/2006) yang telah memberikan kalangan Cina Indonesia ruang sosial and politk untuk mengekspresikan identitas budaya mereka, kenyataanya situasi saat ini dianggap masih mempunyai potensi yang membahayakan seperti pada masa Orde Baru. Sentimen anti Cina Indonesia di tempat-tempat seperti Pontianak, dimana walikotanya dalam peraturannya No. 127 melarang pertunjukan barong sai (tarian naga) dalam perayaan tahun baru Cina di awal 2008, menunjukkan bagaimana posisi orang Cina Indonesia masih tetap labil. Sebelum itu, pernyataan Wakil Presiden terpilih baru saat itu, Jusuf Kalla pada tanggal 12 Oktober 2004 (Harian Sinar Harapan, 12 Oktober 2004) tentang keinginanya untuk mendiskriminasikan pelaku bisnis Cina-Indonesia ketika mengatur usaha kecil menengah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar, hal ini menunjukkan bahwa kalangan Cina-Indonesia masih belum diperlakukan sebagai warga-negara secara adil.
Masih jelas bahwa janji-janji pemerintah untuk menghapus diskriminasi terhadap Cina-Indonesia kebanyakan masih merukan hal yang rhetoric saja (dalam perkataan saja). Terlebih lagi, Instruksi Presiden Habibie No.6/1998 yang menyatakan istilah pri dan non-pri tidak lagi digunakan dalam kebijakan resmi pemerintahan dan bisnis masih belum dipatuhi secara menyeluruh. Permasalahan yang sama dalam Keputusan Presiden Abdurachman Wahid No. 6 tahun 2000 yang menolak pembatasan praktek-praktek budaya dan tradisi Cina pada tempat pribadi (Keputusan No.14, 1967), oleh banyak orang dilihat hanya memiliki dampak yang sangat kecil pada permusuhan yang telah lama terbentuk antara orang-orang Cina dan penduduk asli Indonesia. Pertegangan ini berlanjut, seperti yang telah terjadi dalam insiden Pontianak yang terjadi setelah seorang peranakan Pontinanak Cina Indonesia dan seorang Dayak masing-masing memenangkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat.
Jemma Purdey (2005:23) menghubungkan kenyataan yang tidak berubah ini pada keraguan dikalangan pribumi Indonesia mengenai loyalitas orang-orang Cina-Indonesia, juga pada mitos tentang penguasaan ekonomi nasional dikemudian hari. Dia melihat adanya kebutuhan untuk “memikirkan kembali analisa (kita) tentang kejahatan anti-Cina dan kejahatan-kejahatan lain merupakan peristiwa yang diawali oleh negara,” karena setelah kejadian Mei 1998 diketahui “bahwa massa mempunyai sekumpulan ingatan tentang kejahatan dan sentimen serta antipati antiCina.” Purdey beranggapan bahwa “asosiasi orang Cina dengan tekanan ekonomi, marginalisasi dan ketidak-adilan telah tertanam mendalam di kalangan orang Indonesia,” posisi orang Cina Indonesia seperti ini masih mengancam kehidupan mereka dan terus-menerus mengkhawatirkan.”
Pandangan Purdeys memiliki kesamaan dengan peneliti lainnya seperti Kees Van Djiik yang mempelajari kekerasan anti-Cina, dia menyimpulkan bahwa “dalam kejahatan rasial yang ditujukan pada orang-orang Cina, faktor ekonomi jelas-jelas merupakan salah satu faktor penyebab.”
Van Dijk selanjutnya berpendapat bahwa “moderm berarti menghadapkan orang pada kompetisi yang tidak adil atau pada ketakutan akan ketidak-mampuan untuk bersaing dengan kelompok-kelompok lain dalam pasar tenaga kerja, para pedagang dan pengelola toko Cina dituduh sebagai penyebab kenaikan harga-harga bahan pangan di awal-awal perang (Perang Dunia I).” Walaupun begitu dia mengakui bahwa perasaan anti-Cina tidak mengakibatkan meledaknya kekerasan sampai dua tahun kemudian. Colombijn dan Lindblad juga melihat bahwa “diawali dari pendirian Sarekat Islam di tahun 1912, kalangan Cina-Indonesia menjadi subyek untuk peristiwa pembunuhan ketika Muslim radikal melihat kekuasaan mereka dalam berbisnis terhalangi oleh orang Cina.” Oleh karena itu “kericuhan yang terjadi menggambarkan protes melawan kelas kapitalis yang di Indonesia kebetulan mempunyai wajah Cina”.
Peristiwa kericuhan yang meledak tahun 1946 setelah revolusi Indonesia sangatlah kejam karena saat itu orang-orang Cina dibenci tidaka hanya sebagai pesaing ekonomi orang-orang pribumi tetapi juga dibenci sebagai kawan Belanda. Pada saat itu sepertinya “nasionalisme ekonomi” mempunyai peran dalam pelaksanaan sentimen secara brutal.
Peristiwa ini diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Presiden di tahun 1960, No. 10/1959 yang melarang “orang asing” Cina untuk melakukan perdagangan retail di daerah-daerah pelosok, dan kemudia dengan pemberontakan komunis tahun 1965 di mana Beijing dituduh telah mendalangi peristiwa ini, serangan terhadap orang Cina-Indonesia menjadi menyebar secara luas tanpa kecuali. Dan sejak saat itu, perasan anti Cina telah tertanam mendalam, dan hal ini seharusnya bukanlah menjadi suatu kejutan bila selama tiga dekade rezim otoritas Soeharto, kericuhan anti Cina terus menerus terjadi seperti “halilintar yang mengejutkan,” dengan kejadian terakhir dan paling parah terjadi pada Mei 1998. Dan walaupun pemerintah Orde Baru dapat menguasai tingkat kejahatan sampai tingkat tertentu, tetapi masih gagal untuk menghapusnya untuk selama-lamanya kerana kurangnya komitmen untuk melakukannya.
Situasi seperti ini sebagian dapat menjelaskan kuatnya keinginan untuk mendirikan organisasi Cina-Indonesia setelah kericuhan Mei 1998 untuk menghindari anggapan politis yang terlalu kentara. Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), dibentuk pada 28 Agustus 1998 dan dipimpin oleh seorang mantan Brigadir Jendral (Pur) Tedy Yusuf (Xiong Deyi) yang membedakan diri mereka dalam kondisi seperti berikut:
Walaupun PSMTI diperbolehkan untuk melakukan aktifitas dalam sistem hukum Indonesia, tetapi PMSTI membatasi diri dengan tidak berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik. Terlebih lagi, PSMTI tidak berafiliasi dengan partai-partai politik dan organisasi sosial, yang mempunyai afiliasi dengan politik.
Hal sama dengan INTI (Perhimpunan Indonesia Keturunan Tionghoa) yang dibentuk tanggal 10 April 1999 dibawah kepemimpinan Eddy Lembong (Wang Youshan), menghindari kata-kata “politik” dalam pernyataan misinya:
Perhimpunan Indonesia Tionghoa, dikenal sebagai Perhimpunan INTI, adalah sebuah organisasi sosial yang mempunyai karakteristik yang me-nasional, bebas, merdeka, non-profit dan non-partai. Tujuan dari pendiriannya adalah untuk menyelesaikan “permasalahan orang Cina di Indonesia”, yang merupakan warisan sejarah dari masa lalu. INTI percaya dengan melibatkan semua warga negara Indonesia keturunan Cina sebagai satu kesatuan secara total dan menyeluruh merupakan persyaratan mutlak untuk penyelesaian permasalahan orang Cina . Walaupun mayoritas anggotanya adalah warga negara Indonesia keturunan Cina, INTI bukanlah organisasi esklusif, tetapi terbuka untuk semua warga negara Indonesia yang sejalan dengan prinsip dasar dan peraturan organisasi, dan juga tujuan dari INTI.
Alasan INTI untuk menjadi organisasi non-politik menjadi semakin jelas ketika pada tanggal 16 Mei 2007, Eddie Lembong menyatakan pada The Jakarta Post bahwa,
Orang-orang Cina Indonesia perlu belajar tentang ilmu politik, untuk menjadi seorang politisi yang mengerti ilmunya. Tetapi saya tidak setuju dengan pendirian partai politik yang berdasarkan suku bangsa. Kebanyakan Cina Indonesia masih menganggap permasalahan politik sebagai hal yang tabo. Mereka takut untuk berbicara tentang politik, bagaimana bisa untuk ikut serta di dalamnya.
Lebih lanjut, hal utama yang diangkat oleh Eddie Lembong dalam tulisannya yang berjudul “Ethnic Chinese and the 2004 Election,” (Suku Cina dan Pemilu Tahun 2004) yang dipresentasikan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh INTI pada 21 Februari 2004, secara implisit mencerminkan “dilema politik” yang dihadapi oleh orang-orang Cina Indonesia, khususnya anggota INTI, sehubungan dengan “posisi mereka yang masih labil dalam politik Indonesia. Pertama, mereka yang tertarik untuk bergabung dengan sebuah partai politik tidak tahu apakan mereka mempunyai hak dan kesemparan untuk menjadi wakil politik orang-orang Cina Indonesia. Yang kedua, mereka tidak yakin bila posisi minoritas mereka “dapat memperoleh kekuatan dan dukungan yang cukup untuk merubah atau memperbaiki status politik orang Cina Indonesia”. Dan akhirnya mereka tidak dapat memutuskan untuk sebaiknya mendukung calon orang Cina-Indonesia atau orang pribumi Indonesia sebagai perwakilan kelompok mereka.
Dari pernyataan ini, tidak berarti bahwa tidak ada orang Cina Indonesia yang ingin memasuki kegiatan politik; kenyataanya, diantara generasi muda ada beberapa yang bersemangat untuk mendirikan organisasi politik. Beberapa contoh yang cukup nyata adalah sebagai berikut. Lieus Sungkharisma (Li Xuexiong) seorang aktifis Budha yang berumur 39 tahun yang juga merupakan bendahara KNPI- Komite Nasional Pemuda Indonesia. Bersama dengan empat orang pemuda Cina Indonesia lainnya (Ponijan Liaw, Cecep Adhisaputra, Alexander Ferry Widjaya, and Julianus Juta), Lieus mendirikan Parti (Partai Reformasi Tionghoa) pada tanggal 5 Juni 1998 di Jakarta. Pengusaha kayu besar dan anggota Bakom-PKB Jusuf Hamka (A Bun), mendirikan Parpindo (Partai Pembauran Indonesia), sementara itu Tan Swie Ling, seorang penulis/wartawan Kristen, mendirikan Partai Warga Bangsa Indonesia. Pemilik travel agent Jakarta dan ketua Asosiasi Hakka, Nurdin Purnomo (Wu Nengbin), memimpin PBI (Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia).
Akhir-akhir ini, jumlah orang Cina-Indonesia yang menjadi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) atau Pilkada (Pemilihan kepada daerah), untuk posisi pemerintahan daerah untuk pertama kalinya di beberapa tempat. Sayangnya kami tidak mempunyai angka statistik yang memperlihatkan jumlah sebenarnya orang Cina Indoneisa dalam DPR dan DPRD. Tidak banyak cerita tentang paea wakil Cina Indonesia di DPRD, kecuali mungkin bagi mereka yang bekerja di propinsi baru Bangka-Belitung (Babel).
Sebuah cerita yang lebih menarik tentang anggota DPRD adalah cerita diterbitkan sendiri olehIsyak Meirobie, anggota termuda dalam DPRD Kabupaten Belitung. Isyak trlahir dengan nama Lie That Tjin pada tangga 31 Mei 1978 di Tanjung Pandan, Sumatra. Dia lulusan fakultas kesenian Universitas Tarumanegara di Jakarta. Peristiwa tragis di bulan Mei 1998 mempunya dampak yang cukup kuat dalam hidupnya. Dia mendirikan HMTI – Himpunan Mahasiswa Tionghoa Indonesia setelah tragedi tersebut untuk mendorong kalangan muda Cina Indonesia untuk memberikan kontribusinya dalam merubah bangsa Indonesia untuk menjadi yang lebih baik. Dia bergabung dengan sebuah partai politik di tahun 2001, tetapi kerena merasa tidak nyaman dengan partai tersebut dia mengundurkan diri dan bergabung dengan partai baru, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) dimana dia masih menjadi anggotanya sampai saat ini. Di Kepri (Kepulauan Riau), Bobby Jayanto atau Bu Hui dari Partai Patriot Pancasila adalah seorang anggota DPRD Tanjung Pinang keturunan Cina yang terpilih menjadi ketua DPRD Tanjung Pinang, Ibukota propinsi Kepri untuk masa tugas 2004-2009, menunjukkan bahwa apa yang telah dikatakan oleh Carole Faucher “peranan penting dari orang-orang Cina dalam ajang politik terlihat di Kepri Melayu.” Di Kalimantan Barat, Budiono Tan adalah anggota DPRD keturunan Cina yang ditunjuk sebagai salah seorang dari lima Utusan Daerah untuk Kalimantan Barat pada Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR di tahun 1999, berdasarkan sebuah persetujuan tidak resmi fomula 2-2-1 (dua untuk Dayak dan Melayu dan satu untuk Cina Indonesia, diciptakan untuk menghindari kemungkinan terjadinya ketegangan suku selama proses seleksi).
Di antara tokoh-tokoh Cina Indonesia yang bergabung dalam kompetisi Pilkada, adalah Christiandy Sanjaya, yang berkongsi dengan Cornelis, seorang keturuan Dayak, untuk menduduki posisi Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat, secara berurutan. Goh Tjong Ping di Tuban, Jawa Timur tidak berhasil memenangkan posisi sebagai Bupati Tuban. Ada juga Yansen Akun Effendy, Bupati di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang kemungkinan mempunyai darah Cina, menjadikan dia sebagai orang Cina Indonesia pertama yang telah berhasil dalam ajang politik lokal dan Fify Lety Indra, seorang pengacara wanita keturunan Cina, yang didukung oleh Partai Perhimpunan Indonesia Baru atau PIB untuk menduduki posisi sebagai Walikota Pangkal Pinang. Pencalonan Ahok, Rudianto Tjen, Hidayat Arsani dan Ir. Bahar – semuanya merupakan keturunan Cina – di Bangka-Belitung pemilihan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur juga menunjukkan sebuah perkembangan yang menarik dalam keterlibatan kalangan Cina Indonesia dalam ajang politik lokal. Ahok juga dikenal sebagai Basuki Tjahaya Purnama, seorang mantan Kepala Daerah Kabupaten Belitung Timur. Dia dipilih sebagai Kepala Daerah pada pemilihan daerah pada tanggal 3 Agustus 2005. Kabupaten Belitung Timur adalah sebuah Kabupaten baru dari pemecahan dengan Kabupaten Tanjung Pandan, dan Kabupaten baru ini mempunyai populasi hanya 90.000 orang. Hanya 4.7 % dari populasinya adalah keturuang Cina (Metro Riau). Dalam bukunya, Ahok membicarakan tentang sebuah kenyataan bahwa dia adalah seorang kristen, yang telah terpilih menjadi Kepala Daerah di tempat di mana mayoritas adalah kaum muslim (93.25%), sementara pemeluk kristen hanya 0.82% (Ginting, 2008:50). Ahok-Khairul memenangkan pemilihan di Belitung Timur dengan pemerolehan suara 17.578 atau 37,13 % dari total 47.340 suara sah (Tempo Interaktif, Belitung, 19-8-2005). Dalam edisi khusus Tempo, 25-31 Desember 2006, dia dijadikan sebagai salah satu dari sepuluh orang yang telah membawa perubahan di Indonesia.
Pada 22 Desember 2007 dia mengundurkan diri untuk dapat mengikuti kompetisi dalam pemilihan Gubernur Bangka Belitung. Dia dan rekanannya, Eko Cahyono, gagal untuk mendapatkan posisi tersebut karena mereka hanya memperoleh 32,63 % suara, atau 14.000 suara, jumlah yang lebih sedikit dari suara yang diterima oleh pemenang pertama. Dia meneruskan karir politiknya sebagai Sekretaris Jendral patai PIB untuk beberapa waktu dan kemudian mengundurkan diri dan membentuk sebuah NGO yang diberi nama Centre for Democracy and Transparency, dimana dia menerbitkan bukunya.
Yang lainnya juga telah memperlihatkan keinginan kuatnya untuk berkecimpung dalam politik lokal. Arwan Tjahjadi, seorang anggota lembaga legislatif kota Makasar yang merupakan keturunan Cina dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), telah mengumumkan diri bahwa dia telah siap untuk mengikuti pemilihan Walikota Makasar di taun 2009 (Tribun Timur Makassar, 21 Februari 2008). Hal yang sama dengan Eddi Kusuma, seorang pengusaha Cina Indonesia lahir di Medan, dia telah bergabung dengan Lemhannas (Lembaga Pertahanan Nasional)” forum pelatihan -workshop pada tanggal 29 Oktober 2006 yang diselenggarakan oleh FORDEKA (Forum Demokrasi Kebangsaan – salah satu asosiasi Cina-Indonesia). Dia mengutarakan keinginannya untuk menjadi calon Gubernur atau Wakil Gubernur Jakarta pada pemilihan tahun 2007, tetapi sampai saat ini dukungan dari komunitas Cina Indonesia masih sangat terbatas, yang mengakibatkan kegagalan dalam pencalonannya.
Sangatlah jelas, dibandingkan dengan masa lalu, makin banyak orang Cina Indonesia yang memasuki arena politik. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah telah cukup banyak jumlah untuk merubah pandangan kita tentang permasalahn hubungan orang Cina Indonesia dengan politik?
Pro dan Kontra tentang “Orang Cina Indoneia dalam Politik”
Beberapa orang percaya bahwa keterlibatan orang Cina Indonesia dalam politik lokal selayaknya sudah terjadi sejak lama, dan dengan keahlian ekonomi dan kekuatanmya dalam ekonomi lokal dan jaringan bisnis dan koneksi internasional mereka, mereka seharusnya dapat dengan mudah menjadi pemain utama. Walaupun begitu kenyataannya hanya sedikit dukungan yang datang dari komunitas mereka sendiri. Contohnya di Palembang, Toni Huang muncul dan siap untuk menjadi wakil walikota, tetapi karena tidak ada partai yang mendukungnya dia gagal untuk mengorganisasi kampanyenya. Salah satunya adalah akibat trauma dari kejahatan politik pada masa periode akhir pemerintahan Soekarno dan awal-awal tahun pemerintahan Orde Baru Soeharto masih cukup kuat.
Sementara situasi telah banyak berubah saat ini, generasi yang lebih tua dari kalangan Cina Indonesia masih belum dapat melupakan trauma dari masa lalu. Para generasi tua ini adalah mereka yang juga dihormati oleh para memimpin kelompok. Yang sama kuatnya, ingatan akan kerusuhan Mei 1998 dan dampaknya pada kalangan muda Cina Indonesia yang tetap takut bahwa mereka akan menjadi korban lagi bila politik nasional menjadi goyah lagi. Seperti para tetua mereka, merka juga merasakan bahwa cara yang paling aman untuk melindungi diri sendiri adalah dengan cara tidak terlibat dalam politik.
Ada juga kenyataanya bahwa keterlibatan politik mempunyai resiko, seperti peristiwa Pontianak telah memperlihatkannya. Ketika kompetisi politik menjadi tegang, banyak calon berlomba untuk mendapatkan posisi mungking mencari jalan untuk lebih maju dengan menggunakan isu ras melawan saingannya. Kasus Goh Tjong Ping dari Tuban sebagai ilustrasinya. Goh gagal menjadi Bupati di Tuban, dan kegagalannya telah memicu kemarahan dan kerusuhan masa, yang akhirnya menarik perhatian kalangan pers dan media masa. Tetapi ceritanya kemudian dihilangkan dari saluran Televisi populer Metro TV dalam acara Today Dialogue oleh wakil Golkar Priyo Budi Santoso yang memberikan komentar bahwa Goh “bukanlah nama yang layak” untuk seorah Bupati Tuban – sangat jelah sebagai sindiran yang oleh kebanyakan orang akan dianggap sebagai perlakuan rasis oleh Santoso.
Resiko lain yang ditunjukkan oleh pe,erhati budaya Nurhayat Arif Permana, adalah kemungkinan yang terjadi bila seorang Cina Indonesia yang terpilih gagal mewujudkan janji janjinya, kemungkinan akan ada konsekuensi yang harus ditanggung komunitasnya dan juga calon politisi lainnya dari keturunan.
Akan sulit untuk dipikirkan apa yang akan terjadi apabila seorang calon Cina Indonesia gagal dalam mewujudkan janji-janjinya, karena faktor suku belum pernah dibahas secara terbuka sebagai sebuah subyek bahan pembicaraan dalam ajang politik Indonesia, kondisi yang sama telah dihadapi di beberapa tempat seperti Malaysia di mana hirarki suku bangsa dikenal secara formal.
Calon-calon keturunan Cina Indonesia berusaha untuk mengantisipasi permasalahan ini dengan membentuk koalisi politik dengan pribumi Indonesia, seperti yang terlihat dalam kasus Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama di Belitung Timur dan Christiandy Sanjaya di Kalimantan Barat. Calon-calon Cina Indonesia ini ber-rekanan dengan orang pribumi Indonesia untuk bersaing dalam ajang politik, tidak hanya untuk memindahkan kemungkinan adanya seranga sara tetapi juga untuk mencapai basis suara yang lebih luas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa, karena kebanyakan propinsi atau kabupaten memiliki populasi dari berbagai suku bangsa, kesempatan untuk menang akan lebih kecil bila partai politik bergantung hanya pada calon dengan latar belakang suku yang sama. Walaupun rekanan ini mengurangi kesempatan calon untuk menonjolkan ke-Cina-annya, atau dengan kata lain: supaya tidak terlihat “terlalu mencolok Cina” ini juga membawa hasil untuk keuntungan mereka.
Dalam permasalahan ini kita harus memikirkan kembali kejadia Pontianak. Saya berpendapat bahwa setelah guncangan yang diikuti dengan pemilihan Christiandy Sanjaya sebagai Wakil Gubernur menjadi lebih kompleks dari biasa pertegangan antara orang Cina melawan anti Cina yang telah sering muncul. Seperti yang telah diketahui oleh beberapa orang di antara kita, kelompok suku bangsa terbesar di Kalimantan Barat adalah Dayak, Melayu dan Cina. Sejak konflik berdarah antara Dayak dan Madura di akhir tahun 1996, yang berakibat pindahnya orang Madura dari daerah-daerah di mana Dayak sebagai mayoritas, dikemudian hari mereka dapat menumbuhkan kembari hak politik mereka sebagai salah satu pemilik asli daerah tersebut, berdampingan dengan orang Melayu yang telah mengakui bahwa hak adat mereka dari kerajaan tua Melayu di wilayah tersebut, termasuk salah satunya yang sekarang menjadi Kota Pontianak. Sebenarnya orang-orang Cina juga dapat memperlihatkan sejarah panjang pemukiman Cina di Kalimanta Barat, sejak pertengahan abad 18. Ketika proses disentralisasi dimulai di tahun 2000, orang Dayak berhasil memperoleh kontrol hampir di seluruh wilayah “Dayak”, meninggalnya beberapa wilayah yang dianggap sebagai wilayah “Melayu” ditangan orang Melayu. Perjanjian pembagian kekuasaan hanya terjadi di daerah tingkat II dimana tidak dapat dibedakan secara jelas Dayak atau Melayu yang berkuasa. Di daerah-daerah ini para pemiminnya memutuskan – tentu saja secara informal – untuk menjadi orang Dayak sebagai ketua dan Melayu sebagai wakilnya atau Melayu sebagai ketua dan Dayak sebagai wakilnya. Dalam perjanjian pembagian kekuasaan ini, kalangan Cina terus dianggap sebagai “teman baik” oleh kedua belah pihak di lapangan dan mereka tidak mempunyai kecenderungan untuk terjun dalam dunia politik. Untuk alasan yang baik: jumlah mereka sangat penting untuk penentuan hasil pemilu pada saat persaingan sangat ketat. Karena sejarah hubungan antara Dayak dan Cina yang dekat, tidaklah mengejutkan bila akhirnya Dayak memutuskan untuk mengambil seorang rekanan Cina dari pada Melayu dalam memperjuangkan tujuan politik mereka. (Kecuali kejadian yang berhubungan dengan PGRS di tahun 1967, yang menurut sejumlah orang didalangi oleh militer Orde Baru untuk mengarahkan sentimen Dayang melawan Cina). Tetapi kejadian ini juga telah memicu kemarahan orang Melayu, yang memberikan kesempatan dikemudian hari untuk menggunakan orang Cina sebagai kambing penyelamat dari pada memfokuskan diri pada kritisi mereka terhadao Dayak.
“Orang Cina-Indonesia dalam politik” dan Perwakilan orang Cina-Indonesia
Banyak pengamat sering berbicara tentang perlunya keterlibatan politik kalangan Cina Indonesia untuk memperbaiki absensi mereka selama masa Orde Baru. Mereka menunjuk ke orang Cina Indonesia yang sebenarnya telah ditunjuk menduduk posisi menteri setelah runtuhnya Orde Baru: dari Kwik Kian Gie yang telah menjadi koordinator dalam Kementrian Ekonomi dan Keuangan pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid dan kemudian Megawati, sampai ke Mari Pangestu yang saat ini sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudoyono. Pada saat sejumlah orang Cina Indonesia di ajang politik masa lalu hampir tidak ada, pintu untuk ikut serta tidak tertutup secara rapat untuk mereka. Adalah seorang Bob Hasan (The Kian Seng) yang menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan selama bulan-bulan terakhir rezim Orde Baru (15 Maret 1998). Selama masa Soekarno, ada beberapa anggota Kabinet keturunan Cina: Tan Po Goan (Menteri untuk Urusan Suku Minoritas dalam Kabinet Sjahrir, 1946-1947); Siauw Giok Tjhan (Menteri untuk Urusan Suku Minoritas dalam Kabinet Amir Sjarifudin, 1947-1948); dan Oei Tjoe Tat serta David Cheng (ada di antara 100 Menteri selama era Demokrasi Terpimpin, 1958-1965.
Kehadiran orang Cina Indonesia telah menjadi indikator perubahan yang terjadi didalam atmosphere politik dan kebijakan pemerintahan. Perubahan situasi politik, dengan tuntutan kuat akan reformasi, terlihat telah mendorong pemimpin-pemimpin baru seperti Lieus Sungkharismato mengambil kesempatan untuk mendorong keterwakilan Cina Indonesia dalam parlemen nasional lewat partai mereka sendiri. Lieus dan teman-temannya memperkuat pengakuan mereka tentang jumlah total suara dari kalangan Cina Indonesia yang dapat mendukung perwakilan mereka. Oleh karena itu, menempatkan tekanan pada identitas Cinanya untuk membawa keterwakilan politik telah menjadi tujuan yang paling penting dari partai-partai dan organisasi Cina Indonesia yang bermunculan saat ini. Walaupun begitu, hanya sedikit yang membicarakan “bagaimana kalangan Cina Indonesia sebagai sebuah kelompok sebaiknya menempatkan posisi politik mereka”. Oleh karena itu walaupun semakin banyak orang Cina Indonesia yang berkecimpung dalam politik lokal sejak tahun 2004, hal ini tidak ada hubungannya dengan “keterwakilan orang Cina Indonesia” karena kebanyakan dari mereka terlibat untuk kepentingan pribadi dari para kepentingan komunitas.
Masih banyak orang yang ragu akan keefektifan strategi melakukan sendiri-sendiri ini. Makalah yang dipresentasikan oleh ketua INTI Eddy Lembong dalam seminar yang diselenggarakan oleh INTI pada 21Februari 2004 yang berjudul “Suku Cina dan Pemilihan Umum 2004” secara implisit mengutip beberapa permasalahan, termasuk “posisi yang tidak aman” pada politisi Cina Indonesia, sebagai individu maupun sebagai kelompok. Eddy menyatakan bahwa mereka yang tertarik untuk ikut dalam sebuah partai politik tidak tahu apakan mereka mempunyai hak dan secara sah untuk dapat menjadi “perwakilan” resmi kalangan Cina Indonesia karena diri mereka sangat berbeda dalam penampilannya. Dia juga mencatat bahwa seorang politikus Cina Indonesia tidak dapat secara yakin telah terjamin bahwa setelah terpilih akan dapat melindungi, memperkuat dan memperbaiki status politik orang Cina Indonesia.
Ada beberapa yang memilih untuk menggunakan keCina-annya dan jaringan Cina Indonesia untuk mendapatkan dukungan politik. Eddy Lembong contohna, dia mengingatkan rekannya Cina Indonesia bahwa “walaupun jika semua orang Cina Indonesia 100% bersatu, kekuatan maksimal yang diperoleh oleh kalangan Cina Indonesia dalam parlemen hanya sekitar 3-5%.” Dia menyarankan komunitas Cina Indonesia untuk bekerja sama dengan kekuatan sosial politik lain di Indonesia. Dia berpikir bahwa dengan hanya mendukung calon dari Cina Indonesia adalah “keputusan yang tidak bijaksana yang mengindikasikan kesukuan dan kecenderungan lama.” Tetapi usahanya untuk memobilisasi kelopok tersebut masih tetap menjadi impian. Hal ini, sebagian akibat dari kenyataan bahwa walaupun sebagai organisasi mereka mungkin mendukung pencalonannya, dikemudian hari juga akan keluar cara mereka untuk menyatakanya – seperti PSMTI – bahwa mereka tidak berafiliasi dengan partai politik dan organisasi sosial yang mempunyai afiliasi dengan partai politik.” Hal ini tidak menghalangi ambisi politik tetapi permasalahan masil sulit untuk diatasi, khususnya sejak ke-Cina-annya masih tetap menjadi isu yang tak terselesaikan dan sensitif di masyarakat.
Kesimpulan
Keterlibatan orang Cina Indonesia di ajang politik bukan merupakan phenomena bari, tetapi bagaimana hal ini bangkit atau jatuh tergantung pada kebijakan masing-masing rezim terhadap orang Cina Indonesia. Aktifitas politik di bawah rezim Orde Baru Soeharto dibatasi karena ketakutan pada kalangan militer akan tuduhan sebagai wadah keguatan komunis. Orang Cina Indonesia dengan mudah mendapatkan tuduhan sebagai “Pilar ke lima dari Cina” oleh rezim itu.
Setelah kerusuhan Mei 1998, situasi politik telah berubah, dan orang Cina Indonesia diperbolehkan untuk memasuki kembali ajang politik di tingkat nasional dan juga di tingkat regional dan lokal, ini menunjukkan kelonggaran kebijakan pemerintah terhadap mereka. Walaupu begitu, dari kejadian yang menjadi kelanjutan – seperti peristiwa Pontianak 2008- juga menunjukkan bahwa masyarakat umum masih belum dapat menerima keterlibatan orang Cina dalam politik lokal. Kembali ke pernyataan Jemma Purdey bahwa “massa [masih] mempunyai sekumpulan ingatan dan juga sentimen dan antipati terhadap Cina,” ini jelas bahwa permasalahan tidak hanya sosial dan politik, tetapi juga psikologis. Mengingat bahwa hanya sepuluh tahun yang lalu orang pribumi Indonesia mulai melihat kalangan Cina Indonesia di bawah cahaya yang lain, saya pikir sebuah perubahan yang menyeluruh akan membutuh usaha yang jauh lebih besar dari kedua belah pihak untuk merubah ketegangan yang telah lama terbentuk melawan kalangan Cina Indonesia. Mungkin dengan lajunya demokiratisasi di Indonesia, satu periode transisi diperlukan untuk menyiapkan penyesuaian yang baik bagi semua pihak yang terkait. Pertama, selama tiga dekade pada periode Orde Baru, kita telah tidak menghiraukan pentingnya tegangan antar suku dan agama di masyarakat Indonesia yang multi-kultural. Oleh karena itu dalam jangka waktu tiga sampai lima tahun ke depan seharusnya digunakan untuk membentuk komite bersama dari anggota publik dan akademisi terpilih dari berbagai suku bangsa termasuk orang Cina Indonesia, yang akan bekerja untuk menemukan cara terbaik dalam menghadapi ketegangan suku dan agama dalam sistem politik demokrasi kita.
Kedua, dan lebih penting lagi, semua suku dan komunitas agama dan pemimpin partai harus mengkonsep kembali, menentukan konteks kembalu dan akhirnya membangun kembali persepsi suku dan identitas agama dalam kerangan negara kesatuan Indonesia. Jika kedua langkah ini dapat dilaksanakan, saya yakin interaksi politik di antara kelompok suku, termasuk kalangan Cina Indonesia, dapat menjadi lebih terbuka untuk melakukan negosiasi yang akan memberikan keuntungan bagi proses demokratisasi lebih lanjut di Indonesia.
Thung Ju Lan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009)
Referensi
Colombijn, Freek & J. Thomas Lindblad. 2002. “Introduction,” dalam Roots of Violence in Indonesia, editor Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad. Leiden: KITLV Press, hal.1-31.
Coppel, Charles A. 1983. Indonesian Chinese in Crisis, Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Dijk, Kees Van, 2002. “The good, the bad and the ugly. Explaining the unexplainable: amuk massa in Indonesia,” dalam Roots of Violence in Indonesia, editor Freek Colombijn dan J. Thomas Lindblad. Leiden: KITLV Press, hal. 277-297.
Faucher, Carole. 2007. “Contesting boundaries in the Riau Archipelago,” dalam Renegotiating Boundaries Local Politics in Post-Suharto Indonesia, editor Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken. Leiden: KITLV Press, hal. 443-457.
Ginting, Jani, and Yasnovita. 2008. Merubah Indonesia: The Story of Basuki Tjahaja Purnama, Tidak Selamanya Orang Miskin Dilupakan. Jakarta: Center for Democracy and Transparency.
Meirobie, Isyak. 2007. Setitik Cahaya di Lorong yang Gelap: Catatan Perjalanan Sebagai Anggota DPRD Termuda di Kabupaten Belitung, writer/editor: Hendri Bun. Belitung: Kantor Isyak Meirobie.
Purdey, Jemma. 2006. “Anti-Chinese Violence and Transitions in Indonesia: June 1998-October 1999,” dalam Chinese Indonesians: Remembering, Distorting, Forgetting, editor Tim Lindsey dan Helen Pausacker. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) and Monash Asia Institute, hal.14-40.
_____. “The ‘other’ May Riots: anti-Chinese violence in Solo, May 1998,” dalam Violent Conflicts in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution, editor Charles A. Coppel. London & New York: Routledge, hal. 72-89.
Suryadinata, Leo. 2001. “Chinese politics in Post-Suharto’s Indonesia: Beyond the Ethnic Approach?,” dalam Asian Survey 41 (3): 502-524.
Tanasaldy, Taufiq. 2007. “Ethnic identity politics in West Kalimantan,” dalam Renegotiating Boundaries Local Politics in Post-Suharto Indonesia, editor Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken. Leiden: KITLV Press, hal. 349-371.
Zainuddin, Zakaria, et al. 2006. Orang Babel Bicara Babel: Figur & Pemikiran Tentang Masa Depan Bangka Belitung. Seri I. Sungailiat: CV. Batutulis bekerjasama dengan CV. Bina Niaga Jaya, Bogor.
Sumber internet:
Juven, Firdaus. 2006. “Masukan untuk Bp. Goh Tjong Ping. Bima Bhakti Group Indonesia,” (11 Mei), http://www.mail- archive.com/kolom@yahoogroups.com/msg03290.html, diakses 25 Juli 2008.
Lembong, Eddy. 2004. “Etnis Tionghoa & Pemilu 2004,” http://www.snb.or.id/?page=artikel&id=321&subpage=Artikel&lan=&year=2 004/02/21, diakses 9 Februari 2007.
Lingkaran Survei Indonesia, 2008. “Faktor Etnis Dalam Pilkada,” dalam Kajian Bulanan, edisi 09 (Januari), http://www.lsi.co.id/media/KAJIAN_BULANAN_EDISI_JANUARI_2008_( PDF).pdf, diakses 25 Juli 2008.
Marijan, Kacung. 2006. “Fokus Kompas: Kerusuhan Pilkada di Bumi Ronggolawe Tuban,” dalam Kompas (7 Mei), http://www.bung- aswin.com/bacakliping.php?id=52, diaskes 25 Juli 2008.
Patung. 2007. “Chinese in Politics,” dalam Indonesia Matters (16 Mei), http://www.indonesiamatters.com/1281/chinese-politics/. diakses 7 Agustus 2008.
Siauw Tiong Djin. 2005. “Komunitas Tionghoa Merupakan Bagian Tak Terpisahkan dari Bangsa Indonesia,” dalam Indonesia Media Online (Juli 2005), http://www.indonesiamedia.com/bribelaws/posisi.htm, diakses 5 Agustus 2008.
Suryadinata, Leo. 1998. “Anti-Chinese riots in Indonesia Perennial problem but major disaster unlikely, A commentary by Leo Suryadinata,” dalam Straits Times (25 Februari), http://www.hartford-hwp.com/archives/54b/066.html, diakses 29 Oktober 2008.
Wijaya, Taufik. 2008. “Pilkada, Etnis Tionghoa terganggu psikologisnya,” dalam detikfood (22 Mare http://www.detikfood.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/03/tgl/22/ti me/233226/idnews/911668/idkanal/10, diakses 25 July 2008.
Surat kabar:
“Calon Independen di Pilkada Makassar, Sinyal Buruk Bagi Partai Politik,” dalam Tribun Timur (9 Juli 2008). http://fanstribun.multiply.com/journal/item/524, diakses 25 Juli 2008.
“Herman Yakin Suku Tionghoa Solid Padanya,” dalam Tribun Timur (8 Juli 2008), http://www.tribun-timur.com/view.php?id=86810, diakses 25 Juli 2008.
“Ir Basuki Tjahaya Purnama MM, Bupati Belitung Timur, Bupati Tionghoa Pertama di Indonesia,” dalam Metro Riau, http://www.metroriau.com/?q=node/2896, diakses 25 Juli 2008.
“Jusuf Kalla: Perlakuan ke Kelompok Pengusaha Akan Dibedakan,” dalam Sinar Harapan (12 Oktober 2004), http://www.sinarharapan.co.id/berita/0410/12/sh01.html,diakses 25 Juli 2008.
“Perhimpunan Inti: Masyarakat Tionghoa Jangan Terjebak Primordialisme,” dalam Sinar Harapan (24 Februari 2004), http://www.sinarharapan.co.id/berita/0402/24/nas01.html, diakses 7 Agustus 2008.
“Pilkada, Etnis Tionghoa terganggu psikologisnya,” (23 Maret 2008). http://plinplan.com/general/21671/2008/03/23/pilkada-etnis-tionghoa- terganggu-psikologisnya/, diakses 25 Juli 2008.
“Tokoh Tionghoa Ingin Maju di Pilkada Makassar,” dalam Tribun Timur (21 Februari 2008), http://www.tribun-timur.com/viewrss.php?id=64980 or http://id.newspeg.com/actualite/Internasional/Tokoh%20Tionghoa%20Ingin% 20Maju%20di%20Pilkada%20Makassar-48587.news, diakses 25 Juli 2008.
“Ujian Ahok, Memimpin Belitung Timur,” dalam Tempo Interaktif (19 Agustus 2005), http://www.belitungtimur.com/beltim1/format_news.php?id_news=102, diakses 25 July 2008