Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (March 2011): Southeast Asian Studies in Korea
Investasi Luar Negeri dan Persoalan Perburuhan
Sejak akhir tahun 1980-an perusahaan Korea mulai gencar berinvestasi ke luar negeri menyusul terjadinya proses demokratisasi dan aktivasi perburuhan di Korea. Pada masa lalu, investasi Korea ke luar negeri cenderung terbatas pada sektor industri perkembangan sumber daya alam, pembangunan dan perdagangan. Namun, akhir-akhir ini investasi Korea lebih memilih sektor industri padat karya (labor-intensive) yang jika dilihat dari segi ukuran tidak lebih dari perusahaan menengah kecil dengan berpusat pada negara yang berkebijakan hemat upah dan supresif dalam urusan perburuhan. Sekitar tahun 1990, perusahaan sepatu dan garmen Korea yang berskala menengah kecil mulai pindah ke Asia Tenggara dan Amerika Latin. Namun, karena di sana tingkat upah naik, perusahaan-perusahaan tersebut mulai beralih ke negara yang memungkinkan hemat upah, seperti Cina dan Vietnam yang telah membuka jalan bagi masuknya investasi asing.Investasi Korea ke luar negeri menimbulkan beberapa persoalan yang disebabkan oleh sektor dan ukuran industri yang mereka kembangkan. Selain itu, ada juga persoalan yang disebabkan oleh kondisi negara yang dituju. Karena sifat investasi yang memilih sektor industri padat karya dan ukuran industri menengah kecil, buruh setempat dipaksa kerja di lingkungan kerja yang buruk dan dengan upah minim. Selain itu, investasi yang berpusat pada negara otoriter dan sosialis ternyata mengganggu terbentuknya hubungan perburuhan yang damai dan fleksibel.
Dengan kata lain, hubungan antar tenaga kerja, pengusaha Korea, dan negara penerima investasi (jika tidak menghitung nasionalitas dari modal dan tenaga kerja) pada dasarnya sangat mirip dengan hubungan antar tenaga kerja, pemodal, dan pemerintah yang pernah terjadi pada tahun 1960-an dan 1970-an di Korea.
Makalah ini bermaksud untuk menunjukkan kondisi hubungan perburuhan perusahaan Korea yang berinvestasi ke luar negeri, termasuk perubahan kondisi pada saat ini. Untuk itu, makalah ini disusun berdasarkan pada penelitian lapangan di Indonesia. Indonesia dipilih sebagai tempat penelitian karena Indonesia merupakan negara prioritas yang menjadi tujuan investasi modal Korea yang berbasis padat karya. Selain itu Indonesia juga merupakan negara tujuan investasi yang paling diminati oleh perusahaan kecil dan menengah Korea sebelum kemudian Cina menggantikan posisinya pada tahun 1994.
Selain itu, penelitian di Indonesia sangat penting karena masuknya perusahaan Korea ke Indonesia telah menjadi momentum bagi lahirnya sejarah gerakan perburuhan Indonesia. Masuknya perusahaan Korea ke Indonesia secara kebetulan terjadi pada saat mulai semaraknya gerakan buruh di Indonesia. Sebetulnya, sektor perburuhan sejak tahun 1966 sampai pertengahan tahun 1980-an di bawah regim Soeharto dapat dikatakan berada dalam kondisi hibernasi. Akan tetapi sejak akhir 1980-an sektor perburuhan di Indonesia mulai menampakkan adanya perubahan yang berarti. Pada saat itu, perusahaan Korea yang hanya 2-3 tahun beroperasi di Indonesia telah terlibat dalam masalah perburuhan dan saat itulah menjadi momentum berkembangnya gerakan buruh. Di antara tahun 1992 sampai semester pertama tahun 1994, media massa di Indonesia ramai memberitakan insiden konflik buruh yang terjadi di perusahaan Korea. Selanjutnya, konflik buruh sering diidentikkan dengan perusahaan Korea.
Meskipun konflik perburuhan yang dialami perusahaan Korea di Indonesia merupakan persoalan penting untuk dikaji, namun sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian akademis maupun liputan media massa secara mendalam.
Penelitian ini berdasarkan pada penelitian wawancara yang dilakukan oleh peneliti Kim Eun Young dan Jeon Je Sung dari Perhimpunan Masyarakat Sipil untuk Partisipasi Demokrasi, bersama Cha Mi Kyong dari AMRC (Asia Monitor Resource Center). Penelitian tersebut dilakukan dari tanggal 9 Juli 1995 sampai 30 Juli 1995 di Jakarta dan Surabaya dimana di kedua Kota itu perusahaan Korea berpusat. Di antara responden wawancara adalah buruh Indonesia, pemilik dan manajer perusahaan sebagai orang Korea, aktivis gerakan buruh, dan orang Korea yang menetap di Indonesia. Dalam rangka memperoleh fakta obyektif, penulis berusaha keras mengidentifikasi secara sungguh-sungguh terhadap hasil wawancara dengan menghindari ketidakjujuran dan pernyataan sepihak yang sifatnya mengada-ada. Untuk persiapan wawancara, terlebih dahulu dilakukan pemilihan perusahaan sebagai obyek penelitian dengan mengacu pada laporan media cetak dan informasi dari buruh. Setelah itu, dilakukan wawancara terhadap buruh yang pernah dan sedang kerja di perusahaan yang dipilih. Hasil wawancara dengan buruh didalami dengan melakukan wawancara terhadap pemilik dan Manajer Korea guna memastikan fakta sebenarnya.
Dalam proses penelitian tersebut, diketahui bahwa fakta yang terjadi dan penilaian pihak buruh sangat berbeda dengan penuturan pihak Manajemen Korea. Adanya perbedaan tersebut memberi peluang bagi penulis untuk memikirkan berbagai hal. Makalah ini pada dasarnya adalah hasil dari proses refleksi dan analisis penulis terhadap jarak perbedaan penuturan antara buruh Indonesia dan pihak Manajemen Korea tersebut. Dalam proses penelitian lapangan penulis menemukan fakta yang sangat mengejutkan, yaitu Manajemen a la Korea telah banyak diterapkan pada perusahaan setempat dan wacana kritik terhadap cara Korea telah tersebar luas di antara buruh maupun masyarakat umum. Secara kongkrit, kebanyakan Manajer Korea yang bertugas di Indonesia — baik di perusahaan investasi Korea maupun perusahaan Indonesia, Taiwan, Hongkong dan sebagainya — merupakan mantan teknisi atau buruh di Korea. Dalam tugas sebagai Manajer mereka memakai cara manajemen yang subversif dan otoriter yang dulu sering ditemukan di perusahaan ekspor Korea yang padat karya. Cara ini oleh buruh Indonesia dianggap sebagai cara Korea. Penulis dalam makalah ini bermaksud menggambarkan masalah-masalah yang timbul, baik dengan adanya investasi modal Korea maupun dengan direkrutnya orang Korea di Indonesia sebagai Manajer dan pengelola perusahaan. Selain itu, akan digambarkan citra manajemen a la Korea dimata orang Indonesia, yang memaksa kaum buruh kerja keras dalam kondisi mirip perbudakan dan pengelolaan tenaga kerja yang subversif. Pada akhirnya, makalah ini akan menunjukkan sikap buruh Indonesia yang mengembangkan wacana kritik sebagai senjata kaum lemah untuk menantang orang Korea dan manajemen a la Korea.
Tinjauan Kronologis Masuknya Perusahaan Korea di Indonesia
Sejarah investasi Korea ke luar negeri bermula dari Indonesia. Rekor investasi Korea pertama ke luar negeri tercatat pada saat Perusahaan NamGang, yang bergerak di bidang industri timber, berinvestasi modal ke Indonesia pada tahun 1968. NamGang pernah mendapat dana besar dari mantan presiden Park Chung Hee untuk pengembangan ladang minyak mentah di Madura. Setelah musim panas tahun 1987, perusahaan Korea yang kehilangan daya saing dalam industri hemat upah dan adat karya karena perjuangan buruh, berbondong-bondong pindah ke Indonesia. Di bawah ini akan dibahas bentuk investasi perusahaan Korea secara kronologis dan pengaruh bentuk tersebut pada hubungan perburuhan.
Bentuk investasi Korea ke Indonesia berubah sejalan berlalunya waktu. Di antara tahun 1960-an sampai akhir 1970-an, investasi ke Indonesia berpusat pada sektor ekspansi industri sumber daya alam. Pada zaman tersebut, Korea sangat membutuhkan kayu, minyak mentah, dan batu bara untuk pembangunan ekonomi dalam negeri. Orang Korea yang saat itu ikut pindah ke Indonesia adalah teknisi dan buruh yang jumlahnya tidak seberapa. Mereka kerja di Jakarta dan pulau-pulau di luar Jawa. Perusahaanperusahaan seperti Kodeco dan Korindo, yang patut dibanggakan karena telah sukses di bidang industri kayu, merupakan representasi zaman investasi tersebut. Perusahaan yang didirikan pada zaman tersebut tidak begitu banyak menimbulkan masalah dengan kaum buruh dan masyarakat umum setempat karena jumlah perusahaan tidak banyak. Malah mereka disambut dengan baik oleh penduduk setempat karena mereka membangun jalan, sekolah, masjid, dan gereja di daerah terpencil yang juga merupakan tempat bisnis mereka. Sementara itu, Miwon, sebuah perusahaan Korea pada zaman itu juga mendirikan pabrik di Indonesia dan mulai berjuang untuk menyaingi Ajinomoto dan Sasa, yang telah lama beroperasi di Indonesia. Pada saat ini, Miwon sebagai saingan bisnis Ajinomoto telah berhasil meraih posisi mantap di bidang bumbu penambah rasa dan industri makanan olahan. Miwon bersama Kodeco dan Korindo tercatat sebagai tiga besar perusahaan Korea yang sukses di Indonesia.
Selanjutnya, pada fase investasi kedua di antara akhir tahun 1970 sampai akhir tahun 1980-an, sektor industri pembangunan dan perdagangan merupakan sektor industri yang investasinya banyak dilakukan oleh perusahaan Korea. Banyak perusahaan papan atas di bidang pembangunan dan perdagangan yang memasuki pasar Indonesia dan meraih kesuksesan. Sementara itu, perusahaan-perusahaan eksplorasi sumber daya alam yang masuk pada masa sebelumnya mengalami nasib buruk. Perusahaan kayu yang pernah meraih kesuksesan mulai mendapat tantangan berat karena pada akhir tahun 1970-an di Indonesia mulai diterapkan kebijakan larangan ekspor kayu. Pada tahun 1984, Indonesia secara keseluruhan melarang ekspor kayu sehingga banyak perusahaan kayu gulung tikar atau pindah sektor industri, kecuali sebagian kecil perusahaan kayu yang telah berhasil membangun jaringan penjualan dalam negeri atau mendiversifikasi bisnisnya ke sektor kayu lapis. Selain itu, Kodeco yang mendapat dana bantuan dari pemerintah Korea untuk eksplorasi minyak mentah gagal mebangun ladang minyak yang bernilai komersial sehingga mendapat kritik dari masyrakat Korea dan ditetapkan sebagai perusahaan di bawah pengawasan pemerintah.
Pada masa kedua ini, hampir tidak terjadi konflik di antara perusahaan Korea dan kaum buruh di Indonesia. Hal ini dapat dipahami karena investasi pada saat itu berpusat pada sektor industri pembangunan, perdagangan, dan pengembangan energi, yang rata-rata tidak termasuk sektor industri padat karya, dan perusahaan itu didukung oleh perusahaan induk yang merupakan Konglomerat di Korea. Pada masa ini, sepertinya citra orang Korea dan negara Korea cukup positif di mata orang Indonesia. Hyundai membangun Jalan Tol pertama di Indonesia, yaitu Tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta dan Bogor. Pembangunan jalan tol oleh perusahaan Korea tersebut sangat berkesan bagi penduduk Indonesia. Perusahaan pembangunan Korea yang lain juga mendapat tender di berbagai daerah di Indonesia. Miwon telah cukup berhasil dalam persaingan dengan Ajinomoto, dan dengan demikian produk Korea mulai dikenal oleh konsumen Indonesia. Selanjutnya, produk elektronik Korea yang mulai masuk pada tahun 1980-an memperkuat citra produk Korea di Indonesia. Namun, pada masa ini, citra Korea yang positif, yang tumbuh berkembang di masyarakat Indonesia sebagian besar merupakan hasil pemberitaan media massa. Media massa memberitakan tentang kemajuan ekonomi Korea yang maju pesat, Asian Game, dan Olympiade yang diselenggarakan di Korea. Citra Korea yang positif pada masa itu bukan berasal dari kontak dan pengalaman langsung dengan unsur Kekoreaan.
Fase investasi ketiga terjadi sejak akhir tahun 1980-an sampai tahun 1993, dimana pada masa itu terjadi pemusatan penanaman modal secara langsung pada sektor industri padat karya. Pada fase ini, investasi dilakukan oleh investor yang berskala kecil-menengah, yang melihat cela manfaat dari ciri tenaga kerja Indonesia, yaitu sikap penurut dan tingkat upah buruh yang rendah.
[quote]Tabel 1. Jumlah Investasi Asing di Indonesia Antara Waktu 1967 – May, 1995 (standar persetujuan, jumlah investasi = 1 juta dolar Amerika)[/quote]Khususnya, pada awal fase ini, yaitu sekitar tahun 1990, banyak perusahaan Korea yang menanam modal di negara asing berbondong-bondong pindah ke Indonesia sehingga pada saat itu di Indonesia telah berada kurang lebih 350 perusahaan investasi Korea. Di antara perusahaan tersebut, yang terbanyak adalah perusahaan manufaktur padat karya, seperti sepatu dan garmen, yang berjumlah lebih dari 200 perusahaan. Dari segi skala penanaman modal per proyek, Korea tercatat paling kecil dibanding perusahaan asing yang lain (lihat Tabel 1). Aspek ini menunjukkan bahwa investasi Korea ke Indonesia didominasi oleh Usaha Kecil Menengah (UKM). Seperti telah disebut di atas, era ini dicatat sebagai masa yang penuh konflik antara pemodal Korea dan tenaga kerja Indonesia. Makalah ini juga memperhatikan masa ini, yang mulai dari akhir tahun 1980-an.
[quote]Tabel 2. Fluktuasi Investasi Korea terhadap Indonesia (standar persetujuan, jumlah investasi = 1 juta dolar Amerika)[/quote]Namun, seperti terlihat dalam Tabel 2, setelah tahun 1990-an yang ditandai dengan naiknya upah buruh Indonesia, usaha kecil-menengah Korea enggan masuk ke Indonesia, sedangkan investasi berskala lebih besar mulai berdatangan. Investasi yang bersifat kecil-menengah pada masa ini hampir tidak dilakukan di Indonesia, tetapi lebih memilih Cina, Vietnam, Asia Barat Daya karena di sana upah buruh lebih murah. Kendatipun demikian, citra buruk terhadap perusahaan Korea tidak seketika hilang, bahkan semakin meluas di tengah masyarakat Indonesia. Apa penyebabnya? Skala investasi modal Korea membesar dan berupa modal sarat-teknologi, tetapi mengapa citra buruk tetap melekat pada perusahaan Korea dan orang Korea?
Penulis dalam makalah yang lain pernah menilai bahwa investasi Korea ke luar negeri pada dasarnya akan bermasalah jika dilihat dari segi sektor industri dan skala modal investasi. Itu dikarenakan tingginya persentase upah buruh dalam biaya produksi dan sulitnya membuat rencana jangka panjang untuk mengembalikan modal yang ditanam, serta mudah tereksposenya perusahaan kecil-menengah ketika terjadi konflik perburuhan. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa bagi perusahaan Korea masalah perburuhan merupakan hal yang biasa jika dilihat dari segi tahapan perkembangan ekonomi dan investasi ke luar negeri. Oleh karena itu, mereka memprediksi bahwa masalah tersebut akan berakhir sejalan dengan berlalunya sang waktu. Namun, penulis pernah menilai juga bahwa masalah-masalah yang timbul sejalan dengan dilakukannya investasi Korea ke luar negeri bukan hal yang semata diakibatkan oleh sifat dan skala modal yang ditanam, tetapi juga berasal dari diterapkannya manejemen a la Korea dan budaya perusahaan Korea, yang diekspor bersama modal yang diinvestasikannya. Pada kesempatan penelitian lapangan kali ini, penulis menyaksikan secara langsung bahwa penyebab utama konflik perburuhan bagi perusahan Korea adalah cara pengelolaan perusahaan Korea yang diterapkan di Indonesia.
Sistem Pengelolaan Perusahaan Korea
Dalam penelitian lapangan, penulis secara konsisten memperhatikan apa benar perusahaan Korea, seperti telah diberitakan dalam media massa, melakukanpengontrolan tenaga kerja dan tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan aturan setempat, seperti menunda pembayaran gaji, tidak menerapkan kebijakan upah minimum regional (UMR), memaksa kerja lembur, melakukan kekerasan dan hukuman fisik, dan sebagainya. Hal ini penulis lakukan karena penulis pernah membaca berita tentang kasus-kasus penundaan pembayaran gaji yang disebabkan oleh kondisi finansial yang tidak memungkinkan, dan pelanggaran undang-undang tenaga kerja yang juga dibiarkan oleh pihak berwenang setempat, serta kekerasan yang dilakukan oleh manajer Korea. Namun, ternyata prasangka tersebut sejak awal penelitian lapangan langsung runtuh.
Pertama, kasus konflik perburuhan yang timbul karena persoalan upah seperti penundaan pembayaran gaji jarang ditemukan. Pemerintah Indonesia pernah mengintensifkan pengawasan terhadap diberlakukan atau tidaknya upah minimum regional karena diperingatkan oleh unjuk rasa buruh di Medan pada April, 1994. Di antara perusahaan Korea, yang pernah tim peneliti kunjungi atau datanya dikumpulkan lewat wawancara dengan buruh Indonesia, belum pernah ada perusahaan yang tidak membayar gaji di luar standar UMR. Apalagi, ternyata dalam sektor industri yang sama, perusahaan investasi Korea biasanya membayar upah lebih besar dibanding perusahaan asing yang lain dan perusahaan Indonesia.
Kekerasan fisik tidak ditemukan lagi di lingkungan perusahaan Korea. Meskipun cara-cara ancaman, penghinaan dan bahasa kasar tetap dipakai, tetapi belum pernah ditemukan seorang pekerja yang melapor bahwa dirinya telah dipukul. Pihak Manajemen Korea telah memahami betul tentang tindakan kekerasan ataupun tindakan lain sejenis. Lebih jauh daripada itu mereka pun memahami bahwa tindakan berupa meraba kepala sebagai suatu bentuk tindakan yang terkategori penghinaan bagi orang Indonesia. Sehingga setiap kali adanya Manajer, teknisi dan pekerja yang baru datang dari Korea, pihak Manajemen selalu memberi pengertian tentang aspek tersebut. Selain itu, seturut pengamatan penulis, tidak mungkin pihak Manajemen Korea yang hanya berjumlah 2 atau paling banyak 20-30 orang berani melakukan kekerasan terhadap ratusan bahkan ribuan pekerja Indonesia meskipun mereka dianggap selalu patuh pada perintah atasan. Kekerasan dalam kondisi tersebut tidak mungkin terjadi karena besarnya resiko aksi balasan dari pihak buruh.
Belum ditemukan perusahaan Korea yang mengadakan tes kesamaptaan jasmani sebagai persyaratan penerimaan pekerja, seperti diberitakan oleh media massa, dan tidak ditemukan buruh Indonesia yang memberi kesaksian bahwa majikan Korea memberi hukuman fisik seperti push up, lari, dan berjemur di bawah terik matahari. Mungkin saja praktek hukuman fisik seperti itu telah tidak lagi dilakukan atau kalaupun ada hanyalah merupakan berita yang dibuat-buat. Meskipun demikian, masih terdapat praktek pemeriksaan badan para pekerja dalam rangka mencegah terjadinya pencurian. Selain itu juga masih terdapat praktek yang menyuruh pekerja berdiri berjam-jam karena mereka telat masuk kerja.
Namun, citra perusahaan Korea di mata buruh Indonesia tetap buruk, paling buruk di antara perusahaan asing. Menurut buruh Indonesia, perusahaan Korea paling keji dan kejam dalam hal pengelolaan perusahaan. Bagi mereka, perusahaan Korea merupakan tempat kerja yang paling dibenci sedangkan perusahaan Jepang tempat kerja yang ideal.
Apa yang menyebabkan buruh Indonesia enggan kerja di perusahaan Korea yang ternyata membayar gaji paling tinggi dalam sektor industri yang sama Jawabannya dapat dilihat pada satu kasus wawancara yang penulis lakukan dengan buruh Indonesia. Tim peneliti mewawancarai 20 orang buruh dari 6 perusahaan pada malam hari tanggal 15 Juli, 1995 dengan bantuan sebuah LSM yang bergerak di bidang perburuhan. Di antara yang diwawancarai ada beberapa buruh dari sebuah pabrik yang memproduksi bunga imitasi. Sebetulnya pemilik pabrik tersebut adalah warga negara Cina, tetapi Manajernya orang Korea. Oleh karena itu, tim peneliti bisa mendapatkan kesaksiannya. Mereka mengatakan bahwa setelah datangnya manajer Korea yang pindah dari pabrik sepatu Reebok, terjadi berbagai konflik di lingkungan pabrik. Mereka menggerutu tentang cara manajemen dan tindakan-tindakan yang dilakukan Manajer. Akan tetapi, nama Manajer tersebut kedengarannya tidak seperti nama orang Korea sehingga penulis bertanya kembali apa benar ia seorang Korea. Kata mereka, pokoknya Manajer tersebut dikenal sebagai orang Korea. Dengan adanya jawaban yang membingungkan tersebut, penulis memberitahu bahwa menurut nama manajer tersebut, ia pasti bukan orang Korea. Pada saat tersebut, ada seorang buruh yang melontarkan kata-kata yang lebih mengejutkan bagi tim peneliti. Buruh tersebut mengatakan bahwa meskipun manajer itu bukan orang Korea, ia pernah kerja di pabrik Reebok dan ia menerapkan “cara-cara Korea”. Dengan kata lain, cara Korea dinilai sebagai sumber konflik, meskipun Korea tidak memiliki dan tidak mengelola pabrik tersebut. Betapa kurang adilkah pernyataan tersebut? Dari hasil wawancara tersebut, fokus penelitian ditujukan untuk menemukan fakta tentang cara Korea dan kemudian menganalisisnya.
1. Adakah cara manajemen Korea?
Apa betul cara manajemen Korea ada, dan jika ada seperti apa bentuknya? Jika diringkas kesaksian buruh Indonesia, cara manajemen Korea adalah cara pengelolaan yang kurang manusiawi, yang dengannya pihak pengelola dan manajer mengintensifkan kerja buruh untuk meningkatkan produktivitas. Namun, seperti penuturan buruh pabrik bunga imitasi di atas, buruh Indonesia menganggap cara manajemen Korea diterapkan di pabrik yang tidak ada hubungan dengan Korea sama sekali. Apa dasar pandangan buruh tersebut?
Pertama-tama, kemungkinan perusahaan Korea, dibanding perusahaan asing yang lain, lebih mengenal dengan baik bagaiman caranya mengontrol tenaga kerja untuk memaksimalkan produktivitas dan keuntungan, yaitu melalui pengalaman industrialisasi yang berorientasi ekspor dan berdasarkan pada industri padat karya di bawah sistem otoriter. Entah cara tersebut berasal dari perusahaan Jepang ataupun perusahaan multi-nasional, cara seperti itu berkembang di Korea dan dapat saja disebut sangat sesuai dengan gaya Korea.
Kedua, cara-cara kongkret yang akan digambarkan di bawah ini memang didatangkan oleh orang Korea ke Indonesia. Meskipun cara itu telah tersebar di dalam sektor industri padat karya di Indonesia, pengelola dan manajer perusahaan Korea lah yang untuk pertama kalinya menerapkan cara itu di Indonesia. Misalnya, industri sepatu Indonesia dikembangkan oleh pemodal Korea. Pada awal masuk ke Indonesia, hampir semua perusahaan sepatu Korea terlibat masalah perburuhan. Buruh Indonesia cenderung menafsirkan konflik perburuhan itu dari segi sifat orang Korea, bukan dari logika modal. Kecenderungan ini sangat wajar dan bermanfaat buat strategi gerakan buruh.
Ketiga, sistem manajemen a la Korea ada kaitannya dengan manajer Korea. Kebanyakan manajer Korea adalah mantan teknisi dan buruh di Korea. Dengan posisi yang dimiliki mereka secara ironis mengulang cara-cara dimana mereka pernah dipaksa oleh manajer mereka di Korea sebelumnya. Posisi mereka yang kurang menentu sebagai manajer tingkat menengah, obsesi yang mereka rasakan sebagai orang asing, prasangka yang terpengaruh dari keterbatasan pendidikan mereka, dan etnosentrisme serta rasisme khas orang Korea mengeskalasi sikap manajer Korea terhadap buruh Indonesia untuk mengulang menerapkan cara manajemen yang pernah mereka peroleh dalam pengalaman kerja di Korea sebelumnya.
Keempat, adalah gejala separasi antara modal Korea dan manajemen Korea di sektor industri padat karya. Misalnya, di dalam industri sepatu, garmen, tekstil dan mainan anak, yang berskala kecil menengah, biasanya manajer pabrik, kepala bagian operasi, kepala unit kerja berkewarganegaraan Korea. Dalam kondisi ini, figur manajemen yang sehari-hari buruh hadapi adalah orang Korea sehingga perusahaan itu akan dianggap sebagai perusahaan Korea, padahal pemiliknya bukan orang Korea. Dari kenyataan ini, terbentuk gambaran tentang cara manajemen a la Korea.
Dalam kenyataan, cara manajemen Korea sulit dikatakan hanya terdapat di perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh orang Korea. Diantara yang diwawancarai, khususnya kaum orang Korea mengatakan bahwa perusahaan Taiwan, Hongkong, dan Cina lebih kejam dan keji dalam urusan perburuhan. Hanya saja penelitian kali ini terbatas pada perusahaan Korea sehingga belum dapat memastikan sejauh mana cara manajemen Korea meluas ke perusahaan pribumi maupun asing. Yang penting adalah fenomena yang di dalamnya semua tuduhan terpusat pada Korea, tanpa memikir eksistensinya dan asal usul manajemen a la Korea. Baik itu pemiliknya orang Korea ataupun hanya manajernya saja orang Korea kedua-duanya membawa implikasi dimana pertanggungjawaban atas semua eksploitasi yang terjadi ditujukan/dituduhkan pada perusahaan Korea. Mungkin karena itu, lontaran buruh Indonesia yang mengatakan bahwa bukan kami yang bodoh, tetapi orang Korea itu, terus bergema di telinga penulis.
Di bawah ini akan disajikan kebiasaan-kebiasaan yang secara luas dilakukan di pelbagai perusahaan yang diinvestasi dan dikelola serta dimanajeri oleh orang Korea. Data diambil dari wawancara dan laporan media massa.
2. Sistem Upah
Dalam beberapa tahun, terjadi banyak perubahaan pada sistem upah di Indonesia. Pengelola perusahaan Korea cukup memanfaatkan situasi ini. Unsur utama yang menyebabkan perubahaan sistem upah di perusahaan Korea adalah diketatkannya pengawasan dan pengontrolan negara atas penerapan kebijakan UMR oleh pihak perusahaan. Pemerintah Indonesia menilai peningkatan jumlah konflik perburuhan sebagai unsur yang mengancam stabilitas politik selanjutnya pemerintah bertindak dengan strategi lunak dan keras secara bergiliran. Strategi lunak yang pernah dipakai oleh pemerintah untuk menghibur kaum buruh adalah penjaminan UMR dan dinaikkannya UMR. Dalam beberapa kurun waktu ini, setiap tahun pemerintah Indonesia secara besar menaikkan UMR (lihat Tabel 3), dan setelah tahun 1994 yang pada saat itu terjadi insiden Medan, membuat daftar hitam terhadap perusahaan yang tidak menerapkan UMR. Perusahaan yang tertera dalam daftar hitam diawasi dan dikontrol serta dihukum sesuai dengan aturan.
[quote]Tabel 3. Perubahan UMR di Daerah Jakarta dan Jawa Barat (satuan: rupiah)[/quote]Investor Korea dan pihak pengelola sering menganggap kebijakan perburuhan dari pemerintah Indonesia akan mirip dengan kebijakan perburuhan dari regime Park Chung Hee, tetapi anggapan tersebut terlalu bersifat simplistis bahkan membahayakan bisnisnya sendiri. Pertama, kebijakan perburuhan pemerintah Soeharto berdasarkan pada hubungan industrial Pancasila yang akan tercapai melalui musyawarah damai antarburuh-perusahaan-pemerintah. Hubungan tersebut tidak seperti kebijakan perburuhan yang supresif, yang pernah ada di Korea masa lalu. Hubungan tersebut lebih dari retorika sebenarnya karena regime Soeharto lebih mementingkan stabilitas politik daripada perkembangan ekonomi. Regime Soeharto tidak ingin jika konflik perburuhan terjadi, buruh terorganisasi secara politik serta masalah-masalah perburuhan meluas ke masyarakat sipil secara umum hingga menjadi ancaman bagi pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia lebih memilih mengadakan kenaikan upah untuk kaum buruh, meskipun nanti kebijakan tersebut akan mengundang turunnya investasi asing dan laju perkembangan ekonomi. Hal ini dimungkinkan karena strategi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak hanya bersandar pada industrialisasi ekspor-oriented.
Kedua, perusahaan Korea jika di dalam teritori Korea merupakan perusahaan domestik, namun jika di Indonesia merupakan perusahaan asing. Meskipun adanya arus liberalisasi dan rasionalisasi akhir-akhir ini, kebijakan perekonomian Indonesia bersifat nasionalis. Konflik perburuhan pada perusahaan investor asing dapat saja dianggap sebagai konflik antarnegara. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kasus kerusuhan anti- Jepang pada Januari tahun 1974 dan kasus-kasus anti-Cina yang kadang terjadi. Bagi perusahaan asing, kemudahan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia bukan hak tanpa syarat.
Pengusaha Korea tidak begitu saja menerima kebijakan kenaikan upah (UMR) yang dilakukan terus-menerus. Perusahaan Korea menyikapi kebijakan tersebut dengan tiga cara. Pertama, standardisasi tingkat upah, yaitu menghapuskan atau menyempitkan selisih upah yang ditetapkan sesuai dengan masa kerja buruh di perusahaannya agar dapat menutup beban finansial yang diakibatkan penerapan UMR. Ada perusahaan yang secara merata menetapkan tingkat upah tanpa memandang masa kerja buruh. Ada juga perusahaan yang mengecilkan besaran selisih upah dengan masa kerja. Dengan demikian, tanggapan perusahaan Korea dengan cara ini menjadi bibit konflik, dan tidak jarang juga terjadi mogok kerja yang menentang cara ini.
Kedua, dengan cara menyisisipkan uang makan dan transportasi ke dalam upah sehingga dapat mencegah tingginya kenaikan gaji. Langkah seperti ini menjadi persoalan serius manakala itu merupakan bentuk penafsiran sebuah undang-undang. Menurut sistem UMR yang ditetapkan setelah tahun 1990 bahwa dalam skema UMR dapat dimasukkan tunjangan sebesar 25% dari besaran jumlah UMR. Jika ada perusahaan yang menghitung uang makan dan transportasi sebagai tunjangan dan kemudian dimasukkan sebagai bagian dari jumlah UMR dan meskipun jumlah pembayaran tersebut telah melebihi jumlah nominal UMR, maka kebijakan itu tidak seketika bisa dikategorikan sebagai pelanggaran UMR. Oleh karena itu, banyak perusahaan memasukkan uang makan dan transportasi sebagai tunjangan dengan nominal jumlah upah tetap atau sebaliknya jumlah upah dinaikkan sedangkan uang makan dan transportasi dikurangi bahkan dihapuskan. Cara perhitungan gaji tersebut mengundang banyak perselisihan antara buruh dan pengusaha pada tahun 1990-an. Tentu organisasi buruh menafsirkan dan mengklaim bahwa uang makan dan transportasi harus dipisahkan dari perhitungan tunjangan tersebut dan dibayar sebagai tambahan.
Ketiga, adalah dengan menerapkan sistem borongan dan sistem kerja yang besaran upahnya tergantung pada seberapa hasil yang dikerjakan. Sebagai upaya meningkatkan produktivitas dalam kondisi upah yang tinggi perusahaan Korea menciptakan dan memilih berbagai cara. Salah satunya adalah dengan pemberlakuan sistem borongan. Perusahaan Korea mulai menerapkan sistem kompetisi dan prinsip logika pasar kepada buruh yang menghendaki diberlakukannya sistem borongan yang di dalamnya buruh dibayar sesuai dengan hasil kerja tanpa memandang jam kerja. Buruh yang dibayar menurut jam kerja hanya mendapat rata-rata 2 ratus ribu rupiah per bulan termasuk UMR dan uang lembur, sedangkan buruh yang bekerja dengan sistem borongan menerima rata-rata 3 ratus ribu rupiah per bulan. Dalam sistem borongan tersebut tentu kerja buruh lebih keras, kendatipun demikian tidak ditemukan kasus penolakan yang terorganisir terhadap sistem borongan yang eksploitatif ini. Malahan pihak perusahaan yang justru tidak mengizinkan sistem borongan ini diikuti oleh buruh yang tidak disenangi perusahaan, misalnya buruh yang terlibat gerakan buruh, perusahaan memanfaatkan sistem ini sebagai cara menghukum buruh.
Selain itu, masih terdapat cara lain dalam menentukan tingkat produktivitas yaitu dengan menggunakan rencana kerja dan hasil pencapaian kerja buruh sebagai ukuran dalam memberikan uang insentif atau denda. Dalam Kasus itu, dapat dibayangkan adanya kemungkinan eksploitasi tenaga kerja dengan tanpa membayar uang insentif hasil kerja. Misalnya, tingkat produktivitas yang direncanakan terlalu berat untuk dicapai sehingga meskipun produktivitas meningkat tetapi pada kenyataannya buruh tidak mendapat uang insentif sama sekali. Ternyata ada juga perusahaan yang memberlakukan cara seperti ini. Namun, cara ini belum tentu menjamin efek produktivitas disamping besarnya kemungkinan terjadi penentangan dari kaum buruh. Konon, akhir-akhir ini pemberlakuan uang denda sebagai sangsi jika rencana kerja tidak tercapai telah banyak dihapus. Dengan demikian, cara ini akan berjalan sesuai dengan patokan rencana kerja dan produktivitas akan meningkat secara lebih efektif.
Terakhir, perlu disebut sistem penghitungan gaji yang kurang jelas. Gaji yang diterima buruh Indonesia ditentukan berdasarkan berbagai penghitungan seperti sistem borongan, sistem penerimaan upah berdasar hasil kerja, uang lembur, uang makan, uang transportasi, THR, cuti menstruasi dan lain-lain. Ketidakjelasan dalam cara menghitung gaji menjadi penyebab utama bagi masalah perburuhan. Rumitnya cara menghitung gaji terlebih jika diperkeruh oleh ketidakjujuran pihak pengusaha yang memanfaatkan ketidaktahuan kaum buruh mungkin saja memperparah konflik perburuhan, tetapi dalam proses penelitian ini belum pernah ada pengakuan dari pihak pengusaha tentang itu. Selain soal kejujuran pihak perusahaan, sikap pengelola Korea yang tidak begitu serius dalam menjelaskan dan mengkomunikasikan tentang cara penghitungan gaji juga menjadi pemicu munculnya masalah. Konfidensi pihak perusahaan atas kejujuran dan ketepatan cara menghitung kurang cukup meyakinkan untuk membuat para buruh sebagai orang asing mempercayainya. Sensitivitas soal uang, rumitnya unsur komponen gaji, cara aplikasi uang lembur yang berlainan dengan upah, dan ketidakpercayaan terhadap petugas Korea menuntut adanya penjelasan yang rinci tentang cara penghitungan gaji. Namun, dikarenakan sikap kaku dan keterbatasan bahasa, pihak pengelola dan manajer Korea sering mengundang kesalahpahaman.
Terkait dengan perubahan sistem upah, penerapan sistem borongan berimplikasi pada hal yang penting. Misalnya, penulis menyaksikan satu kasus yang terjadi di perusahaan garmen CJ di kawasan KBN, yang sering mengalami perselisihan antara buruh dan perusahaan. Oleh karena seringnya terjadi masalah perburuhan, pihak manajemen telah meninggalkan cara pengontrolan tenaga kerja yang supresif dan mencoba cara baru, yaitu dengan mengganti posisi manajer dan karyawan di tingkat menengah dengan pekerja pribumi, kecuali posisi direktur utama yang merangkap manager pabrik dan dua posisi direktur.
Selain itu, perusahaan itu menerapkan sistem borongan yang dibanggakannya. Sistem borongan membayar upah sesuai hasil yang dikerjakan dan tidak berdasarkan pada jam kerja, sehingga makin banyak hasil kerja makin banyak pula memperoleh gaji. Namun, kerja borongan di perusahaan CJ dapat dinilai bersifat kurang manusiawi. Di dalam ruang kerja yang sama, dua kelompok bekerja bersamaan: kebanyakan merupakan buruh kerja borongan dan sebagian kecil merupakan buruh yang bekerja berdasarkan jam kerja. Buruh perempuan yang kerja borongan berdiri berkeringat untuk menggerakkan mesin perajut secara manual, yang sebenarnya merupakan kerja laki-laki jika di Korea (penuturan direktur utama)_ sedangkan di sebelahnya buruh harian merajut sweater dengan tangan dan menyelesaikan hasil rajutan dengan lambat seperti orang mengantuk. Selisih upah yang diterima antara buruh borongan dan harian kirakira seratus ribu rupiah. Dari buruh perusahaan tersebut, tim peneliti tidak dapat melihat sikap bersahabat dan senyuman yang menjadi ciri khas orang Indonesia, yang pasti ditemukan di perusahaan yang lain.
Dipandang dari segi kebiasaan orang Indonesia yang suka bekerja sama dan gotong-royong serta membagi kemiskinan di antara sesamanya, apa artinya kerja borongan seperti ini bagi kaum buruh? Bukan gotong royong, tetapi persaingan; dan kerja untuk mendapat gaji 50% lebih banyak daripada rekan-rekan di sebelahnya. Pandangan kontras itu terasa amat sangat kurang manusiawi. Wajah buruh pabrik yang tanpa ekspresi tersebut kayaknya merupakan wajah Indonesia yang sedang kehilangan tradisi dan budaya yang menjunjung tinggi egalitarianisme sebagai akibat dari arus kapitalisme yang diwakili oleh cara produksi borongan.
Tanggapan pihak pengelola Korea terhadap perubahan pasar upah dan kebijakan pemerintah, seperti tergambar di atas, direpresentasi dalam bentuk perubahan sistem upah. Perubahan ini lebih memilih sistem upah yang rumit dan bahkan memperdaya daripada beresiko dengan pelanggaran-pelanggaran seperti melanggar UMR, membayar upah minim, tidak membayar uang lembur, menunda pembayaran gaji. Namun, kurang bijak jika pihak manajemen berpikir bahwa kaum buruh tidak mengerti apa dan bagaimana sebenarnya sistem upah yang diterapkan oleh pihak manajemen. Kaum buruh telah mengerti betul maksudnya sistem upah baru, yang hanya ingin menutup beban finansial yang diakibatkan oleh adanya kenaikan standar upah di tengah keinginan meningkatkan tingkat intensitas dan produktivitas kerja.
3. Intensitas Kerja dan Jam Kerja
Inti dari manajemen a la Korea terletak pada upaya meningkatkan produktivitas melalui peningkatan intensitas kerja. Dalam sektor industri manufaktur padat karya yang hanya menuntut kerja simpel dan kurang otomatik sebenarnya yang lebih dibutuhkan bukan kualitas kerja melainkan kuantitas kerja. Oleh karena itu, jalan pintas untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan maksimalisasi kuantitas kerja dalam waktu singkat. Hampir semua model manajemen Korea menerapkan cara seperti itu. Upaya peningkatan intensitas kerja terlihat dalam berbagai upaya yang ditempuh untuk memperpanjang jam kerja. Misalnya, pertama, ada praktek yang disebut oleh pekerja Indonesia dengan “korupsi waktu”. Buruh dipaksa menambah jam kerja sebelum dan sesudah jam kerja, selain 7 jam kerja. Buruh disuruh masuk kerja 15 menit lebih awal dan pulang kerja 5 menit lebih lambat dari jam kerja serta diperpendeknya jam istirahat atau jam makan siang. Ada juga perusahaan yang mencuri jam lembur dengan tidak mengakui lembur di bawah 30 menit dan itu berarti pihak perusahaan tidak membayar uang lembur.
Kedua, ada cara yang mencegah hilangnya jam kerja. Di antaranya, yang paling sering ditemukan adalah menghalangi buruh pergi ke toilet. Untuk menghalangi buruh pergi ke toilet, perusahaan Korea menerapkan sistem kartu untuk masuk toilet. Dengan adanya sistem kartu ini, hanya buruh yang membawa kartu saja diizinkan memakai toilet. Masalahnya, jumlah kartu sangat terbatas. Jika semua kartu sedang dipakai, berarti buruh yang merasa perlu pergi ke kamar kecil terpaksa menunggu rekan lain yang keluar dari WC. Untuk membatasi seringnya buruh memakai WC, jumlah WC di perusahaan pun ikut dibatasi. Perusahaan K1 yang merupakan joint venture konglomerat ternama Korea mempekerjakan lebih dari 5 ratus orang buruh dan tidak menerapkan sistem kartu masuk WC, tetapi hanya menyediakan 6 bilik WC. Di antara 6 bilik WC itu pun, 3 bilik selalu dikunci dengan dalih sedang diperbaiki, sehingga yang dapat digunakan hanya 3 bilik. Di antara 3 bilik tersebut, 2 merupakan untuk pria dan 1 merupakan untuk wanita. Akibatnya, kaum buruh wanita yang jumlahnya mencapai 90% dari keseluruhan buruh terpaksa ikut memakai WC pria, sementara kaum buruh pria melakukan kencing liar di dinding bangunan.
Cara yang sangat kurang manusiawi di antara upaya mencegah buruh pergi ke WC adalah dibatasinya jam pemakaian fasilitas WC. Di luar jam buka WC pintu WC dikunci. Di pabrik K1, WC hanya dibuka 30 menit pagi hari, 1 jam pada waktu makan siang dan 30 menit sore hari. Diluar waktu tersebut WC tentu dikunci. Bukan hanya waktu pergi ke WC saja yang dibatasi, tetapi jam ibadah sholat pun mau dikurangi.Cara yang paling mudah adalah dengan tidak memperluas fasilitas musholla. Sepertinya jarang ada perusahaan Korea yang dilengkapi dengan fasilitas musholla yang memuaskan.
Selain itu masih ada cara keji dan bahkan membahayakan yang diberlakukan untuk memperkecil kehilangan jam kerja seperti dengan mengunci pintu bangunan pabrik selama jam kerja berlangsung. Kebijakan ini dikatakan amat kurang manusiawi karena dapat menjebak para buruh ke dalam bahaya kebakaran, suhu udara yang tinggi, debu, dan zat beracun. Sampai di sini, wajar kiranya jika buruh Indonesia menunjukkan kemarahan terhadap praktek kebijakan ini.
Masih saja banyak pabrik Korea yang memaksa kerja lembur sehingga menimbulkan perselisihan. Pemaksaan kerja lembur merupakan penyebab utama konflik perburuhan bagi perusahaan Korea pada periode awal masuknya ke Indonesia. Orang Indonesia dan orang Asia Tenggara sangat mementingkan istirahat dan kehidupan santai. Wajar jika mereka menunjukkan kebencian terhadap kerja lembur dan korupsi waktu. Sebelum abad ke-18 dimana pada saat itu jumlah penduduk mulai bertambah, kebudayaan Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh unsur sumber daya alam yang melimpah dan tenaga kerja yang sedikit sehingga terbentuklah budaya yang mementingkan waktu santai, waktu main dan ritual. Dengan adanya kehidupan santai, kerja baru memperoleh arti. Pada tahap awal investasi ke luar negeri, banyak orang Korea yang terkejut karena mendapati meningkatnya jumlah ketidakhadiran buruh setelah tanggal pembayaran gaji. Soalnya orang Korea sama sekali tidak mengerti apa arti hidup santai. Keliru betul jika pengelola dan manajer Korea memaksa kerja lembur dan korupsi waktu, karena mereka merasa orang Indonesia kurang mengenal konsep waktu, dan lebih mementingkan uang daripada hidup santai.
Sebagai kesimpulan, cara manajemen poduksi yang supresif yang bersandar pada kekerasan, hukuman fisik, dan ancaman memang telah menghilang, namun secara umum manajemen Korea yang ingin meningkatkan produktivitas dengan cara mengintensifkan kerja tetap saja berlaku. Yang berubah hanya bentuk penerapan dan garis besar manajemen tersebut.
4. Kesejahteraan Buruh dan Lingkungan Kerja
Perlu diakui bahwa pengelola Korea tidak begitu mementingkan keamanan lingkungan kerja, kesejahteraan buruh, dan berbagai fasilitas yang dapat menjamin nilai-nilai seperti itu. Alasannya mungkin karena mereka sendiri di Korea belum pernah diberi halhal seperti itu. Mereka merasa jaminan seperti itu merupakan barang mewah jika dibanding tingkat kehidupan buruh Indonesia yang rendah. Akhir-akhir ini, isu kesejahteraan buruh dan lingkungan kerja mulai menggeser isu upah sebagai sumber perselisihan antara buruh dan perusahaan. Misalnya, permintaan tentang fasilitas keamanan lingkungan kerja, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, asuransi, layanan medis, asrama, dan makanan. Permintaan untuk memperbaiki lingkungan kerja dan kesejahteraan buruh dan sarana seperti di atas tidak jarang menjadi alasan mogok kerja. Mungkin arus baru ini merupakan hasil kerja LSM yang selama ini menaruh perhatian pada isu perburuhan dan memberi pendidikan pada buruh tentang hak-hak mereka.
Akhir-akhir ini, PT Sunkyong Keris yang merupakan kerja sama antara Sunkyong, salah satu konglomerat Korea, dan Batik Keris, perusahaan tekstil terkemuka di Indonesia, menyiapkan pabrik modern, mesin canggih, asrama, bis ber-AC untuk mengantar para buruh, gaji tinggi, dan perlakuan manusiawi sehingga banyak buruh ingin kerja di pabrik tersebut, tetapi lingkungan kerja dan fasilitas seperti ini merupakan suatu perkecualian.
Sebenarnya cukup banyak pabrik telah menyiapkan fasilitas untuk kemudahan buruh, tetapi dalam kenyataan fasilitas sperti itu tidak dimanfaatkan secara maksimal sehingga dapat dikatakan hanya sebagai pajangan belaka. Meskipun ada kantin dan makanan yang disediakan oleh pabrik tetapi kantin itu kotor, mutu dan rasa makanan jauh di bawah standar, bahkan berbau basih. Disamping itu air minum juga tidak disediakan. Sehingga wajar saja jika kemudian komplain tentang soal makanan juga menjadi salah satu penyebab unjuk rasa buruh. Selain itu, seperti telah digambarkan di atas, fasilitas WC tidak memuaskan bahkan dibatasi. Jumlah bilik WC tidak mencukupi dan meskipun ada sengaja dikunci. Ada satu kasus di pabrik garmen, SA, milik orang Cina, tetapi manajernya orang Korea. Di sana, WC yang atapnya bocor dibiarkan berbulan-bulan. Sampai-sampai lantai WC tergenang air namun tetap saja atap tidak diperbaiki. Persoalan transportasi juga menjadi masalah serius. Ketika buruh mau pulang setelah jam kerja lembur berakhir pabrik tidak menyediakan bus angkutan untuk mengantarkan kepulangan buruh bahkan uang transportasi pun juga tidak dibayar.
Perusahaan sepatu EIF, yang pernah mengalami konflik perburuhan serius, hanya mengoperasikan 40 unit bus yang masing-masing berkapasitas 50 penumpang, padahal jumlah pekerja 6.500 orang. Pabrik mebel SPJ yang pindah pabrik dari Jakarta Utara ke Tangerang tidak menyediakan asrama sehingga banyak buruh yang terpaksa pulang pergi dari jauh, sehingga buruh meminta uang transportasi yang cukup. Namun, pihak perusahaan tidak menerima permintaannya, malah memecat buruh sehingga terjadi masalah perburuhan. Selain itu, pabrik ini tidak dilengkapi dengan fasilitas ruang makan sehingga untuk makan siang buruh harus berjalan kaki kurang lebih 30 menit.
Di pabrik garmen SA, sekitar 300 orang buruh tinggal di asrama, tetapi di asrama hanya tersedia 3 kamar mandi. Para buruh terpaksa antri setiap pagi. Mereka protes pada pihak perusahaan. Pihak perusahaan memberikan solusi dengan kebijakan pembuatan kamar mandi umum dan pengaturan mandi 8 orang buruh bersamaan dalam satu kamar mandi. Orang Indonesia, tidak seperti bangsa Korea, sama sekali tidak mungkin menunjukkan badan telanjang kepada orang lain. Orang Indonesia tidak mengenal tempat mandi umum, dan ruang ganti baju juga selalu bilik tersendiri. Seorang aktivis buruh Indonesia pernah mengatakan bahwa bukan rasa marah, tetapi rasa iba orang Korea yang begitu teganya menyuruh mandi 8 orang buruh bersamaan di dalam kamar mandi yang sempit.
Di Indonesia, telah banyak perusahaan yang menerapkan sistem ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja) untuk melindungi buruh yang kena kecelakaan profesi, tetapi masih banyak juga perusahaan yang belum menerapkannya. Persoalan tidak diberlakukannya ASTEK menjadi salah satu penyebab untuk mogok kerja. Namun, di antara perusahaan yang menerapkan ASTEK masih terdapat beberapa kasus diskriminasi yang mengakibatkan sejumlah buruh tidak mendapatkan kemudahan ASTEK misalnya dengan memperlakukan buruh sebagai pekerja honor, pekerja sementara, pekerja trainee selama 3 bulan atau selamanya. Puskesmas yang disediakan di dalam perusahaan pun tidak leluasa dipakai buruh karena buruh harus mengantongi surat izin dulu, dan jika membutuhkan obat proses perizinan cukup rumit sehingga buruh enggan memanfaatkan fasilitasnya.
Masalah lingkungan kerja, keselamatan kerja dan kecelakaan profesi, dalam kenyataan, lebih serius dibanding isu-isu sosial yang telah terbentuk atas masalah masalah tersebut. Isu atas kecelakaan profesi tidak begitu menonjol di permukaan karena sikap pihak perusahaan dan sikap buruh. Jika ada kecelakaan profesi yang mengakibatkan buruh terluka maupun meninggal, sepertinya perusahaan Korea tidak pelit mengobati dan memberi santunan, karena takut nanti dijadikan masalah besar. Pihak buruh juga cenderung menganggap masalah selesai jika sudah cukup diberi pengobatan dan santunan. Oleh karena itu, masalah kecelakaan profesi tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat. Namun, dengan disorotinya kondisi perusahaan kecil dan menengah Korea yang masih menggunakan alat produksi yang telah tua, dapat dibayangkan betapa seriusnya masalah keselamatan kerja. Bantuan berupa pengobatan dan santunan untuk sementara waktu mungkin bisa menjadi pelipur lara, namun yang namanya korban tetaplah sebagai korban. Jika korban tertimpa musibah dan perusahaan Korea tetap saja membiarkan itu terus terjadi maka persoalan keselamatan kerja akan membawa masalah serius bagi perusahaan Korea.
5. Manajemen Tenaga Kerja dan Pemecatan Ilegal
Di antara berbagai sektor manajemen, yang paling berbau Korea adalah manajemen tenaga kerja dan cara pengontrolan buruh, khususnya sikap terhadap serikat pekerja dan gerakan buruh. Tanggapan terhadap serikat pekerja dan gerakan buruh sangat mirip dengan cara-cara yang dulu pernah diberlakukan di Korea sehingga sulit ditolak tuduhan mengenai cara manajemen a la Korea.
Pihak pengelola perusahaan Korea tidak mau mengizinkan pembentukan serikat pekerja atau kalaupun telah terbentuk mereka mau mengubahnya supaya cenderung pada kepentingan perusahaan. Mungkin saja penolakan serikat pekerja oleh pihak pengelola berasal dari pengalaman mereka di Korea dulu. Perusahaan kecil menengah Korea terusir pindah ke luar negeri karena keberadaan serikat pekerja dan gerakan buruh. Mereka masih ingat betul bahwa diaktifkannya gerakan buruh pada waktu itu menghalangi mereka untuk secara leluasa mengontrol tenaga kerja dan menaikkan upah.
Namun, kiranya kondisi serikat pekerja dan gerakan buruh masih di bawah tingkat yang mengkhawatirkan para investor Korea. Satu-satunya serikat pekerja yang ada di Indonesia, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, secara ketat dikontrol oleh pemerintah. Mungkin lebih tepat penilaian sebagai organisasi pro-pemerintah daripada sebagai serikat pekerja. Namun demikian, hanya 20% perusahaan yang memiliki cabang SPSI dan jumlah buruh yang menjadi anggotanya juga sangat minim. Akhir-akhir ini pernah ada beberapa organisasi serikat buruh liberal, namun karena adanya tekanan dari pihak pemerintah sejak awal, mereka belum dapat berakar kokoh. Pada tahun 1990-an perselisihan antara buruh dan perusahaan meningkat tajam, tetapi jika dilihat dari segi tingkat industrialisasi dan strateginya, jumlah kasus perselisihan dapat dinilai tidak begitu tinggi (lihat tabel 4). Selain itu, gerakan buruh di Indonesia tidak begitu agresif. Jarang terjadi perusakan fasilitas perusahaan. Paling-paling buruh mogok kerja dan cuma nongkrong-nongkrong. Langkah buruh hanya terbatas dalam bentuk memekikmekikkan slogan dan jika telah tiba aparat keamanan, buruh menunjuk perwakilan dan kemudian langsung bubar. Wakil buruh yang terpilih akan ikut musyawarah bersama pihak perusahaan dan petugas dari Departemen Tenaga Kerja. Jarang terdapat kasus perselisihan yang berujung pada bentrok fisik, seperti yang terjadi di Korea.
[quote]Tabel 4. Statistik Mogok Kerja di Indonesia setelah tahun 1980[/quote]Namun, karena pengalaman pahit di Korea, pengelola perusahaan Korea menjadi terlalu sensitif terhadap masalah perburuhan dan bertindak keterlaluan. Dengan kata lain, cara-cara ilegal yang pernah dimobilisasi untuk gerakan buruh Korea yang terorganisasi, regular dan agresif diterapkan untuk gerakan buruh Indonesia yang kurang terorganisasi dan masih tergolong santun. Cara-cara itu sangat keterlaluan sehingga justru menimbulkan masalah baru dan memperparah kondisi perselisihan.
Pertama-tama orang yang dianggap sebagai pimpinan gerakan buruh akan diperlakukan dengan cara-cara opresif maupun damai. Jika cara-cara tersebut tidak mempan maka orang itu akan dipecat secara tidak adil. Dalam penelitian ini, penulis mendapatkan berbagai informasi. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa pembentukan serikat buruh dihalang-halangi dengan ancaman, buruh dilarang masuk serikat buruh yang telah terbentuk, serta eksekutif serikat buruh yang mau disuap.
Liputan media massa tentang mogok kerja yang terjadi di perusahaan Korea setelah tahun 1993 kebanyakan melaporkan bahwa salah satu tuntutan buruh yang mogok kerja adalah pengakuan pembentukan serikat buruh, atau aktivasi serikat buruh jika serikat buruh telah ada. Dalam kasus-kasus ini, serikat buruh yang dimaksud adalah cabang SPSI yang dapat saja dianggap sebagai sebuah formalitas. Dari fakta ini dapat diketahui betapa kuatnya penolakan pihak pengelola Korea terhadap yang namanya serikat buruh, padahal pelarangan pembentukan serikat pekerja merupakan sebuah pelanggaran hukum.
Penindasan terhadap gerakan buruh yang dilakukan oleh pihak pengelola Korea mirip dengan cara-cara yang pernah digunakan di Korea pada tahun 1970-an dan 1980- an. Buruh yang dianggap bandel atau yang dicurigai terlibat gerakan buruh dan memprovokasi mogok kerja dipindahkan ke bagian kerja yang sulit dan bagian yang tidak terjamin kerja lembur atau borongan. Jika telah terjadi mogok kerja, pihak perusahaan meminta bantuan kepada aparat keamanan yang mendatangi lokasi mogok kerja agar mencarikan provokatornya. Jika dengan bantuan aparat masih saja belum dapat menemukan provokator, perusahaan mencarikan kambing hitam. Di antara buruh yang dipecat dari perusahaan Korea, ada sejumlah buruh yang belum mengerti apa alasan mereka dipecat. Sementara itu, seorang buruh perempuan yang pernah digoda seorang manajer Korea juga pernah dipecat dari tempat kerja karena ia terlibat dalam gerakan buruh. Pihak pengelola ingin memecatnya, tetapi perlu sebuah alasan sehingga menyuruh seorang buruh untuk memulai perkelahian dengannya. Buruh perempuan di atas melawan pukulan yang tanpa dasar. Pihak perusahaan memanggil kedua buruh yang terlibat perkelahian dan memecat mereka sekalian. Hal tersebut dimungkinkan karena dalam peraturan perusahaan telah tersedia pasal yang berbunyi bahwa buruh yang berkelahi di dalam ruang kerja akan diberi hukuman pemecatan. Selain itu, penulis pernah dengar pihak perusahaan memobilisasi preman untuk mengancam buruh.
PT. Garuda Indawa yang memproduksi sepatu merek Eagle pernah melakukan hal yang tidak terpuji. Segera setelah menerima informasi tentang kunjungan Menteri Tenaga Kerja, pihak perusahaan memilih beberapa buruh dan memberi latihan pada mereka untuk menjawab pertanyaan menteri tentang tingkat upah dan bonus secara tidak benar. Buruh yang dipilih tersebut masing-masing diberi imbalan 10 ribu rupiah. Setelah menyadari apa yang dikerjakan oleh pihak perusahaan, buruh perusahaan itu mulai mogok kerja. Kasus ini diberitakan oleh hampir semua harian media cetak dan salah satu surat kabar di antaranya memuat berita tersebut sebagai berita utama. Setelah mogok kerja terjadi, Direktur Utama perusahaan tersebut dipanggil ke DepartemenTenaga Kerja dan diberi peringatan. Sampai seminggu kemudian buruh perusahaan tetap saja melakukan mogok kerja.
Seorang petugas Korea yang menangani urusan tenaga kerja di salah satu perusahaan investasi Korea yang pernah diberitakan beberapa kali karena pesoalan perburuhan, secara terus terang membuka cerita tentang cara penanganan masalah perburuhan. Pada waktu memulai membangun pabrik pihak pengelola pabrik sedini mungkin telah menjaring hubungan kerja sama dengan pihak aparat keamanan. Selain itu, waktu rekrutmen tenaga kerja perusahaan tidak menerima buruh-buruh yang pernah bekerja di tempat lain agar dapat menghindari masuknya unsur-unsur pengacau. Setelah adanya konflik perburuhan beberapa kali, cabang SPSI terpaksa diakui, namun pihak perusahaan menunjuk seorang petugas sekretariat menjadi kepala cabang sehingga cabangnya dapat dikendalikan perusahaan. Menurut petugas Korea tersebut, perusahaan kecil menengah Korea telah mengakibatkan jatuhnya citra Korea. Oleh karena itu, menurutnya, untuk menghapuskan citra Korea yang buruk itu, semua pabrik sepatu perlu ditarik ke Korea.
Akhir-akhir ini, banyak perusahaan mencoba untuk lebih meng-indonesia dalam hal manajemen tenaga kerja dengan cara menempatkan orang Indonesia untuk menangani tenaga kerja. Seorang Direktur Utama dari perusahaan garmen pernah mengatakan bahwa perusahaannya telah memulangkan karyawan dari Korea kecuali 2 orang. Pertimbangan merekrut orang Indonesia karena lebih murah dan jika terjadi perselisihan antara buruh dan manajemen perusahaan dapat diselesaikan di antara orang sebangsa dan tidak khawatir masalah berkembang menjadi konflik antara bangsa. Selain itu, jika manajemen tenaga kerja dititipkan ke orang Indonesia, konflik hanya “terbatas di antara orang Indonesia dan penyelesaiannya sebatas pemecatan orang Indonesia.” Namun, keputusan terakhir tetap di tangan orang Korea sehingga penugasan orang Indonesia di sektor manajemen tenaga kerja hanya sebatas cara sementara. Pertanggungjawaban terakhir berada pada orang Korea. Oleh karena itu, kiranya perlu strategi serius untuk meng-indonesianisasi perusahaan, yang di dalamnya orang Indonesia dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
6. Perilaku Manajer Korea
Cara-cara yang dikenal sebagai manajemen a la Korea seperti di atas, tidak bisa otomatis dikatakan berasal-usul dari Korea. Meskipun cara-cara itu mirip dengan pengalaman Korea pada masa lalu dan diterapkan di perusahaan investasi Korea dan perusahaan yang dikelola orang Korea, sebenarnya cara-cara tersebut dapat ditemukan pada cara manajemen tenaga kerja di negara otoriter, dan dapat saja berasal dari kebijakan sektor ketenagakerjaan militer Jepang. Apalagi, cara-cara tersebut dapat ditemukan secara luas di perusahaan investasi Hongkong dan Taiwan, atau di pabrik milik orang Cina maupun milik pribumi. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa cara manajemen perusahaan Hongkong dan Taiwan, serta perusahaan milik orang Cina jauh lebih keji dan kurang manusiawi.
Seperti telah diulas di atas, kekerasan seperti pemukulan dan hukuman fisik pernah terjadi pada tahap awal sejarah investasi Korea di Indonesia, namun pada saat ini praktek seperti itu telah menghilang di lingkungan perusahaan Korea. Tentu tindakan kekerasan yang pernah terjadi pada masa lalu masih saja tetap berlaku untuk membangun citra orang Korea yang negatif. Melakukan penghinaan baik dalam perilaku maupun perkataan ketika melihat kelemahan pihak lawan, merupakan sebuah tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan gaya ini masih belum menghilang. Pekerja Indonesia yang pernah penulis temui paling tidak suka kata-kata kotor dan caci maki orang Korea. Kata mereka, orang Korea jika telah marah dan terdesak waktu, suka memakai bahasa Korea dan berteriak serta melontarkan caci maki. Banyak buruh telah mengenal kata-kata Korea yang jorok, seperti “saeki”, “imma”, “shibalnom”. Seorang buruh perempuan setelah berteman dengan petugas Korea, pernah menanyakan kepadanya arti kata-kata yang ia kenal, dan ternyata semua arti kata itu kotor dan merupakan caci maki.
Orang Korea sendiri mengakui bahwa di antara berbagai bangsa yang datang ke Indonesia untuk berbisnis, orang Korea tampaknya menonjol karena sangat kasar. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa di dalam budaya Indonesia, teriak, suara keras, grusagrusu tidak disenangi, khususnya di dalam budaya Jawa. Kasar dalam bahasa Korea dapat saja ditafsirkan sebagai kejantanan dan keterusterangan. Namun, dalam bahasa Indonesia, kata tersebut lebih condong negatif, yaitu kekurangan pendidikan, sifat rendah, dan antonimnya rasionalitas. Biasanya orang Korea dinilai kasar. Dalam suhu udara yang tinggi dan lembab orang Indonesia suka pelan-pelan, sedangkan orang Korea dalam ruang kerja berlari ke sana sini dan suka suruh dengan kata-kata cepa. Tidak mungkin orang Korea dinilai baik. Konon, kosa kata dalam bahasa Korea yang paling cepat dihapal buruh asing adalah ”pali-pali” yang artinya cepat-cepat sedangkan kosa kata yang orang Korea paling cepat menghapal adalah kosa kata yang senilai dengan kata ”pali-pali”. Misalnya, di Amerika Latin ”rapido-rapido” dan di Indonesia “cepat-cepat”. Di mata orang Indonesia, perilaku yang terburu-buru, bahasa yang kasar, dan teriakan yang menyuruh adalah ciri khas manusia yang mentalnya sudah tidak waras. Indonesia memiliki Pancasila sebagai filsafat negara dan salah satu prinsipnya adalah musyawarah dan mufakat yang diambil dari nilai-nilai tradisional.
Orang Korea yang tidak bisa berdialog dan mendengarkan orang lain bisa menimbulkan masalah di Indonesia. Hal yang paling sering menimbulkan masalah pada fase awal sejarah investasi Korea di Indonesia adalah kontak fisik antar manusia. Orang Korea belum memahami bahwa kontak fisik merupakan sebuah penghinaan bagi orang Indonesia. Malah orang Indonesia sendiri yang mengajarkan cara untuk bersabar terhadap penghinaan seperti ini. Di pusat pelatihan kerja PT. Binawan yang menjadi pengerah jasa dan memberikan pendidikan kepada calon TKI, staf pengajar menarik telinga dan rambut atau menampar muka peserta training dan menyuruh dua orang berdiri berhadapan dan saling menampar mukanya sebagai bentuk latihan adaptasi calon TKI. Menurut cerita buruh, kekerasan fisik telah menghilang dan buruh Indonesia telah dapat menerima kontak fisik yang ringan sebagai perwujudan niat baik.
Namun, penghinaan tetap terjadi. Hal yang paling dirasakan sulit diterima adalah perilaku orang Korea yang menggunakan kaki (bukan tangan) untuk menunjuk suatu barang dan menyuruh kerja. Ditambah lagi, meskipun hukuman fisik telah menghilang tetapi masih terdapat hukuman seperti disuruh membersihkan lantai atau WC dan disuruh berdiri berjam-jam di sudut ruangan. Orang Indonesia yang belum pernah menjalani pendidikan otoriter dan kehidupan militer, dan masih serumpun dengan budaya Melayu yang tidak dapat menerima penghinaan terbuka, tentu tidak dapat menerima sikap dan hukuman dari orang Korea seperti itu.
Meskipun kekerasan fisik telah menghilang dikarenakan pihak manajer Korea pernah mengalami tindakan balas dendam dan reaksi, tetapi tindakan penghinaan masih saja tetap terjadi karena pandangan orang Korea tidak berubah. Orang Korea memiliki pandangan diferensiasi rasial terhadap orang Indonesia, budaya Indonesia dan buruh Indonesia. Penulis dalam tulisan yang lain pernah mengkritik elitisme, rasisme, dan nasionalisme yang berada di bawah alam sadar orang Korea sebagai penyebab utama dalam memperparah kondisi perselisihan anatara investor Korea dan buruh. Dalam penelitian kali ini juga dapat disaksikan bahwa pandangan bias orang Korea seperti itulah yang menjadi akar manajemen a la Korea yang kurang manusiawi. Hasil analisis survei untuk penelitian masyarakat Korea di Indonesia yang penulis lakukan bersamaan dengan penelitian kali ini menunjukkan bahwa orang Indonesia oleh orang Korea dinilai malas (90.9%), kurang bersih (95.6%), dan tidak jujur (70.6%). Selain itu, orang Indonesia dinilai memiliki tingkat budaya yang lebih rendah dibanding orang Korea (80.9%) dan tidak mengenal disiplin (82.1%). Dari sini kelihatan sekali betapa besarnya bias pandangan orang Korea terhadap orang Indonesia.
Kadang pandangan rasis tersebut muncul pula dalam bentuk yang sangat tidak lazim. Seorang manajer Korea di perusahaan garmen di Surabaya, kata orang yang diwawancarai, setiap hari tanpa kecuali pada 15 menit sebelum jam 4, melempar 200 lembar kartu absen di atas lantai dan menikmati pemandangan desak-desakan para buruh saat mereka mencari kartu miliknya. Di pabrik yang sama, pernah juga terjadi sebuah insiden seorang manajer Korea memotong tali sandal seorang buruh. Karena terluka buruh itu membalut kakinya dan memakai sandal yang baru. Begitu melihat seorang buruh memakai sandal baru, manajer memotong tali sandal itu dengan alasan sombong memakai sandal baru. Setelah memotong tali sandalnya manajer tadi melemparkan uang kepada buruh tersebut. Sungguh begitu nampak sifat OKB (Orang Kaya Baru)-nya orang Korea yang merasa bahwa uang di Indonesia akan mampu menyelesaikan segalanya.
Sepertinya pelecehan dan kekerasan seksual juga tidak jarang terjadi. Penelitian kali ini memang tidak memfokuskan pada masalah ini tetapi kebanyakan buruh yang diwawancarai menjawab bahwa mereka secara minimal mengenal satu kasus kawin antara manajer Korea dan buruh perempuan Indonesia di lingkungan kerja masingmasing. Di antara manajer Korea tersebut kebanyakan merupakan laki-laki yang telah berkeluarga. Dalam satu penelitian yang dilakukan terhadap buruh yang bekerja di pabrik sepatu asing (kebanyakan milik Korea) di Tangerang dan Bogor, pernah terjadi serangan ciuman oleh buruh laki-laki Indonesia terhadap seorang manajer perempuan Korea sebagai aksi balas dendam terhadap tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh manajer laki-laki Korea terhadap buruh perempuan Indonesia. Citra orang Korea yang buruk di Asia Tenggara termasuk Indonesia, sebagian besar diakibatkan oleh persepsi dan perilaku seksual laki-laki Korea yang menyimpang .
Citra Orang Korea sebagai Makelar Eksploitasi: implikasi dalam sejarah ekonomi-politik
Masalah perusahaan investasi Korea di luar negeri begitu serius, tetapi di dalam negeri Korea, masalah tersebut belum diperhatikan. Dengan demikian, masyarakat Korea hanya mengetahuinya sebagai masalah yang dibuat-buat atau kecil saja, dan kalaupun ada kritik itu hanya sebatas pada tataran prinsip dan moral. Dalam kesempatan penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa masalah perburuhan yang dialami oleh perusahaan investor luar negeri Korea sangat rumit dan tidak sama dengan apa yang diketahui masyarakat Korea. Masalah yang akan timbul juga diperkirakan lebih parah dibanding perkiraan masyarakat Korea.
Sedini mungkin perlu dipikirkan bagaimana seharusnya didefinisikan perusahaan Korea di luar negeri. Selama ini, perusahaan Korea di luar negeri biasanya diartikan sebagai perusahaan yang modalnya ditanam oleh orang Korea baik yang sifatnya murni maupun kerja sama dengan pemodal setempat. Dengan kata lain, perusahaan Korea di luar negeri disamakan dengan perusahaan investor Korea. Namun, cara manajemen a la Korea yang dikritik oleh orang Indonesia bukan hanya tertuju pada perusahaan investor Korea, melainkan perusahaan-perusahaan yang investornya orang asing seperti dari Cina-Indonesia, Taiwan, dan Hongkong tetapi manajernya orang Korea. Dengan demikian, untuk mencari solusi masalah perburuhan di luar negeri, perlu memperluas definisi perusahaan Korea di luar negeri: yaitu, bukan hanya perusahaan investor Korea, tetapi juga perusahaan yang menugaskan orang Korea sebagai manajer untuk operasi dan administrasi.
Dalam sektor industri padat karya (labor-intensif) orang Korea memainkan peran yang sangat penting sebagai manajer pabrik, pengawas produksi, manajer tenaga kerja, dan petugas administrasi. Menurut Mr. Chung, Ketua Asosiasi Industri Garmen Korea yang pertama, bahwa lebih dari 40 pabrik yang bukan milik orang Korea menugaskan orang Korea sebagai manajer pabrik. Orang Korea yang sedang bekerja sebagai manajer maupun pekerja di seluruh pabrik garmen yang ada di Indonesia berjumlah sekitar 1.500 orang, termasuk 500-an orang yang kerja di pabrik milik orang Korea. Menurut statistik Departemen Tenaga Kerja RI, pada Juli 1995, pekerja Korea di Indonesia berjumlah 8.008 orang yang merupakan angka terbesar. Sementara menurut statistik Departemen Luar Negeri Korea di antara 50 ribu orang Korea yang tinggal di Indonesia, buruh berjumlah 6.000 orang.
Hampir semua perusahaan sepatu mempekerjakan orang Korea sebagai manajer pabrik, pengawas dan penasehat teknik dan produksi. Di antara yang disebut sebagai perusahaan Korea, sebagian besar merupakan perusahaan yang hanya manajernya saja orang Korea, bahkan ada juga yang disebut sebagai perusahaana Korea padahal Manajernya bukan orang Korea melainkan orang Cina.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Karena dengan adanya kenaikan upah di Korea, industri padat karya di Korea kehilangan daya saing di tingkat internasional sehingga pekerja di sektor tersebut didorong keluar. Dalam kondisi berubah, pengelola dan manajer administrasi mungkin saja dapat pindah ke sektor industri yang lain, tetapi bagi pengawas produksi, teknisi, dan buruh, pindah sektor industri sangat sulit dilakukan karena aspek profesional dan pengalaman. Kalau perusahaan yang mau pindah ke luar negeri tenaga kerjanya juga bisa ikut pindah, tetapi kalau perusahaannya telah gulung tikar dan telah pindah sektor industri, pengawas produksi dan teknisinya terpaksa mencari tempat kerja sendiri. Di antara pekerja yang pindah sendiri, banyak yang datang ke Indonesia. Menurut Mr. Chung, mereka datang sendiri menawarkan dirinya.
Ada banyak unsur juga yang menarik mereka ke Indonesia. Sektor industri padat karya seperti industri sepatu merupakan sektor baru bagi investor Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia tidak mempunyai basis pengetahuan dan pengalaman dalam manajemen, produksi, dan teknologi. Indonesia memanfaatkan kondisi perubahan di Korea dengan mengundang pengawas produksi dan teknisi Korea yang memiliki pengalaman tetapi telah tergeser posisinya. Bahkan ada perusahaan yang bukan milik orang Korea ingin membawa pengawas dan teknisi Korea yang sedang kerja di perusahaan lain dengan memberikan insentif berupa gaji dan kedudukan.
Unsur yang membuat manager Korea digemari tidak lain dan tidak bukan adalah karena cara manajemen a la Korea. Cara manajemen a la Korea sangat mempesona di mata investor di sektor industri padat karya karena dengan cara itu dengan upah yang sama dapat menjamin intensivitas dan produktivitas kerja dalam jangka waktu pendek. Biasanya pabrik seperti ini memproduksi barang dengan cara OEM (original equipment manufacturers). Pihak perusahaan yang memberi pesanan ke pabrik seperti ini sering meminta agar orang Korea dipekerjakan sebagai manajer pabrik dan pengawas. Karena bagi pihak pembeli atau pihak yang memberi pesanan, sangat penting unsur produktivitas tinggi dengan biaya rendah dalam waktu terbatas. Bagi pembeli, cara manajemen Korea bukan masalah karena jika terjadi masalah perburuhan di pabrik, mereka dapat mengganti pabrik penerima pesanan.
Dengan faktor-faktor di atas, mantan pengawas produksi, teknisi dan buruh di wilayah Busan, Daegu, dan Masan pindah ke perusahaan Asing di Indonesia. Dibandingkan di Korea, mereka mendapatkan posisi yang lebih baik: menjadi manajer pabrik, pengawas, dan penasehat teknik. Tugas mereka di sana, seperti dibahas di atas, adalah meningkatkan produktivitas dengan cara meningkatkan intensivitas kerja dan memperpanjang jam kerja. Selain itu, mengerjakan pesanan dalam waktu terbatas. Semua tugas ini menyangkut manajemen produksi dan tenaga kerja sehingga dalam menjalankan tugasnya di lapangan mereka setiap hari terus bertemu dengan buruh secara langsung. Mereka harus membujuk, memberi semangat dan memaksa buruh agar bekerja maksimal dalam keterbatasan fisik sebagai manusia. Di mata buruh Indonesia Investor asing tidak terlihat justru orang Korea dalam tugasnya sebagai pengawas yang selalu di depan buruh.
Apa keuntungan yang dapat dibawa oleh pengawas produksi dan teknisi yang kerja di luar negeri kepada masyarakat Korea? Tentu ada efeknya dalam hal penanganan pengangguran dan keseimbangan laba di luar sektor perdagangan. Namun devisa yang diperoleh dari hanya ribuan orang di luar negeri ini tidak sebanding dengan citra orang Korea yang merupakan harta publik Korea. Dalam perekonomian Korea yang sangat bersandar pada luar negeri, arti masyarakat internasional lebih dari sebagai lapangan kerja. Masyarakat internasional, dari segi perekonomian saja telah memiliki berbagai makna bagi masyarakat Korea: pasar barang produksi, sumber impor, kawasan investasi, sumber tenaga kerja, dan tempat obyek wisata. Oleh karena itu, citra orang Korea di mata masyarakat internasional amat sangat lebih penting dibanding tempat kerja bagi ribuan orang dan devisa sedikit yang mereka peroleh. Apalagi, mereka hanya merupakan pekerja. Mereka tidak berpartisipasi dalam hal-hal yang penting seperti pengambilan keputusan, manajemen finansial dan perbankan. Mereka kapan saja dapat diusir dengan alasan pertanggungjawaban manajemen. Mereka tidak lebih dari pesuruh.
Melihat perkembangan kondisi seperti ini, perlu diperhatikan arti peran yang dimainkan oleh orang Korea sebagai manajer tingkat menengah di tengah masyarakat Indonesia. Hal ini patut diperhatikan dari segi sejarah ekonomi-politik Indonesia, yang di dalamnya peran middleman (makelar) dititipkan pada orang Cina. Di mata pribumi, citra orang Cina adalah middleman untuk eksploitasi. Pada saat ini, orang Korea sedang dalam posisi yang berbahaya, yaitu orang Korea sepertinya mau diberi peran sebagai makelar dan peran jahat.
Sejarah peran middleman oleh orang Cina dapat ditelusuri sampai zaman kolonial Belanda. Kolonialis Belanda menitipkan peran middleman (perantara) antara kaum imperialis dan masyarakat pribumi kepada orang Cina dan menyuruh mereka agar mengeksploitasi masyarakat pribumi. Kolonialis Belanda mengategorikan orang Cina sebagai Foreign Orientals dan memberi posisi legal menengah di antara orang Eropa dan pribumi. Kolonialis Belanda membuat orang Cina berprofesi sebagai mediator yang menyambung kompeni Belanda dengan pribumi yang menjadi produsen maupun konsumen dalam struktur ini. Dengan demikian, orang Cina berperan middleman, menjual barang Eropa ke pribumi sedangkan dari pribumi mereka mengumpulkan hasil bumi untuk perdagangan dan menjualnya ke kolonialis. Keuntungan orang Cina bergantung pada bagaimana menjual mahal kepada pribumi dan membeli murah dari pribumi. Selain itu, kolonialis memperburuk citra orang Cina dengan memberi kemudahan bagi orang Cina untuk berprofesi di bidang-bidang yang kurang bermoral dan bersifat eksploitatif. Misalnya, tugas perpajakan dititipkan pada orang Cina, dan monopoli terhadap pembuatan dan perdagangan candu diberikan pada orang Cina, serta usaha pegadaian dan lintah darat diizinkan pada orang Cina. Pantas jika orang Cina di mata pribumi merupakan kaki tangan kolonialis dan pemeras pribumi.
Sejalan berakhirnya zaman kolonialis, orang Cina secara ekonomis membaik, tetapi pelindung politik telah tiada lagi. Setelah merdeka, posisi Belanda sebagai pelindung politik orang Cina digantikan oleh militer. Regime Soeharto dan militer yang memegang hegemoni pada tahun 1965 secara efektif mamanfaatkan keberadaan orang Cina. Regime Soeharto memberi perlindungan politik dan kemudahan ekonomi kepada orang Cina serta memberi tugas kepadanya agar membangun perekonomian Indonesia dan menyediakan uang politik. Selain itu, orang Cina melalui kerja sama dengan kroni penguasa sangat berkontribusi dalam pengumpulan harta kroni penguasa. Orang Indonesia menyebut orang Cina yang berperan seperti ini sebagai Cukong.
Orang Cina di Indonesia dari segi budaya juga memiliki berbagai unsur yang tidak memungkinkan mereka berbaur dengan masyarakat pribumi. Budaya Cina mempunyai pandangan agamis yang duniawi, memuja uang dan materialis, suka daging babi dan minuman keras serta perjudian. Semua hal seperti ini bertentangan dengan ajaran agama Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia. Karena unsur unsur seperti itu, orang Cina di Indonesia dibanding orang Cina di Muang Thai dan Filipina sangat lamban untuk mengadaptasi ke dalam budaya setempat.
Peran dan tampilan orang Korea di Indonesia tidak begitu berbeda dengan peran dan tampilan orang Cina. Perusahaan Korea di Indonesia, seperti diketawakan oleh kaum intelektual setempat, suka mendekati penguasa politik dan ingin menjalin hubungan kolusi. Tidak sedikit konglomerat Korea yang kerja sama dengan anak-anak Presiden dan pengusaha Cina yang memiliki hubungan dengan penguasa. Pengelola Korea yang direkrut untuk perusahaan asing dan perusahaan orang Cina di Indonesia, di mata pribumi, hanya merupakan kaki tangannya kapitalis. Manajer-manajer di perusahaan seperti di atas hanya membentuk citra middleman yang memaksa dan mengeksploitasi buruh pribumi. Ditambah lagi, gereja protestan dan gereja katolik orang Korea di Jakarta berjumlah 8. Mungkin aspek ini tidak begitu menyenangkan bagi penduduk Indonesia yang 90%nya merupakan Muslim. Apalagi, karaoke yang jumlahnya 10-an dan budaya minum minuman keras memperparah keburukan citra orang Korea.
Citra orang Korea sebagai middleman sangat berbahaya. Mengingat pengalaman orang Cina dan orang Jepang pada masa lalu, orang Korea bukan dalam posisi yang aman. Orang Cina sering kali mendapat serangan sebagai aksi balasan. Setelah dikokohkannya kolonialisme di Indonesia, setiap kali adanya ketidakstabilan dalam sosio-politik, orang Cina dijadikan korban pembunuhan, teror, penjarahan dan pembakaran. Selama 10 tahun akhir-akhir ini, diferensiasi dan kekerasan terhadap orang Cina cukup menunrun, tetapi kemungkinannya masih tetap ada. Regime Soeharto dalam kenyataan memainkan peran pelindung bagi orang Cina, tetapi juga menunjukkan sifat yang mau memanfaatkan sentimen anti-Cina dan menjadikan orang Cina sebagai kambing hitam untuk menghapuskan komplain dan frustrasi pribumi dengan sementara. Pada Januari tahun 1974, pernah terjadi kerusuhan anti-Jepang beberapa hari di Jakarta dan Bandung oleh rakyat Indonesia yang tidak suka kolusi orang Jepang dengan penguasa maupun orang Cina. Dari kasus Malari ini, Jepang belajar dan menunjukkan sikap serius untuk mengubah citra Jepang dengan berbagai cara. Kisah-kisah seperti di atas tidak dapat dikatakan bahwa tiada hubungannya dengan Korea.
Senjata Kaum Lemah: perjuangan wacana buruh Indonesia
Kenyataan terbentuknya citra buruk orang Korea sebagai middleman dan perusahaan Korea sebagai tempat usaha yang kurang manusiawi yang menerapkan cara manajemen a la Korea, menunjukkan sebuah proses pembentukan wacana dari kaum lemah yang secara sukses memprotes hegemoni kapitalis. Sebenarnya, cara manajemen a la Korea tidak hanya terbatas dalam lingkungan perusahaan Korea dan pengontrolan tenaga kerja yang opresif yang pernah digunakan pada tahap awal sejarah investasi ke Indonesia juga telah melonggar. Cukup banyak perusahaan Korea yang kini dianggap sebagai tempat kerja ideal bagi buruh Indonesia. Investasi perusahaan kecil menengah juga dalam 2-3 tahun ini menurun. Peran orang Korea sebagai middleman hanya ditemukan di sektor industri sepatu, garmen, dan mainan anak. Namun demikian, perusahaan Korea dikenal luas sebagai tempat kerja yang paling dibenci oleh buruh Indonesia karena sifatnya yang memeras dan kurang manusiawi. Aspek ini dapat saja ditafsirkan sebagai sebuah kemenangan wacana buruh yang dipakai sebagai senjata kaum lemah. Kaum lemah melakukan perjuangan melalui perang bahasa seperti mengarang kabar angin dan menyebarkannya, menjelekkan, mengada-ada, dan berbohong.
Hampir semua orang Korea, khususnya pengelola dan manajer perusahaan yang pernah bertemu penulis, mengatakan cerita-cerita dari buruh tidak berdasar dan merupakan pembohongan. Para diplomat Korea yang kerjanya berhubungan dengan investasi Korea seperti atase penerangan, atase tenaga kerja, dan atase perdagangan juga menunjukkan kekecewaan terhadap citra orang Korea yang buruk dan liputan media massa yang miring. Salah satu kesulitan dalam penelitian ini juga berasal dari sikap buruh yang mengantarkan cerita yang diada-ada dan kabar angin tanpa dasar.
Untuk mengundang investor asing pemerintah Indonesia melakukan berbagai kebijakan. Dalam 10 tahun lebih ini, kebijakan devisa mengarah pada liberalisasi. Dengan demikian, masuknya investasi asing cukup besar. Pegawai-pegawai Badan Koordinasi Penanaman Modal mengatakan bahwa mereka tidak begitu mengkhawatirkan masalah perburuhan yang dialami perusahaan Korea. Suara intelektual Muslim dan Nasionalis, yang pernah mengecam efek subordinat dari kapitalisme dan menuntut independensi dalam perekonomian, kini hampir sirna dan tidak terdengar lagi. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Indonesia pada masa kini didominasi oleh hegemoni kapitalisme liberal dan kebijakan pintu terbuka. Jika demikian halnya, mengapa dalam kasus perusahaan Korea kebenaran tidak diakui dan wacana hegemoni kapitalisme tidak berlaku?
Hal itu dikarenakan orang Korea kurang memahami bahwa perjuangan wacana merupakan sebuah cara perjuangan buruh yang sangat ampuh. Di depan negara opresif dan pemodal besar, Buruh Indonesia hanya merupakan pihak lemah yang tidak berdaya. Negara Indonesia memiliki pandangan McCarthyism yang menganggap sektor perburuhan sebagai potensi komunis yang memusuhinya. Oleh karena itu, kebijakan perburuhan pemerintah di tingkat politik menjadi bersifat opresif. Berbagai kebijakan pembaruan selama lebih dari 10 tahun ini berada di dalam arus globalisasinya neoliberalisme yang identik dengan aktivasi sektor modal dan pelemahan sektor buruh. Sektor buruh di Indonesia yang telah lemah, dengan dicekik oleh konservatisme negara dan suasana masyarakat yang kurang mendukung, belum dapat terorganisasi, padahal telah terjadi industrialisasi padat karya. Melemahnya sektor buruh dan gagalnya pengorganisasian buruh makin berlanjut karena faktor pasar tenaga kerja. Besarnya jumlah tenaga kerja dan angka pengangguran membuat pasar tenaga kerja Indonesia sebagai pasar pembeli. Dalam posisi lemah seperti itu perjuangan yang terbuka dan terorganisasi buruh Indonesia terpaksa menyerah.
Jika begitu, apa benar buruh Indonesia menyerah dalam segala bentuk perjuangan? Jawabannya tidak. Buruh Indonesia sedang melakukan perjuangan terhadap negara opresif, modal hegemonis, dan pelemahan sektor buruh, dengan memegang senjata mereka yang sangat ampuh. Senjata mereka adalah bahasa. Perang bahasa dapat mengalahkan musuhnya tanpa mengakibatkan korban jika mereka melakukan perjuangan yang terbuka dan terorganisasi.
Bagaimana efek perang bahasa yang telah mengecap cara manajemen produksi dan tenaga kerja yang kurang manusiawi sebagai cara manajemen a la Korea ini dapat diremehkan, tanpa melihat kenyataan dan mencari asal usulnya? Jumlah buruh yang kerja di 350-an perusahaan Korea mencapai stidak-tidaknya seratus ribu orang. Pengalaman dan kesan mereka terhadap perusahaan Korea, melalui jaringan keluarga, kerabat, dan teman akan menyebar ke dalam masyarakat Indonesia. Dalam proses penyebaran itu, sentimen bangsa dan nasionalisme akan menambah daya penyebaran. Dengan demikian, wacana anti-Korea akan terbentuk kokoh.
Penulis dalam penelitian ini, dapat menyaksikan bahwa perjuangan buruh Indonesia terhadap perusahaan Korea berupa perjuangan wacana dan itu sangat efektif. Hampir semua buruh Indonesia yang pernah bertemu penulis tidak dapat menunjukkan bukti pengontrolan tenaga kerja yang keji seperti upah minim, kekerasan dan lembur paksa. Kadang ditemukan pula kasus yang aktivis buruh sampaikan pada penulis, tetapi ternyata terbukti kasusnya dibuat-buat dan merupakan kebohongan. Kisah yang dibuatbuat, jika telah pindah orang beberapa kali, makin diada-ada dan ditambah pembohongan. Selalu ditemukan jarak jauh di antara pengalaman buruh yang nyata di dalam pabrik dan cerita orang di luar pabrik. Keberadaan jarak ini membuktikan bahwa perjuangan buruh terhadap pihak manajemen Korea bukan yang dilakukan secara langsung dan terbuka di depan orang Korea, tetapi perjuangan dilakukan secara tidak langsung dan tidak terorganisasi. Model perjuangan dari belakang itu pun dilakukan dan penyerangan ditujukan kepada orang Korea yang anomim. Efektifitas perjuangan dapat dilihat dari sisi-sisi berikut: buruh Indonesia mengatakan bahwa perusahaan Korea merupakan perusahaan yang paling tidak diminati untuk kerja; masyarakat Indonesia yang bukan buruh juga menganggap perusahaan Korea merupakan perusahaan paling suka memeras; di antara liputan media massa tentang masalah perburuhan di perusahaan Korea banyak terdapat laporan yang dibuat-buat atau kebohongan belaka; dan citra orang Korea di mata orang Indonesia amat sangat buruk.
Sejak akhir tahun 1993, modal skala kecil menengah Korea telah mulai beranjak kaki dari Indonesia. Tidak sedikit perusahaan Korea yang telah menutup atau memperkecil skala produksi. Investasi baru untuk skala modal menengah kecil hampir berhenti. Sementara itu, perusahaan yang masih tinggal di Indonesia berusaha keras untuk memperbaiki produktivitas melalui memperhalus cara-cara manajemennya seperti: perubahaan sistem upah, kenaikan upah, perbaikan sarana dan fasilitas buruh, lokalisasi manajemen tenaga kerja, dan operasi otomatik. Sejak semester kedua tahun 1994, perselisihan perburuhan seperti sabotase dan mogok kerja di perusahaan Korea menurun dratis. Apa tidak mungkin kenyataan ini dibaca sebagai kemenangan buruh dalam perjuangan wacana? Meskipun kemenangan ini dinilai sebagai kemenangan parsial dan bukan kemenangan yang besar di bawah hegemoni kapitalisme yang dominan, bagi orang Korea — kapitalis, pengelola, manajer, dan masyarakat Korea secara umum hal tersebut amat sangat menyakitkan. Bangsa Jepang untuk melepaskan gelar binatang ekonomi memerlukan waktu puluhan tahun. Pun sama halnya bagi bangsa Korea. Untuk melepaskan citra orang Korea yang memalukan maka bangsa Korea akan perlu waktu yang tidak kurang dari pengalaman bangsa Jepang.
SHIN Yoon Hwan
Sogang University