KEMISKINAN, PENDAPATAN, DAN KETIDAKMERATAAN
Berbagai ketidakmerataan ekonomi dan politik di Thailand merupakan kondisi-kondisi yang saling memperkuat satu sama lain yang telah diakibatkan dari cara para elit di dalam menangkap hasil dari pertumbuhan ekonomi yang cepat. Pemeliharaan atas hak-hak istimewa ini menghasilkan satu struktur politik yang bersifat eksklusif dan didominasi oleh para elit yang otoriter. Melalui periode panjang dengan pertumbuhan ekonomi cepat yang bermula pada tahun 1950-an, rezim otoriter mendominasi, mempromosikan kapitalisme serta mengembangkan kapitalis dan kelas-kelas menengah, sementara membatasi hak-hak politik pada saat yang sama. Pertumbuhan ekonomi mengurangi kemiskinan tetapi tingkat ketidakmerataan tetap tinggi. Oleh karena itu, meskipun pertumbuhan ekonomi secara garis besar telah membawa keuntungan, kelas kapitalis dan para mitranyalah yang berhasil menangkap keuntungan dari pertumbuhan ekonomi.
Kemiskinan tidak mengurangi ketidakmerataan karena kenaikan pendapatan terkonsentrasi pada mereka yang berada pada kondisi menguntungkan. Koefisien Gini telah bertahan pada tingkat yang tinggi, berkisar dari 0,45 sampai 0,53, semenjak tahun 1980-an dan juga tereproduksi untuk ukuran-ukuran kekayaan lainnya. Data tahun 2007 menunjukkan bahwa 10 persen dari keluarga-keluarga terkaya mengontrol lebih dari 51 persen kekayaan sementara 50 persen dari keluarga-keluarga termiskin hanya mengontrol 8,5 persen dari kekayaan. Mengenai tanah, rumah, dan aset-aset lainnya, kurang lebih 90 persen dari tanah milik pribadi dikuasai oleh hanya 10 persen populasi. Data lainnya menunjukkan suatu redistribusi pendapatan dari buruh ke para kapitalis, dengan peningkatan produktivitas buruh telah menyebabkan pertambahan kekayaan para kapitalis secara besar-besaran melalui peningkatan berbagai keuntungan. Sampai akhir 2011, gaji buruh yang tak kunjung mengalami kenaikan merupakan satu bagian dari pola ini.
MENJELASKAN KETIDAKSETARAAN
Pola eksploitasi dan ketidaksetaraan ini telah ada untuk waktu yang lama. Pada kenyataannya, para peneliti telah memperoleh data yang serupa dengan yang dijadikan referensi selama beberapa dekade. Pada tahun 1960, Bell mengidentifikasi tansfer-transfer berlebih yang besar dari daerah timur laut yang miskin, membuat daerah tersebut tidak berkembang karena para produsen dieksploitasi dengan gaji yang rendah dan hasil penjualan produk pertanian yang kecil. 1Tiga dekade kemudian, Teerana menyimpulkan bahwa meskipun kemiskinan telah berkurang, hal ini tidak membantu mempersempit kesenjangan pendapatan dan menunjukkan bahwa ketidaksetaraan di Thailand tergolong tinggi ketika dibandingkan dengan ekonomi-ekonomi Asia lainnya. 2
Apakah yang menjadi alasan-alasan dibalik kesulitan untuk menghapus ketidakmerataan? Jawaban-jawaban terbaik untuk pertanyaan ini akan ditemukan di kebijakan negara dan kekuasaan struktural dari para kapitalis.
Negara Dan Kebijakannya
Berbagai penelitian tentang kebijakan negara mengindikasikan adanya pembedaan antara wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan yang telah bertahan lama. Industrialisasi yang dipromosikan oleh negara menghasilkan suatu kelas buruh dengan jumlah lebih besar, tetapi dengan intensitas kapitalis yang tinggi sektor tersebut tidak dapat menyerap para migran dari daerah pedesaan yang datang ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan. Sebagai akibatnya adalah suatu sektor informal yang besar di mana para buruh tidak terlindung di dalam sistem kesejahteraan negara yang terbatas. Hal ini berkontribusi terhadap ketidakmerataan karena transfer-transfer negara diperuntukkan kepada sektor formal yang kecil.
Demikian juga investasi negara di dalam sektor pendidikan telah terkonsentrasi di daerah-daerah perkotaan. Saat ekonomi tumbuh dengan cepat, anggaran negara untuk bidang pendidikan tetap rendah selama jangka waktu yang lama. Pada tahun 1960-an, ketika para petani dan buruh menyusun 85 persen dari populasi, dari seluruh orang yang mengikuti pendidikan tinggi hanya 15,5 persen di antara mereka yang berasal dari kelas petani dan buruh. Sampai pada pertengahan tahun 1980-an, angka ini telah berkurang hingga hanya 8,8 persen. Oleh karena itu, kelompok-kelompok rendahan dikecualikan dari akses ke luar yang penting atas pekerjaan berbayaran dan berketerampilan rendah.
Kebijakan-kebijakan pajak juga telah mendiskriminasi masyarakat miskin. Tingkat tinggi dari kebijakan proteksi manufaktur mendiskriminasi bidang pertanian, dan selama banyak dekade suatu pajak beras regresif mentransfer kekayaan dari daerah-daerah pedesaan ke kota-kota. Sampai pada tahun 1990-an, satu seri dari pajak-pajak regresif menyebabkan banyak orang kaya memperoleh keuntungan dari sistem pajak. Pada tahun 2012, kebijakan-kebijakan fiskal dan pengeluaran negara tetap berpihak pada orang-orang kaya. Dampak dari kebijakan-kebijakan ini telah menjadi redistributif, dari masyarakat miskin ke mereka yang kaya.
Program-program ini telah dilengkapi dengan suatu kebijakan gaji rendah/keuntungan tinggi yang telah dipertahankan oleh pemerintah dan bisnis dan telah mentransfer kekayaan ke para kapitalis.
Kelas Dan Kekuasaan
Kekuasaan politik yang dibutuhkan untuk mempertahankan strategi gaji rendah/keuntungan tinggi merupakan satu set dari strategi-strategi negara dan bisnis yang melibatkan hukum, kebijakan politik, ideologi, dan paksaan. Sepanjang sebagian besar periode dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, hak politik dari pegawai rendahan dibatasi, dan sering ditekan dengan kuat. Strategi-strategi berbasis kelas ini mencoba untuk mempertahankan rezim otoriter dengan membatasi hak-hak politik yang menyangkut pemilihan.
Politik uang menyampingkan perhatian pemerintah atas ketidakmerataan dengan mengumpulkan dukungan politik dari kelas-kelas tertentu, dan merupakan politik-politik yang dominan, setidaknya sampai pada tahun 2001. Pada saat penyelenggaraan pemilihan, mereka melibatkan banyak partai sehingga pemerintahan koalisi selalu lemah dan berumur pendek dan partai-partai yang terlibat tidak pernah mengembangkan kebijakan-kebijakan di luar pembagian berskala lokal. Politik ini tidak melibatkan mayoritas masyarakat dan membuat institusi-institusi perwakilan lemah, memungkinkan militer dan kerajaan untuk mendominasi. Sebagai akibatnya para elit politik tidak menaruh perhatian atas masalah ketidakmerataan dan grup-grup yang tidak termasuk di dalam elit politik harus menerima ‘political goods’ (benda-benda yang muncul dengan adanya pemerintahan negara) secara khusus ketimbang perhatian terprogram atas isu-isu redistribusi, setidaknya sampai Thaksin Shinawatra memenangkan pemilihan pada tahun 2001.
MENANGGAPI KETIDAKMERATAAN
Ketidakmerataan dan struktur-struktur yang mempertahankannya telah menghadapi tantangan. Yang paling terakhir, protes-protes gerakan baju merah yang berkepanjangan selama tahun 2009 dan 2010 merupakan satu dari tantangan tersebut. Di dalam penolakan terhadap pemberontakan tahun 2006 muncul suatu upaya untuk menghubungkan ketidakmerataan dan debat-debat mengenai demokratisasi. Hubungan ini disebabkan oleh satu seri krisis-krisis politik dan ekonomi yang dimulai dengan pemberontakan militer tahun 1991, yang diikuti dengan pergerakan rakyat sipil pada Mei 1992, dan akhir dari boom yang berkepanjangan pada 1997. Pada tahun 1997, Konstitusi 1997 dirampungkan dan hal ini mengubah peraturan-peraturan politik.
Satu-satunya pemerintahan yang terpilih di bawah konstitusi tahun 1997 adalah pemerintahan Thaksin pada tahun 2001 dan pada tahun 2005. Terbentuk pada tahun 1998, Partai Thai Rak Thai (THT) milik Thaksin menjadi populer saat pemilihan karena kebijakan-kebijakan yang menjanjikan perubahan bagi masyarakat miskin. Penangguhan hutang petani, pinjaman-pinjaman lunak pada tingkat masyarakat, dan yang paling penting secara politik, perawatan kesehatan umum. Untuk pertama kali, suatu partai politik menjanjikan dan menghantarkan program-program umum dan terprogram untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan kesejahteraan. Kemunduran ekonomi yang bermula pada tahun 1997 melemahkan para elit, dan ketakutan mereka atas konflik sosial sudah cukup untuk membuat mereka menerima perjanjian politik Thaksin dengan masyarakat luas.
TRT tidak hanya menjadi luar biasa populer, tetapi para pemilih juga menemukan bahwa tidaklah mustahil untuk memperoleh suatu pemerintahan yang lebih responsif. Konsekuensi-konsekuensi ini membuat berang para elit. Para pengikut setia keluarga kerajaan takut pada politisi-politisi terpilih yang populer dan menganggap Thaksin berbahaya karena ia sepertinya membangun popularitas yang menyaingi anggota kerajaan. Setelah kemenangan besar Thaksin pada pemilihan ulangnya di tahun 2005, tokoh-tokoh istana seperti Presiden Dewan Pertimbangan Agung Prem Tinsulanonda melihat pengerdilan sentralitas politik kerajaan sebagai suatu ancaman, dan pandangan ini memulai perjuangan politik yang tetap berlangsung untuk membatasi politik menurut pemilihan.
Para konservatif melihat pemilihan sebagai ancaman terhadap pandangan mereka bahwa politik seharusnya beroperasi dengan kerajaan sebagai institusi tertinggi. Mereka melihat politik menurut pemilihan meremehkan fungsi mendasar kerajaan terhadap tatanan sosial dan politik. Thaksin juga menantang status yang ada dengan mengguncang birokrasi, membuatnya lebih responsif terhadap politisi-politisi terpilih dan publik. Di dalam mengacak birokrasi dan menyusun ulang kementrian-kementrian, Thaksin mempromosikan bawahan-bawahan favoritnya, dan para birokrat senior, yang telah terbiasa mengontrol masyarakat selama banyak dekade, merasa terancam. Demikian juga, Thaksin menantang kelompok kapitalis dengan menuntut bisnis lokal untuk lebih kompetitif. Lawan-lawannya melihat hal ini bertujuan agar perusahaan milik Shinawatra memperoleh keuntungan yang penting dan menganggap pengaturan ulang ini sebagai ancaman terhadap kekuasaan ekonomi mereka.
Thaksin tidak sepenuhnya menyadari bahwa ia merupakan ancaman terhadap koalisi para elit politik yang terdiri atas istana, militer, dan bisnis, dan kegagalannya untuk mengamati hirarki-hirarki tradisional menyebabkan ia dicap sebagai berbahaya. Perhatian Thaksin terhadap kelompok-kelompok bawah berarti satu baris kekuatan-kekuatan konservatif, hirarki, dan otoriter akan menentang pemerintahannya. Sebagai akibatnya adalah kudeta tahun 2006. Akan tetapi kudeta tidak mengakhiri pertikaian ini karena gerakan baju merah dan pendukung-pendukung Thaksin lainnya terus melawan istana dan militer. Dalam upaya menuntut pelaksanaan pemilihan baru pada tahun 2010, gerakan baju merah terlibat di dalam protes berkepanjangan, memusatkan retorik politik mereka pada status dan ketidakmerataan.
Para pemrotes terkenal atas adopsi kata-kata kuno bagi masyarakat umum yang terkontrak, ‘phrai’ untuk mewakili posisi mereka, bertentangan dengan ‘amat’ atau ‘aristokrat-aristokrat yang berkuasa’. Mereka menekankan standar ganda di dalam hukum, monopoli kekuasaan politik oleh ‘amat’, dan suatu kekesalan yang dirasakan secara mendalam tentang ketidakmerataan. Terlepas dari klaim-klaim bahwa gerakan baju merah merupakan gerakan radikal, tuntutan-tuntutan mereka bernuansa reformis: ‘Kami menginginkan satu negara kapitalis bebas di mana kesenjangan di antara yang kaya dan yang miskin dikurangi. Kami ingin menciptakan lebih banyak kesempatan bagi mereka yang miskin’. 3Permintaan atas golongan dan status ini membuat para elit marah, khususnya karena protes-protes tersebut membentuk solidaritas yang cukup berarti di antara para pegawai rendahan.
Solidaritas ini tercermin di mobilisasi politik, pola-pola pemungutan suara, dan data ekonomi. Pola-pola pemungutan suara ditemukan sesuai dengan tingakat pendapatan dan kemiskinan, dengan wilayah-wilayah paling miskin di utara dan timur laut, sejumlah provinsi di wilayah tengah, dan wilayah-wilayah kelas buruh di sekeliling Bangkok secara konsisten memilih partai-partai pendukung Thaksin. Rata-rata per kapita dari total produk provinsi di provinsi-provinsi yang memilih Partai Demokrat pendukung para elit pada tahun 2007 hampir 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan di provinsi-provinsi yang mendukung partai pro-Thaksin.
POLTIK DARI KETIDAKMERATAN
Pendapatan yang relatif rendah, hak kepemilikan yang tak adil, dan transfer pendapatan ke mereka yang telah kaya mengindikasikan satu pola eksploitasi yang bertahan lama. Meskipun telah ada pemberontakan-pemberontakan melawan pengeksploitasian ini, hal-hal ini belum berhasil merubah pola ini. Para elit biasanya menanggapi pemberontakan seperti itu dengan tekanan. Ketika tantangan-tantangan telah menghasilkan politik menurut pemilihan – seperti yang dituntut oleh para pemrotes pada tahun 1973, 1992, 2009, dan 2010 – salah satu hasilnya merupakan politik uang yang memungkikan para politisi sipil untuk dinistakan sebagai setan dan rusak. Penistaan ini mengizinkan intervensi-intervensi militer dan kerajaan umtuk menerapkan ulang tekanan-tekanan, otorisasi, dan dominasi para elit. Ketika para elit berkuasa, mereka menekankan haknya untuk berkuasa, mendasarkan pada konsepsi-konsepsi pengeecualian dari keteraturan, otoritas, dan moralitas. Inti dari sistem ini adalah pernyataan bahwa monarki tersebut sangat diperlukan dan para elit memerintah sesuai dengan otoritas moral raja.
Mereka yang memperdebatkan ideologi ini berulang-ulang menuntut representasi politik dan kebijakan-kebijakan yang menantang eksploitasi yang tertanam dengan kuat. Yang paling layak disebutkan adalah adanya satu dukungan yang tetap bertahan atas politik menurut pemilihan. Semenjak kudeta tahun 2006, ketika pemilihan diselenggarakan, tingkat partisipasi pemilih sangat tinggi dan telah berulang-ulang mengembalikan pemerintahan yang mendukung Thaksin. Ini bukanlah sekedar paham untuk mendukung Thaksin tetapi berarti dukungan terhadap politik menurut pemilihan dan partai-partai dianggap sebagai perwakilan dari kepentingan-kepentingan pegawai rendahan. Para pemegang hak pilih yang berasal dari daerah pedesaan atau kelas buruh kelihatannya menolak politik uang dan menginginkan masyarakat dapat terorganisasi lebih baik, masyarakat dengan sistem hirarki yang lebih rendah, dan kurang tereksploitasi.
Bagi kebanyakan anggota gerakan baju merah, demokrasi berarti politik menurut pemilihan ketimbang kudeta. Berhubungan dengan hal ini, ketidakmerataan diidentifikasi sebagai ‘standar ganda’ di dalam satu lingkup arena mulai dari pengadilan hingga kekuatan politik. Secara resmi gerakan baju merah menuntut satu negara di mana ‘kekuatan politik benar-benar berada di tangan rakyat Thailand’. Mereka menginginkan satu ‘negara yang jujur dan adil’, di mana ‘orang-orang bebas dari oligarki aristokrat (amat) dan memiliki harga diri, kebebasan, dan kesetaraan’. 4
Tuntutan-tuntutan akan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan ini telah menghadapi perjuangan yang pahit untuk kontrol atas sistem politik. Tuntutan-tuntutan ini telah dihadapkan pada penggunaan pengadilan, senjata-senjata militer, dan demonstasi-demonstrasi berulang dari mereka yang setia pada keluarga kerajaan oleh para elit. Kudeta militer pada 22 Mei 2014 mengakibatkan dan telah menyaksikan satu upaya yang sungguh-sungguh untuk politisi-politisi netral di luar elit kerajaan dan untuk mengembalikan politik menurut pemilihan.
KESIMPULAN
Seandainya Tocqueville mengunjungi Thailand pada saat ini, ia tidak akan menjumpai ‘kesetaraan umum dari kondisi-kondisi’ yang menjadi karakter demokrasi awal Amerika dan menjadi struktur dari masyarakat tersebut. Sebaliknya, ia akan menjumpai pengaruh yang luar biasa dan buruk dari suatu sistem sosial, politik, dan ekonomi yang dibentuk untuk mempertahankan ketidakmerataan.
Kevin Hewison
Pusat Studi Asia,
Sekolah Ilmu Manajemen dan Pemerintahan
Universitas Murdoch, Perth, Australia Barat
Email: kevin.hewison@murdoch.edu.au
Kevin Hewison is Sir Walter Murdoch Professor of Politics and International Studies and Director of the Asia Research Centre at Murdoch University. Previously he was Weldon E. Thornton Distinguished Professor at the University of North Carolina at Chapel Hill.
Issue 17, Kyoto Review of Southeast Asia, March 2015
REFERENCES
Bell, P. “Thailand’s Northeast: Regional Underdevelopment, ‘Insurgency’, and Official Response”, Pacific Affairs 42, no. 1 (1969): 47-54.
Teerana Bhongmakapat. “Income Distribution in a Rapidly Growing Economy: A Case of Thailand”. Paper presented to the 15th Conference of the ASEAN Economic Associations, Singapore, November 15-17, 1991.
UDD/No Pho Cho. Kham tham lae kham dop ruang no pho cho. Daeng thang phaendin. [Questions and Answers on UDD: the Red Land] Bangkok: UDD/No Pho Cho, April 28, 2010.