
Partai Rakyat Kamboja (The Cambodian People’s Party, CPP) mengukuhkan dominasi politiknya dalam pemilihan umum 23 Juli 2023, memperoleh 120 dari 125 kursi di Majelis Nasional,[1] sebuah hasil yang menunjukkan salah satu cengkeraman terkuat partai ini terhadap kekuasaan sejak diterapkannya kerangka kerja demokrasi multi-partai di Kamboja pada 1991. Meski terdapat sejumlah nama partai oposisi, mereka menghadapi kendala hukum, birokrasi, dan basis-informasi yang melemahkan integritas pemilu dan membatasi persaingan yang sesungguhnya.
Sistem multi-partai di Kamboja diperkenalkan sebagai bagian dari Perjanjian Perdamaian Paris pada 1991, yang mengakhiri konflik dengan Vietnam dan meletakkan dasar bagi sebuah sistem demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai liberal. Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kamboja (The United Nations Transitional Authority in Cambodia, UNTAC) mengawasi pemilihan umum multi-partai pada 1993,[2] menandai babak baru dalam dunia politik Kamboja.
Akan tetapi, selama tiga dasawarsa terakhir, CPP telah melemahkan integritas kerangka kerja multi-partai dan mencengkeram erat kekuasaan. Pada pertengahan 1990-an, kekerasan dalam pemilu memainkan peran utama dalam menindas oposisi. Saat Kamboja memasuki tahun 2000-an, CPP bergeser ke arah bentuk kendali yang lebih terlembaga, memberlakukan undang-undang pemilu yang membatasi kegiatan oposisi, menggunakan mekanisme administratif dan yudisial untuk mendiskualifikasi partai-partai yang bersaing, dan memberlakukan sensor yang meluas untuk mengendalikan dunia media. Dengan membekap kerangka kerja pemilu dan wacana publik, CPP mengukuhkan kekuasaannya, mengurangi sifat kompetitif proses pemilu Kamboja.

Kekerasan dalam Pemilu di Kamboja
Ciri utama dari pemilu Kamboja pasca-1993 hingga pertengahan tahun 2000-an adalah kekerasan politik yang terjadi. Kerap dikaitkan dengan periode pemilu, target kekerasan CPP adalah anggota partai-partai oposisi dan para pendukungnya. Meski Partai Front Persatuan Nasional untuk Kamboja yang Independen, Netral, Damai, dan Kooperatif (National United Front for an Independent, Neutral, Peaceful and Cooperative Cambodia, FUNCINPEC) yang beraliran royalis menang dalam Pemilu 1993, Perdana Menteri Hun Sen—yang telah berkuasa sejak 1985 dengan dukungan dari Vietnam—menolak untuk mundur. Hal ini menyebabkan pemerintahan koalisi antara FUNCINPEC dan CPP, dengan Hun Sen dan Pangeran Norodom Ranariddh berbagi jabatan sebagai Wakil PM (co-PM).[3]
Pengaturan pembagian kekuasaan menjadi runtuh pada 1997 saat Hun Sen melakukan kudeta yang menggulingkan Pangeran Ranariddh. Ini mengakibatkan eksekusi terhadap lebih dari 60 anggota oposisi, sehingga menandai konsolidasi awal kendali politik CPP. Hun Sen terus menjadi PM tunggal.[4] Menjelang pemilihan umum tahun 1998, kekerasan terhadap anggota FUNCINPEC memupuk iklim ketakutan dan membuat banyak orang mengasingkan diri. Akses media bagi calon oposisi juga dibatasi, sehingga memungkinkan CPP berkampanye dengan oposisi yang minimal.[5] Setelah kemenangannya, protes atas dugaan ketidakberesan pemilu berujung pada sejumlah tindakan kekerasan dan kematian.[6]
Kekerasan dan intimidasi terus berlanjut menjelang Pemilu 2003. Sebelum pemilihan komune 2002, yang dianggap sebagai pendahulu pemilihan umum, 15 penggiat oposisi terbunuh, dan banyaknya laporan mengenai ancaman dan perusakan properti milik pendukung FUNCINPEC dan Partai Sam Rainsy (Sam Rainsy Party, SRP).[7]
Meski tindakan kekerasan sporadis masih terus terjadi—seperti pembunuhan Khim Sambo, seorang jurnalis dan pengkritik pemerintah, pada 2008[8]—kekerasan fisik terhadap oposisi politik menurun seiring dengan menguatnya sistem demokrasi sejak pertengahan tahun 2000-an. Kekerasan terbuka sebagian besar berubah menjadi bentuk-bentuk intimidasi berbahaya seperti mengubah undang-undang pemilu untuk membatasi kegiatan oposisi, menggunakan taktik administratif dan yudisial untuk meminggirkan partai-partai oposisi, dan memperketat kendali atas media independen. Taktik-taktik ini semakin melemahkan sistem pemilu Kamboja sekaligus mengubah negara tersebut menjadi negara yang didominasi oleh satu partai.

Perubahan atas Undang-Undang Pemilu
Kerangka hukum pemilu telah sistematis diubah demi menguntungkan kepentingan CPP di lapangan politik, sehingga membatasi peluang bagi partai-partai oposisi untuk betul-betul terlibat dalam pemilu. Konstitusi[9] adalah dokumen hukum utama yang menjadi kerangka kerja demokrasi, dengan Pasal 51 yang menyatakan bahwa negara tersebut “menerapkan kebijakan demokrasi liberal dan pluralisme”. Oleh karena itu, penguasa politik dipilih berdasar kehendak rakyat, menyiratkan perlunya pemilihan umum yang bebas dan adil guna menentukan pembagian kekuasaan politik.
Akan tetapi, menjelang Pemilu 2023, sejumlah perubahan terhadap Konstitusi melemahkan peran oposisi politik. Perubahan atas Pasal 19, 92, 106, 119, 137, dan Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Konstitusi Tambahan melarang individu dengan kewarganegaraan ganda untuk menduduki posisi kunci seperti PM.[10] Perubahan-perubahan ini berdampak pada beberapa tokoh oposisi dari Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (Cambodia National Rescue Party, CNRP), yang menantang kekuasaan CPP pada Pemilu 2013 namun kini telah dibubarkan,[11] seperti Sam Rainsy yang memiliki kewarganegaraan Kamboja dan Prancis, serta Mu Sochua yang menikah dengan orang yang tidak berkewarganegaraan Kamboja.
Contoh lainnya adalah Undang-Undang Pemilihan Anggota Majelis Nasional (Law on the Election of Members of the National Assembly, LEMNA)[12] yang mengatur proses pemilu Kamboja. Pada 2023, perubahan atas UU tersebut memperkenalkan pembatasan terhadap caleg yang tidak memberikan suara dalam dua pemilu terakhir dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang menganjurkan boikot atau pembatalan suara.[13] Peraturan ini juga mendiskualifikasi anggota oposisi yang berada di luar negeri dalam pengasingan sukarela, meninggalkan Kamboja untuk menghindari dakwaan bermotif politik dan tidak dapat memberikan suara pada pemilu sebelumnya, sehingga mereka tidak dapat mengikuti pemilu di masa depan, melemahkan kemampuan mereka untuk menantang kekuasaan CPP. Perubahan tersebut segera disahkan oleh Majelis Nasional, dan disetujui oleh seluruhnya 111 anggota parlemen dari CPP dengan hanya sedikit perdebatan.[14]
Meski contoh-contoh ini tidak mencakup semua perubahan undang-undang pemilu, hal-hal tersebut menggambarkan strategi yang lebih luas dalam mempertahankan kerangka hukum yang secara lahiriah menjaga legitimasi sembari membatasi kriteria kelayakan untuk mengikuti pemilu—sebuah proses yang dapat ditegakkan oleh CPP dengan sedikit perlawanan karena pemegang super-mayoritas di parlemen.

Taktik Administratif dan Yudisial
Kekerasan politik berkembang sejak pertengahan tahun 2000-an dengan berbagai taktik administratif dan yudisial yang digunakan untuk melemahkan oposisi politik, terutama setelah Pemilu 2013 dan menjelang Pemilu 2018 dan 2023.
Pada Pemilu 2013, CNRP menjadi partai oposisi pertama terhadap hegemoni politik CPP sejak 1998. Perolehan suara CPP turun menjadi 48,8% dan CNRP mendapatkan 44,4% suara.[15] Setelah hasil pemilu yang beda tipis itu, mulai muncul peningkatan taktik administratif dan yudisial untuk melemahkan peran oposisi politik. Pada 2015, Sam Rainsy, mantan Presiden CNRP, dijatuhi hukuman penjara dua tahun atas tuduhan pencemaran nama baik setelah ia menuduh CPP melakukan kecurangan pemilu pada 2013.[16] Ia meninggalkan Kamboja pada November 2015 untuk mengasingkan diri.[17]
Upaya CPP untuk melemahkan oposisi semakin meningkat pada 2016 setelah pembunuhan Kem Ley, seorang pengamat politik terkemuka dan pengkritik pemerintah. Tidak lama setelah kematiannya, Sam Rainsy didakwa atas pencemaran nama baik karena ia menyiratkan keterlibatan pemerintah dengan menyatakan bahwa hanya pemerintah yang dapat melakukan serangan semacam itu.[18] Pada Februari 2017, ia mengundurkan diri sebagai Presiden CNRP menyusul adanya usulan perubahan UU yang melarang pelaku kriminal untuk memimpin sebuah partai politik.[19]
Pada 2017, Kem Sokha, yang menjadi Presiden CNRP setelah pengunduran diri Sam Rainsy, didakwa melakukan pengkhianatan berdasarkan Pasal 443 KUHP. Ia dituduh bersekongkol dengan Amerika Serikat untuk menggulingkan pemerintah,[20] dan kemudian dijatuhi hukuman 27 tahun tahanan rumah dan dilarang terlibat dalam politik. Oleh para ahli PBB[21] kasus ini dinilai berlatar politik, dan bertujuan untuk menetralisir pengaruh CNRP. Pada November 2017, Mahkamah Agung Kamboja membubarkan CNRP, menuduhnya bersekongkol dengan dukungan asing untuk menggulingkan Hun Sen.[22] Tanpa adanya partai oposisi yang kuat, CPP sebagai petahana mendulang kemenangan besar pada Pemilu 2018, memperoleh seluruh 125 kursi parlemen dengan 76,8% suara.[23]
Dalam konteks Pemilu 2023, Partai Cahaya Lilin (Candlelight Party, CLP)—yang sebelumnya bernama Partai Bangsa Khmer (Khmer Nation Party dan SRP)—didiskualifikasi untuk ikut serta dalam Pemilu 2023 karena menjadi partai oposisi utama setelah pembubaran CNRP.[24] Menjelang Pemilu 2023, Komite Pemilu Nasional (National Election Committee, NEC) mendiskualifikasi CLP untuk ikut serta dalam pemilu lantaran adanya masalah dalam proses pendaftaran. Partai tersebut menyerahkan dokumen fotokopi alih-alih dokumen asli yang diperlukan untuk pendaftaran. CLP berpendapat bahwa semua dokumen asli telah disita selama penggerebekan polisi pada 2017, yang menghambat mereka untuk memenuhi persyaratan pendaftaran.[25] Setelah itu, perisakan terhadap para anggotanya terus berlanjut lewat jalur finansial. Pada Juli 2024, Presiden CLP Teav Vannol dinyatakan bersalah atas pencemaran nama baik setelah mengkritik Perdana Menteri Hun Manet dan didenda 1,5 juta dolar AS.[26]
Manipulasi pemilu semakin merugikan pihak oposisi. Misalnya, pada Pemilu Komune 2022, kasus-kasus surat suara yang hilang, suara tambahan yang tidak dapat dijelaskan, dan seringnya terjadi koreksi dan penghapusan dalam penghitungan suara tidak jarang terjadi, dengan sedikit atau bahkan tidak ada tindakan yang dilakukan oleh NEC untuk mencegahnya.[27] Secara keseluruhan, kasus-kasus tersebut memberikan keuntungan berarti bagi CPP atas lawan-lawan politiknya, melemahkan kemampuan oposisi untuk bersaing secara adil dalam pemilu.
Kendali atas Media Independen
Pelemahan pemilu multi-partai semakin diperparah oleh kendali ketat CPP atas media independen, terutama menyusul upayanya mengukuhkan kekuasaan setelah Pemilu 2013. Pemerintah CPP secara sistematis menargetkan media independen, jurnalis, dan ranah digital untuk mengendalikan narasi tentang akuntabilitas pemerintah. Hal ini berdampak pada keadilan dan daya saing pemilu, sebab membatasi arus informasi independen dan membatasi kemampuan oposisi untuk terlibat efektif dengan publik.
Pada Mei 2008, radio Angkor Ratha ditutup karena menyiarkan program-program oposisi tanpa persetujuan pemerintah.[28] Pada tahun menjelang Pemilu 2018, lembaga penyiaran pemerintah TVK mengatur 84% dari waktu siarannya untuk CPP, sementara FUNCINPEC dan SRP masing-masing hanya menerima 10% dan 6%.[29]
Pada September 2017, The Cambodia Daily— koran harian yang dikenal dengan jurnalisme investigasi dan laporan kritisnya tentang korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kegiatan pemerintah—terpaksa ditutup setelah adanya tuntutan pajak sebesar 6,3 juta dolar AS,[30] yang diyakini berlatar belakang politik menyusul hasil Pemilu 2013 dan waktunya yang berdekatan dengan Pemilu 2018.[31]
Pemerintah juga menargetkan Radio Free Asia (RFA) dan Voice of America (VOA), dengan lebih memperketat kendali atas sumber-sumber berita independen yang kritis terhadap CPP. Pihak berwenang memerintahkan penutupan lebih dari selusin stasiun radio yang menyiarkan program RFA dan VOA, sehingga sangat membatasi akses terhadap informasi yang tidak bias, terutama di daerah perdesaan.[32] Meski tetap melaporkan dari markasnya di Amerika Serikat, RFA menghentikan operasi di dalam negeri karena perisakan dan ancaman hukum, sementara VOA tetap aktif tetapi dengan jangkauan yang lebih kecil.[33]
Pada Februari 2023, kantor berita Voice of Democarcy (VOD) ditutup setelah melaporkan sebuah insiden kontroversial yang melibatkan putra PM saat itu, Hun Manet, terkait gempa bumi mematikan di Turki pada tahun yang sama. Laporan tersebut menyebutkan bahwa Hun Manet menyetujui paket bantuan sebesar 100.00 dolar AS. Hun Sen mengklaim bahwa berita ini tidak akurat dan menuduh VOD menyebarkan informasi palsu yang merusak keamanan nasional.[34]
Gerbang Internet Nasional (National Internet Gateway, NIG), yang didirikan di Kamboja pada 2021, menjadi alat penting pemerintah dalam upayanya mengendalikan dan mengatur lingkungan media, meski belum sepenuhnya diterapkan hingga saat ini. Dengan memusatkan semua lalu lintas internet melalui gerbang yang dikendalikan negara, NIG memungkinkan pemerintah untuk memantau, menyaring, dan membatasi akses ke sejumlah situs web tertentu,[35] menyediakan mekanisme untuk membatasi jangkauan media independen dan mengendalikan penyebaran informasi. Oleh karena itu, NIG berpotensi membatasi akses ke konten yang kritis terhadap pemerintah, sehingga semakin mengukuhkan kemampuan negara untuk membentuk wacana publik. Kendali ini sangat berdampak terutama selama periode politik yang sensitif, seperti pemilihan umum. Kekuatan untuk memengaruhi opini publik dan mengelola narasi media dapat secara langsung memengaruhi hasil pemilu.

Simpulan
Sejak 1997, pemerintah Kamboja yang dipimpin oleh CPP telah melemahkan pemilu multi-partai. Awalnya, kemerosotan ini ditandai dengan tindakan terang-terangan kekerasan politik terhadap tokoh-tokoh oposisi, tetapi sejak itu bergeser ke taktik yang lebih halus, termasuk mengubah undang-undang pemilu, merisak lawan-lawan politik, dan melakukan kendali ketat atas media. Akibatnya, meski pemilu di Kamboja seolah-olah mempertahankan struktur multi-partai, oposisi secara sistematis tidak diberi kesempatan untuk bersaing. Manipulasi ini telah memungkinkan CPP untuk membangun diri sebagai kekuatan politik yang dominan dan menghambat praktik-praktik demokrasi.
Masyarakat internasional telah menanggapi dengan kecaman dan seruan yang meluas menagih pertanggungjawaban, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam akan kebebasan pers dan menyusutnya ruang bagi perbedaan pendapat. Upaya-upaya selama ini berpusat pada advokasi dan mendukung prakarsa masyarakat sipil. Namun, kemanjuran dari upaya-upaya itu masih belum pasti karena CPP terus menolak tekanan eksternal demi mempertahankan kekuasaannya.
Oleh Dr Marc Piñol Rovira, Asia Centre
Kepustakaan
[1] National Election Committee of Cambodia (NEC) (2023) ‘តារាងលទ្ធផលផ្លូវការនៃការបោះឆ្នោតជ្រើសតាំងតំណាងរាស្ត្រ នីតិកាលទី៧ ឆ្នាំ២០២៣ ថ្ងៃអាទិត្យ ទី២៣ ខែកក្កដា ឆ្នាំ២០២៣ [Official results of the 7th National Assembly Election 2023, Sunday, July 23, 2023]’, NEC, melalui: https://www.nec.gov.kh/khmer/content/7257.
[2] United States Institute of Peace (2000) ‘Final Act of the Paris Conference on Cambodia’, United States Institute of Peace, melalui: https://www.usip.org/sites/default/files/file/resources/collections/peace_agreements/final_act_10231991.pdf.
[3] Sorpong Peou (1998) ‘Hun Sen’s Pre-emptive Coup: Causes and Consequences’, Southeast Asian Affairs: 86–102, melalui: http://www.jstor.org/stable/27912198.
[4] Sorpong Peou (1998) ‘Cambodia in 1997: Back to Square One?’, Asian Survey 38(1): 69–74, melalui: https://doi.org/10.2307/2645469.
[5] Peter M. Manikas dan Eric Bjornlund (1998) ‘Cambodia’s 1998 Elections: The Failure of Democratic Consolidation’, New England Journal of Public Policy 14(1): 145–160, melalui: https://scholarworks.umb.edu/nejpp/vol14/iss1/11.
[6] Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, US Department of State (1999) ‘Cambodia Country Report on Human Rights Practices for 1998’, US Department of State, melalui: https://1997-2001.state.gov/global/human_rights/1998_hrp_report/cambodia.html.
[7] Human Rights Watch (2003) ‘The Run-Up to Cambodia’s 2003 National Assembly Election: Political Expression and Freedom of Assembly under Assault’, Human Rights Watch, melalui: https://www.hrw.org/legacy/backgrounder/asia/cambodia/cambodia061203.pdf.
[8] Radio Free Asia’s Khmer Service (2008) ‘Khmer Journalist, Son, Shot Dead’, Radio Free Asia, melalui: https://www.rfa.org/english/news/cambodia/shooting-07122008181034.html.
[9] “Constitution of the Kingdom of Cambodia, 1993” (2008), Constitute Project, melalui: https://constituteproject.org/constitution/Cambodia_2008.
[10] Benjamin Lawrence (2022) ‘Cambodia’s constitutional amendments: Consolidating control and securing succession plans’, ConstitutionNet, melalui: https://constitutionnet.org/news/cambodias-constitutional-amendments-consolidating-control.
[11] Transparency International Cambodia (2013) Final Election Observation Report on cambodia’s 2013 National Election, Phnom Penh: Transparency International Cambodia, melalui: https://ticambodia.org/library/wp-content/files_mf/1438020883TICsReporton2013NationalElection.pdf.
[12] “Law on the Election of Members of the National Assembly” (1997), NEC, melalui: https://www.nec.gov.kh/english/sites/default/files/LEMNA.pdf.
[13] “Law on the Amendment of the Election Law” (2023), OpenDevelopment Cambodia, melalui: https://data.opendevelopmentcambodia.net/laws_record/law-on-the-amendment-of-the-election-law/resource/74985feb-ed3f-475f-b064-bbbf9d9284e5; Ros, Sophea (2023) ‘Cambodia’s amended election law weakens opposition ahead of General Election’, Bower Group Asia, melalui: https://bowergroupasia.com/cambodias-amended-election-law-weakens-opposition-ahead-of-general-election.
[14] Sopheng Cheang (2023) ‘Cambodian lawmakers approve changes to election law that disqualify candidates who don’t vote’, AP News, melalui: https://apnews.com/article/cambodia-election-law-amendment-opposition-7c3b279d30dead4520966c64cc9ebbef
[15] NEC (2013) ‘លទ្ធផលនៃការបោះឆ្នោតជ្រើសតាំងតំណាងរាស្ដ្រ នីតិកាលទី៥ ឆ្នាំ២០១៣ (ថ្ងៃទី២៨ ខែកក្កដា ឆ្នាំ២០១៣) [Results of the 5th National Assembly Election 2013 (July 28, 2013)], NEC, melalui: https://www.nec.gov.kh/khmer/category/317.
[16] Pav Suy (2015) ‘Hun Sen slams Rainsy’s election accusation’, Khmer Times, melalui: https://www.khmertimeskh.com/58905/hun-sen-slams-rainsys-election-accusation.
[17] BBC News (2015) ‘Sam Rainsy: Wanted Cambodian opposition chief delays return’, BBC News, melalui: https://www.bbc.com/news/world-asia-34835121.
[18] BBC News (2016) ‘Cambodian activist Kem Ley shot dead in Phnom Penh’, BBC News, melalui: https://www.bbc.com/news/world-asia-36757370.
[19] Sun Narin (2017) ‘Rainsy’s resignation leaves questions lingering over Cambodian politics’, VOA Cambodia, melalui: https://www.voacambodia.com/a/rainsy-resignation-leaves-questions-lingering-over-cambodian-politics/3721241.html.
[20] Prak Chan Thul (2023) ‘Cambodian opposition figure Kem Sokha sentenced to 27 years of house arrest’, Reuters, melalui: https://www.reuters.com/world/asia-pacific/cambodian-opposition-figure-kem-sokha-sentenced-27-years-treason-2023-03-03.
[21] Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) (2023) ‘Cambodia: UN experts condemn verdict against opposition leader Kem Sokha’, OHCHR, melalui: https://www.ohchr.org/en/press-releases/2023/03/cambodia-un-experts-condemn-verdict-against-opposition-leader-kem-sokha.
[22] BBC News (2017) ‘Cambodia top court dissolves main opposition CNRP party’, BBC News, melalui: https://www.bbc.com/news/world-asia-42006828.
[23] NEC (2018) ‘លទ្ធផលផ្លូវការ នៃការបោះឆ្នោតជ្រើសតាំងតំណាងរាស្ត្រ នីតិកាលទី៦ ឆ្នាំ២០១៨(ថ្ងៃទី២៩ ខែកក្កដា ឆ្នាំ២០១៨) [Official results of the 6th National Assembly Election 2018 (July 29, 2018)]’, NEC, melalui: https://www.nec.gov.kh/khmer/category/186.
[24] AP (2023) ‘Cambodia’s only major opposition party is barred from running in July elections’, The Guardian, melalui: https://www.theguardian.com/world/2023/may/16/cambodias-only-major-opposition-party-is-barred-from-running-in-july-elections.
[25] Lors Liblib dan Han Noy (2023) ‘Cambodia’s main opposition party disqualified from July’s national election’, VOA News, melalui: https://www.voacambodia.com/a/cambodia-s-main-opposition-party-disqualified-from-july-s-national-election/7095320.html.
[26] Reuters (2024) ‘Cambodian politician fined $1.5 mln for defamation after democracy criticism’, Reuters, melalui: https://www.reuters.com/world/asia-pacific/cambodian-politician-fined-15-mln-defamation-after-democracy-criticism-2024-07-25.
[27] Andrew Califf dan Khuon Narim (2023) ‘“Irregularities” in Commune Election vote tallying raise concerns about national elections, NGO says’, CamboJA News, melalui: https://cambojanews.com/irregularities-in-commune-election-vote-tallying-raises-concerns-about-national-elections-ngo-says; Elaine Pearson (2024), Letter to the NEC Chairman Regarding Alleged Intimidation and Vote Buying in February 25, 2024 Senate Election, Human Rights Watch, melalui: https://www.hrw.org/news/2024/04/03/letter-nec-chairman-regarding-alleged-intimidation-and-vote-buying-february-25-2024.
[28] Sam Borin, Or Phearith, dan Mayarith (2008) ‘Cambodia closes radio station’, Radio Free Asia, melalui: https://www.rfa.org/english/news/cambodia/cambodia_media-05302008113811.html.
[29] Hana Krupanská dan Marc Livsey (2008) Cambodia National Assemblt Election 27th July 2008: Report on the International Election Observation Mission ANFREL, Bangkok, Thailand: Asian Network for Free Elections, melalui: https://anfrel.org/wp-content/uploads/2012/02/2008_cambodia.pdf.
[30] Kristi Eaton (2017) ‘The Cambodia Daily newspaper closes over disputed Tax Bill’, NBC News, melalui: https://www.nbcnews.com/news/asian-america/cambodia-daily-newspaper-closes-over-disputed-tax-bill-n799671.
[31] Aun Chhengpor (2017) ‘Shutdown of prominent Cambodia newspaper fuels fears of government crackdown ahead of elections’, VOA Cambodia, melalui: https://www.voacambodia.com/a/fearless-newspaper-closure-marks-declaration-of-post-truth-era-in-cambodia/4017429.html.
[32] Cambodian League for the Promotion and Defense of Human Rights (LICADHO) (2017) ‘Restricting critical voices on Cambodian airwaves’, LICADHO, melalui: https://www.licadho-cambodia.org/articles/20170909/148/index.html.
[33] Kann Vicheika (2017) ‘Radio Free Asia closes reporting hub, Cambodians miss “critical” coverage”, VOA Cambodia, melalui: https://www.voacambodia.com/a/radio-free-asia-closes-reporting-hub-cambodians-miss-critical-coverage/4033504.html.
[34] Kelly Ng (2023) ‘Cambodia’s Hun Sen shuts down independent media outlet Voice of Democracy’, BBC News, melalui: https://www.bbc.com/news/world-asia-64621595.
[35] Asia Centre (2021) Internet Freedoms in Cambodia: A Gateway to Control, Bangkok, Thailand; Asia Centre dan International Center for Not-for-Profit Law, melalui: https://asiacentre.org/wp-content/uploads/Internet-Freedoms-in-Cambodia-A-Gateway-to-Control.pdf.