Kartel Partai di Indonesia: Menuju Demokrasi Tanpa Oposisi

Pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dilantik sebagai presiden kedelapan Indonesia, setelah meraih lebih dari 58% suara dalam pemilihan presiden pada Februari 2024.[1] Hal yang bisa dipetik dari pemilu ini adalah tentang bagaimana koalisi politik yang telah berubah wujud menjadi kartel-kartel sehingga terjadi pelemahan oposisi menuju “demokrasi tanpa oposisi” di Indonesia.

Koalisi-koalisi ini, yang acap bersifat pragmatis alih-alih ideologis, dan didorong oleh kesepakatan pembagian kekuasaan di antara para elite politik, selama bertahun-tahun telah berkembang menjadi kartel-kartel untuk merebut kekuasaan.[2] Hasil akhir dari situasi ini adalah terabaikannya motivasi awal untuk mendemokratisasi sistem pemilu di Indonesia dan membangun sistem pengawasan dan keseimbangan yang independen. Sebaliknya, situasi ini mengukuhkan jaringan patronase dan mengurangi daya saing pemilu.

Kendati koalisi dapat memudahkan pemerintahan, perubahannya menjadi kartel justru merusak integritas pemilu dalam sejumlah caranya. Dengan memupuk kolaborasi di antara partai-partai besar alih-alih bersaing, koalisi tersebut mengarah pada hasil pemilu yang telah ditentukan sebelumnya.[3] Di Indonesia, kepentingan elite seringkali lebih diutamakan daripada proses demokrasi yang sesungguhnya, yang berakibat mandeknya kebijakan dan kerangka pemilu yang lemah yang menghambat reformasi dan perubahan politik yang berarti.[4]  Di Indonesia, bukan hal aneh  ketika para kandidat yang bersaing, setelah masa jabatan presiden mereka berakhir, malah lalu mendukung pesaing mereka, sehingga menghasilkan persekongkolan siklus politik inses.

Perubahan koalisi pemilu menjadi kartel menimbulkan tantangan substansial terhadap kualitas pemilu multi-partai, membatasi peluang bagi kandidat yang beragam dan memusatkan kekuatan politik di dalam keluarga elite. Secara khusus, proses ini menyeragamkan panggung politik dan mencabut hak pemilih untuk memiliki perwakilan yang dapat memperjuangkan sudut pandang alternatif dan bertindak sebagai penjaga keseimbangan yang independen.

A polling station in North Jakarta on election day. Photo: Jeromi Mikhael, Wikipedia Commons

Evolusi Menuju Pemilihan Presiden Secara Langsung

Indonesia memulai transisi menuju demokrasi pada 1998 setelah pengunduran diri presiden dan diktator Soeharto.

Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa sebelum reformasi demokratis, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang berfungsi sebagai lembaga legislatif. MPR pada masa Soeharto terdiri atas anggota terpilih yang berasal dari tiga partai politik yang “disetujui”, dan anggota yang ditunjuk dari angkatan bersenjata dan perwakilan daerah.

Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie), yang menjabat sebagai wakil presiden Soeharto, menjadi presiden setelah pengunduran diri Soeharto pada 1998. Sebagai presiden, Habibie memprakarsai sejumlah reformasi penting yang menghasilkan keterbukaan politik dan desentralisasi. Sebagai catatan, ia menyetujui Undang-Undang Partai Politik pada 1999[5] sehingga meningkatkan jumlah partai politik, yang sebelumnya dibatasi berjumlah tiga saja di bawah pemerintahan Soeharto.

Meski BJ Habibie memilih untuk tidak mencalonkan diri dalam Pemilihan Presiden 1999—sebagian karena tekanan dari partainya sendiri[6]—pemilihan itu sendiri adalah transisi yang luar biasa menuju demokrasi multi-partai. Di bawah Undang-Undang Partai Politik yang baru, 48 partai bersaing untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),[7] yang merupakan bagian utama Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Megawati Sukarnoputri, putri sulung presiden pertama Indonesia, Sukarno, memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berhasil meraih suara terbanyak di dalam Pemilu 1999, tetapi gagal meraih suara mayoritas di MPR. Ini mengakibatkan perebutan kekuasaan berlarut-larut di dalam MPR, sehingga Golkar, partai yang sebelumnya berkuasa, mengusung sebuah koalisi yang disebut “Poros Tengah” untuk menghalangi upaya pencalonan dirinya sebagai presiden. Hasilnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur)[8] terpilih menjadi presiden, dengan Megawati sebagai wakil presiden. Strategi menghalangi pesaing ini membentuk sebuah pola dalam politik Indonesia, yaitu:  partai-partai mendahulukan aliansi pembagian kekuasaan daripada komitmen ideologis terhadap demokrasi.

Gus Dur adalah presiden pertama yang dipilih secara bebas oleh parlemen Indonesia, dengan masa jabatan dua tahun. Di bawah kepresidenannya, DPR melembagakan beberapa reformasi pro-demokrasi yang mengakui status otonomi daerah-daerah di Indonesia dan memperkenalkan pemilihan langsung bagi para pemimpin daerah. Ia juga membatasi kekuasaan presiden dalam membuat peraturan dan melarang presiden untuk membubarkan parlemen.[9] Secara keseluruhan, ia menikmati suara mayoritas yang kuat di MPR, tercermin dari “Kabinet Persatuan Nasional” pimpinannya, sehingga menjelang akhir masa kepresidenannya, mencakup partai-partai yang mewakili 436 dari 462 anggota terpilih DPR.[10]

Namun, popularitas Gus Dur menurun lantaran tuduhan salah-kelola dana pemerintah dan ia dimakzulkan pada 23 Juli 2001.[11] Pemakzulan ini juga dipicu oleh kurangnya pengembangan hubungan dan pembagian kekuasaan antara partai-partai yang berkuasa, terutama dalam upayanya mengukuhkan kekuasaan dengan mengasingkan mitra-mitra politik utama.[12]

Setelah itu, MPR memilih Megawati Sukarnoputri sebagai presiden. Sejak 2001 hingga 2004, dengan jaminan dari mitra koalisi bahwa ia tidak akan dimakzulkan, Megawati secara luas menghimpun partai-partai yang sama yang sebelumnya mengusung Gus Dur. Kabinet yang ia pimpin dijuluki “Kabinet Gotong Royong”.[13] Di bawah masa jabatannya, serangkaian reformasi politik tambahan disahkan,[14] termasuk mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Juga, dihapuskannya kuota di MPR bagi angkatan bersenjata dan perwakilan yang ditunjuk lainnya.[15]

Masalah serupa yang melanda koalisi Gus Dur—kurangnya kompromi dan pembagian kekuasaan antarpartai—memupuk pergesekan dengan Megawati dan PDI-P. Ketidakpuasan ini menyumbang pada pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono (akrab dikenal sebagai SBY) oleh Partai Demokrat untuk bertarung dalam Pemilu 2004 yang merupakan pemilihan presiden yang kali pertama diselenggarakan secara langsung.[16]

General Elections Commission (KPU) workers unloading ballot boxes near a polling station in North Jakarta, Indonesia, the day before the 2024 Indonesian general election. Photo: Juxlos, Wikipedia Commons

Kartelisasi Pemilu yang Sudah Mengakar

Pada 2004, SBY, seorang jenderal purnawirawan dari Partai Demokrat memenangkan pemilihan presiden. Setelah kemenangannya, Presiden SBY membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, dengan koalisi yang sama lebarnya seperti yang terlihat pada kabinet tiga presiden sebelumnya. Kabinet SBY terdiri dari partai-partai yang mewakili 403 kursi dari 560 kursi yang ada.[17]

Setelah kejatuhan Megawati, PDI-P muncul sebagai partai oposisi besar pertama dalam politik legislatif. Namun, gagasan tentang “oposisi” secara bertahap semakin dilemahkan dalam pemilu-pemilu berikutnya. Sebagai contoh, komposisi kabinet yang didominasi oleh partai-partai yang sudah mapan seperti Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), membatasi peran efektif oposisi, terutama mengecualikan PDI-P dari pengaruh yang substansial. Situasi ini mengurangi alternatif pemilih di luar koalisi yang berkuasa, membatasi persaingan politik yang berarti dan membatasi ruang bagi partai-partai kecil untuk menantang pengaruh koalisi.

Pada pemilu-pemilu berikutnya, tren serupa terjadi. Pada Pemilu 2009, Presiden SBY sebagai petahana dan Partai Demokrat-nya yang sedang berkuasa kembali memenangkan pemilu. Meski partainya tidak meraih mayoritas langsung, partai ini mendapatkan kursi terbanyak, sehingga mendorong pembentukan kabinet SBY yang kedua—yang sebagian besar terdiri dari partai-partai yang sama. PDI-P masih menjadi oposisi, bersama dengan Partai Gerindra yang dibentuk sebelum pemilu untuk menandingi SBY. Kabinet kedua SBY— “Kabinet Indonesia Bersatu Kedua” membuat koalisinya mewakili 342 kursi di DPR.[18] Strategi koalisi ini memungkinkan Presiden SBY mengukuhkan posisinya untuk masa jabatan kedua. Hal ini memperkuat tren partai-partai di Indonesia yang mengutamakan aliansi pragmatis untuk berbagi kekuasaan dan mempertahankan pemerintahan sambil terus melemahkan oposisi politik.

Setelah dua kali gagal menantang SBY pada pemilu berikutnya, Megawati mengalihkan fokusnya ke peran sebagai penentu kekuasaan (kingmaker) dengan mendukung kandidat populer dari partainya, Joko Widodo (yang lebih dikenal dengan nama Jokowi) pada Pemilu 2014. Jokowi mengalahkan Prabowo Subianto, menantu mantan presiden Soeharto, dari Partai Gerindra, untuk menjadi presiden.[19]

Setelah pemilu, Jokowi menghadapi tantangan dalam membentuk koalisi pemerintahan karena iklim parlemen yang terpecah-pecah. Namun, Jokowi dan PDI-P merayu berbagai partai menengah dan kecil, meninggalkan Partai Demokrat, Gerindra, dan Golkar, yang memperoleh sebagian besar kursi. Kemudian dengan menggunakan mekanisme perombakan kabinet, Jokowi dapat memasukkan Golkar dan mengeluarkan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tidak kooperatif. Pada akhir masa jabatan pertama Jokowi, “Kabinet Kerja” yang dipimpinnya mewakili 386 dari 560 kursi di DPR.[20] Sekali lagi, ini merupakan strategi untuk menjauhkan unsur-unsur oposisi dan pengaruh oposisi.

Pemilu Indonesia 2019 menghasilkan kelanjutan pemerintahan Presiden Jokowi. Pemilu kali ini ditandai dengan banyaknya partai yang ikut bertarung, dengan 16 partai yang berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan lebih dari 200 partai dalam pemilihan legislatif.[21]​ Setelah pemilu, sebuah jaringan koalisi yang kompleks muncul. “Kabinet Indonesia Maju” yang digagas oleh Jokowi melibatkan hampir semua partai besar untuk membentuk koalisi mayoritas dengan 525 dari 575 kursi DPR pada saat masa jabatannya yang kedua berakhir,[22] sekali lagi membuat jumlah oposisi menjadi kecil. Sebagai catatan, pada masa jabatannya yang kedua, Jokowi mampu mengkooptasi partai-partai oposisi seperti Gerindra yang dipimpin Prabowo—terlepas ia adalah lawan utama Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019—melalui janji pembagian kekuasaan politik.[23] Jokowi menunjuk Prabowo sebagai Menteri Pertahanan menyusul pembentukan tim pemerintahan kedua Jokowi.[24] Pada hari-hari terakhir masa pemerintahannya, Jokowi mengganti dua menteri yang ia anggap tidak loyal terhadapnya dan presiden-terpilih-Prabowo.[25]

Secara keseluruhan, dua periode Presiden Jokowi sebagai presiden ditandai dengan menurunnya suara oposisi dalam politik. Pendekatan kartelisasi untuk mengamankan dominasi di lembaga legislatif harus dibayar dengan melemahkan dan meminggirkan oposisi. Dengan mengutamakan kontrol legislatif untuk meloloskan undang-undang demi mengamankan pelaksanaan kebijakan sambil melemahkan kemampuan oposisi untuk bertindak sebagai penengah yang efektif, demokrasi multi-partai menjadi kehilangan esensinya.[26]

Official portrait of Prabowo Subianto Djojohadikusumo as a presidential candidate of the Republic of Indonesia in 2024. Wikipedia Commons

Pemilu 2024 dan Kepresidenan Prabowo

Setelah dua kali gagal, Prabowo berhasil menduduki kursi kepresidenan Indonesia pada Pemilu 2024, dengan meraih 58% suara, menggantikan Jokowi yang tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri lagi karena batas masa jabatan.

Pemilu 2024 adalah contoh saat seorang pesaing berubah menjadi pendukung. Setelah berhasil menempatkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, Jokowi memanfaatkan jabatannya untuk mendukung kampanye Prabowo, yang memainkan peran penting dalam kemenangannya.

Namun, kemenangan Prabowo dianggap sebagai sebuah penyimpangan dari aspirasi demokratis yang muncul setelah reformasi pasca-1998. Pemilu kali ini mencerminkan tren konsolidasi politik yang lebih luas, yang memungkinkan tokoh-tokoh yang kuat dapat membekap hasil pemilu lewat aliansi strategis. Pada Oktober 2024, Presiden Prabowo telah merayu semua partai politik yang terwakili di DPR, kecuali PDI-P yang dipimpin Megawati, Partai Nasional Demokrat (NasDem), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sehingga berhasil membentuk “Kabinet Merah Putih”.[27] Dengan demikian, Presiden Prabowo memiliki mayoritas 348 dari 580 kursi terpilih di DPR.[28] Meski demikian, Prabowo menawarkan PDI-P untuk bergabung dengan koalisi politiknya.[29] Meski menolak untuk bergabung, PDI-P setuju untuk mendukung mosi anggaran tahunan pemerintah yang akan datang.[30] Begitu juga, meski tidak bergabung, baik NasDem maupun PKS juga menyatakan “dukungan penuh” mereka bagi pemerintahan Prabowo.[31]

Hal ini secara efektif menjadikan Indonesia sebagai negara “demokrasi tanpa oposisi”.

Perkembangan ini menandakan kemerosotan mendalam terhadap pemerintahan yang demokratis. Jika tidak ada oposisi, pemerintahan Prabowo dapat menghasilkan masyarakat dengan pluralisme melemah, dan akuntabilitas akan menyusut, terutama jika oposisi secara efektif dikesampingkan dalam proses legislatif. Pergeseran yang sedang berlangsung ini menunjukkan bahwa persaingan politik di Indonesia kedepannya mungkin akan semakin dibatasi, lewat aliansi-aliansi strategis yang secara efektif mencegah munculnya penengah penyeimbang yang independen.

Indonesian parliament assembly building, akarta Indonesia. Photo: Hery Ry, Shutterstock

Simpulan

Di Indonesia, evolusi koalisi politik menjadi kartel telah melemahkan persaingan politik yang berarti, menciptakan keadaan sehingga oposisi melemah, dan bertransisi menjadi “demokrasi tanpa oposisi”.

Dalam demokrasi elektoral, pembentukan koalisi dan aliansi politik merupakan praktik umum yang memungkinkan partai-partai berbeda—yang biasanya disejajarkan oleh kesamaan ideologi tertentu—untuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama. Namun, sejak awal 2000-an, koalisi politik di Indonesia sering kali dibentuk antara partai-partai yang sebelumnya terlibat dalam persaingan ketat.

Aliansi-aliansi ini, yang dapat digambarkan sebagai kartel politik, berpusat pada pengaturan pembagian kekuasaan pasca-pemilu yang dirancang untuk membagi kekuasaan dan sumber daya negara di antara beragam partai yang saling berseberangan, dan seringkali tidak memiliki strategi politik yang kohesif atau selaras.[32] Sama halnya dengan kartel ekonomi, aliansi-aliansi politik itu berfungsi mengukuhkan kendali dan mengurangi persaingan.

Dalam iklim politik tanpa oposisi yang efektif, ada ancaman yang semakin meningkat bahwasanya undang-undang dan peraturan baru akan diberlakukan untuk melumpuhkan mereka yang ingin meminta pertanggungjawaban pemerintah secara publik. Para politisi, aktor masyarakat sipil dan jurnalis akan menghadapi risiko, dan ini menimbulkan kekhawatiran akan masa depan keterlibatan dan akuntabilitas demokratis di Indonesia.[33] Begitu pemerintahan Prabowo mengambil alih tampuk pemerintahan, potensi iklim politik yang lebih represif kian membayangi, mengusik prospek reformasi politik dan keterlibatan mendalam warga negara.

Oleh Kartini Sunityo, Asia Centre

Kepustakaan

[1] The Jakarta Post (2024) ‘BREAKING: KPU confirms Prabowo’s landslide win’, The Jakarta Post, melalui: https://www.thejakartapost.com/indonesia/2024/03/20/breaking-kpu-confirms-prabowos-landslide-win.html.

[2] Ibid.

[3] Burhanuddin Muhtadi (2022) ‘Indonesia’s Cabinet reshuffle: Rewarding loyalty and consolidating power’, Fulcrum, melalui: https://fulcrum.sg/indonesias-cabinet-reshuffle-rewarding-loyalty-and-consolidating-power.

[4] Thomas Pepinsky (2024) ‘Indonesia’s election reveals its democratic challenges’, Brookings Institute, melalui: https://www.brookings.edu/articles/indonesias-election-reveals-its-democratic-challenges.

[5] “Law of Republic of Indonesia No.2 of the Year 1999 Concerning Political Parties” (1999), in Collection of Electoral Laws, Jakarta, Indonesia: National Election Commission, 1–20, melalui: https://aceproject.org/ero-en/regions/asia/ID/Indonesia%20Electoral%20Law%201999.pdf.

[6] Taipei Times (1999) ‘Habibie’s speech doesn’t go over well with assembly’, Taipei Times, melalui: https://www.taipeitimes.com/News/front/archives/1999/10/16/0000006629; Geoff Spencer (1999) ‘Indonesia’s Habibie withdraws’, AP News via Way Back Machine, melalui: https://web.archive.org/web/20201129140803/https://apnews.com/article/219ba3630e874ce89b1f270942cd9f56

[7] National Democratic Institute (1999) ‘The 1999 Presidential Election and Post-election Developments in Indonesia: A Post-Election Assessment Report’, The Cater Center, melalui: https://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/election_reports/indonesia-mission-1999.pdf.

[8] Gus Dur adalah anggota penting dari gerakan Reformasi dan pendiri partai Islam moderat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

[9] Ari Welianto (2020) ‘Amandemen UUD 1945: Tujuan dan Perubahannya [Amendment to the 1945 Constitution: Aims and Changes]’, Kompas, melalui: https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/140000869/amandemen-uud-1945-tujuan-dan-perubahannya?page=all.

[10] Yuri Sato dkk. (eds.) (2000) ‘Appendix’, in Indonesia Entering a New Era, Spot Survey No. 17, Institute of Developing Economies, Japan External Trade Organisation, melalui: https://www.ide.go.jp/English/Publish/Reports/Spot/17.html; R. William Liddle (2001) ‘Indonesia in 2000: A Shaky Start for Democracy’, Asian Survey 41(1): 208 – 220, melalui: https://library.fes.de/libalt/journals/swetsfulltext/14218780.PDF;

[11] Kornelius Purba (2021) ‘Impeaching Gus Dur, a blind but visionary president’, The Jakarta Post, melalui: https://www.thejakartapost.com/academia/2021/07/29/impeaching-gus-dur-a-blind-but-visionary-president.html

[12] Irman G. Lanti (2002) ‘Indonesia: The Year of Continuing Turbulence’, Southeast Asian Affairs: 111–129, melalui: https://www.jstor.org/stable/27913204.

[13] Dan Slater (2018) ‘Party Cartelisation, Indonesian-style: Presidential Power-sharing and the Contingency of Democratic Opposition’, Journal of East Asian Studies 18(1): 23–46, melalui: doi:10.1017/jea.2017.26.

[14] Iswara N. Raditya (2020) ‘Amandemen UUD 1945 Tahun 2002: Sejarah Isi & Perubahan Keempat [Amendment to the 1945 Constitution of 2002: History & Fourth Amendment]’, Tirto.id, melalui: https://tirto.id/amandemen-uud-1945-tahun-2002-sejarah-isi-perubahan-keempat-ejLE.

[15] VOA News (2009) ‘Indonesia agrees to remove police, army parliamentary seats – 2002-08-14’, VOA News, melalui: https://www.voanews.com/a/a-13-a-2002-08-14-31-indonesia-67435947/384410.html.

[16] Alan Sipress (2004) ‘President head for defeat in Indonesia vote’, Washington Press, melalui: https://www.washingtonpost.com/archive/politics/2004/09/21/president-heads-for-defeat-in-indonesia-vote/0fff35f9-fbd0-4675-9b5a-0cbbf8d55eb9.

[17] Willy Wahyu Astuti (2024) ‘The President’s Prerogative Rights in Appointing Ministers in the Presidential Government System After the Amendment to the 1945 Constitution’, International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding 11(6): 129–140, melalui: https://ijmmu.com/index.php/ijmmu/article/view/5813.

[18] Andreas Ufen (2010) ‘The Legislative and Presidential Elections in Indonesia in 2009’, Electoral Studies 29(2): 281–285, melalui: https://doi.org/10.1016/j.electstud.2010.02.003; Willy Wahyu Astuti (2024) ‘The President’s Prerogative Rights in Appointing Ministers’.

[19] KPU (2014) ‘Hasil Penghitungan Perolehan Suara dari Setiap Provinsi dan Luar Negeri dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 diisi Berdasarkan Formulir Model DC PPWP dan Sertifikat Luar Neger [Vote Counting Results from each Province and Overseas in the 2014 Presidential and Vice Presidential Elections Filled in Based on the Model DC PPWP Forms and Overseas Certificates]’, KPU, melalui: https://www.kpu.go.id/koleksigambar/PPWP_-_Nasional_Rekapitulasi_2014_-_New_-_Final_2014_07_22.pdf.

[20] Sigit Joyowardono (2014) ‘Buku Data dan Infografik Pemilu Anggota DPR RI & DPD RI 2014 [Data Book and Infographics for the 2014 DPR RI & DPD RI Elections]’, Jakarta, Indonesia: KPU; McLarty Associates (2019) ‘McLarty Indonesia Update: Jokowi announces new Cabinet’, McLarty Associates, melalui: https://maglobal.com/jokowi-new-cabinet; Francis Chan (2018) ‘Indonesian president Jokowi reshuffles Cabinet, appoints Golkar sec-gen, former military chief’, The Straits Times, melalui: https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesian-president-jokowi-reshuffles-cabinet-appoints-golkar-sec-gen-and-former.

[21] Ben Bland (2019) ‘Politics in Indonesia: Resilient elections, defective democracy’, Lowy Institute, melalui: https://www.lowyinstitute.org/publications/politics-indonesia-resilient-elections-defective-democracy; Muhammad Bahrul Ulum (2020) ‘Indonesian Democracy and Political Parties After Twenty Years of Reformation: A Contextual Analysis’, Indonesia Law Review 10(1), melalui: DOI: 10.15742/ilrev.v10n1.577.

[22] James Massola (2019) ‘From enemies to allies in six short months: Jokowi to invite Prabowo into cabinet’, The Sydney Morning Herald, melalui: https://www.smh.com.au/world/asia/from-enemies-to-allies-in-six-short-months-jokowi-to-invite-prabowo-into-cabinet-20191022-p532vf.html; Metro TV (2024) ‘Membaca maksud Jokowi tarik Demokrat ke Kabinet’, Metro TV, melalui: https://www.metrotvnews.com/play/NgxCVrRG-membaca-maksud-jokowi-tarik-demokrat-ke-kabinet.

[23] Muhtadi (2022) ‘Indonesia’s Cabinet reshuffle’.

[24] Marchio Irfan Gorbiano (2019) ‘Jokowi officially asks Gerindra to join new Cabinet: Prabowo’, The Jakarta Post, melalui: https://www.thejakartapost.com/news/2019/10/21/gerindras-prabowo-ready-to-contribute-to-jokowis-cabinet.html; Aljazeera (2019) ‘Indonesia’s Widodo appoints archrival as defence minister’, Aljazeera, melalui: https://www.aljazeera.com/news/2019/10/23/indonesias-widodo-appoints-archrival-as-defence-minister.

[25] The Nation Thailand (2024) ‘President Jokowi removes PDI-P ministers in reshuffle two months before exit’, The Nation Thailand, melalui: https://www.nationthailand.com/news/asean/40040722.

[26] Bland (2019) ‘Politics in Indonesia’.

[27] Kennedy Muslim and Burhanuddin Muhtadi (2024) ‘President Prabowo’s politics of accommodation might mean a short honeymoon’, Fulcrum, melalui: https://fulcrum.sg/president-prabowos-politics-of-accommodation-might-mean-a-short-honeymoon.

[28] KPU (2024) ‘Decision of KPU No. 1043 of 2024’, KPU, melalui: https://jdih.kpu.go.id/data/data_kepkpu/2024kpt1043.pdf.

[29] Stanley Widianto (2024) ‘Prabowo gets support from PDI-P, but no coalition deal yet’, The Jakarta Post, melalui: https://www.thejakartapost.com/indonesia/2024/10/17/prabowo-gets-support-from-pdi-p-but-no-coalition-deal-yet.html.

[30] Yustinus Patris Paat (2024) ‘Don’t be so quick to judge: PDI-P on Prabowo’s giant cabinet’, JakartaGlobe.id, melalui: https://jakartaglobe.id/news/dont-be-so-quick-to-judge-pdip-on-prabowos-giant-cabinet.

[31] Wiji Nur Hayat (2024) ‘NasDem pilih tak masuk ke Kabinet Prabowo, ini alasan lengkapnya [NasDem chose not to enter Prabowo’s Cabinet, this is the complete reason]’, CNBC Indonesia, melalui: https://www.cnbcindonesia.com/news/20241014141220-4-579419/nasdem-pilih-tak-masuk-ke-kabinet-prabowo-ini-alasan-lengkapnya; PKS (2024) ‘PKS sampaikan dukungan penuh kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto [PKS conveys its full support to President-elect Prabowo Subianto]’, PKS, melalui: https://pks.id/content/pks-sampaikan-dukungan-penuh-kepada-presiden-terpilih-prabowo-subianto.

[32] Lestari (2016) ‘Cartel Party’.

[33] Aljazeera (2024) ‘Protests across Indonesia as parliament delays change to election law’, Aljazeera, melalui: https://www.aljazeera.com/gallery/2024/8/22/protests-across-indonesia-as-parliament-delays-change-to-election-law.