Setelah Reformasi 1998, seperti dilaporkan oleh banyak pengamat internasional, dunia cenderung percaya bahwa Indonesia telah lahir kembali menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Penyematan istilah yang tidak tepat ini telah menghapus tuduhan serius akan pelanggaran hak asasi manusia di dalam negeri. Pada bulan November 2001, seorang pemimpin dari Papua, Theys Hiyo Elluay, diculik setelah menghadiri acara makan malam dengan komandan pasukan khusus tentara Indonesia di Jayapura. Beberapa hari kemudian, tubuhnya ditemukan di daerah sekitar Jayapura. Tim investigasi, yang dibentuk oleh Megawati Soekarnoputri, menemukan bukti-bukti bahwa tentara Kopassus yang berbasis di Jayapura bertanggung jawab dan empat tentara dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman tiga setengah tahun penjara. Sementara sopir Eluay, Aristoteles Masoka, tetap dalam kondisi menghilang, Komandan Hartomo baru-baru ini dinaikkan pangkatnya ke Badan Intelijen Strategis (BAIS) militer. 1
Pada bulan Juni 2012, seorang penggiat muda dari Papua, Musa Mako Tabuni, ditembak oleh sekelompok orang yang berpakaian polisi biasa Jayapura di sekitar kota. Dia masih hidup saat dibawa ke rumah sakit polisi Jayapura tetapi beberapa saksi menegaskan bahwa dia dibiarkan tanpa pengawasan sampai kemudian meninggal karena polisi mencegah para dokter untuk memberinya perawatan medis yang layak (International Crisis Group 2010: 7; Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM 2012). Tak satu pun dari para polisi itu, bagaimanapun juga, bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Polisi percaya bahwa Tabuni bertanggung jawab atas peristiwa penembakan di Jayapura yang juga melukai seorang turis Jerman.
Tidak lama setelah itu, pada malam kunjungan Susilo Bambang Yudhoyono ke Papua pada tahun 2014, tubuh Martinus Yohame, seorang pemimpin muda Papua dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB), ditemukan mengambang di lepas pantai di kota Sorong. Tubuhnya diikat pada tangan dan kakinya di dalam kantong beras plastik dan ditenggelamkan dengan batu-batu yang berat. Beberapa hari sebelumnya, dia mengadakan konferensi pers yang menyatakan penolakannya atas kunjungan itu. KNPB percaya bahwa petugas keamanan negara Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Sebagai akibatnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuntut agar polisi harus melakukan penyelidikan. Penyelidikan, bagaimanapun juga, berlalu begitu saja ketika keluarga korban menolak autopsi 2 sehingga Komnas HAM tidak dapat mengumpulkan bukti.
Kita harus memperhatikan bahwa kasus-kasus ini tidak terjadi selama rezim otoriter Suharto (1967-1998) tetapi di bawah rezim demokratis Indonesia. Pembunuhan-pembunuhan tersebut menunjukkan cara bagaimana aparat negara Indonesia mengendalikan kehidupan dan kematian warga negaranya yang dianggap sebagai ancaman kedaulatan negara. Para korban tersebut mungkin telah dinamai sebagai musuh negara Indonesia sehingga mereka disingkirkan dengan cara yang kejam. Eluay, Tabuni dan Yohame berbagi semangat yang sama: sebuah semangat untuk keadilan dan kebebasan. Alih-alih demokrasi yang percaya pada aturan hukum, mereka menentang apa yang Achille Mbembe (2003) sebut sebagai ‘necropolitics.’ Artinya, politik yang membenarkan cara-cara yang negara gunakan dalam memikul, mengendalikan, dan menggunakan hak berdaulat atas kematian dan kehidupan warganya.
Meskipun terdapat sejarah panjang akan pembunuhan politik dalam penulisan sejarah Indonesia, seperti pembantaian/pembunuhan massal pada tahun 1965 (Cribb 2001; Gerlach 2010; Roosa 2006), namun dalam tulisan ini saya hanya akan memusatkan perhatian pada pembunuhan beberapa pemimpin KNPB. Pemilihan ini tidak bermaksud mengabaikan 40 pemimpin KNPB lainnya yang telah dibunuh oleh pihak berwenang pemerintah Indonesia dalam delapan tahun terakhir. 3 Sebaliknya, saya akan menggambarkan beberapa tindakan sasaran pembunuhan oleh keamanan negara Indonesia terhadap beberapa pemimpin muda Papua untuk memahami pertanyaan yang diajukan oleh pemuda Papua: “Mengapa Indonesia bunuh kami terus?”
Apa Komite Nasional Papua Barat itu?
Didirikan pada tanggal 19 Desember 2008 di Sentani, Jayapura, oleh berbagai organisasi dan para penggiat dari Papua, 4 KNPB telah berkembang dengan cepat sebagai organisasi pemuda Papua yang berkampanye secara terbuka untuk penentuan pendapat rakyat Papua, karena mereka percaya bahwa penentuan pendapat rakyat yang pertama atau yang disebut ‘the Act of Free Choice’ (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969 untuk orang Papua adalah cacat. Dalam pandangan mereka, yang secara bebas dipertegas oleh sejarawan (lihat Drooglever 2009; Saltford 2003), Act of Free Choice membuka jalan bagi negara Indonesia untuk mengambil-alih dan menindas orang Papua. Mempertimbangkan sudut pandang ini, KNPB tetap tidak begitu yakin bahwa gagasan musyawarah dengan Jakarta yang didukung oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Damai Papua sejak 2009 akan menjadi media yang efektif untuk mengatasi keadilan bersejarah. Pada tahap tertentu, KNPB mencoba untuk menyela perundingan masyarakat yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua. 5
Dalam awal aksi unjuk rasa KNPB pada tahun 2012, beberapa wartawan lokal, termasuk wartawan Papua yang terkemuka, mengalami ancaman dari KNPB. 6 Koordinator dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua menyatakan kekecewaannya dengan peristiwa tersebut.
Dengan latar belakang ini, tidak mengherankan bahwa banyak orang, termasuk para pihak berwenang negara dan pengamat internasional, seperti International Crisis Group (Kelompok Krisis Internasional), menggambarkan kelompok ini sebagai ‘militan’ (2010: 1). Selanjutnya, wadah pemikir yang berbasis di Brussels ini menyatakan bahwa “kelompok ini mungkin bertanggung jawab atas beberapa peristiwa di dan sekitar ibu kota Provinsi Jayapura dan beberapa kekerasan di sekitar Pemilu 2009” (2010: 1), tetapi laporan tidak menunjukkan kepada kita bukti-bukti yang mendukung pernyataan berani ini. Dalam tanggapan saya terhadap laporan ICG, saya menjelaskan bahwa gambaran tersebut menyesatkan dan tidak memadai (Hernawan 2010). “Mereka tidak pernah menemui kami,” pengakuan Ketua Umum KNPB. 7
Selama pemilu nasional Indonesia tahun 2014, kelompok ini mengadakan unjuk rasa masyarakat umum di kota-kota besar di Papua dan menyerukan untuk menolak pemilu. 8 Meskipun seruan tersebut tidak begitu efektif karena kebanyakan orang Papua tidak pergi ke kotak suara dan memilih Joko Widodo untuk presiden Indonesia, seruan tersebut menentang landasan demokrasi Indonesia, yaitu pemilihan umum. Hal ini juga menggambarkan cara KNPB menolak untuk ikut serta dalam sistem politik Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, KNPB telah berubah. KNPB tidak lagi menampilkan diri sebagai kelompok para pemuda Papua yang ribut di jalan, tetapi telah menjadi salah satu pendiri dari organisasi politik Papua yang paling penting saat ini: Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua, ULMWP) di bawah Deklarasi Saralana 9 pada tanggal 6 Desember 2014 (Hernawan 2016). Organisasi ini memperoleh status pengamat di Perkumpulan Negara Melanesia (Melanesian Spearhead Group), sebuah badan sub-diplomatik di wilayah kepulauan Pasifik Selatan, selama konferensi tingkat tinggi 2015 di Honiara, Kepulauan Solomon (Hernawan 2015).
Mengapa Indonesia bunuh kami?
Meskipun KNPB bukan merupakan kelompok bersenjata dan menggunakan cara-cara kekerasan, reaksi negara terlalu berlebihan. Mengingat latar belakang yang disebut di atas, kita seharusnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah para pemimpin ini pantas menerima kematian yang kejam seperti itu? Atau apakah hukum telah ditangguhkan ketika berhadapan dengan kasus orang-orang yang dianggap sebagai musuh negara?
Pembunuhan Mako Tabuni berbeda dari pembunuhan Martinus Yohame, kepala KNPB cabang Sorong. Tabuni ditembak di depan umum sedangkan Yohame dibunuh dengan diam-diam. Mayatnya ditemukan mengambang dalam karung di laut. Sementara pendahulunya dibunuh di depan umum oleh polisi Indonesia, pelaku pembunuhan yang terakhir masih belum diketahui. Sementara pembunuhan Tabuni menunjukkan sandiwara kekejaman negara, tubuh Yohame disembunyikan sampai tidak ditemukan.
Dalam kedua kasus tersebut, kami melihat bahwa hukum tidak berfungsi. Hukum menjadi tidak berdaya ketika menembus ke dalam kekuatan necropolitics (politik kedaulatan atas hidup dan mati) yang menyebarkan kematian. Jika kita menyejajarkan kasus Tabuni dan Yohame dengan kasus Munir dan Eluay, kita akan menemukan kesamaan. Tubuh mereka yang sudah rusak dibuat sebagai media untuk mengirimkan pesan dari penguasa kepada khalayak yang lebih luas. Oleh karena itu, pembunuhan bukanlah tujuan akhirnya. Sebaliknya, hal tersebut direncanakan dengan hati-hati untuk menanamkan pesan teror di kalangan masyarakat yang dituju: orang-orang Papua.
Menariknya, berbeda dengan ramalan Mbembe, KNPB dan masyarakat Papua tidak menyerah kepada kekuatan yang menguasai negara Indonesia. Sebaliknya, mereka mengembalikan tubuh-tubuh yang hancur menjadi medium/sarana untuk mengirimkan pesan perlawanan yang dirumuskan dalam peringatan KNPB untuk Yohame:
“Hay kolonial Indonesia,
Tubuh saya boleh kau matikan
Tetapi jiwa dan semangat saya akan tetap abadi
Dalam sejarah perjuangan bangsa Papua sepanjang masa.” 10
Budi Hernawan
(Dosen di Paramadina Pasca Sarjana Program Diplomasi; Peneliti di Pusat Abdurrahman Wahid untuk Dialog Lintas Agama dan Perdamaian, Universitas Indonesia)
REFERENSI
Cribb, R. 2001, ‘Genocide in Indonesia, 1965–1966’, Journal of Genocide Research, vol. 3, no. 2, pp. 219-39.
Drooglever, P. 2009, An Act of Free Choice, Decolonization and the Right to Self-Determination in West Papua, One Word, Oxford.
Gerlach, C. 2010, Extreme Violent Societies: Mass Violence in the Twentieth-Century World, Cambridge University Press, Cambridge.
Hernawan, B. 2010, ‘Portraying a Threat to a Reluctant Government’, Australia Policy Online, <http://www.apo.org.au/commentary/portraying-threat-reluctant-government>.
—— 2015, ‘Contesting Melanesia: The summit and dialogue’, The Jakarta Post, <http://www.thejakartapost.com/news/2015/07/08/contesting-melanesia-the-summit-and-dialogue.html>.
—— 2016, ‘ULMWP and the insurgent Papua’, Live Encounter, 1 November 2016.
International Crisis Group 2010, Radicalisation and Dialogue in Papua, International Crisis Group, Brussels.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM 2012, Laporan Investigasi: Pembunuhan Kilat Musa Mako Tabuni Tanggal 14 Juni 2012 di Waena, Jayapura, Papua, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM, Jayapura.
Mbembe, A. 2003, ‘Necropolitics’, Public Culture, vol. 15, no. 1, pp. 11-40.
Roosa, J. 2006, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia, The University of Wisconsin Press, Wisconsin.
Saltford, J. 2003, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969, The Anatomy of Betrayal, First edn, RoutledgeCurzon, London & New York.
Notes:
- http://www.thejakartapost.com/news/2016/09/24/activists-question-hartomo-s-promotion.html (diakses pada 13 Desember 2016). ↩
- http://www.cenderawasihpos.com/index.php?mib=berita.detail&id=7181 (diakses pada 13 Desember 2016). ↩
- Wawancara dengan ketua umum KNPB di Jakarta pada 13 Desember 2016. ↩
- Lihat “KNPB Dari Mana Sedang ke Mana” di KNPB News, Vol. 3. (II), Edisi Juni-Agustus 2016, hal. 34. ↩
- Wawancara dengan seorang analis dari Papua di Jayapura pada tanggal 3 Januari 2012. ↩
- http://sp.beritasatu.com/home/jurnalis-papua-kecewa-dengan-intimidasi-knpb/18380 (diakses pada tanggal 13 Desember 2016). ↩
- Wawancara dengan Ketua Umum KNPB di Jakarta pada tanggal 13 Desember 2016. ↩
- http://tabloidjubi.com/16/2014/03/21/knpb-serukan-boikot-pemilu-2014/ (diakses pada tanggal 13 Desember 2016) ↩
- lihat https://www.ulmwp.org/wp-content/uploads/2014/08/Saralana-Declaration_with-Witnesses.pdf (diakses pada 13 Desember 2016) ↩
- [1] http://suarakolaitaga.blogspot.co.id/2014/08/ketua-knpb-sorong-martinus-yohame-di.html (diakses pada 13 Desember 2016). ↩