Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Geografi Keamanan: Jalan Paksaan, Keunggulan Utama Negara dan Kerja Pengelolaan Populasi di Laos Kontemporer

KRSEA-Dwyer-Laos-lands

Pada awal 1988, Dewan Kementerian Laos menerbitkan instruksi kepada kementerian negara, organisasi massa, provinsi dan kota. Instruksi tersebut berjudul “meningkatkan kerja pengelolaan populasi”, instruksi ini mengartikulasikan suatu visi pedesaan Laos yang menekankan hubungan erat antara pembangunan ekonomi dan keamanan nasional. Kerja pengelolaan populasi, jelasnya, mensyaratkan “pemahaman statistik populasi, pencatatan statistik kelahiran dan kematian, penerbitan kartu identitas, pengaturan relokasi populasi, pengaturan pola domisili, dan upaya menemukan serta menciptakan pekerjaan baru demi penghasilan bagi warga negara multietnis yang tidak memiliki lahan.” Dan “prinsip fundamental”-nya, tercatat dalam instruksi, adalah “untuk memungkinkan warga negara multi-etnis Laos untuk menikmati hak-hak yang sama dan setara dalam segala aspek kehidupan dan untuk lebih meningkatkan hak mereka atas penguasaan kolektif dan rasa kreativitas dalam memenuhi dua tugas strategis mereka: membela negara dan membangun sosialisme”. 1

Dalam kelas kuliahnya tentang seni pemerintahan modern, deskripsi Foucault menampilkan kemiripan keluarga dengan setidaknya beberapa teknik pengelolaan populasi yang tercantum di atas, serta logika aturan mereka yang lebih besar. Keduanya berusaha untuk mengetahui populasi melalui statistik demografi, geografi, dan mata pencaharian yang akan diterjemahkan ke dalam kapasitas administratif dan pemerintahan melalui langkah-langkah politik-ekonomi. Dan bagi keduanya, “populasi” merujuk tidak semata-mata pada sekelompok orang, tetapi pada kolektif yang akan bertindak sesuai dengan kebutuhan kolektif lebih besar—orang-orang yang dalam perkataan Jeremy Bentham, “melakukan apa yang seharusnya.” 2 Penduduk, Foucault berpendapat, paling baik dipahami sebagai lawan dari massa yang sukar diatur—“masyarakat berserak”—yang menuntut agar hak dan kepentingan mereka dipenuhi bahkan jika hal itu terbukti tidak nyaman secara sosial, menolak menjadi anggota populasi, dan, dengan melakukan itu, “(telah) mengacaukan sistem” secara keseluruhan. Keanggotaan dalam populasi memungkinkan tingkatan kepentingan pribadi, tetapi dengan batas-batas yang keras: keanggotaan ini juga membutuhkan pengorbanan demi keuntungan nasional. 3

Dua dasawarsa kemudian, perintah Dewan tentang kerja pengelolaan populasi ini tampaknya berlaku anakronik daripada yang barangkali tampak dapat dilaksanakan pada pandangan pertama. Akhir 1980-an adalah periode transformatif dalam sejarah Republik Demokratik Rakyat Laos, yang mendudukkan, di satu sisi, negara pada puncak periode pasca-Perang Dingin yang akan mengantarkan perubahan besar ekonomi negara di bawah judul liberalisasi dan investasi asing (yang dikenal sebagai Mekanisme Ekonomi Baru), dan di sisi lain, dasawarsa pasca-perang yang telah bertahan jauh melampaui akhir Perang Indochina Kedua. Pada akhir 1988, ketika perdana menteri Thailand menyerukan kerja sama di seluruh wilayah dalam “mengubah medan perang menjadi pasar”, 4 para pemimpin partai Laos menggandakan kebutuhan akan “peningkatan kewaspadaan … di medan perang yang baru dengan tanpa suara tembakan,” yang mengingatkan para kader mereka akan “(upaya-upaya) musuh (dulu dan sekarang) yang menyebabkan mereka saling curiga, berlakunya antagonisme, dan ketidakpercayaan antara eselon yang lebih rendah dengan yang lebih tinggi, memicu konflik internal hingga kerusuhan dan pemberontakan seperti yang terjadi di negara lain.” 5 Instruksi mengenai kerja pengelolaan populasi, yang dikeluarkan beberapa bulan sebelumnya, telah secara jelas diterangkan dalam permohonan intervensi asing yang tertutup. Kerja pengelolaan populasi, menurutnya, adalah “tugas sangat besar dan mencakup segalanya” yang membutuhkan “sikap yang tepat; rasa tanggung jawab tinggi; kemampuan memadai dalam melaksanakan pekerjaan politik, sosial, ekonomi, pertahanan nasional, dan keamanan publik; menghormati hak-hak demokratis masyarakat; dan memiliki metode yang terampil, subtil, dan penuh kehati-hatian demi menghindari penipuan oleh pihak lawan.”

Sementara pembicaraan tentang keamanan semacam ini agaknya terdengar usang, logika utamanya tetap relevan. Dalam esai ini, saya mengajukan dua jalan yang digunakan pada periode awal negara dalam berteori tentang persoalan pembangunan dan pertahanan dalam menyampaikan upaya kita untuk secara kritis menganalisis tata kelola lahan dan sumber daya di Laos kontemporer. Keduanya melibatkan pengambilan wacana keamanan secara serius sembari juga menjaga jarak kritis dari upaya ini untuk membelokkan (eksternal) dan mencegah (internal) kritik dan dengan jelas menjaga dari jangkauan perihal masa-masa buruk intervensionisme asing. Pertama, saya pikir kita perlu membaca kerja pengelolaan populasi kontemporer di dataran tinggi Laos sebagai bentuk dari apa yang disebut Aihwa Ong sebagai kedaulatan bertingkat: kerja politik yang dilakukan oleh negara-negara yang kurang kuat untuk menyesuaikan wilayah dan populasi mereka dengan kendala dan peluang dari ekonomi global. 6 Dalam kasus Laos, paksaan dimaksudkan sebagai pengganti sementara untuk peraturan tarik mundur, suatu cara untuk mengelola ketegangan antara masyarakat pedesaan dan berbagai aktor yang berupaya mendaftarkan mereka dan tanah mereka ke dalam skema pembangunan dan konservasi. Dan kedua, saya hendak mengajukan bahwa walau tentu ada kritik moral yang muncul dari taktik pemaksaan-sebagai-kedaulatan ini, terdapat pula determinasi berlebih (over determination) historis yang mengharuskan kita untuk melihat melampaui negara Laos untuk memasukkan aktor-aktor publik asing, baik pemerintah dan aktor multilateral, yang keputusannya sangat mempengaruhi ruang Laos untuk bermanuver dalam ekonomi global saat ini. Sementara saya percaya bahwa analisis ini memiliki relevansi dengan masalah pengelolaan lahan dan hutan di berbagai sektor, untuk tujuan singkatnya, saya membatasi diskusi di sini hanya untuk satu kasus.

Mengelola Penutupan Lahan dan Ketidakmampuan Politik di Laos Bagian Barat Laut

 

Kekerasan perang dan kontrol terhadap upaya-upaya pemaksaan hari-hari ini menjadi penentu dalam organisasi masyarakat pascakolonial. Ketika hal itu terjadi, perang memprovokasi penataan kembali cara-cara wilayah dan orang-orang dikelola, (dan) pada kenyataannya (dapat) melumpuhkan seluruh bagian populasi secara politis.

Achille Mbembe, On the Postcolony 7

Pada akhir 2000-an, Laos muncul dengan cepat di garis depan ledakan transaksi lahan transnasional yang, dalam kilas balik, telah secara luas disebut sebagai demam lahan global. 8 Seperti yang ditunjukkan berbagai telaah literatur dan produk jurnalistik dari Asia Tenggara, terlepas dari lonjakan perhatian dunia yang terjadi pada akhir 2008 dan 2009, berbagai jenis penutupan agribisnis transnasional telah berlangsung sepanjang tahun 2000-an, yang merupakan kombinasi dari kredit murah, permintaan spekulatif, dan permintaan investasi yang agresif dari negara-negara luar terhadap negara-negara berkembang yang dengan frustrasi semakin besar dipenuhi oleh negara-negara “kaya lahan” ini lewat bantuan pembangunan Barat. 9 Investasi Tiongkok di perkebunan karet baru di Laos bagian barat laut cocok dengan ceruk ini; sementara sebagian besar bersifat pribadi, pelaku investasi ini melakukan perjalanan di bawah panji kerja sama pembangunan bilateral, dan didorong oleh kebijakan pemerintah Tiongkok yang diarahkan pada pemberian insentif investasi keluar, termasuk subsidi yang besar untuk agribisnis yang dapat dibingkai dalam retorika penggantian opium dengan tanaman komersial seperti karet. 10

Pada skala “meso”, investasi perkebunan karet baru mengikuti pertumbuhan keterjangkauan dan keterhubungan antara Yunnan selatan dan Laos bagian barat laut. Perusahaan-perusahaan Tiongkok beberapa kali berhasil di wilayah perbatasan Kabupaten Sing dan ibukota Provinsi Luang Namtha, tetapi karena banyak petani di daerah ini telah memiliki ikatan dengan Tiongkok, 11 sebagian besar akses mereka yang baru ditemukan ke lahan—serta ke penduduk desa-desa Laos, baik dalam bentuk kontrak petani atau pekerja—datang ke pedalaman yang dibuka di sekitar “Koridor Ekonomi Utara”, suatu ekspansi jalan yang menghubungkan Thailand utara ke Yunnan melalui provinsi Luang Namtha bagian barat dan Bokeo yang dibangun antara 2003 dan 2007. Meski sejalandengan berbagai target daerah dan nasional untuk menghubungkan negara-negara “Subwilayah Mekong Besar (Greater Mekong Subregion)” dan membentuk zona ekonomi baru seperti “Segi Empat Emas (Golden Quadrangle)” di Yunnan bagian selatan, Laos bagian utara, Thailand bagian utara, dan negara bagian timur Shan di Myanmar, ledakan investasi juga meningkatkan ketegangan antara pejabat Laos yang lebih menyukai investasi dalam bentuk pertanian kontrak dan perusahaan-perusahaan Tiongkok yang menghendaki lebih banyak kendali langsung atas perkebunan-perkebunan baru. 12 Pertanyaan semacam ini tentang berbagai model bisnis pertanian berbasis kontrak versus konsesi, pada kenyataannya, menghambat kerja sama usaha karet Sino-Laos sepanjang awal tahun 2000-an.

“Solusi” berterima untuk kebuntuan itu datang dalam bentuk kompromi yang, agar dapat bekerja, bergantung pada otoritas lokal yang mencakup sejumlah besar tanah perusahaan-perusahaan karet Tiongkok yang juga mempertahankan citra pertanian kontrak sebagai mode standar kerja sama bilateral perusahaan berbasis karet. Di sini geografi skala mikro mengambil alih. Dengan teknik yang menyuarakan deskripsi di atas tentang “kerja pengelolaan populasi”, pemerintah kabupaten menandai lahan yang tersedia di persimpangan antara petani yang memiliki properti dan yang tak memiliki properti. Karet, sementara sering diwaanakan oleh pemerintah Laos sebagai pengganti logis untuk opium karena kedua jenis produksi ini melibatkan keterampilan penyadapan getah, menetapkan batas lebih tinggi bagi petani miskin karena dalam hal ini komoditas ini lebih tahan lama dan, di wilayah ini, kerap membutuhkan hampir satu dasawarsa antara masa tanam dan masa panen pertama. Dengan demikian, hal ini menarik para petani dari kelompok yang lebih berjiwa wirausaha: mereka yang dapat menyisihkan sedikit modal dan tenaga, yang mampu menanggung masa tunggu antara masa tanam dan masa penyadapan, dan yang mampu mengatasi naik turunnya harga karet global. Tanah-tanah di pedesaan yang lebih miskin dengan demikian terbukti menarik bagi skema perkebunan alternatif berjenis konsesi, di mana lahan masih secara teknis milik desa, tetapi dialokasikan ke perusahaan-perusahaan Tiongkok dengan tujuan mengembangkan perkebunan milik perusahaan dan menggunakan tenaga kerja lokal Laos (Gbr. 1).

Gbr 1. Perkebunan karet Tiongkok di lahan desa, Kabupaten Vieng Phou Kha (foto oleh penulis, 2018)

Di Kabupaten Vieng Phou Ka, tempat saya bekerja, skema ini juga mengandalkan berbagai jenis ketidakmampuan politik yang dijelaskan oleh Achille Mbembe dalam kutipan epigraf di atas. Penduduk tidak hanya miskin, tetapi juga telah direlokasikan dari daerah-daerah yang secara historis berkaitan dengan gerakan pemberontakan antipemerintah sepanjang dasawarsa 1960-an, ’70-an, ’80-an, dan bahkan ’90-an—daerah di tepi barat kabupaten di wilayah pangkalan rahasia Amerika Serikat yang didirikan pada 1962. Setelah relokasi mereka, gugus desa yang dihasilkan telah menjadi sasaran berulang berbagai skema pembangunan, termasuk proyek bantuan resmi dan negosiasi penjualan tanah secara informal kepada para elite daerah. Bupati setempat, pada dasarnya, dikatakan telah berusaha mencegah erosi yang kini berlangsung dari lahan desa dengan mengarahkan perusahaan Tiongkok yang telah diperintahkan oleh pemerintah provinsi ke kabupaten yang disasar pada beberapa desa demi pengembangan lahan perkebunannya sendiri. Proyek ini adalah putaran terakhir dari “kerja sama” pembangunan yang tidak lain adalah, dan yang lebih baik dipahami sebagai, pemaksaan sepihak atas segmen populasi yang pada dasarnya diperlakukan sebagai bangsal negara. Hasil utama dari proses ini adalah pengadaan lahan di daerah pedalaman baru yang dapat diakses di Koridor Ekonomi Utara. 13

Kesimpulan

Kendati memungkinkan tersedianya lahan, dimensi penciptaan mata pencaharian dalam skema pengelolaan tertutup ini sebagian besar gagal. Dimensi ini kini lebih merupakan pengecualian alih-alih aturan bagi penduduk desa dengan pengelolaan tertutup untuk bekerja dengan perusahaan, yang ditempatkan berdekatan dengan ladang musiman mereka (lihat Gambar 1, latar belakang). Bagaimanapun, yang jelas adalah bahwa keadaan ini bukan bagian kecil produk dari proses politik dan ekonomi yang lebih luas yang menempatkan Laos dalam lingkaran investasi, kerja sama perdagangan, dan pembangunan transnasional yang membuat pendekatan dengan paksaan terhadap penggunaan lahan lokal tampak, bila bukan menjadikannya sangat efisien, setidaknya sebagai suatu mekanisme dalam batas-batas kemungkinan tertentu. Pemaksaan yang mendasari konsep kedaulatan tentang praktik kekuasaan (graduated sovereignty) baik dalam mode teritorial maupun mode yang dihadapi populasi. Lantaran aspirasi Laos untuk bergabung dengan komunitas global negara-negara penghasil karet telah menjadikan banyak tantangan sebagai peluang, agaknya pemaksaan, alih-alih sebatas lahan yang tersedia, telah dilihat oleh para pembuat keputusan sebagai keunggulan utama negara yang dapat dipertanggungjawabkan. Kita masih harus melihat bagaimana hal ini akhirnya dimainkan.

Michael Dwyer
Michael Dwyer is Instructor, Department of Geography, at the University of Colorado, Boulder

Bibliografi

Alton, C., Blum, D., & Sannanikone, S. (2005). Para rubber in northern Laos: The case of Luangnamtha. Vientiane: German Technical Cooperation (GTZ).
Baird, I. G. (2014). The Global Land Grab Meta-Narrative, Asian Money Laundering and Elite Capture: Reconsidering the Cambodian Context. Geopolitics, 19(2), 431–453.
Borras, S. M., Franco, J. C., Gomez, S., Kay, C., & Spoor, M. (2012). Land grabbing in Latin America and the Caribbean. Journal of Peasant Studies, 39(3–4), 845–872.
Diana, A. (2009). Roses and Rifles: Experiments of governing on the China-Laos frontier. The Australian National University.
Dwyer, M. B. (2013). Building the Politics Machine: Tools for “Resolving” the Global Land Grab. Development and Change, 44(2), 309–333.
Dwyer, M. B. (2014). Micro-Geopolitics: Capitalising Security in Laos’s Golden Quadrangle. Geopolitics, 19(2), 377–405.
Dwyer, M., & Vongvisouk, T. (2017). The long land grab: market-assisted enclosure on the China-Lao rubber frontier. Territory, Politics, Governance, 0(0), 1–19.
Foucault, M. (2009). Security, Territory, and Population. lectures at the Collège de France, 1977-1978. Picador USA.
Hirsch, P. (2001). Globalisation, regionalization and local voices: The Asian Development Bank and re-scaled politics of environment in the Mekong Region. Singapore Journal of Tropical Geography 22: 237-251.
Innes-Brown, M., & Valencia, M. J. (1993). Thailand’s resource diplomacy in Indochina and Myanmar. Contemporary Southeast Asia, 14, 332–351.
Kenney-Lazar, M. (2012). Plantation rubber, land grabbing and social-property transformation in southern Laos. The Journal of Peasant Studies, 39(3–4), 1017–1037.
Kramer, Tom, & Woods, Kevin. (2012). Financing Dispossession – China’s Opium Substitution Programme in Northern Burma (Drugs & Democracy Program). Amsterdam: Transnational Institute.
Li, T. M. (2011). Centering labor in the land grab debate. The Journal of Peasant Studies, 38(2), 281–298.
Lu, J. N. (2017). Tapping into rubber: China’s opium replacement program and rubber production in Laos. The Journal of Peasant Studies, 0(0), 1–22.
Mbembe, A. (2001). On the postcolony. Berkeley: University of California Press.
McCartan, B. (2007). China rubber demand stretches Laos. Asia Times Online. 19 December.
Ong, A. (2000). Graduated Sovereignty in South-East Asia. Theory, Culture & Society, 17(4), 55–75.
Scott, D. (1995). Colonial Governmentality. Social Text, (43), 191–220.
Shi, W. (2008). Rubber boom in Luang Namtha: A transnational perspective. Vientiane: German Technical Cooperation (GTZ).
Sturgeon, J. C., Menzies, N. K., Fujita Lagerqvist, Y., Thomas, D., Ekasingh, B., Lebel, L., … Thongmanivong, S. (2013). Enclosing Ethnic Minorities and Forests in the Golden Economic Quadrangle. Development and Change, 44(1), 53–79.
Symon, A. (2007). Regional race for Laos’s riches. Asia Times Online. 30 August.
White, B., Jr., S. M. B., Hall, R., Scoones, I., & Wolford, W. (2012). The new enclosures: critical perspectives on corporate land deals. The Journal of Peasant Studies, 39(3–4), 619–647.
Wolford, W., Borras, S. M., Hall, R., Scoones, I., & White, B. (2013). Governing Global Land Deals: The Role of the State in the Rush for Land. Development and Change, 44(2), 189–210.

Notes:

  1. “Instruction on stepping up population management work, issued by the Lao PDR’s Council of Ministers and signed by Nouhak Phoumsavan, vice chairman of the council,” 1 Feb. 1988; diterjemahkan oleh the United States’ Foreign Broadcast Information Service (FBIS). Texas Tech University Vietnam Center and Archives, Vietnam Veterans Association Project – Laos; box 30, folder 4; terakhir diakses pada 11 Mar. 2009.
  2. Foucault, M. (2009). Security, Territory, and Population. lectures at the Collège de France, 1977-1978. Picador USA; Bentham (“do as they ought”), quoted pp. 202-203 in Scott, D. (1995). Colonial Governmentality. Social Text, (43), 191–220.
  3. Foucault (op. cit.), pp. 43-44.
  4. nnes-Brown, M., & Valencia, M. J. (1993). Thailand’s resource diplomacy in Indochina and Myanmar. Contemporary Southeast Asia14, 332–351; Hirsch, P. (2001). Globalisation, regionalization and local voices: The Asian Development Bank and re-scaled politics of environment in the Mekong Region. Singapore Journal of Tropical Geography 22: 237-251.
  5. Lao radio, 7 Sept. 1988, “Heighten vigilance against enemies’ new schemes”; translation by FBIS. Texas Tech University Vietnam Center and Archives, Vietnam Veterans Association Project – Laos; box 30, folder 4; accessed 11 Mar. 2009.
  6. Ong, A. (2000). Graduated Sovereignty in South-East Asia. Theory, Culture & Society17(4), 55–75.
  7. Mbembe, A. (2001). On the postcolony. Berkeley: University of California Press, p. 88
  8. Lihat, di antaranya, Borras, S. M., Franco, J. C., Gomez, S., Kay, C., & Spoor, M. (2012). Land grabbing in Latin America and the Caribbean. Journal of Peasant Studies39(3–4), 845–872; Li, T. M. (2011). Centering labor in the land grab debate. The Journal of Peasant Studies38(2), 281–298; White, B., Jr., S. M. B., Hall, R., Scoones, I., & Wolford, W. (2012). The new enclosures: critical perspectives on corporate land deals. The Journal of Peasant Studies39(3–4), 619–647; and Wolford, W., Borras, S. M., Hall, R., Scoones, I., & White, B. (2013). Governing Global Land Deals: The Role of the State in the Rush for Land. Development and Change44(2), 189–210
  9. Lihat, di antaranya, Baird, I. G. (2014). The Global Land Grab Meta-Narrative, Asian Money Laundering and Elite Capture: Reconsidering the Cambodian Context. Geopolitics19(2), 431–453; Dwyer, M. B. (2013). Building the Politics Machine: Tools for “Resolving” the Global Land Grab. Development and Change44(2), 309–333; Kenney-Lazar, M. (2012). Plantation rubber, land grabbing and social-property transformation in southern Laos. The Journal of Peasant Studies39(3–4), 1017–1037; McCartan, B. (2007). China rubber demand stretches Laos. Asia Times Online. 19 December; Symon, A. (2007). Regional race for Laos’s riches. Asia Times Online. 30 August.
  10. Shi, W. (2008). Rubber boom in Luang Namtha: A transnational perspective. Vientiane: German Technical Cooperation (GTZ); Dwyer, M. B. (2014). Micro-Geopolitics: Capitalising Security in Laos’s Golden Quadrangle. Geopolitics19(2), 377–405; Kramer, Tom, & Woods, Kevin. (2012). Financing Dispossession – China’s Opium Substitution Programme in Northern Burma (Drugs & Democracy Program). Amsterdam: Transnational Institute; Lu, J. N. (2017). Tapping into rubber: China’s opium replacement program and rubber production in Laos. The Journal of Peasant Studies0(0), 1–22.
  11. Shi (op. cit.); Diana, A. (2009). Roses and Rifles: Experiments of governing on the China-Laos frontier. The Australian National University; Sturgeon, J. C., Menzies, N. K., Fujita Lagerqvist, Y., Thomas, D., Ekasingh, B., Lebel, L., … Thongmanivong, S. (2013). Enclosing Ethnic Minorities and Forests in the Golden Economic Quadrangle. Development and Change44(1), 53–79.
  12. Alton, C., Blum, D., & Sannanikone, S. (2005). Para rubber in northern Laos: The case of Luangnamtha. Vientiane: German Technical Cooperation (GTZ); Shi (op. cit.); Dwyer, M., & Vongvisouk, T. (2017). The long land grab: market-assisted enclosure on the China-Lao rubber frontier. Territory, Politics, Governance0(0), 1–19.
  13. Lihat Dwyer (2013 op. cit. and 2014 op. cit.) untuk detail selengkapnya.
Exit mobile version