Pada bulan Desember 1958, hampir 78 tahun lalu, sekitar seratus penulis terkemuka dari Philipina datang ke kota pariwisata Baguio yang berada di pegunungan bagian utara Philipina untuk menghadiri sebuah konferensi yang diseponsori oleh Philippine Center of International PEN. Mereka kebanyakan datang untuk saling berjumpa diantara mereka sendiri – memang sebenarnya pertemuan tersebut adalah Koferennsi Para Penulis Nasional- tetapi pada pertemuan tersebut sejumlah tamu dan pembicara datang berbagai kalangan elit termasuk Presiden Philipina, Carlos P. Gracia. Dia sendiri juga seorang penyair terkenal; Senator Claro M. Recto, seorang nasionalis yang juga penyair dan penulis naskah drama di spanyol, Presiden dari Universitas Philipina, Vicente G.Since; dan sejumlah orang asing dari kedutaan Amerika dan Inggris. Dalam daftar hadir juga terlihat sejumlah participan dari kalangan politik, pelaku bisnis, diplomat, akademisi, penerbit, dan paling tidak seorang pendeta and seorang jendral dari tentara.
Sejauh yang dapat saya katakana, tidak pernah ada konferensi penulis sepenting ini di Philipina sebelum bulan Desember 1956, ketika saya masih berumur 5 tahun saat itu – dan yang pasti juga tidak pernah terjadi lagi setelah itu. Dan apakah yang telah membawa orang-orang pernting tersebut dating ke pengunungan? Tidak lain adalah masalah umum yang membawa kita dating ke sini hari ini, di sebuah kota lain di Asia, hampir 6 dekade tahun kemudian: hal pokok, yang tak bisa dihindari, dan menarik tapi mempunyai banyak masalah, kompleks dan penuh tantangan dalam hubungan antara literature dan politik.
Pada pertemuan tahun 1958 tersebut, permasalahan yang menjadi tema pokok konferensi adalah “ Penulis dan Pertumbuhan Nasional Philipina.” Diantara tumpukan debu dalam perpustakaan kantor saya beberapa minggu lalu, saya menemukan sejumlah proseding konferensi, terkompilasi dalam sebuah terbitan khusus (Quarter Pertama, 1959) dari Jurnal Comment – dan hal ini mengingatkan saya, persiapan konferensi ini dengan pemikiran awal yang berbeda, mengingat permasalahan yang saya hadapi saat ini mungkin kita kembali seperti pada tahun 1958. Lebih dari setengah abad setelah membawa pemikiran literasi terbaik kita untuk menghadapi literature dan politik (tanpa melupakan dua setengah millenium setelah plato), kita para penulis Philipina masih terpengaruh oleh permasalahan yang sama, untuk alas an yang baik dari hal lama maupun baru.
Para Novelis dan Penulis makalah politik
Pandangan umum yang diutarakan saat konferensi tahun 1958 tersebut adalah hasil tulisan seorang novelis Edilberto Tiempo:
Seorang penulis novel dan seorang penulis masalah politik berasal dari dua kelompok berbeda, yang tidak bisa di samakan. Literatur, kita semua tahu, tidak secara langsung memberikan jawaban terhadap permasalahan social yang akan secara cepat dituangkan sebagai sebuah tindakan; dan lebih lanjut, penulis novel dan syair tidak dilengkapi dengan keahlian untuk menjadi pemimpin politik atau ekonomi. Perhatian mereka tidak berlaku sebagai perekam kehidupan atau kejadian-kejadian, tetapi untuk membuat sintesis, memberikan aturan dan keselarasan….Penulis terkenal mampu berpikir melebihi kejadian-kejadian yang terjadi di jamannya dan menjadi seorang cendekiawan dan nabi… Kitab artisitik adalah tanggung jawabnya yang terakhir untuk dirinya sendiri dan karya seninya.
Pernyataan tersebut terdengar sebagai pernyatan yang cukup aman dan sesuai logika pada hari ini, tetapi di tahun 1958, pada masa akhir dekade serentetan penyerangan dan serangan balik, bahkan sebelum Perang Dunia kedua, pernyataan disebut sebagai “ seni untuk kebaikan seni”oleh sekolah untuk penyair Jose Garcia Villa di satu pihak dan di pihak lain sebut sebagai “literature kelas rendah” oleh Salvador P. Lopez. Pada tahun 1930-an , para penulis Filipina telah dikoyak oleh konflik-konflik ini, dengan Villa dan perusahaannya pada syair modern mutakhir serta Lopez dan perusahaannya yang menganut tradisi panjang dari literature revolusioner dan subversif di Filipina.
Kritikus Elmer Ordoñez, satu satu dari editor terbitan Comment, mengingatkan kembali kritik dari salah satu dari pendukung Villa, serang dokter dan penulis cerita pendek Arturo B. Rotor, sebelumnya menulis:
Tidak seorang pun di Filipina yang menlakukan sebuah tindakan berarti dari peristiwa-peristiwa yang saat ini menjadi pusat perhatian Negara. Hal ini menunjukkan seberapa jauh dia telah gagal. Contoh tidak ada cerita yang cukup dikenal yang menulis tentang rakyat miskin di Central Luzon dan usaha-usaha mereka dalam memperbaiki kondisi kehidupan mereka. Sementara itu semua orang dinegara ini sedang membicarakan daerah kumuh di Tondo, para penyair kita masih bersemangat bernyanyi tentang sunset di Pantai Manila. Kemudian bagaimana pendapat kita tentang para penulis yang mendebatkan tentang ritme dan keseimbangan dalam tulisan dan tidak sedikitpun melihat apa yang terjadi di sekitar lewat koran-koran? Apa yang akan katakana kepada mereka yang menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk menulis sebuah bait, tetapi tidak mau menyediakan waktu lima menit untuk mencoba mengerti apa itu keadilan social dan mengapa para rakyat miskin di Bulacan tertangkap mencuri kayu bakar dari lahan para tuan tanah kaya?
Dr. Rotor, yang meninggal tahun 1988, tidak hari dalam konferensi Baguio, jadi kita tidak tahu pasti apa yang beliau katakana menanggapi Dr. Tiempo (yang sebenarnya tidak menganut seni hanya untuk seni, dan berpendapat bahwa masih dibutuhkan tingkat keseriusan yang lebih), tetapi kita dapat menebaknya. Memang betul, jika beiau masih hidup saat ini, beliau dapat mengeluhkan hal yang sama mengenai literature kontenporer Filipina, khususnya yang ditulis dalam bahasa Inggris – kecuali yang ditulis untuk dimengerti, seperti yang sedang saya coba lakukan dalam tulisan ini, bahwa penghargaan kita terhadap masalah masalah seperti keadilan social telah menjadi hal yang lebih kompleks dari hanya mengenai masalah tuan tanah atau pekerjaan yang menguntungkan Tentu saja hal-hal ini terus menjadi permasalahan, tetapi masalah masalah ini telah membaur dengan perkembangan terakhir seperti ekspor besar-besaran pekerja Filipina telah dan dampaknya terhadap keluarga di Filipina, globalisasi tren dan aktivitas ekonomi dan budaya, serta pertumbuhan alat-alat digital dalam masyarakat.
Seberapa jauh, kita orang Filipina mengalami dan berpikir tentang literature dan politik sejak tahun 1958?
Saya ingin melakukan review dan mempelajari dampaknya, jika ada, dari literature tentang kehidupan politik saat ini – pendapat sementara saya saat ini adalah ketika pengaruh dari esensi literature tradisional telah dihapus secara besar-besaran oleh factor-faktor ekonomi dan budaya, esensi non-tradisional mengisi kekosongan dan imaginasi literasi ekpresif terus menjadi sebuah kekuatan politik yang penting di masyarakat Filipina saat ini.
Politik dan literature telah mempunyai hubungan yang sulit di Filipina saat ini dimana penulis dan wartawan kreatif telah menjadi pejuang tangguh melawan penjajah, tirani, penindas dan dictator. Sejarah politik negara yang kompleks telah membangkitkan banyak kesempatan untuk melakukan tindakan langsung dalam penolakan politik oleh para penulis Filipina, dari anti tirani Florante at Laura karangan Francisco Balagta dan novel-novel karanga Jose Rizal pada tahun 1800-an sampai penulis drama imperial politik nasional yang lebih besar dan lebih nyata tentu saja masalah politik gender, agama, daerah dan yang paling penting berdasarkan pengalaman kita – masalah kelas.
Sebelum bicara lebih lanjut, sedikit sejarah mungkin akan membantu memberikan gambaran mengenai landasan argumen saya.
Sebuah Archipelago Lidah (berbagai bahasa)
Penduduk Filipina saat ini adalah sekitar 82 juta orang, umumnya beragama Roman Katolik dengan sekelompok kecil Muslim minoritas, tinggal di sebuah archipelago lebih dari 7000 pulau. Negara ini dijajah Sepanyol tahun 1521, dijajah Amerika di tahun 1898, dan dijajah Jepang di tahun 1941, dan mencapai kemerdekaan di tahun 1946. Suku bangsa yang ada umumnya adalah suku Melayu, Cina dan keturunan Sepanyol dan percampuran antara suku-suku tersebut terjadi sangat umum sampai saat ini, walaupun sejumlah masyarakat adat juga masih tetap terjaga.
Antara tahun 1972 sampai 1986, kita diperintah oleh dictator militer Ferdinand Marcos. Kita telah melakukan pemilihan presiden secara demokratis sebanyak tiga kali sejak Marcos tumbang pada tahun 1986, tetapi kita masih terus mengalami perbagai permasalahan ekonomi dan politik serious. Orang kaya sangatlah kaya, dan orang miskin sangatlah miskin dan jumlah yang miskin sangatlah banyak. Salah satu dari sepuluh rakyat Filipina tinggal dan bekerja di luar negeri. Tiga dari setiap sepuluh pelayar di dunia adalah orang Filipina. Menurut Asian Journal Online, terdapat sekitar 500,000 orang Filipina di Malaysia, dan sekitar 200,000 diantaranya tidak tercatat.
Kita mempunyai lebih dari 100 bahasa, walaupun bahasa Inggris dan Filipino adalah bahasa yang paling banyak digunakan di negara ini. Bahasa Sepanyol saat ini hanya digunakan di kalangan tertentu – biasanya di generasi tua dan para orang kaya.
Literatur kita mewakili semua kondisi tersebut. Kita mempunya sebuah literature kaya dalam bahasa daerah sebelum penjajah Sepanyol datang. Walaupun tidak pernah terjadi pembakaran buku-buku yang menghujat Injil, seperti yang terjadi di Meksiko, para pendeta berhasil menulis ulang epics lokal dengan tema Kritianiti dan pemerintahan penjajah. Lalu kita telah belajar menulis dalam bahasa Sepanyol, dan menggunakannya melawan pemerintah kolonial. Salah satu novel kita yang paling terkenal, ditulis oleh pahlawan nasional kita Jose Rizal, dalam bahasa Sepanyol, dan tulisan-tulisan itu telah membantu mendorong revolusi melawan Sepanyol; Rizal sendiri akhirnya dieksekusi.
Ketika Amerika datang, kita mengambil bahasa Inggris dengan sangat mudah. Bahasa Inggris dengan cepat menjadi bahasa kalangan elit, dan untuk para penulis Filipina, penerimaan dari literatur Amerika menjadi tujuan yang penting. Penyair dan penulis fiksi mengikuti gaya dan tema pada konterpart Amerika mereka. Bahasa Filipina, bahasa nasional kita yang lain, dilihat menjadi sebuah bahasa jalanan, tidak penting dalam pencapaian literasi tingkat tinggi.
Sebuah kebangkitan rasa nasionalisme mulai tahun 1960an ke depan, khususnya saat rezim militer, telah merubah hal tersebut. Penulisan dalam bahasa Filipino menjadi sebuah bentuk penolakan dan dalam keduanya, bahasa Inggris dan Filipino, topik-topik politik digunakan.
Saat ini, elemen yang paling menonjol di kalangan masyarakat social di Filipina penyebaran ekonomi dari jutaan tenaga kerja akibat kondisi di kampung halaman disertai dengan masuknya pengaruh-pengaruh positif dan negatif dari globalisasi dan hal ini juga terefleksi dalam literature kita.
Sebuah Syair tentang Penderitaan
Yang menarik untuk kita hari ini adalah betapa dekatnya sejarah politik dan syair kita sering terjadi. Para pahlawan kita adalah penyair dan penyair-penyair kita adalah pahlawan. Penyair besar kita pertama, Francisco Balagtas, menerbitkan sebuah puisi panjang di tahun 1830 dengan judul Florante at Laura (Florante dan Laura), sebuah alegori politik melawan penjajahan yang terjadi di Albania, dimana seorang pangeran Kristen dihukum mati ditolong oleh serang prajurit Muslim.
Revolusi melawan Sepanyol di tahun 1896 telah dimulai oleh para penulis, dari cendekiawan terkenal dari Jose Rizal – Penulis puisi lirik panjang, ‘My Last Farewell’, dalam sel di mana dia dipenjara, tak beberapa lama sebelum dieksekusi,- sampai revolusioner dari kelas pekerja Andres Bonifacio, yang menulis puisi satire tetang cinta terhadap ibu pertiwi. Puisi-puisi ini terus menerus dikutip dan dipelajari di sekolah-sekolah.
Saat pendudukan Amerika, teater politik – juga dimainkan dalam bait-bait dan lagu – menjadi bentuk paling umum dalam perjuangan. Ketika literature kita dalam bahasa Inggris menjadi lebih bersifat personal dan detail mengenai emosi, di periode kondisi politik di tahun 1960an dan 1970an dalam puisi tradisional berbahasa Inggris, terjadi pertukaran antara T.S Eliot untuk tipe tipe puisi yang berhubungan dengan Ho Chi Minh dan Mao Tse Tung. Seorang penyair terbaik kita, Eman Lacaba, bergabung dengan gerilya komunis dan terbunuh pada peperangan di tahun 1976; seorang mayor dan penyair Inggris, Jose Ma, mengatur kembalu Partai Komunis dan memimpin partai tersebut dari tempat pengasingannya di Belanda. Di tahun 1983, beberapa penyair Filipina diberhentikan dari pekerjaannya di pemerintahan setelah menerbitkan sebuah terbitan berisis puisi puisi kritik terhadap Marcos.
Untuk para penulis muda di generasi saya di tahun 1970an, penyair Eman Lacaba adalah seorang penulis revolusioner terbaik – seorang idealis yang kita dukung sepenuh hati, kita lihat sebagai pemimpin dari apa yang kita sebut Gerakan Propaganda Kedua setelah kejadian pengasinga Jose Rizal dan para pendukungnya di Barcelona di tahun 1880an. Sebagai saudara tua Jose (dia sendiri merupakan seorang penyair penting dan berbakat) menyatakan, Eman adalah seorang yang bertipe hipi 60an yang mencintai Rimbaud, mariyuana dan berbagai hal yang memberikan inspirasi pikiran. “Puisi puisinya awalnya sangat kompleks, ilusif, sulit, mengambang; bait-baitnya dikembangkan dari korelasi obyektif dan mempunyai makna yang ganda. Puisi dalam bahasa Inggris dan Tagalog yang ditulis Eman di Mindanao (dimana di telah bergabung dengan Tentara Orang Orang Baru/ The New People’s Army), kita dapat merasakan ketegangan yang ditimbulkan oleh usahanya untuk meninggalkan gaya hidupnya yang lama, dan bekerja secara lebih sederhana, langsung dan jelas.” catatan Jose Lacaba. Mungkin lebih dari puisinya, kematian mengenaskan Eman Labaca – ditembak di mulutnya oleh seorang informan, setelah di tangkap di daerah pegunungan – menempatkan dia dalam jajaran penulis pahlawan di Filipina.
Hal ini mengingatkan pada status Jose Ma. Sison, seorang pemimpin Partai Komunis yang mengasingkan diri, sebagai seorang penyair dan penerima penghargaan SEA WRITE, walaupun hal ini tidak membantu, dia hidup dan cukup menyenangkan di Eropa Barat. Tetapi apapun pilihan pribadi dan prinsip Sison, kita tidak bisa memungkiri bahwa puisinya di tahun 1968, “The Guerrilla Is Like a Poet”(Perang gerilya itu seperti sebuah puisi), memberikan pengaruh yang cukup kuat kepada para penulis muda pada generasi tersebut dengan kritikan kritikan dalam bentuk seni dan puisi, yang akhirnya ketajaman yang berbahaya dan mematikan yang menjadi subyek keformalan selama beberapa decade telah dilukainya, seperti bagian dari di bawah ini perlihatkan:
Perang gerilya itu seperti sebuah puisi
Tersedu seperti desahan dedaunan
Patahnya ranting
Gemercik aliran sungai
Bau api
Dan debu sebuah kepergian
Perang gerilya itu seperti sebuah puisi
Dia membaur dengan pepohonan
Semak semak dan bebatuan
Membingungkan tetapi sangat teliti
Berbait indah dalam hukum pergerakan
Dan menjadi guru dalam berbagai gambaran.
Hari ini, dengan turunnya rezim Marxisme dan tumbanganya Marcos, puisi puisi di Filipina terus bercorak politik, tetapi dengan elemen yang lebih personal. Kita menulis tentang kesepian dan kesengsaraan para pekerja dan perantau Filipina di luar negeri, tentang hubungan cinta-benci dengan Amerika, tentang masalah seksualitas dan gender, tentang masyarakat marjinal, tentang menjadi diri sendiri di dalam dunia yang makin seragam ini.
Masalah-masalah sama tersebut yang paling sering kita tulis, tetapi apa yang terlihat khusus untuk masyarakat Filipina adalah mosi Katolik Romawi kita yang menderita dan berkorban sebagai syarat untuk iman. Menurut logika, para pahlawan kita adalah mereka yang mampu menopang salib mereka dan sengsara – memang menimbulkan – sakit yang luar biasa. Penyalipan Kristus dan mater dolorosa adalah tokoh-tokoh ikon dalam literatur kita dan karya seni.
Kita mempunyai sebuah puisi yang apabila diterjemahkan berbunyi sebagai berikut:
Ketika seseorang menyerah dirinya
Untuk dilukai
Kepedihan yang terdalam masih dapat diterima
Ketika seseorang tidak berpasrah,
Walau goresan kecil
Dapat sangat menyakitkan
Apa yang menarik adalah bahwa puisi ini (dikutip oleh kritikus E. San Juan Jr.) ditulis sebelum bangsa Sepanyol dating, hal ini menunjukkan sebuah kecenderungan lokal tertentu untuk, atau paling tidak kesadaran untuk, bersedia dalam menahan kepedihan.
Leon Ma. Guerrero, penerjemah Rizal, melakukan pengamatan dalam konteks Katolik Romawi kita, menemukan bahwa “orang Filipina tidak salah dalam menilai, atau dalam hal ini menjadi sebuah tragedy, untuk kebaikannya sendiri, tetapi hanya tenggelam dalam sebuah makna lain dari pengorbanan.” Dia menyatakan, “ Kita menyelamatkan penghormatan tertinggi dan cinta terdalam kita untuk Kristus – seperti korban korban dari mereka yang mempunyai misi untuk mengakhiri kesalahan tragis dengan membangun negara kita. “ Jose Rizal, Andres Bonifacio, dan akhir-akhir ini Ninoy Aquino, ketiganya adalah tokoh tokoh Kristen, yang setelah kematiannya, seluruh rakyat menyatu dan membuang keburukkannya.
Literatur dan puisi kita kemudian menjadi sebuat artikulasi dari penderitaan dan keyakinan, dalam arti kolektif dan individu. Memang dalam penulisan puisi itu sendiri sudah merupakan sebuah tidakan liberatif yang dipindahkan, bahkan seperti merayakan, kepedihan sebuah puisi.
Suatu Krisis Moral dan Materi
Hai ini, seperti yang anda ketahui dengan baik dari berita-berita politik disiarkan dari Manila, kita sedang menderita cukup banyak, dari krisis moral yang mendalam dalam kepemimpinan yang memperburuk kondisi material kita. Presiden kita, Gloria Macapagal Arroyo, telah tertangkap basah dengan kaleng kue pemilu ditangan, dan dalam proses penggantian melalui pengunduran diri secara paksa, atau dengan istilah popular revolt atau impeachment, sampai dia merangkul seluruh pendukungnya dan kekuatan kubunya dan menutupi semua tindakannya untuk saat ini.
Janji-janji tahun depan adalah menjadi seorang politikus yang aktif untuk Filipina, dengan kredibilitas presiden yang rendah setiap saat, dan menghadapi krisis energi baru dan krisis ekonomi di depan mata. Permasalah strategis kita yang paling mendasar adalah kemiskinan masal dan ketidak-adilan yang diakibatnya dan juga yang mengakibatkanya. Tantangan yang terdepan adalah menemukan seorang pemimpin yang akan membangkitkan kita kedalam sebuah negara yang bersatu untuk membangun diri sendiri. Kita terlihat sangat membutuhkan seorang penyelamat, tetapi tak seorang pun telah muncul, hal ini yang telah membuat Nyonya Arroyo berdiam diri di kantornya.
Dalam hal ini, jurnalisme yang tidak kreatif dalam menulis, telah menempati posisi terdepan dalam kegiatan politik. Kita bangga menjadi press yang paling bebas di Asia – beberapa orang akan mengatakan paling menuntut -, dan hal ini telah menimbulkan debat publik lagi dengan kejadian ricuh. Dan dalam beberapa tahun terakhir, para jurnalis Filipina telah membayar keberanian mereka. Menurut Komite untuk Perlindungan Jurnalis yang berbasis di New York, Filipina adalah negara yang paling banyak terjadi pembunuhan para jurnalis – melebihi Irak, Colombia, dan Bangladesh – dengan 18 jurnalis tewas saat melaksanakan tugas sejak tahun 2000.
Tak seorang novelis, penyair, penulis drama, dan pengarang yang menceritakan kejadian tak terungkap ini dan untuk alasan untuk kebaikan. Untuk semua ahli literasi kita berpikir kita sudah, hal ini dapat dijelaskan bahwa kreatifitas penulis tidak terlalu penting dalam politik Filipina – yang pasti tidak sepenting seperti sebelumnya – karena, untuk menjadi hiperbolik tentang masalah ini, tak seorang pun yang membaca, tak seorang pun yang membeli bukunya, dan tidak seorang pun yang mengerti apa yang kita kerjakan. Dalam kaitannya dengan sub-judul konferensi ini, kita mempunyai banyak pengetahuan, tetapi mempunyai pengaruh yang kecil.
Hal ini merupakan kenyataan yang menyedihkan bahwa dalam sebuah negara dengan penduduk melebihi 80 juta jiwa, dengan tingkat literasi sekitar 95%, sebuah edisi pertama dari novel baru atau buku cerita walaupun oleh seorang penulis terkenal akan terjual tidak lebih dari 1000 kopi – dengan waktu penjualan sekitar satu tahun dan memberikan penghasilan bagi penulis maksimum sekitar P. 50.000 (atau 3.300 ringgit Malaysia) untuk beberapa tahun kerja. Tidak ada seorang novelis atau penyair profesional di Filipina, hal ini membuat para penulis yang berharga gampang beralih atau dipihak pemerintah atau kalangan industri.
Ini ironis bahwa kecenderungan politik literatur Filipina ditanggapi tidak dengan keberanian dan sensorship, tetapi digerakkan oleh kekuatan logistik dan pasar. Alasan yang paling sederhana dan jelas mengapa kebanyakan orang Filipina tidak membeli buku adalah kemiskinan, dengan harga buku lebih tinggi dari upah harian terendah yang tertulis dalam undang-undang. Walaupun di kalangan pembaca kelas menengah yang kita harapkan menjadi pasar utama, kita menghadapi kompetisi berat untuk membelajakan uangnya dari penulis lain, seperti John Grisham.
Tetapi mungkin juga, kita sendiri para penulis juga menjadi penyebabnya, karena menjauhkan diri dari aliran topik populer. Politik tidak penting atau tidak menjadi hal yang populer, dan sangatlah nyata bahwa banyak di antara kita para penulis dalam bahasa Inggris telah menjauhkan diri dari mekanisme-mekanisme ini. Pertanyaan tentang bahasa telah selalu menjadi isu politik yang penting dalam negara multi bahasa di Filipina, dimana beberaga daerah tidak suka dengan penetapan Tagalog sebagai dasar bahasa national baru Filipina di tahun 1935, dan dimana bahasa Inggris menjadi bahasa penting tidak hnaya sebagai bahasa campuran dan bahasa di kalangan elit tetapi juga sebagai tiket ekonomi dalam pusat panggilan industri global yang berkembang dengan cepat.
Ketidak-mampuan bahasa Inggris sebagai media untuk kreatifitas berekpresi dalam pengalaman lokal dikemukakan oleh seorang penyair dan kritikus Emmanuel Torres (dikutip oleh Gemino Abad), yang di tahun 1975 mengatakan:
Penulisan puisi dalam bahasa Inggris… mungkin tidak sepenuhnya disadari bahwa tindakan ini adalah pengeluaran diri sendiri dari subyek, tema, ide, nilai dan bentuk tertenti dalam pemikiran dan perasaan dalam berbagai segmen dari kehidupan nasional yang diekpresikan secara lebih baik – secara nyata, di kebanyakan kasus, hanya dapat diekspresikan – dalam bahasa sehari-hari.
Dengan pernyataan ini, Abad ( yang seorang penulis dan kritikus juga) dengan tegas menyangkal, dengan menyatakan bahwa:
Jika sesuatu (apapun) harus dieskpresikan – harus karena ini penting bahwa tidak setitik pun atau selembarpun dari pemikiran atau perasaan hilang – seorang juga harus berjuang dengan bahasanya, apakah itu bahasa asli ataupun bahasa yang diabdopsi, sehingga kata tersebut dapat bersinar di dalam kegelapan yang penting dalam bahasa. Kalau tidak, bahasa sehari-hari, oleh asalnya sendiri, akan tetap menjadi budak yang sama yang lahir di dalam rumah tuannya.
Ini merupakan perdebatan lama yang bagi kita yang tinggal di masa pos-kolonial telah alami dan terlibat dalam bertahun-tahun. Tetapi untuk memotong cerita familiar yang panjang ini menjadi pendek, walaupun jika Dr. Abad benar dalam pernyataannya tentang bahasa Inggris, kemampuan untuk mengkomunikasikan setiap perbedaan perasaan dari pengalaman lokal kita, kenyataan tetap bahwa tulisan apapun dalam bahasa Inggris – dari semua tulisan kreatif – akan sampai ke sejumlah kecil dari rakyat Filipina. Apa yang bagus bagi puisi dapat menjadi tidak berguna sama sekali jika tidak juga bisa menjadi peng-kounter yang produktif dalam politik.
Politik tentu saja tidak hanya merupakan sebuah angka permainan, khususnya dimana sejumlah kelopmpok kecil memerintah kelompok yang banyak. Perubahan politik di Filipina dalam sejarah telah dipimpin oleh kelas menengah, dari Revolusi melawan Sepanyol di tahun 1896 sampai perjuangan anti-Marcos di tahun 1970an, dan tahun 1980an dan akhirnya Edsa yang meningkat di tahun 1986 dan 2001. Oleh karena itu, seseorang bisa berpendapat bahwa bahasa Inggris adalah bahasa dari reformasi dan revolusi di Filipina.
Tetapi, kelas menengah yang berpendidikan Inggris yang sama – kalangan pembaca kita yang potensial – adalah kelompok yang terkuat dari neo-kolonialisme di Filipina, telah terbutakan oleh budaya Hollywood, hip-hop, dan Harry Potter, cenderung menukarkan sesuatu yang lokal ke yang global, menjadi terlihat opportunistic dan sebagian besar tidak memperdulikan gejolak sosial yang sebenarnya menjadi dasar kehidupan mereka. Seperti yang sering saya katakan di rumah, lawan kita dalam rak buku bukanlah di antara kita sendiri, melainkan Tom Clancy, Danielle Steele, John Grisham dan o ya, J. K. Rowling.
Tentu saja saya tidak menganjurkan untuk berhenti mencontoh para penulis ini, Tetapi jika kita ingin menjadi menarik di kalangan para pembaca dan sebagai konsekuensinya kita para penulis Filipina harus mempelajari diri sendiri lagi apakah ada celah besar yang belum terkena oleh imajinasi populer di mana kita telah gagal atau bahkan tidak kita pertimbangkan selama ini.
Dalam sebuah kuliah baru-baru ini yang bertema “Tradisi Revolusioner Kita” penulisnya, yang juga seorang menteri di pemerintahan Adrin Cristobal (yang kebetulan menghadiri Baguio sebagai salah seorang partisipan termuda) mengamati bahwa:
Bahasa Inggris bukanlah lawan, ini merupakan sebuah bahasa umum. Kita sebagai kaum intelektual – apakah itu penulis, wartawan, orator, ataupun politikus – dapat memprotes sekeras mungkin melawan sebuah tatanan social yang tidak adil – tetapi ini masih meragukan bahwa kita dapat menggerakan massa untuk sebuah revolusi. Kita tidak dapat menyentuh pemikiran dan hati mereka karena kita berbicara dalam bahasa asing, karena walaupun semua protes kita, kita juga kelompok elit dari pendidikan asing kita. Kita memperoleh prestise, kita dapat mencapai kemenangan, tetapi kita masih tetapi di luar jangkauan karena kita tidak dapat menyentuh hati dan pikiran masyarakat umumnya. Untuk menyentuh hati rakyat Filipina dibutuhkan penemuan apa yang menjadi bahasa mereka.
Kematian akibat SMS
Ini mungkin memang bukan karena bahasa tetapi media dan model dari ekspressi kreatif yang mungkin sebaiknya kita perhatikan. Melihat kerutinan gejolak dalam politik kita, tidaklah mengherankan jika bentuk-bentuk baru dari literatur protes telah meningkat – khususnya SMS atau pesan teks yang pupoler dikenal di Filipina. Menurut laporan industri, “paling tidak 200 juta pesan tulisan atau pesan SMS dikirimkan setiap hari di Filipina – angka ini lebih dari dua untuk setiap penduduk Filipina dan membuat reputasi negara sebagai pusat SMS di dunia.
Kekuatan pesan teks yang sangat mudah dan berjumlah sangat banyak yang membawa orang-orang ke jalanan dan membantu menumbangkan Presiden Joseph Estrada di tahun 2001. Senjata pilihan pihak oposis adalah sebuah komik mengejek dalam bentuk lelucon “Erap” – “Erap” adalah nama panggilan kepresidenan – yang beredar dengan sangat cepat, menyatukan perspesi publik (atau lebih akurat kalangan kelas menengah) tentang pemimpin mereka yang menjijik dalam korusi, tidak berkompetensi, dan oleh karena itu tidak berguna untuk terus didukung. Salah satu yang paling populer adalah yang membicarakan tentang kebodohannya:
P : Mengapa Erap memandangi sebuah botol jus jeruk?
J : Karena di situ tertulis “konsentrasi”
P : Mengapa Erap tidak dapat menekan 911?
J : Karena dia tidak bisa menemukan nomor 11 di telephon!
Yang lain mempermainkan cerita pendek tentang kegiatan seksualnya:
Sebuah pilot Philippine Airlines mengatakan pada Erap sebelum mendarat : “Tuan Presiden, kita telah memulai penerimaan kita. Tolong eratkan resleting anda dan kembalikan Weng ke posisi semula!” (Weng adalah seorang pramugari PAL yang digosipkan menjadi salah seorang wanita simpanan Presiden).
Warga penduduk biasa di tempat lain bisa dipenjarakan atau ditembak akibat penghinaan seperti itu, tetapi tidak di Filipina. Karena melihat jumlah yang terlibat, tindakan tersebut akan menjadi tindakan tidak bertanggung jawab. Lebih dari seratus juta pesan teks tersebar di seluruh negara secara tidak terkontrol, kebanyakan dari mereka meneruskan ke lebih dari satu temannya, atau membuat lelucon baru yang membuat Presiden Estrada makin jatuh. Pesan-pesan teks dan lelucon ini di dukung oleh lagu-lagu guyonan populer, yang disebarkan dalam CD dan tidak dapat di duplikasi secara cepat. Mungkin sedikit berlebihan bila dikatakan bahwa tehnologi di pihak Estrada – Pernyataan Pemimpin Mao tentang “manusia, bukan barang” membuat perbedaan akan berguna untuk dikutip kali ini – tetapi apa yang kita namai dengan “Edsa 2” atau “Kekuatan Rakyat 2” pasti tidak akan berjalan lancar apabila tidak dilicinkan dengan peralatan digital.
Hari ini, dengan Nyonya Arroyo, situasinya perbeda, walaupun ini ironis dan mengingat tentang kredibilitasnya dan kepresidenan-nya dikotori oleh technology lain – kopi digital, dalam CD dan disimpan dalam PDF format, tentang serentetan pembicaraan terekam antara Presiden Arroyo dengan seseorang yang diduga adalah komisi pemilu yang menjanjikan akan memberikan suara yang diperlukannya untuk menang. Ini yang dikenal dengan nama kaset “ Hello, Garci” (“Garci” dari Virgilio Garcillano, komisi pemilu masih dipertanyakan) menyebar lewat internet seperti api tak terkontrol dan menjadi subjek yang lelucon yang tak terhitung jumlahnya; dalam beberapa waktu, sebuah website yang menawarkan ringtone baru “Hello, Garci” terhenti akibat banyak jumlah peminta. Banjir lelucon GMA – seperti lelucon Erap – disapu oleh jaringan seluler (di antaranya: “Kejatuhan Clinton adalah diakibatkan oleh cerutu, GMS adalah Garci”).
Seperti contoh-contoh lain dari humor rakyat, karikatur/komik pendek, spontan dan sering berimajinasi tinggi yang beredar, saya anggap, sebagai sebuah bentuk baru dari literatur populer yang memberikan kekuatan kepada penduduk secara individu dan membuat mereka telibat dalam kekuatan politik dengan cara yang mungkin tidak secara konfrontasi langsung dan tentu saya tidak merusak, tetapi mempunyai dampak besar yand dapat menenggelamkan reputasi seperti sebuah batu dalam air. Seorang pemimpin bertangan besi telah menjadi lebih khawatir mengenai teks-teks lelucon, dari pesan yang diteruskan ke lusinan alamat di Hotmail dan Yahoo, dan dari komedi satir di lawakan TV, dari pada novel atau pun puisi epik atau drama dalam tiga bagian. (Ini mengingatka kita kepada pendapat Martin Esslin yang menyatakan bahwa dominasi bentuk dramatik saat ini adalah 15 detik iklan di televisi yang berisi semua elemen dari drama klasik, ditayangkan dalam secara padat dan menarik.)
Salah satu isu sampingan yang menarik yang timbul dalam acara Konggres atau sidang parlemen tentang rekaman Garci adalah pertanyaan tentang keaslian dan kemurniannya; dalam masa digital ini, apakah sebuah kopi digital itu sendiri merupakan sebuah bentuk baru dan legal yang bisa diterima? Siapa pengarang rekaman tersebut yang dapat ditangkap untuk bertanggung jawab? Apakah bentuk ini dan tindakan ini merupakan hal yang bisa diajukan ke pengadilan? Apakah penyebaran rekaman atau mendengarkan rekaman tersebut dianggap tindakan kriminal? Dan tentu saya setelah rekaman dan naskahnya dianggap tidak asli oleh partai penting dalam persidangan, menjadi tidak jelas apakah itu merupakan fakta atau hanya karangan fiksi?
Hal-hal ini menurut saya jelas merupakan tindakan politik tetapi juga cenderung mempunyai pertanyaan-pertanyaan literasi, yang melibatkan pengarang, analisa dan penjelasan tnaskah, publikasi dan juga hak cipta, jika dia menginginkannya. Pertanyaan dan pertimbangan sama berlaku untuk respon-respon terhadap rekaman yang diserbarkan.
Untung untuk Nyonya Arroyo, dan walaupun sepuluh anggota dari kabinetnya memprotes beliau untuk mundur, dia telah mampu membeli waktu untuk menyelesaikannya dengan pendukungnya yang kuat, termasuk kalangan konservatif dari Gereja Katolik, dan juga dengan kegagalan untuk memunculkan figure alternative yang setingkat dengan dia dari pihak oposisi. Kedua pihak telah belajar dari dua hal populer yang muncul, dukungan telah berkurang, melelahkan, strategi dan taktik lama tidak berguna, dan hampir semua indikasi menunjuk ke suatu perang panjang yang menyakitkan daripada hanya sebuah perkelahian kecil di jalanan. Mungkin ini merupakan hal sama bagi kita, karena kediaman sementara memungkinkan para penulis novel yang selalu mempunyai pandangan panjang dan kritis tentang editorial dengan sebuah persepsi singkat untuk masa datang. Lelucon-lelucon dan humor-humor satir yang muncul masih perlu mendapatkan tempat yang sejajar dengan Novel Komik yang Terkenal di Filipina, yang berlum ditulis.
Saya telah sering memberikan pernyataan menyenai hal aneh ini dalam lan-sekap literasi kita, yang sejauh ini masih diabaikan dari realitas kehidupan sehari-hari sebagai seorang manusia: literatur kita yang serious dan tanpa humor. Kita adalah manusia yang tertawa dan tersenyum; kita tertawa walaupun dalam kondisi terburuk dan ketika mengalami saat bahaya sebagai reaksi dari kegugupan dan sebuah cara untuk menghadapinya. Kita mempunyai seorang komedian besar seperty Dolphy dan pahlawan komik seperti Juan Tamad – orang-orang tidak pandai, bermain kasar, nakal tapi ramah, karakter yang bertahan dengan kepandaiannya dalam keadaan apapun. Tetapi ketika kita menulis sebuah novel, seperti kita sedang melakukan pengakuan ke pendera atau sebaliknya berpidato dari mimbar tentang pengakuan seseorang ke orang lain, kata-kata kita tiba-tiba menjadi terdiam dalam sebuah tingkat keseriusan tinggi yang mungkin merupakan peninggalan Jose Rizal yang mengagumkan dan juga melumpuhkan para penerusnya.
Beberapa tahun lalu, dalam sebuah fellowship di Inggris, saya menugasi diri sendiri untuk menulis apa yang saya rencanakan menjadi sebuah novel komik gelap tetang kesukaran yang dialami jutaan para pekerja kita di luar negeri. Saya berpikir saya telah memulainya dengan baik – hanya terhenti ketika saya sadar bagaimana kegelapan dan kejahatan secara lambat laun mengambil seluruh perhatian saya. Walaupun begitu saya tetap berkeyakinan, bahwa pendangan pandangan komik baru – dari pada pengulangan-pengulangan secara detail tentang kesedihan yang kita telah ketahui – adalah kincu untuk melakukan revitalisasi literasi kita, dan bahwa kemampuna komik, bukan merupakan tragedi tragis, tetapi mungkun merupakan penghubung terbaik antara literatur Filipina dan kegiatan politik.
Jose Dalisay Jr.
Fakultas Bahasa Inggris dan Literatur Komparatif,
Universitas Filipina
Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 8-9 (March 2007). Culture and Literature
Pidato pada Seminar International Tentang Literatur Asia Tenggara ke 4, di Kuala Lumpur, 29-30 November 2005
Referensi
“216 Filipinos detained in 1st round of Malaysia crackdown.” Dimuat dalam website Asian Journal pada tanggal 3 Maret 2003. Disadur pada tanggal 12 September 2005 di http://www.asianjournal.com/cgi-bin/view_info.cgi?category=BN&code=00009747.
Abad, Gemino H. 1998. “Mapping Our Poetic Terrain: Filipino Poetry in English from 1905 to the Present.” The Likhaan Anthology of Philippine Literature in English, ed. Gemino H. Abad, 3-24. Quezon City: Penerbit Universitas Filipina.
Bendeich, Mark. 2005. “Asia tries to put SMS genie back in its bottle.” Reuters UK, 1 September 2005. Disadur pada tanggal 10 September 2005 di http://today.reuters.co.uk/news/newsArticle.aspx?type=reutersEdge&storyID=2005-09-01T111318Z_01_NOA140129_RTRUKOC_0_FEATURE-ASIA-SMS.xml.
Committee to Protect Journalists. 2005. “The Five Most Murderous Countries for Journalists,” 2 Mei. Disadur tanggal 13 September 2005 di http://www.cpj.org/Briefings/2005/murderous_05/murderous_05.html.
Cristobal, Adrian. 2005. “Our Revolutionary Tradition.” Pidato Perayaan Plaridel, Kelompok Penulis Filipina. Manila, 27 Agustus.
Dalisay, Jose Jr. 2001. “Showtime at EDSA.” People Power 2: Lessons and Hopes, ed. Thelma S. San Juan, 242-47. Pasig City: Penerbit ABS-CBN .
Esslin, Martin. 1982. “Aristotle and the Advertisers: The Television Commercial Considered as a Form of Drama,” di televisi: The Critical View, ed. Horace Newcomb. New York: Oxford University Press.
Guerrero, Leon Ma. 1951. “Our Choice of Heroes.” Majalah Sunday Times, 20 Desember. Dikutip tanggal 12 September 2005 di http://www.jose-rizal.com/firstfilipino/choice04.htm.
Lacaba, Jose F. 2001. “Eman.” Araw: Philippine Art and Culture Today 1: 75-79.
Ordoñez, Elmer A. 2004. “Proletarian Literature.” Manila Times Internet Edisi, 2 Mei. Dikutip tanggal 11 September 2005 di http://www.manilatimes.net/national/2004/may/02/yehey/weekend/20040502wek3.html.
San Juan, Epifanio Jr. 2005. “Philippine Writing in English: A Bakhtinian Perspective,” 25 Juli. Dikutip tanggal12 September 2005 di http://www.geocities.com/icasocot/sanjuan_bakhtin.html.
Sison, Jose Ma. 2005. “The Guerrilla Is Like a Poet,” 23 Agustus. Dikutip tanggal 12 September 2005 di http://www.ctv.es/USERS/patxiirurzun/nueve/sison.htm.
Tiempo, Edilberto. 1959. “The Challenge of National Growth to the Filipino Writer.” Comment 8: 91-96.