Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Ajaran Buddha yang Terlibat dan Pembangunan Bangsa Vietnam dalam Tulisan-tulisan Awal Thích Nhất Hạnh

Gerakan Buddhis di Vietnam Selatan pada 1960-an kerap dikenang melalui sejumlah gambar protes: orang-orang berbaris membawa spanduk dan biksu-biksu membakar diri di jalan-jalan kota. Umat Buddha adalah kelompok penentang terorganisir yang terbesar di Republik Vietnam (RVN), paling dikenal lantaran “krisis buddhis” pada 1963 saat ribuan orang turun ke jalan melancarkan protes terhadap kebijakan resmi dan menuntut pemerintahan perwakilan. 1 Di mata para penasihat Amerika, krisis ini menjadi bukti ketidakmampuan Presiden Ngô Đình Diệm dalam memerintah; ia digulingkan oleh kudeta militer yang didukung CIA pada akhir tahun tersebut. Para sejarawan telah menulis tentang kekuatan dan pengaruh Gerakan Buddhis, seperti Robert Topmiller, James McAllister, Edward Miller, dan Sophie Quinn-Judge. 2 Namun, masih jarang dilakukan penelitian tentang fondasi sejarah dan intelektual gerakan tersebut, serta dinamika dan visi internalnya.

Dalam upaya memperjelas ide-ide di balik gerakan Buddhis, artikel ini menyelami tulisan seorang biksu berpengaruh, Thích Nhất Hạnh (1926-2022), yang menganjurkan ajaran Buddha yang terlibat secara sosial sebagai bentuk patriotisme nirkekerasan dan upaya pembangunan bangsa. Sepanjang kehidupan awalnya di Vietnam Tengah dan Selatan, Thích Nhất Hạnh mengamati bahwa agama Buddha tradisional, yang menyepi di banyak wihara, tidak memberi perhatian pada urusan-urusan duniawi orang banyak. 3 Agar tetap relevan dan dapat melayani selama perang saudara, para pemimpin Buddhis harus melakoni penderitaan masyarakat. Selama akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an, Thích Nhất Hạnh mencoba dan menyerah atas upaya-upaya untuk mereformasi institusi Buddhis tradisional sehingga beralih pada anak muda sebagai agen perubahan sosial. Di Saigon, ia mendirikan sebuah sekolah untuk pendidikan Buddhis dan kerja sosial, berharap dapat memberdayakan generasi berikutnya agar mengubah haluan: alih-alih mengobarkan perang, mereka dapat membangun negara mereka melalui bakti sosial dan rekonsiliasi nirkekerasan. Sementara sesama umat Buddha penentang menyibukkan diri mereka dengan protes anti-pemerintah dan anti-perang, Thích Nhất Hạnh adalah satu-satunya biksu yang mengorganisir gerakan kaum muda dengan visi jangka panjang yang positif bagi Buddhisme dan nasionalisme Vietnam.

Thích Nhất Hạnh in Paris in 2006. Wikipedia Commons

Mengadvokasi Ajaran Buddha Bersatu dan Terlibat di Vietnam

Gagasan ajaran Buddha yang terlibat secara sosial muncul sebagai bagian dari kebangkitan Buddhis awal abad ke-20 yang tersebar di seluruh Asia. Seperti orang-orang segenerasinya, Thích Nhất Hạnh sangat dipengaruhi oleh gerakan kebangkitan ini. 4 Ia mulai menulis tentang ajaran Buddha yang terlibat pada 1950-an, menganjurkan reformasi kelembagaan dan kemudian menginspirasi gerakan pemuda dalam semangat bakti sosial.

Thích Nhất Hạnh ingin agar lembaga-lembaga Buddhis melayani negara mereka yang dilanda perang dan menyumbang bagi pembangunan Vietnam yang damai dan merdeka. Ia dengan penuh semangat menganjurkan reformasi yang ia percaya akan memungkinkan aksi Buddhis yang terkoordinasi secara nasional. Harapannya tersebut ia tuangkan dalam majalah Buddhisme Vietnam [Phật Giáo Việt Nam]. Ia menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah itu sedari 1956 hingga 1958. Majalah itu adalah majalah resmi Asosiasi Buddhis Umum atau General Buddhist Association [Tổng Hội Phật Giáo Việt Nam]—sebuah organisasi yang dibentuk pada 1951, menyatukan enam kelompok Buddhis di Vietnam Tengah dan Selatan.

Menulis sebagai pemimpin redaksi dan dengan nama pena Dã Thảo, Thích Nhất Hạnh mengkritisi keengganan para pemimpin Buddha untuk benar-benar menyatukan dan memobilisasi demi kepentingan masyarakat. Ia menjabarkan reformasi yang menurutnya dibutuhkan, termasuk menyambut semua kelompok Buddhis ke dalam Asosiasi Buddhis Umum, menentukan standardisasi pengajaran kebiaraan, pemrograman, dan penggunaan sandang di seluruh wilayah, dan memusatkan kepemimpinan serta keuangan. 5 Untuk itu, ia menggunakan bahasa seorang pegiat, alih-alih seorang editor resmi dengan nada penyampaian yang terukur. Ia menulis bahwa semua umat Buddha “harus menerima keharmonisan sejati sebagai tugas paling mendesak di zaman kita. Ajaran Buddha adalah kekuatan untuk perdamaian, dan Asosiasi Buddhis Umum adalah front persatuan kita.” 6 Ia secara terang-terangan mendorong para pemimpin Asosiasi untuk bertindak: “Nama Anda akan tertulis dalam sejarah Ajaran Buddha Vietnam… Jutaan mata tertuju pada Anda, teman-teman terkasih. Hiduplah sesuai dengan reputasi Anda sebagai pemimpin yang cerdas dan jangan mengecewakan pengikut Anda.” 7

Sepanjang menggunakan majalah Asosiasi Buddhis Umum guna mengkritik kepemimpinannya sendiri, Thích Nhất Hạnh barangkali telah melampaui perannya sebagai pemimpin redaksi. Ia melangkah lebih jauh dengan menerbitkan surat yang berisi kampanye mendorong para pembaca untuk menekan Asosiasi Buddhis Umum agar memberlakukan reformasi. 8 Majalah itu dihentikan setelah dua tahun, dengan alasan resmi kekurangan dana. Namun, Thích Nhất Hạnh yakin bahwa para pemimpin Asosiasi berhenti menerbitkan majalah itu karena mereka ingin mengakhiri kritik dan advokasinya. Ia melihat penutupan majalah itu sebagai penolakan keras terhadap gagasan-gagasannya, dan sebagai kehilangan besar atas potensi Buddhisme Vietnam secara keseluruhan. 9

Di mata Thích Nhất Hạnh, potensi unik Buddhisme Vietnam akan menjadi sia-sia karena para pemimpinnya puas hanya dengan melakukan upacara-upacara tradisional. Mereka tidak memanfaatkan jaringan dan pengaruh mereka untuk mengatasi kebutuhan mendesak masyarakat mereka. “Berkotbah di dalam masyarakat yang menderita tidak berarti apa-apa,” tulisnya kemudian, menggambarkan peran ideal agama Buddha yang terlibat. “Kotbah sesungguhnya yang dibutuhkan adalah tindakan, yakni tindakan yang dapat secara realistis menghentikan penderitaan yang sedang dialami.” 10 Setelah gagasannya untuk reformasi kelembagaan dan mobilisasi diabaikan serta ditolak oleh para pemimpin biara, Thích Nhất Hạnh menggeser fokus dan harapannya ke aktor baru: kaum muda Buddhis.

Thich Nhat Hanh at Hue City, Vietnam (2007). Wikipedia Commons

Pemuda Buddhis dan Pembangunan Bangsa

Pada awal 1960-an, Thích Nhất Hạnh mulai mengorganisir dan menarik pemuda Buddhis untuk memimpin jalan menuju masyarakat Vietnam yang damai dan sejahtera. Dalam serangkaian artikel berjudul “Berbicara kepada Pemuda Usia Dua Puluhan” [“Nói Với Tuổi Hai Mươi”], ia meminta para pembaca untuk memimpin revolusi damai baru. Ia membayangkan bahwa generasi berikutnya haus akan solusi dan memiliki kekuatan serta energi untuk melakukan perubahan nyata.

“Berbicara kepada Pemuda” diterbitkan dalam majalah Melestarikan Keharuman Tanah Air [Giữ Thơm Quê Mẹ] dalam delapan bagian, masing-masing berfokus pada tema berbeda: kesepian [cô đơn], impian [lý tưởng], dunia sekolah [học hành], cinta [thương yêu], dan agama [tôn giáo]. Artikel-artikel tersebut berganti-gantian memuat percakapan-percakapan ringan tentang masalah sehari-hari dan ajakan yang penuh semangat untuk bertindak. Thích Nhất Hạnh tampaknya ingin menenangkan sekaligus menyemangati kaum muda yang mengalami jalan hidup di bawah perang saudara. Ia ingin mereka merasa dipahami, dan menginspirasi mereka untuk menolak perang dan struktur kekuasaan. Perdamaian nasional akan dimulai dengan pilihan generasi mendatang untuk bertindak berdasarkan cinta dan kasih sayang. “Jika kamu tahu bagaimana cara mencintai dan memaafkan, maka semangat negara kita akan terbangun… senjata dan peluru akan menapaskan perasaan lega, pesawat-pesawat akan menangis, granat-granat akan terdiam, dan tanah air kita tidak akan lagi menjadi medan perang.” 11

Serangkaian tulisan tersebut mendorong kaum muda untuk menentang penguasa yang bertanggung jawab atas perang, tanpa dendam, dan memimpin dalam menciptakan masyarakat baru. “Hanya tindakan kolektif kaum muda… yang memiliki kekuatan untuk melucuti struktur masyarakat yang sadar ataupun tidak sadar,” gugatnya. Demi menyalurkan visi tersebut menjadi tindakan nyata, Thích Nhất Hạnh mendirikan sekolah bagi pemuda-usia-kuliah untuk belajar agama dan melakukan kerja sosial sebelum memimpin proyek-proyek bantuan kemanusiaan dan pembangunan di pedesaan.

Sekolah Pemuda Bakti Sosial atau The School of Youth for Social Service (SYSS) [Trường Thanh Niên Phụng Sự Xã Hội] didirikan di Saigon pada 1964. Para muridnya dilatih untuk melakukan pekerjaan pembangunan pedesaan termasuk menggali sumur, memberantas but-huruf, memberikan perawatan medis dasar, dan memperkenalkan metode bertani. Mereka juga membawa bantuan ke tempat-tempat yang terkena dampak pengeboman dan banjir. Tujuannya adalah memberdayakan kaum muda Buddhis untuk merebut masa depan Vietnam dalam tangan mereka sendiri; mereka akan sekaligus membangun rumah tangga, sekolah, dan pedesaan bagi negara impian mereka. 12 SYSS mengandalkan wihara-wihara Buddhis untuk menghubungkan para pemuda dengan desa-desa di seluruh Vietnam Tengah dan Selatan. “Agama harus menjadi penghubung, bukan sesuatu yang otoriter dan memisahkan masyarakat satu sama lain,” tulis Thích Nhất Hạnh, agaknya menyinggung pengalamannya dengan Asosiasi Buddhis Umum. 13

Skala proyek bantuan dan pembangunan yang digerakkan oleh pemuda ini memang kecil—kurang dari sepuluh ribu orang lulus dari SYSS dalam satu dasawarsa keberadaan sekolah tersebut—tapi sekolah itu adalah ungkapan visi pembangunan bangsa Thích Nhất Hạnh yang lebih luas. Sekolah itu adalah gerakan akar rumput, didorong oleh prinsip-prinsip ajaran Buddha yang terlibat, yang berupaya membangun landasan spiritual dan material bagi Vietnam. Tidak dapat dipastikan apakah upaya ajaran Buddha yang terlibat seperti SYSS akan menghasilkan perubahan politik dan spiritual berskala besar yang menurut Thích Nhất Hạnh diperlukan. Namun, ia tahu mereka tidak bisa mengandalkan lembaga keagamaan yang bergerak lambat atau pemerintah yang bertekad membangun bangsa dengan mengobarkan perang. “Sekolah Pemuda Bakti Sosial didirikan dengan semangat bahwa kita tidak perlu menunggu pemerintah,” ujarnya. 14 Ia optimis atas para pemuda dan staf sekolahnya. Bercermin dari karya mereka, ia menulis: “Kaum muda… sedang memimpin jalan menuju aliran baru pemikiran dan tindakan Buddhis. Mereka melahirkan ajaran Buddha yang terlibat.” 15

Buddha hall of the Từ Hiếu temple, Vietnam where Thích Nhất Hạnh was residing when he died on 22 January 2022, at age 95. Wikipedia Commons

Kesimpulan

Selama sepuluh tahun pendidikan dan pengorganisasian, Thích Nhất Hạnh, rekan-rekannya, dan para pemuda asuhannya menaburkan benih-benih ajaran Buddha yang terlibat di dalam dan di luar Vietnam. Pada 1966, saat Perang Vietnam mengambil alih berita utama dan menggerakkan jutaan orang di seluruh dunia, Thích Nhất Hạnh pergi ke luar negeri untuk memperkuat pesan anti-perang umat Buddha Vietnam. Murid-muridnya melanjutkan pekerjaan mereka setelah kepergian dan pengasingannya. Berbekal pendidikan, kerja-kerja pembangunan, dan diplomasi mereka, mereka mempraktikkan suatu bentuk pembangunan bangsa yang berusaha menegakkan nilai-nilai Buddhis tentang welas asih, nirkekerasan, dan rekonsiliasi.

Gerakan Buddhis di Vietnam Selatan bergumul dengan perpecahan dan ketidaksepakatan internal, serta penindasan oleh pemerintah RVN. SYSS menghadapi masalah keuangan dan keamanan yang genting; puluhan murid dan staf terluka, diculik, atau dibunuh. Meski menghadapi tantangan-tantangan tersebut, umat Buddha tetap aktif hingga selesainya perang pada 1975, mengorganisir protes, petisi, dan bantuan kemanusiaan, serta mengelola sekolah dan panti asuhan. Mereka menunjukkan bahwa praktik keagamaan mereka tidak terbatas di wihara ataupun biara. Sebaliknya, mereka terlibat dengan isu-isu perang, pemerintah, dan masyarakat sipil yang paling mendesak—dan upaya mereka berdampak penting dalam politik nasional dan pendapat internasional.

Adrienne Minh-Châu Lê
Columbia University

References

DeVido, Elise Anne. “Buddhism for This World: The Buddhist Revival in Vietnam, 1920 to 1951, and Its Legacy,” in Modernity and Re-Enchantment: Religion in Post-Revolutionary Vietnam, by Philip Taylor, ed. Lanham: Lexington Books, 2007.

Lê, Adrienne Minh-Châu. “Buddhist Social Work in the Vietnam War: Thích Nhất Hạnh and the School of Youth for Social Service,” in Republican Vietnam, 1963-1975: War, Society, Diaspora by Trinh Lưu and Tường Vũ, eds. University of Hawai’i Press, 2023.

McAllister, James. “‘Only Religions Count in Vietnam’: Thich Tri Quang and the Vietnam War,” Modern Asian Studies 42, no. 4 (July 2008): 751-782.

Miller, Edward. “Religious Revival and the Politics of Nation Building: Reinterpreting the 1963 ‘Buddhist crisis’ in South Vietnam.” Modern Asian Studies 49, no. 6 (November 2015): 1903-1962.

Topmiller, Robert J. The Lotus Unleashed: The Buddhist Peace Movement in South Vietnam, 1964-1966. Lexington: University Press of Kentucky, 2002.

Notes:

  1. Edward Miller, “Religious Revival and the Politics of Nation Building: Reinterpreting the 1963 ‘Buddhist crisis’ dalam South Vietnam.” Modern Asian Studies 49, no. 6 (November 2015): 1903-1962.
  2. Robert Topmiller, The Lotus Unleashed: The Buddhist Peace Movement in South Vietnam, 1964-1966 (Lexington: University Press of Kentucky, 2002); James McAllister, “‘Only Religions Count in Vietnam’: Thich Tri Quang and the Vietnam War,” Modern Asian Studies 42, no. 4 (Juli 2008): 751-782; Sophie Quinn-Judge, The Third Force in the Vietnam War (London: I.B. Tauris, 2017); ibid.
  3. Simak artikel-artikel di balik nama pena Dã Thảo in Phật Giáo Việt Nam (1956-1958); dan entri jurnal pribadi yang diterbitkan Kembali dalam Nẻo Về Của Ý (Hà Nội: Nhả Xuất Bản Hồng Đức, 2017).
  4. Elise Anne DeVido, “Buddhism for This World: The Buddhist Revival in Vietnam, 1920 to 1951, and Its Legacy,” dalam Modernity and Re-Enchantment: Religion in Post-Revolutionary Vietnam, ed. Philip Taylor (Lanham: Lexington Books, 2007), 251.
  5. Dã Thảo (Nhất Hạnh), “Thống Nhất Toàn Vẹn,” Phật Giáo Việt Nam (PGVN) 9 & 10 (April-Mei 1957), 12-13.
  6. PGVN (Nhất Hạnh), “Vấn Đề Thống Nhất,” PGVN 3 (Oktober 1956), 5.
  7. PGVN, “Vấn Đề Thống Nhất,” 5.
  8. PGVN, “Thực Hiện”, PGVN 11 (Juni 1957), 3-4.
  9. Nhất Hạnh, Nẻo Về Của Ý (NVCY) (Hà Nội: Nhả Xuất Bản Hồng Đức, 2017), 17.
  10. Nhất Hạnh, “The Struggle for Peace in Vietnam,” dalam Religious and International Affairs, ed. Jeffrey Rose dan Michael Ignatieff (Toronto: House of Amans, 1968), 130.
  11. Nhất Hạnh, “Nói Với Tuổi Hai Mươi” Giữ Thơm Quê Mẹ (GTQM) 4 (Oktober 1965): 56-61.
  12. Adrienne Minh-Châu Lê, “Buddhist Social Work in the Vietnam War: Thích Nhất Hạnh and the School of Youth for Social Service,” dalam Republican Vietnam, 1963-1975: War, Society, Diaspora ed. Trinh Lưu dan Tường Vũ (University of Hawai’i Press, 2023).
  13. Nhất Hạnh, “Nói Với Tuổi Hai Mươi” GTQM 11 (Mei 1966): 69-73.
  14. Nhất Hạnh, “History of Engaged Buddhism: A Dharma Talk by Thich Nhat Hanh” kelas kuliah dihantarkan di Hanoi, Vietnam, 6 Mei 2008, dalam Human Architecture 6, no. 3, (Edisi Musim Panas 2008): 35.
  15. Nhất Hạnh, NVCY, 286.
Exit mobile version