Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Persahabatan, Beberapa Imajinasi yang Dimediasi, dan Relijiusitas di Jawa/Tempat lainnya

        

Jumpa Lagi

Saya sudah mengunjungi Indonesia selama dua belas tahun, dan terlibat dalam penelitian sebagai antropolog budaya di pulau Jawa, tepatnya di kota Yogya. Musim panas saya kembali berkunjung. Seorang sahabat lama yang saya kenal baik secara profesional dan pribadi singgah di rumah sewaan kami di selatan Yogya. Mas Yarto, pegawai universitas yang mengelola pembayaran proyek penelitian universitas lokal, adalah pengumpul data yang amat baik bagi proyek kami ketika bertemu dengannya dua belas tahun lalu. Saat itu saya masih mahasiswa pasca sarjana dan tiba bersama seorang teman yang juga mahasiswa pasca sarjana, sama-sama meneliti di kota ini untuk disertasi kami di bidang antropologi budaya.

Saat kedatangannya, kami saling memberi salam dengan bersalaman hangat dan menempelkan pipi. Setelah melepaskan sepatunya ia memasuki ruang depan yang menjadi bagian kami, yang menuju ruang besar untuk tamu. Di ruang tamu terdapat kipas angin menempel di langit-langit. Ruang ini juga dihiasi dengan barang antik dari Jawa, tekstil, dan seni Indonesia modern. Di pojok ruangan bermarmer ini tergantung lukisan yang sangat indah seorang lelaki gagah, setidaknya untuk ukuran Indonesia. Lukisan Soekarno berbaju lengan pendek dan berkopiah. Dengan kipas berputar yang menyebarkan udara sejuk, di antara barang antik yang berasal dari berbagai masa modern, kami menyalakan rokok kretek bersama. Asap rokok yang khas mengikat persahabatan kami sebagai lelaki.

Sekecap kemudian kami sudah membicarakan peristiwa 11 September. Dari balik asap rokoknya mata Mas Yarto berupaya menembus tabir sekaligus mengemukakan teori dan mengajukan pertanyaan pada tragedi tersebut. Dengan memandang mata saya, ia bertanya,”apakah benar ada ribuan orang Yahudi bekerja di World Trade Center yang sebelumnya mengetahui peristiwa itu akan terjadi sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu,” sehingga mereka bisa terhindar dari kematian, aniaya dan luka-luka. Dengan mengetahui informasi ini, seseorang hanya dapat mengambil satu kesimpulan, sejalan dengan pertanyaan retorikanya, bahwa,”Orang Yahudi lah yang menerbangkan pesawat.”

Sesaat kemudian terdengar azan. Mas Yarto dengan sopan meminta diri untuk berwudhu dan sembahyang di pojok ruangan, yang saya lihat sebagai bahasa tubuh strategis untuk menguatkan posisinya mengenai peristiwa penyerangan. Sementara saya meneruskan merokok di dalam kesunyian. Seperti dikatakan Marc Perlman dalam kunjungan ulangnya pada 1997 ke Solo, kota kerajaan lainnya di timur Yogya, saya cukup terkaget atas “peningkatan relijiusitas pribadi”(Perlman 1999, 11). Selama perkenalan kami bertahun-tahun, sekali-kalinya saya lihat Mas Yarto bersembahyang adalah ketika ia dan pegawai lainnya bersembahyang di ruangan kecil yang digunakan untuk itu. Saya pernah menjadi tamu semalam di rumahnya dalam beberapa kali kesempatan, dan kami menghabiskan berkali-kali sore setelah jam kerja berputar-putar kota di atas motornya, menonton film di bioskop, mengunjungi lokasi penelitian, warung, dan tempat-tempat lainnya di Yogya yang menurutnya layak dikunjungi.

Perbincangan kami saat itu berkisar di antara politik dan kebudayaan, kebudayaan Jawa, dan tentu saja kesukaan saya mengenai pengobatan tradisional. Walaupun ia tinggal di kota kecil di sebelah selatan Yogya, tempat raja-raja Yogya dan Solo dulu dan keluarganya dimakamkan – lokasi makam dikatakan angker dan keramat – kami jarang sekali membicarakan jenis-jenis agama Jawa, kecuali kebatinan dalam pengobatan. Islam, dan pasti Kristen, seingat saya, tak pernah didiskusikan.

Kembali ke masa dua belas tahun lalu, saya lebih melihat Mas Yarto sebagai manusia modern. Pendukung Soekarno, sangat curiga terhadap pemerintahan Soeharto, terlibat dalam ilmu pengetahuan walaupun perannya amat kecil sebagai pembersih data. Dan pria Jawa itu berteman dengan dengan seseorang dari satu tempat, ketika itu, mewakili modernitas – mulai dari teknologi hingga seks bebas. Satu petang kami dan beberapa teman dari kantor menonton film JFK garapan Oliver Stone. Ketika pemeran utamanya, Kevin Costner, mulai membuat kerangka konspirasi yang digabung dengan pembunuhan John F Kennedy dalam satu kudeta, saya lihat Mas Yarto menitikkan air mata. Setelah film selesai, dia dan temannya setuju Soekarno dan JFK memiliki beberapa kesamaan dan yang menimpa Kennedy – setidaknya di film – juga terjadi pada Soekarno. Secara umum teori konspirasi mengkritik dengan pelan atas negara-bangsa modern dan pemerintahnya berniat memberi kita pandangan umum – aroma kuat modernitas.

Pada 2002 di sini kami membicarakan kembali teori konspirasi. Mas Yarto mengemukakan alasan yang terpotong-potong di ruangan ketika panggilan azan Magrib terdengar di udara menggambarkan kebiasaan mencari konspirator dan provokator di balik setiap kejadian di dalam sejarah, yang mendorong perubahan, dan peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Ketika krisis ekonomi dan politik dimulai pada 1997 – diikuti dengan kejatuhan Soeharto, kekerasan di berbagai pojok negeri, demonstrasi mahasiswa dan reformasi, skandal bank, pembunuhan dukun santet, pemerkosaan etnis Cina dan perempuan Cina-Indonesia, kanibalisme dan perburuan kepala model baru di pulau-pulau luar Jawa, dan tentunya politik licik dan tidak licik di Parlemen – koran dan dan majalah mengkonfirmasi dan menyulut pengetahuan lokal dan rumor bahwa ada seseorang atau sekelompok orang berdiri di balik segala peristiwa.

Karena pertemanan kami yang cukup lama di alam modernitas, saya menjelaskan kepada Mas Yarto proposisi seperti itu bertentangan dengan akal sehat. Buktinya sangat jelas, ucap saya tanpa ragu-ragu (atau berpikir), anggota organisasi Osama bin Laden menyerang dan mereka juga yang merencanakannya.

Musim panas berlalu, saya semakin sadar munculnya pola global memasuki hubungan saya dengan Mas Yarto. Sejak kedatangan dengan semangat ia mengarahkan perhatian akademik saya pada sejarah dan karakter Islam Jawa. Dia mengerjakannya sendiri dan mengatur beberapa wawancara dengan orang-orang yang dianggapnya di kota kecil ini mengetahui banyak mengenai Islam, sarjana mengenai Islam. Satu pertemuan dengan orang yang mempelajari Islam secara otodidak akhirnya terjadi juga di tempat yang letaknya kira-kira setengah jam ke arah selatan kota. Dia mengundang beberapa teman dari Yogya menghadiri “wawancara”, dan perbincangan dijadwalkan pada sore hari. Tampaknya logis saja kalau ia menjemput beberapa temannya dan membawa saya ke sini. Menanti mereka datang, tiba-tiba saya saya melihat koran yang terdapat foto Daniel Pearl, reporter yang terbunuh, terikat, duduk di lantai, kepalanya menunduk, rambutnya dijamah oleh penangkapnya, senjata dan pisau mengarah ke kepalanya. Memalukan, saya menjadi ketakutan sewaktu menunggu, sehingga saya menghubungi ke rumah dan menjelaskan kawan wanita saya ia harus melakukan sesuatu jika saya tak kembali.

Mas Yarto – dan keberadaan kami dalam politik identitas yang dimediasi berbalik menjadi keras, satu kenyataan “realisme keragaman” saya bawa kedalam kerja imajinasi – menakutkan saya hingga ke titik yang mengejutkan. 1 Sepanjang pengalaman di Indonesia, saya tak pernah mengalami ketakutan seperti ini. Lebih lagi, kontemplasi tersebut menyangkut seseorang yang saya sebut kawan dekat dan bahkan saudara. Kami bekerja, makan, bermain, dan pergi bersama. Saya mendukung anaknya sekolah, dia membantu teman perempuan saya dengan penelitiannya. Kami memiliki hubungan yang amat mendalam. Ketakutan, perasaan terkait dengan peristiwa global yang saya alami ketika menaiki mini van, ini menghancurkan hubungan kami sebagai manusia yang sudah berjalan lama, namun selalu saja diperbarui secara emosional. Sekarang saya ragu-ragu berbicara dengan Mas Yarto sebelum pulang mengenai ketakutan sore tadi. Dua tahun kemudian (2004) kami bertemu lagi, singkat saja. Hanya ada sedikit yang bisa kami bicarakan, walau dia membawa cinderamata yang tampaknya menjadi perlambang di Indonesia ketika itu, “representasi kekerasan melalui media massa”, seperti yang diamati Mote dan Rutherford di Papua (Mote and Rutherford 2001, 117). Dia membawa sebuah buku. Buku itu bukanlah representasi kekerasan, namun terjemahan bahasa Indonesia sarjana Barat atas tafsir surat di Al Quran yang mengemukakan berbagai jenis penafsiran, dan kenyataan maya yang mencatat imajinasi masa itu.

Mediasi

Sejak krisis politik dan ekonomi, Intifada kedua di Palestina, peristiwa 9/11, dan perang di Afganistan dan Irak, harapan komunitas internasional di Jakarta penduduk dan politiknya masih “moderat”. Tampaknya ada kesepakatan umum di antara pengamat Indonesia dan kalangan professional bahwa kuatnya sejarah toleransi dan kelenturan identitas sosial dan kehidupan sosial penduduk di wilayah ini merupakan sumber politik identitas moderat. Toleransi dan kelenturan dalam orientasi dan pengalaman dicatat sebagai salah satu sifat budaya di kepulauan Asia Tenggara, dan khususnya di kepulauan Indonesia. O.W Wolter, ketika menjelaskan karakteristik “matriks budaya” wilayah ini, dengan mengutip teks Jawa kuno berasal dari abad ke sembilan belas sebagai aspek kepribadian yang secara umum dimiliki di setiap lapis sosial dan budaya, bahwa seseorang yang beradab (wong praja) digambarkan sebagai seseorang yang lentur (lemesena) (1999, 161). 2 Ben Anderson mencatat secara khusus bagi orang Jawa, “segala sesuatu bisa ditolernasi, sehingga hal-hal tersebut dapat diadaptasi atau dijelaskan dengan cara hidup orang Jawa” (1996, 16). Belakangan, semuanya telah ditelan waktu, Anderson mencatat mengendurnya “toleransi Jawa” dan munculnya secara figuratif “tingginya tembok penghalang di antara kelas-kelas sosial”(2002, 3) dalam kasus-kasus sastra dan arsitektur sosial.

Peristiwa-peristiwa di Indonesia sebelum dan sesusah 9/11 menunjukkan toleransi dan kemampuan orang Jawa “berpindah tempat” sedang mengalami tantangan di negara yang secara budaya sangat beragam (Beatty 2002). Khususnya, “kewarganegaraan yang lentur”, antara afiliasi agama dan kepribadian tampaknya akan mengalami perubahan ke arah kekakuan. 3 Seperti yang dikeluhkan Anderson empat puluh tahun lalu dan baru-baru ini, kekuatan-kekuatan global dan meningkatnya nasionalisme di antara orang Jawa “secara nyata mengancam ajaran lama mengenai keragaman,” “menyepelekan ajaran toleransi yang sudah lama dan sudah begitu terstruktur” (1996, 42). Berdasarkan pengamatan dan pembicaraan dari dekat ataupun dari jauh, saya ingin mengemukakan cara identitas di Indonesia, khususnya identitas agama, sangat cepat berubah. Konflik Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi – yang dilukiskan sebagai konflik etnis, agama, politik, ekonomi atau kombinasi semuanya – mungkin cukup meyakinkan sebagai ocntoh wajah pembentukan identitas yang kaku, tak terlalu toleran. Berikut saya akan menganalisis beberapa percakapan dengan kawan lama dan orang-orang lain ketika mengadakan penelitian lapangan di Yogyakarta pada 2002.

Untuk pertama kalinya dalam konteks ini, saya bertemu dengan “Yahudi”. Saya mulai menaruh perhatian. Menjadi sangat jelas kalau penanda global ini begitu penting tak hanya sebagai tanda tanda tafsir khusus untuk mengerti 9/11 dan peristiwa lainnya di luar Indonesia. Kata itu juga menerima muatan semiotika sebagaimana juga ia merefleksikan perpindahan formasi sosial, praktik dan pembentukan identitas yang saling berlawanan. Menimbang sedikitnya komunitas Yahudi di Indonesia, sehingga hanya ada sedikit pengalaman – dan pengetahuan mengenai Yahudi di antara orang Indonesia. 4 Hanya ada sedikit Yahudi di komunitas kecil di Surabaya, mereka tak pernah menjadi sasaran atau mengalami diskriminasi. Tetangganya yang Muslim malah menyalami dengan “shalom”, kosher (makanan halal menurut cara Yahudi) didapatkan dari penjual daging halal, dan selama beberapa waktu satu keluarga Muslim menjadi juru kunci sinagog (lihat Graham 2004). Ini menandakan bahwa penanda global, yaitu Yahudi, di Indonesia bergema dengan kejadian-kejadian lain dan kecemasan di antara orang Indonesia.

Setelah anggota parlemen memilih Abdurahman Wahid sebagai presiden keempat, misalnya, kekerasan antara Israel dan Palestina mulai dirasakan “dimediasi di suatu tempat” di negeri ini. Pada waktu inilah Yahudi sebagai penanda politik memperoleh posisinya di dalam “scopic regime” ketika “realisme keragaman”dimainkan betul-betul (lihat Feldman 2000). Siegel mencatat “kata ‘Yahudi’ di Indonesia menunjukkan ancaman,” tetapi ancaman yang tak berbentuk (2001, 302). Dalam beberapa kesempatan, seperti yang diungkapkan Siegel, identitas agama Yahudi “bergabung dengan Kristen” (ibid, 272). Hasan melihat gabungan yang sama atas “teori konspirasi Zionis-Kristen” (2002, 163). Jelasnya, inilah yang ada di kepala pengebom Bali. Dalam sidangnya, Amrozi, salah seorang tertuduh, menjelaskan pengebomam tersebut didorong oleh penurunan moral di seluruh dunia dimulai oleh Yahudi, Amerika Serikat dan teman-teman Amerika. Dalam benaknya, cara hidup sekuler yang jahat ini berkompetisi dengan dengan agama yang coba menahan pembusukan moral. Ia “banggsa dengan penyerangan yang membunuh orang kulit putih, tetapi sedih atas meninggalnya orang Indonesia.”

Siegel berpendapat anti Semitisme berhubungan dengan “Yahudi yang dimediasi” masuk ke dalam politik keragaman agama sehari-hari di Indonesia melalui laporan media mengenai kekerasan antara Muslim dan komunitas “Cina”. Siegel berpendapat bahwa “orang Cina membuat Yahudi menjadi ancaman…tubuh dan tempat di Indonesia” (2001,303). Reid mengutip bukti yang menghubungkan Yahudi dan Cina memiliki sejarah di Asia Tenggara, karena Cina dikenal sebagai“Yahudinya orang Timur” (1997, 55). Dan Chirot mengatakan, “analogi Cina dengan Yahudi sama sekali tidak diterima oleh kelompok intelektual Cina di Asia Tenggara” dan hanya menimbulkan “kebencian di kalangan Muslim”. Sebagai akibatnya, penanda global Yahudi, telah dimuati dengan tanda-tanda rasial, memediasi identitas sosial Cina yang sudah merupakan “kategori rasial” dalam masyarakat Indonesia. Sehingga teori sosial mengenai Cina-Indonesia sebagai Cina, Indonesia atau identitas penanda lainnya hanya berperan sebagai ramalan yang membuktikan dirinya sendiri. Begitulah rasisme bekerja, dan tampaknya cukup berguna bagi banyak orang untuk memahami kehidupan sosial dan perbedan-perbedaan.

Penanda global “Yahudi” yang dimediasi melalui media Indonesia juga menyulut ketakutan di antara Muslim Indonesia bahwa Islam sedang mengalami pencampuran. Ketakutan ini seringkali diwujudkan dalam wacana yang berkaitan dengan “darah”. Pada Oktober 2000, di Malaysia terjadi protes atas kehadiran pemain kriket asal Israel, peristiwa ini juga mendorong demonstrasi di Jakarta. Pengunjuk rasa di Indonesia membasahi bendera Israel dengan darah dan berkata, “Kami ingin darah Yahudi.” Setahun kemudian Abdurahman Wahid, yang terkenal sebagai pendukung toleransi beragama, menyulut sikap anti-Yahudi pada komunitas Islam di Indonesia ketika beliau secara terbuka mengumumkan akan membuka hubungan ekonomi dan budaya dengan Israel. Protes pun bermunculan, bendera Israel dibakar, pemuka agama dan mahasiswa bereaksi. Kemudian, Alwi Shihab, Menteri Luar Negeri, mengajukan pendapat di parlemen bahwa Indonesia memerlukan dukungan “lobi Yahudi” dalam upayanya menghalangi pengadilan internasional atas kasus Timor Timur yang terkait dengan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia. Kenapa “lobi Yahudi?”Karena Kongres Amerika dikendalikan oleh Yahudi dan Menteri Luar Negeri Amerika ketika itu adalah Madeleine Albright, yang mengalir darah Yahudi di tubuhnya.

Reid mengeluhkan kalau sekarang di Indonesia dan Malaysia, “perumusan rasial yang paling kasar atas modernisasi demonologi diarahkan kepada “Yahudi”, kelompok minoritas yang hanya dikenal sebagai konstruksi teori” (1997,63). Dalam upayanya menjelaskan “modernisasi demonologi,” Reid memperhatikan ketertarikan dan keengganan orang Indonesia terhadap modernisasi, westernisasi, dan globalisasi – proses sejarah dan keadaan yang seringkali dipahami oleh orang Indonesia sebagai satu paket. Orde Baru di bawah Soeharto mengemas pembangunan bersamaan dengan demokrasi lokal, hubungan sosial yang bertingkat, pergerakan barang dan jasa sebagai dasar dari masyarakat yang adil dan sejahtera, dan juga sebagai dasar negara Indonesia. Reformasi membuka tabir mimpi Soeharto atas pembangunan yang berdasarkan kolusi, korupsi dan nepotisme 5 dan sangat bertentangan dengan prinsip negara gotong royong yang saling membantu, mengedepankan nilai keluarga, dan prinsip-prinsip balas budi yang merupakan nilai-nilai sosial penting bagi orang Indonesia. 6

Tetapi mimpi-mimpi sangat sulit disadarkan, dan di sinilah letaknya ironi. Tertuduh pengebom Bali lainnya, Ali Imron, mengatakan “kemampuan kelompok kami sebagai anak Indonesia patut dibanggakan.” Pernyataan ini mengingatkan kembali pada Sumpah Pemuda 1928 menyuarakan “kesadaran” nasionalisme di Indonesia. 7 Kesadaran identitas nasional inilah, beserta aspirasinya, yang masuk ke dalam modernitas negara-bangsa. Di bawah Orde Lama Soekarno dan Demokrasi Terpimpin, menjadi negara-bangsa adalah kemajuan semiotika ke arah kematangan dan masyarakat maju. Namun, bagi rejim Orde Baru di bawah Soeharto, hanya menjadi negara-bangsa tidaklah cukup; yang menjadi tanda modernitas ialah pembangunan yang dirancang secara teknokratis dan dikembangkan berdasarkan teknologi. Tiga puluh tahun mentalitas pembangunan seperti itu memiliki dampak psikologis, sosial, dan budaya yang dalam terhadap warga Indonesia, khususnya cara mereka melihat dirinya sendiri, di antara mereka sendiri dan di di pergaulan dunia. 8 Makanya tak terlalu mengejutkan jika sumber kebanggaan utama Imron terletak pada kemampuan teknologi pembuatan bom dan kemampuan anak miskin berasal dari desa melawan negara maju seperti Amerika dan Australia (lihat Fealy 2003). Selama konferensi pers Imron mengatakan “Kemampuan kami sebagai warga Indonesia adalah kebanggaan, tetapi hal itu digunakan untuk tujuan yang salah.” Dia mengakui belajar membuat bom di Afganistan. Menghubungkan negara Indonesia dengan inovasi teknologi merupakan ideologi pokok pembangunan di bawah rejim Soeharto.

Pembangunanisme yang meluncur melalui pernyataan pengebom Bali mewakili konsekuensi ekonomi dan budaya politik Orde Baru. Selama rejim Soeharto, globalisasi seperti yang didefinisikan Troullot sebagai – “perubahan dalam komposisi dan spasialisasi modal” (2001,128) – terjadi di Indonesia, dan dapat dirasakan, saya rasa cukup jujur untuk mengatakannya, pada setiap tingkat masyarakat dengan berbagai cara. Ketika Trouillot mengatakan globalisasi merupakan proses yang terpecah, dia mengenali “tergabungnya pasar untuk barang-barang konsumsi,” menghubungkan manusia dan tempat (seperti Indonesia) ke dalam “jaringan konsumsi ketika ide-ide nasional menjadi serupa dengan cara-cara mencapainya guna menghindarkan menjadi mayoritas yang terus berkembang” (ibid). Pasar, terutama yang dimediasi, diwujudkan dan dipajang sebagai hasrat untuk mencapai “hidup baik” seperti yang dikatakan dan disukai pengebom Bali. 9 Media konvensional seperti televisi, radio, cetak masih secara dominan dipengaruhi oleh pihak lain, seperti Amerika Serikat, Jepang, Hong Kong, dan India. 10Mediasi imajinasi sosial mengenai hidup baik dicapai melalui konsumsi barang-barang konsumer terlihat sangat jelas bagi pengunjung yang baru tiba ataupun bagi kami yang sudah cukup lama di Indonesia. 11 Sebelum terjadi gelombang anti Amerika, itulah gambaran tunggal dominan yang diproyeksikan kepada saya oleh banyak warga Indonesia yang saya temui dan kenal.

Dengan berbagai cara perilaku Mas Yarto petang tadi merefleksikan sentimen serupa. Saya duduk di depannya, sebagai obyek dan subyek dalam “scopic regime”yang muncul sebagai kenyataan berganda yang ditanamkan dalam sejarah dan sekarang menyerang sejarah hidup kami sebagai teman dan mitra kerja. Sambil saling menatap, kami berdua, saya percaya, berkontemplasi ke banyak “tempat” – “tempat-tempat yang dimediasi dan dimediasikan” yang dikatakan Spyer sebagai “putaran imaji, kata-kata, suara, slogan dan vector” kuat memediasi sejarah kehidupan lokal (2000,28). 12 Saya hanya dapat mengandaikan seperti itulah Mas Yarto. Mungkin saya harus bertanya, tetapi akibatnya bagi saya, yang diindikasikan oleh ketakutan sore lainnya, sangat mengganggu.

 Relijiusitas

Dengan cara serupa, “hal-hal tebal tadi” mempengaruhi imajinasi komunitas, atau tepatnya, komunitas Indonesia sekarang. 13 Itu hasil gabungan dari banyak kejadian, imaji, kegiatan, dan kaitan-kaitan yang menjadikan momentum tersebut ada di Indonesia. Pengamat dari luar dan dalam negeri mencatat naik turunnya Reformasi. Mereka memperhatikan kemampuan dan kebebasan orang Indonesia mengekpresikan identitas dan pikirannya dengan berbagai cara. Dalam kaitannya dengan identitas, Gerry van Klinken mencatat saat ini ”terdapat wacana eksklusif etnisitas yang tak pernah didengar di depan publik sebelumnya di Indonesia” (2002,68). Mungkin, hasrat terhadap darah Yahudi dan penafsiran darah sebagai secara inheren melekat pada afiliasi agama merupakan tanda-tanda yang mengganggu ketika itu. Siegel mengakui bahwa kategori “Cina” bagi sebagian orang Indonesia adalah “kategori rasial” (dalam pengertian identitas digambarkan “diwariskan melalui sifat-sifat fisik”), tetapi mengatakan bahwa orang Indonesia memiliki ukuran berbeda mengenai rasisme (1998, 83,85). Dia melihat perbedaan antara “rasisme Eropa” dan “rasisme Indonesia” dalam pengertian perwujudan dan asimilasi – rasisme Eropa “tidak dapat mentoleransi”unsur-unsur yang menjadi ancaman, sementara Cina menjadi ancaman hanya jika mereka tidak menjadi “orang Indonesia yang baik” (ibid, 85).

Saat ini, elemen-elemen yang tak dapat ditoleransi diwujudkan oleh individu-individu menjadi begitu berakar dalam konflik etnis-agama. Dalam versi lain paper ini, teman saya, Janice Newberry, antropolog yang melakukan penelitian lapangan di kampung-kampung daerah perkotaan, mencatat sepotong pembicaraan dengan seorang anak laki-laki dari keluarga yang rumahnya kami tinggali selama ini. Sepanjang yang dia ingat,

Saya berbicara dengan laki-laki tertua keluarga ini, pendiam, yang telah lama bekerja keras dan cukup lama di apotik bersama dengan ayahnya untuk membantu keluarga. Akhirnya dia menikah dan pindah rumah ke keluarga istrinya, walau ia masih menghabiskan cukup banyak waktu di rumah ibunya. Karena tak ingin berbicara banyak, kata-katanya selalu membawa lebih banyak beban sebagai konsekuensinya. Ia berbicara bagaimana sesuatunya berubah. “Seperti yang anda tahu, Mbak, sekarang anak kecil pun tak mau menerima uang dari tangan saya. Sekarang ini saya kafir.” Penggunaan kata kafir sangat mengagetkan. Saya tak pernah mendengarnya. Dan kini seorang Katolik berpikir bagaimana seorang anak pun enggan menyentuhnya. Itu momentum yang sangat mengganggu (Newberry and Ferzacca 2003)

Meningkatnya relijiusitas teman-teman Indonesia seperti yang saya perhatikan dan Perlman berarti – bagi sebagian orang Indonesia – kemurnian agama pada tubuh/badan, ketimbang perbedaan dalam kebiasaan, ritual, cara pandang mengenai Tuhan, dan cara-cara ibadah. Hal ini terbukti secara langsung ataupun tidak langsung. Sebagian dari “cara pandang agama definitif” yang muncul di Indonesia disulut oleh Internet (lihat Bräuchler 2003). Dan ketika tubuh dari berbagai pihak yang terlibat dalam konflik sektarian dapat dimurnikan melalui asimilasi (konversi), mereka tak akan menjadi sasaran lagi karena darah yang mengalir ditubuhnya. Ja’far Umar Thalib, mantan pemimpin Laskar Jihad, milisia Islam, berkata dalam satu wawancara ketika konflik Islam-Kristen begitu tinggi, “Laskar Jihad menilai darah Muslim sangat mahal. Kenyataannya darah Muslim lebih suci karena berasal dari Ka’bah dan karena juga berasal dari Arafah.” 14 Dalam persidangannya yang berkaitan dengan kegiatan terorisme di Indonesia, Abu Bakar Ba’asyir mengatakan seperti yang dikutip oleh jaksa, “Jika darah mereka halal, begitu juga milik-milik mereka,” artinya milik-milik non-Muslim boleh diambil oleh Muslim. 15

Menghubungkan darah dengan afiliasi agama bukanlah perkembangan baru. Hubungan tersebut terjadi sebelum masa Pendudukan Jepang. Ketika perang berkecamuk, Soekarno, berada dalam tahanan rumah oleh Belanda di Bengkulu, menulis beberapa artikel menanggapi keputusan yang diambil ulama dalam adalah Majlis Islam A’laa Indonesia, MIAI, organisasi yang kemudian menjadi Masyumi, partai politik Muslim. 16 Dalam tajuk harian Pemandangan, yang terbit pada 18 Juli 1941, Insinyur Soekarno, manusia modern, meyakinkan pentingnya transfusi darah (1959a dan 1959b). Pokoknya bermula karena beberapa ulama keberatan jika darah Muslim digunakan untuk menyelamatkan musuh dan sebaliknya memakai darah non-Muslim untuk menyelamatkan Muslim. Soekarno berpendapat pentingnya mendermakan darah dan tranfusi darah dengan memakai “data”yang diambilnya dari Al Quran dan sejarah Islam.

Bukankah Al Quran berpendapat bahwa orang Musyikin najis? Itu betul dikatakan demikian, tetapi najis dengan apa? Badan yang najis? Darah yang najis? Tidak! Yang dikatakan Al Quran mengenai najis merujuk pada pemahaman mereka yang najis, mengotori itikad, pikiran kotor, agama kotor. Musyikin bisa saja bersih jika mereka percaya Tuhan Yang Masa Esa – dari syirik ke Islam. Dan darah yang mengalir dalam tubuhnya tidak kotor dan tidak suci, sepanjang darah mereka tidak menjadi kotoran. Jangan lupa seorang Muslim juga najis jika berasal dari darah Muslim yang “kotor.”Darah kotor seperti itulah yang najis. 17

Soekarno membedakan dengan jelas antara darah yang membawa identitas karena hubungannya dengan najis dan darah yang sifatnya biologis yang secara patologis kotor melalui proses biologis, menjadi kotoran. Untuk membedakan ini, Soekarno menekankan “toleransi”orang Jawa, tetapi juga memperlihatkan cairnya antara tubuh dan identitas agama. Menjadi Muslim, darah seseorang tentu suci; karena biologi tunduk pada sejarah dan bukan entitas alamiah yang tetap secara primordial terkait dengan identitas tetap. Itulah janji modernitas, dan lebih lagi janji-janji Revolusi – bahwa identitas itu dibuat dan dikelola. Menggunakan kategori klasik modernitas Indonesia, dia menyeru kepada Muslim untuk tidak mentah, primitif, biadab, dan kejam. Ia menyeru untuk menjadi Muslim yang modern, walaupun dalam masa perang haruslah berisi budi yang halus (ibid, 501). Karena kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan maka darah yang diterima melalui transfusi bukanlah “darah kotor”tetapi “plasma yang bersih dan murni” (ibid, 506).

Seperti yang dicatat Errington, “di kepulauan di Asia Tenggara…spekulasi mengenai alasan-alasan adanya perbedaan-perbedaan di antara orang (lelaki dan perempuan, tinggi dan rendah, Jawa dan bukan-Jawa) seringkali meletakkan anatomi atau fisiologi pusat” (1990, 57). Secara umum ini benar, tetapi masih banyak contoh perwujudan identitas yang bertindak sebagai kode perbedaan di dalam dan di luar Jawa. Perubahan kutub-kutub pembentukan identitas antara ketetapan dan toleransi merupakan hal tetap dalam sejarah hubungan sosial di kepulauan ini. “Menjadi orang Indonesia (dulu) adalah (dan sekarang) bukanlah sesuatu yang “alamiah” atau biologis, tetapi sesuatu yang (dulu dan sekarang) diciptakan oleh sejarah modern,” (Anderson 2002, 19). Sejarah modern selalu berkaitan dengan Melayu dengan Islam, Bali dengan Hindu, Cina dengan ateis, dan sebagainya. 18

Dalam pembicaraan saya dengan ahli agama di kotanya Mas Yarto, menghubungkan tubuh, etnisitas dan agama digambarkan sebagai penjelasan yang benar mengenai masalah Israel-Palestina. Guru agama otodidak tersebut membuat narasi seperti tadi semalaman. Dalam daerah yang kuat Kejawen-nya ini, guru tersebut mengidentifikasi persoalan sebagai masalah Yahudi dan Arab, yaitu masalah identitas etnik yang secara biologis tetap atau setidaknya secara genetis terus berlangsung. Dia berpendapat konflik ini dibuktikan oleh peristiwa-peristiwa bukan hanya oleh konflik agama, dan pastinya bukan konflik yang berlandaskan ideologi Islam atau teologi. Dia mengutip peristiwa (seperti 9/11) memiliki sejarah genealogi yang dimulai dari perseteruan keluarga antara keturunan Ibrahim yang kemudian terjerat ke dalam organisasi politik “modern”. Dia menggambarkan urut-urutan modern yang menempatkan kekerasan yang baru saja muncul dalam satu seri tingkatan revolusi sosial. Persoalan ini dimulai dari konflik di antara keluarga, diikuti oleh suku, kepemimpinan dan akhirnya negara-bangsa.

Berdasarkan proposalnya, yang ditulis dalam konteks negara-bangsa bahwa kemurnian pesan agama ditelikung dan dikotori oleh politik modern atas identitas yang bertujuan memuaskan hasrat sekuler, menolak kemurnian pesan agama yang mestinya berada di luar masalah manusia. Ja’far Umar Thalib setuju, dan ini pesan umum yang saya dengar sejak musim panas. 19 Semula adalah perseteruan mengenai darah, dari cara pandang ini, dan berlanjut menjadi rasial. Dengan alasan yang serupa, ketika pengebom Bali Amrozi menerima hukuman mati, sementara saudaranya Imron menerima hukuman seumur hidup, dia mengekspresikan penyesalan kepada adiknya. Amrozi mengatakan, “Tentu saja kami berbeda. Saya tak dapat mengenalinya. Dia berpakaian seperti pengacara. Bukankah, kami berasal dari telur yang berbeda?”

Bukti lebih jauh yang menghubungkan identitas etnis dan agama adalah naskah rancangan undang-undang yang akan membawa negara ke dalam masalah intim ini di bawah bendera menjaga harmoni agama. Keinginan sebagian kelompok Muslim menyertakan syariat ke dalam hukum nasional – atau malah mengganti hukum dengan syariat – sangat mengganggu orang Indonesia yang masih ingin menjaga pemisahan antara agama dan negara, Pancasila tanpa Piagam Jakarta, seperti yang sering dirujuk. Bagi mereka, masalah dengan syariat bukanlah afiliasinya dengan agama, tetapi klaimnya yang merupakan satu-satunya petunjuk dalam mengatur tingkah laku. Dalam bahasa Arab, syariat, berarti jalan yang jelas, jalan yang jelas menuju air. Semangat atas perubahan yang diusulkan merupakan aksi pemurnian.

Sekali lagi, ini bukanlah upaya pertama kali menerapkan syariat sebagai dasar bagi hukum Jawa. Inilah alasan mendasar munculnya perang sabil yang dilakukan Diponegoro, perang Jawa 1825-1830. Wacana seperti ini muncul kemudian, setidaknya dipermukaan. Peter Carey, dalam terjemahan dan komentarnya mengenai Babad Diponegoro, berpendapat bahwa “faktor agama” yang membuat perjuangan ini berbeda dengan yang lainnya. Dia mencatat perilaku Eropa yang Kristen terhadap Muslim Jawa, penghinaan mereka terhadap guru agama, dan reformasi hukum yang dimulai Raffles (kemudian diteruskan oleh pegawai Belanda), tentunya juga meningkatnya hubungan dengan “jantung dunia Islam di Arab,” yang membuat perjuangan Diponegoro sebagai Perang Sabil melawan kafir Eropa (1981, 46). Carey mengutip, “Pemerintahan Eropa di Jawa merupakan bencana bagi orang Jawa, karena mereka sudah tercerabut dari Hukum Suci yang dibawa Nabi dan mengikuti hukum Eropa”(ibid, 73n. 241).

Sekitar 200 tahun kemudian, alasan yang sama dibuat. Jika diloloskan, dua rancangan undang-undang – revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang tentang Kerukunan Umat Beragama – akan membawa negara dan hukum dalam hubungan sejenis di antara orang Indonesia. Jika digabungkan kedua rancangan tadi akan mempengaruhi perkawinan dan transfusi darah di antara orang-orang yang berbeda keyakinan, persiapan dan cara-cara penguburan, cara-cara melakukan hubungan seksual, orientasi seksual, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, perdukunan, dan hubungan pribadi lainnya, dengan pokok perhatian antara Muslim dan non-Muslim. 20 Intinya, ini adalah undang-undang pertukaran tubuh dengan tujuan membatasi pertukaran badaniah bertujuan memoderasi argumentasi agama dan mencegah disintegrasi bangsa.

Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan perubahan atas Kitab Hukum perlu dilakukan Kitab tersebut tidak pernah direvisi sejak awal pembuatannya pada masa kolonial Belanda dan tidak merefleksikan nilai dan hukum Islam. 21 Dalam pernyataannya di Kompas, Mahendra mengatakan revisi merupakan hasil proses transformasi kaidah-kaidah hukum Islam, hukum adat, hukum eks Belanda, dan hukum internasional yang terdapat di dalam masyarakat. Setelah transformasi ini tercapai, satu perangkat hukum positif akan menjadi hukum nasional Indonesia. 22 Rencananya akan dijalankan setelah masa pemilihan umum akan dilakukan diskusi mengenai revisi yang akan dimulai Oktober 2004 (sedang berlangsung sekarang) (ibid)

 Perasaan

 Era pasca Soeharto sangat bermasalah sekaligus menyenangkan dilihat dari sisi identitas populer dan agama publik. Orang Cina dan peranakan Cina sejak saat tersebut bebas mengekspresikan dan ambil bagian dalam kegiatan yang berkaitan dengan identitas etnisnya. Pada saat yang sama, sejak 1999 diterapkan syariat di Aceh yang “menempatkan simbol-simbol fisik Islam menjadi pusat kampanye” yang berakhir dengan hukuman fisik (Suraiya 2004). Ini dilanjutkan dengan upaya “penyisiran” dan “inspeksi” atas pakaian yang dikenakan perempuan. Hancurnya pela gandong, keberadaan bersama secara damai antara Kristen dan Muslim di Maluku, adalah contoh mengerikan bergabungnya kekuatan-kekuatan internal akibat munculnya otonomi daerah, pergerakan orang di kepulauan karena alasan ekonomi dan politik, instablitas ekonomi dan politik di tingkat nasional, dan masa transisi dari periode panjang yang penuh disiplin kepada kekuatan global yang masuk melalui berbagai media – teknologi kekerasan, komunikasi, dan transportasi, untuk sekedar menyebut.

 Konsekuensinya dapat berupa – namun tidak selalu harus – sejenis “hiper hermeneutika” yang diamati Spyer di Ambon ketika orang-orang yang sebelumnya amat akrab mencoba membedakan “hanya dengan melihat wajah Ambon …yang ‘Kristen’ atau ‘Muslim” (2000:35-36). Seperti yang ditunjukkan Dwyer dalam studinya yang mendalam mengenai ingatan perempuan Bali atas peristiwa kekerasan pada 1965-66, ketika hubungan sosial sangat dipengaruhi oleh hubungan kekuasaan, satu lambang afiliasi yang dapat menjadi “indeks penunjuk adanya instablilitas terhadap pengetahuan itu sendiri” (2004). Lambang tersebut membuat struktur dan hubungan sosial dalam “scopic regime”yang tidak stabil.

 Gabungan berbagai gelombang dan perubahan yang terjadi di Indonesia saat ini memiliki konsekuensi pada masalah keamanan dan identitas yang disengaja dan tidak disengaja. Revisi atas Kitab Hukum seperti yang terlihat dipermukaan merupakan contoh sinkretik yang toleran dan sebetulnya bukanlah perkembangan yang menyenangkan. Saat peraturan otonomi daerah 23 diberlakukan imajinasi primordial yang menghubungkan manusia dan tempat (seperti gerakan dan peraturan masyarakat adat), politisi lokal yang menekankan pentingnya status putra daerah dalam upayanya mengendalikan sumber daya lokal, “pembebasan”politik ruang, konsekuensi migrasi dan program transmigrasi, pembunuhan dukun santet, pembersihan etnik, dan terorisme yang diproyeksikan dalam bahasa agama, perubahan dalam Kitab Hukum memperlihatkan “cara-cara berbicara [dan bertindak] mengenai perbedaan” (Lutz dan Collins 2002, 92) di tingkat nasional yang menekankan “perbedaan yang tak dapat dikurangi.” 24

 Saya ingin menunjukkan dengan cara sederhana – dalam pertemanan yang sudah berlangsung selama dua belas tahun – bahwa “wacana tingkat global atas terror, perang, alasan ekonomi, atau HAM” terdapat di jantung hubungan antar manusia. Tantangan bagi antropolog adalah menyadari pertemuan antara pembentukan identitas dan sejarah dalam kantung-kantung etnografi keseharian – tanpa harus mengatakannya langsung. Antropologi memiliki jarak dan waktu, sehiggga keterlibatannya dengan pengetahuan lokal dan waktu menjadi sangat singkat, setidaknya untuk saya, hal tersebut merupakan urusan sulit. Kerja etnografi selalu berada di tengah-tengah. Tetapi dalam keadaan darurat penelitian lapangan sejak awal sembilan puluhan, periode keterlibatan saya sangat singkat dan terbatas – keterlibatan etnografi singkat musim panas terhalangi oleh kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan ketipisan etnografi dari tebalnya hubungan, berdasarkan pertemuan, saya hanya dapat mengatakan bagaimana imajinasi yang dimediasi berperan sebagai tanda indeks ketika hubungan menjadi sangat dekat dan amat hidup, ketika pertentangan dan perlawanan serta pertemanan dan kesenangan dibiarkan terjadi. “Aura semu” dalam mediasi tersebut masa yang tak stabil ini tidaklah begitu jelas. 25

 Proyek ini mengalami kebingungan ketika orang-orang yang bekerja sama dengan kami dan yang kami pelajari mengalami kebingungan pada waktu krisis atau berada dalam kondisi yang tidak stabil. Etnografi yang memperhatikan situasi lokal dan berjangka panjang, menurut saya, sangatlah penting guna memberikan pengakuan yang relevan, meskipun ketika kejadian-kejadian dan wacana-wacana yang memaksa dalam satu “multi-situs” yang besar dan kegiatan “yang berkurang teritorinya” untuk “ mengevaluasi sirkulasi arti budaya, obyek dan identitas dalam sebaran ruang-waktu” (Appadurai 1991; Marcus 1998, 79). Kehati-hatian sangat diperlukan ketika menimbang keadaan terakhir yang melingkupi pembentukan identitas, yang disulut oleh kejadian-kejadian di luar wacana dan juga kekacauan serta mungkin dasar baru politik Indonesia yang bebas namun berbahaya. Itu bukanlah membesar-besarkan bahwa bahan mentah bagi pembentukan identitas di Indonesia sejak lama telah memasukkan hal-hal yang tetap, sebagaimana juga menekankan toleransi dan kelenturan. Kutub-kutub identitas tersebut telah berubah di Indonesia, karena adanya kekuatan luar. Yahudi sebagai penanda global masuk ke Indonesia, sebagai Yahudi, didomestikasi untuk melayani dan memuaskan kecemasan dan hasrat orang-orang yang terlibat dalam konflik yang dibungkus dalam hasrat hidup layak global. Imej dan aktualitas hidup layak global yang masuk ke wilayah publik mendorong teknologi komunikasi (TV, telpon genggam, dan internet) dan persenjataan (pistol dan bahan peledak) yang bagi orang Indonesia menjadi medium ekspresi tak nyaman berkepanjangan antara pengikut dari berbagai agama dan etnisitas.

 Agama, darah, dan hasrat global berputar sebagai penanda politik, kita tak boleh melupakan kiasan emosi yang dihasilkannya. Pentingnya Yahudi di Indonesia sebagai yang bertanggungjawab secara politik adalah sesuatu yang tidak diharapkan dan diharapkan dalam sentimen lokal dan sensibilitas yang mengatakan mengenai politik yang dimediasi media seperti juga hubungan sosial populis terbuka di negeri yang menghadapi kekinian labil dan ketidakpastian masa depan. Bagi orang Indonesia seperti Mas Yarto, hasrat untuk ikut serta dalam modernitas global diwujudkan dalam tanda-tanda global hidup layak yang nyata atau yang dipersepsi seringkali menantang dasar-dasar kehidupan spiritual di Indonesia. Keberlanjutan kategori-kategori tersebut dan yang lainnya di antara orang-orang yang pernah dijajah memaksa kita untuk memperhatikan kerumitan pada masalah-masalah serius tersebut yang merupakan akar dari kekerasan dan pertentangan. Hingga kita berbuat cerita Mas Yarto dan saya sendiri hanya akan bertambah banyak dalam proporsi dan cakupan.

Steve Ferzacca
Steve Ferzacca is associate professor of anthropology at University of Lethbridge in Alberta, Canada.

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 6: Elections and Statesmen. March 2005  

References

Anderson, Benedict R. O’G. 1996 [1965]. Mythology and the Tolerance of the Javanese, 2nd ed. Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project.
Anderson, Benedict R. O’G. 2002. “Bung Karno and the Fossilization of Soekarno’s Thought.” Indonesia 74 (October).
Appadurai, Arjun. 1991. “Global Ethnoscapes: Notes and Queries for a Transnational Anthropology.” In Recapturing Anthropology: Working in the Present, ed. Richard G. Fox, 191-210. Santa Fe, NM: School of American Research Press.
Beatty, Andrew. 2002. “Changing Places: Relatives and Relativism in Java.” Journal of the Royal Anthropological Institute 8 (3): 469-492.
Bräuchler, Birgit. 2003. “Cyberidentities at War: Religion, Identity, and the Internet in the Moluccan Conflict.” Indonesia 75 (April): 123-151.
Brenner, Suzanne. 1996. “Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and ‘the Veil.’” American Ethnologist 23 (4).
Carey, Peter. B.R. 1981. Babad Dipanagara: An Account of the Outbreak of the Java War (1825-1830); The Surakarta Court Version of the Babad Dipanagara with Translations into English and Indonesian Malay. Kuala Lumpur: The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
Chirot, Daniel. 1997. “Conflicting Identities and the Dangers of Communalism.” In Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe, ed. D. Chirot and A. Reid, 3-32. Seattle: University of Washington Press.
Dwyer, Leslie. 2004. “The Intimacy of Terror: Gender and the Violence of 1965-66 in Bali.” Intersections: Gender, History, Culture in the Asian Context 10 (August) http://wwwsshe.murdoch.edu.au/intersections/issue10/dwyer.html. Accessed September 15, 2004.
Errington, Shelly. 1990. “Recasting Sex, Gender and Power: A Theoretical and Regional Overview.” In Power and Difference: Gender in Island Southeast Asia, ed. Jane Monnig Atkinson and Shelly Errington, 1-58. Stanford: Stanford University Press.
Fealy, Greg. 2003. “Hating Americans: Jemaah Islamiyah and the Bali Bombings.” International Institute of Asian Studies Newsletter, no. 31 (July).
Feldman, Allen. 2000. “Violence and Vision: The Prosthetics and Aesthetics of Terror.” In Violence and Subjectivity, ed. Veena Das, Arthur Kleinman, Mamphela Ramphele, and Pamela Reynolds, 46-78. Berkeley: University of California Press.
Ferzacca, Steve. 2001. Healing the Modern in a Central Javanese City. Carolina Academic Press.
Gates, Henry Louis Jr. “Writing ‘Race’ and the Difference It Makes.” In Race, Writing, and Difference, ed. Henry Louis Gates Jr., 1-20. Chicago: University of Chicago Press.
Guiness, Patrick. 1994. “Local Society and Culture.” In Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-economic Transformation, ed. Hill and Mackie, 267-304. Allen & Unwin.
Hasan, Noorhaidi. 2002. “Faith and Politics: The Rise of Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia.” Indonesia 73 (April): 145-169.
Hefner, Robert. 1998. “Multiple Modernities: Christian, Islam, and Hinduism in a Globalizing Age.” Annual Review of Anthropology 27.
Heryanto, Ariel. 1995. Language of Development and the Development of Language: The Case of Indonesia. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University.
Hill, Hal, and Jamie Mackie, eds. 1994. Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-economic Transformation. Allen & Unwin.
Ja’far Umar Thalib. 2000. “Target Kami: Singkirkan Gus Dur.” Panji Masyarakat 1, Tahun 4 (26 April).
Kitely, Philip. 2002. “Into the Thick of Things: Tracking the Vectors of ‘Indonesian Mediations.’ A Comment.” In Indonesia in Search of Transition, ed. H. S. Nordholt and Irwan Abdullah, 207-217. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
van Klinken, Gerry. 2002. “Indonesia’s New Ethnic Elites.” In Indonesia in Search of Transition, ed. H. S. Nordholt and Irwan Abdullah, 67-105. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lutz, Catherine A., and Jane L. Collins. 2002. “The Color of Sex: Postwar Photgographic Histories of Race and Gender.” In The Anthropology of Media: A Reader, ed. K. Askew and R. R. Wilk, 92-116. Blackwell Publishers.
Marcus, George E. 1998. Ethnography Through Thick and Thin. Princeton: Princeton University Press.
Mote, Octovianus, and Danilyn Rutherford. 2001. “From Irian Jaya to Papua: The Limits of Primordialism in Indonesia’s Troubled East.” Indonesia 72 (October).
Newberry, Janice, and Steve Ferzacca. 2003. “Blood and Desire in Indonesia.” Paper presented at the American Anthropological Association, 102nd Annual Meeting, Chicago, IL, November 20.
Ong, Aihwa. 1999. Flexible Citizenship: The Cultural Logics of Transnationality. Durham: Duke University Press.
Perlman, Marc. 1999. “The Traditional Javanese Performing Arts in the Twilight of the New Order: Two Letters from Solo.” Indonesia 68 (October).
Reid, Anthony. 1997. “Entrepreneurial Minorities, Nationalism, and the State.” In Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe, ed. D. Chirot and A. Reid, 33-74. Seattle: University of Washington Press.
Sen, Krishna, and David T. Hill. 2000. Media, Culture and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.
Shiraishi, Takashi. 1997. “Anti-Sinicism in Java’s New Order.” In Essential Outsiders: Chinese and Jews in the Modern Transformation of Southeast Asia and Central Europe, ed. D. Chirot and A. Reid, 187-207. Seattle: University of Washington Press.
Siegel, James T. 1998. “Early Thoughts on the Violence of May 13 and 14, 1998 in Jakarta.” Indonesia 66 (October).
Siegel, James T. 2001. “‘Kiblat’ and the Mediatic Jew.” In Religion and Media, ed. Hent de Vries and Samual Weber, 271-303. Stanford University Press.
Spyer, Patricia. 2000. “Fire without Smoke and other Phantoms of Ambon’s Violence: Media Effects, Agency, and the Work of the Imagination.” Indonesia 74 (October): 21-36.
Sukarno. 1959a. “Bloedtransfusie dan Sebagain Kaum Ulama: Bagaimanakah Oorlogsethiek Islam?” In Dibawah Bendera Revolusi, 501-506. Panitya Penerbit, 1959.
Sukarno. 1959b. “Sekali Lagi: Bloedtransfusie.” In Dibawah Bendera Revolusi, 533-539. Panitya Penerbit.
Sundar, Nandini. YEAR. “Towards an Anthropology of Culpability.” American Ethnologist 31, 2.
Suraiya Kamaruzzaman. 2004. “Women and Syariah in Aceh.” Inside Indonesia 79 (July-Sept.): 9.
Trouillot, Michel-Rolph. 2001. “The Anthropology of the State in the Age of Globalization: Close Encounters of the Deceptive Kind.” Current Anthropology 42 (1).
Wolters, O.W. 1999. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Ithaca, NY: Cornell University Southeast Asia Program, in cooperation with the Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.

Notes:

  1. Saya merujuk pada Allen Feldman’s (2000, 49, 59) pengertian “scopic regime,” didefinisikan olehnya sebagai “satu ansamble praktik dan kegiatan yang menerapkan klaim kebenaran, secara tipikal, dan kredibilitas visual kegiatan-kegiatan dan obyek dan perilaku politik yang benar untuk melihat” di mana “realisme keragaman” berjalan.
  2. Akar lemes dapat berarti tidak kaku, flesibel, tetapi juga merujuk pada perbuatan sopan, luwes dan prige, bisa nyambut gawé warna-warna.
  3. Pengertian Aihwa Ong (1999) atas “flexible citizenship” merujuk pada bentuk kelenturan dan oportunis dari subyektivitas yang cocok dengan fleksibel akumulasi modal, travel, dan perpindahan. Saya menggunakan flexible citizenship dalam kasus ini menggarisbawahi subject oportunis dan kelenturan tetapi mengembangkan karakter ini lebih dari sekadar kapitalisme.
  4. Sumber sejarah yang menjelaskan diaspora Yahudi di Asia Tenggara dan Indonesia sangat sedikit. Yang saya sajikan di sini adalah gabungan dari kepingan-kepingan yang saya pelajari orang Yahudi di Asia Tenggara dan apa yang saya lihat pada komunitas Yahudi di Surabaya, dan juga berasal dari cerita dan catatan-catatan dari internet, dan media elektronik lainnya. Hanya ada sedikit komunitas Yahudi di Indonesia. Pada abad ke tujuh belas Yahudi yang berasal dari Belanda, Jerman dan Irakdatang ke Hindia Belanda sebagai pedagang yang ikut ambil bagian dalam perdagangan rempah. Pada 1920-an komunitas Yahudi berdiri di Surabaya dan Batavia. Sebelum Perang Dunie II, orang Yahudi meninggalkan tempat asal karena Nazi dan bergabung dengan komunitas ini, yang tumbuh menjadi beberapa ribu. Pendudukan Jepang mengakhiri kecenderungan ini dan sebagian dari mereka keluar Indonesia, sehingga hanya terdapat sekitar tiga puluh Yahudi di Surabaya dengan satu sinagog tetapi tidak ada rabi atau guru. (Ada juga kemungkinan komunitas kecil di Medan).
  5. Sesungguhnya, keretakan dalam arsitektur pemerintahan Soeharto sudah tampak sebelum Reformasi. Sejak awal 1990-an, saya mencatat munculnya semangat dan perhatian di tingkat lokal dan nasional atas munculnya penyakit sebagai akibat pembangunan yang mengadopsi gaya hidup Barat. Saya tidak menyadari ketika itu bahwa wacana itu merupakan pendahuluan atas sentimen agama terhadap sekularisasi dan westenisasi. Saya mencatat bahwa itu menjadi perhatian dokter Muslim yang saya kenal, dan terapi mereka juga memberikan pesan-pesan Islam.Lihat Ferzacca 2001. 

  6. Suzanne Brenner mencatat “Islamic revival” di Indonesia dipersepsi , khususnya oleh kelas menengah “kesempatan terbuka bagi pegawai pemerintah dan untuk kemarahan elite terhadap pameran kekuasan dan kekayaan” (1996, 677).
  7. Dalam mengutip Sumpah Pemuda, Imron menghilangkan “puteri” dalam naskah asli.
  8. Lihat studi yang dilakukan Heryanto atas pembangunan sebagai metafora, dia menggambarkannya “satu bentuk pengetahuan dan epsitemologi, aturan baru dan cara pandang baru, namun yang penting kesadaran baru” (1995, 6).
  9. Robert Hefner mengamati ironi ini dalam kaitannya dengan retorika agama dan pengathuan, menyimpulkan, “Walau mereka mengakui keyakinan mereka yang unik dan tak berubah, tingkat laku mereka memberikan pengakuan bahwa mereka telah mencicipi buah terlarang bernama keragaman” (1998, 100).
  10. Krishna Sen dan David T. Hill menulis, “lebih dari setengah program televisi di Indonesia diimpor dari Amerika, Jepang, Hong Kong dan India; setengah dari musik yang dimainkan radio adalah musik Barat, buku dan majalah masih menggunakan bahasa asli” (Sen and Hill 2000, 13).
  11. Untuk penilaian atas perkembangan ekonomi dan pertumbuhan pasar barang konsumer selama Orde Baru, lihat Hill and Mackie 1994. Khususnya lihat esai Patrick Guiness dalam volume ini.
  12. Dalam artikelnya mengenai jilbab pada perempuan Jawa, Suzanne Brenner menggambarkan global Islam yang dimediasi berperan dalam praktik sosial dan teknik diri, mencapai jauh intimasi kehidupan keluarga Jawa (1996, 683).
  13. Kitely, memberi tanggapan atas study media, “pada masa media kita perlu menemukan tempat di tengah ketebalan dan aliran, orang dan vektor” (Kitely 2002, 209).
  14. “Laskar Jihad ini memandang darahnya kaum muslimim demikian mahal. Bahkan darahnya kaum muslimim lebih mulia dari Ka’bah dan lebih mulia dari Arafah”(Ja’far Umar Thalib 2000, 19).
  15.  “Ba’asyir ‘told followers to kill Westerners.’” The Jakarta Post.com, October 30, 2004. http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?fileid=20041029.@01&irec=0. Accessed October 30, 2004.
  16. MIAI didirikan 1937 oleh K. H. M. Hasyim Asy’ari,yang mendirikan Nadhatul Ulama (NU) pada 1926. MIAI beroperasi sebagai federasi organisasi Muslim yang menjembatani NU, Persatuan Islam, Muhammadiyah, (see Hefner 2000).
  17. Sukarno 1959a, 505.
  18. Saya menilai pernyataan Anderson sebagai penyesalan bahwa pemahaman yang menghubungkan identitas dan sejarah semakin berkurang di antara orang Indonesia.
  19. “Maka kalau darah kaum muslimim tertumpah hanya untuk politik tertentu, atau demi tokoh tertentu, itu suatu kezaliman yang luar biasa” (Ja’far Umar Thalib 2000, 19).
  20. Lihat Ahmad Baso, “Argumen Fikih Mengoreksi RUU KUB,” Kompas, 23 October 2003: 1; dan “Revisi KUHP Berpotensi Lecut Kontoversi Horisontal,” Kompas, 1 Oktober 2003.
  21. Lihat “Yusril Bantah Revisi KUHP Mengadopsi Syariat Islam,” Sinar Harapan, 1 Oktober 2003; dan A’an Suryana, “Code Revision Says ‘No’ to Casual Sex, Sorcery,” The Jakarta Post, 12 November 2003.
  22. “Pembahasan KUHP Terhambat Pergantian DPR,” Kompas, 21 Agustus 2004.
  23. Lihat Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
  24. Gates 1985, 5. Meningkatnya penggambaran horror dalam kata-kata atau gambar atas kekerasan di Indonesia, diskriminasi, dan kerasakan, mulai dari kajian ilmiah hingga produksi kebudayaan sehari-hari di dalam dan di luar Indonesia merupakan tanda tragedi kemanusiaan.
  25. Anderson, dalam kuliah “Long-Distance Nationalism,” mengomentari pengaruh teknologi transportasi dan komunikasi atas partisipasi politik dari kejauhan “with its ersatz aura of drama, sacrifice, violence, speed, secrecy, heroism and conspiracy” which he believes leads to a politics “without responsibility or accountability.”Benedict R. O’G. Anderson, “Long-Distance Nationalism: World Capitalism and the Rise of Identity Politics.” The Wertheim Lecture. CASA – Centre for Asian Studies Amsterdam, 1992: 11.
Exit mobile version