Masalah Ketidakterlibatan Politik
Pertumbuhan platform media sosial telah memudahkan keterlibatan politik bagi warga negara dan meringankan biaya keterlibatan bagi jutaan warga negara (Ahmed & Madrid-Morales, 2020; Gil de Zúñiga dkk., 2012; 2014). Namun, masih banyak yang bersikap apatisme politik dan enggan terlibat aktif (Ahmed & Gil-Lopez, 2022; Zhelnina, 2020). Apatisme politik adalah kurangnya minat terhadap politik, termasuk informasi dan kegiatan politik, seperti terlibat dalam acara publik dan memberikan suara dalam pemilu. Para ilmuwan politik menganggapnya sebagai masalah sosial (Dean, 1965; Rosenberg, 1954). Warga negara yang aktif secara politik sangat penting bagi sistem politik agar berfungsi dengan baik, karena demokrasi yang berkembang bergantung pada tingkat keterlibatan warga negara dalam politik sehari-hari dan pemilihan umum. Lebih jauh lagi, “partisipasi yang timpang akan menghasilkan tindakan pemerintah yang timpang” (Griffin & Newman, 2005; hlm. 1206). Namun, banyak penelitian terbaru yang melaporkan adanya budaya apatisme politik di banyak negara demokrasi (Manning & Holmes, 2013; Henn dkk., 2007; Pontes dkk., 2017; Zhang, 2022). Dalam kasus seperti itu, demokrasi secara bertahap akan menjadi kurang mewakili pandangan semua warga negara, yang semakin mungkin terjadi seiring dengan melebarnya kesenjangan antara warga negara yang aktif dan yang tidak aktif secara politik (Griffin & Newman, 2005; Hansford & Gomez, 2010). Karenanya, penting untuk berupaya membalikkan atau, paling tidak, memperlambat tren tersebut; jika tidak, bias dalam keterlibatan politik akan menghasilkan representasi yang bias penduduk, menciptakan pilihan hasil yang sepihak (Griffin & Newman, 2005; Manning & Holmes, 2013).
Siapa yang Tetap Tidak Terlibat secara Politik
Bukti empiris menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin kerap dikaitkan dengan apatisme politik, yang menunjukkan bahwa kelompok masyarakat yang lebih muda (Henn dkk., 2007; Snell, 2010; Zhang, 2022) dan perempuan lebih cenderung apatisme politik (Abendschön & García-Albacete, 2021; Vochocová dkk., 2015). Dengan kata lain, warga negara dengan apatisme politik lebih banyak didominasi oleh warga negara berusia muda dan perempuan. Ini sangat memprihatinkan karena pada saat yang sama, terdapat peningkatan jumlah pemilih muda yang memenuhi syarat dalam masyarakat kita. Selain itu, kurangnya keterlibatan perempuan dalam politik semakin memperlebar kesenjangan keterlibatan gender-politik yang dilaporkan terjadi di banyak masyarakat di seluruh dunia (Abendschön & García-Albacete, 2021; Ahmed & Madrid-Morales, 2020; Vochocová dkk., 2015).
Terkait keterlibatan politik, kegiatan politik luring umumnya membutuhkan ongkos transaksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kegiatan daring. Itulah mengapa kegiatan politik luring mungkin tidak menarik bagi sebagian besar warga negara, sementara kegiatan daring mungkin menarik, terutama mengingat penetrasi internet dan media sosial yang terus meningkat. Sederhananya, masyarakat sangat diuntungkan dengan banyaknya peluang interaksi yang ditawarkan oleh internet dan media sosial. Informasi dan komunikasi daring yang tanpa batas dapat mendorong keterlibatan politik dan menarik warga yang bersikap apatisme politik. Berbagai kegiatan politik daring kini tersedia dengan satu jentikan jari di layar, dengan implikasi sosial-politik yang positif (Gil de Zúñiga dkk., 2012; Jost dkk., 2018). Meski penting untuk mengakui perlunya keterlibatan politik secara luring, seperti menghadiri protes, keterlibatan politik daring juga memiliki nilai fundamentalnya tersendiri. Misalnya, berjejaring dan terhubung antara pemilih dengan politisi tidak pernah semudah ini terjadi dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya (Keaveney, 2015).
Peran Takut Ketinggalan Tren (FOMO)
Para ahli telah lama memperdebatkan faktor-faktor apa saja yang dapat memudahkan warga negara yang semula tidak terlibat untuk dapat terlibat aktif dalam politik. Misalnya, rasa takut ketinggalan zaman (fear of missing out, FOMO), sebuah pengalaman psikologis yang penting, dapat dikaitkan dengan keterlibatan politik daring—terutama di kalangan warga negara yang tidak terlibat secara politik. Menurut Przybylski dkk. (2013), FOMO adalah “ketakutan yang meresap bahwa orang lain mungkin memiliki pengalaman yang bermanfaat yang tidak dimiliki oleh seseorang“ (hlm. 1841), dan yang mengarah pada keinginan untuk selalu terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain. Perasaan ini mendorong penggunaan media sosial yang berlebihan untuk tetap terhubung dengan orang lain agar mendapatkan informasi dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial (Przybylski dkk., 2013). Analisis-meta terbaru tentang FOMO dan penggunaan media sosial menunjukkan hubungan yang kuat antara kedua hal tersebut (Fioravanti dkk., 2021; Tandon dkk., 2021). Lebih khusus lagi, Przybylski dkk. (2013) menunjukkan bahwa “FOMO dikaitkan dengan tingkat keterlibatan perilaku yang lebih tinggi dengan media sosial” (hlm. 1847).
Berdasarkan latar belakang ini, masuk akal jika orang dengan tingkat FOMO yang tinggi akan lebih mungkin ikut serta dalam berbagai kegiatan politik secara daring, seperti melakukan percakapan politik, mendukung tuntutan politik tertentu, dan terlibat dalam kegiatan politik. Mekanisme ini dapat dijelaskan dengan melihat kecenderungan alami orang dengan tingkat FOMO tinggi untuk memantau dengan cermat (dan terlibat dalam) topik dan peristiwa politik di jaringan mereka sehingga mereka tidak melewatkan kegiatan sosial apa pun yang mungkin terjadi (Skoric dkk., 2018). Singkatnya, meski mereka terlibat dalam kegiatan politik lantaran motivasi berbeda, salah satu motivasi utamanya adalah FOMO yang mendorong keterlibatan mereka. Beberapa penelitian sebelumnya memang telah mengisyaratkan adanya kaitan antara FOMO dan aktivitas politik daring tertentu (Ahmed, 2022; Skoric dkk., 2018). Namun, hubungan langsung antara keduanya belum dikaji lebih lanjut. Selain itu, bukti menunjukkan bahwa usia dan jenis kelamin secara khusus terkait dengan FOMO (Rozgonjuk dkk., 2021; Przybylski dkk., 2013). Karenanya, interaksi antara usia, gender, dan FOMO akan menjadi penting dalam menjelaskan keterlibatan politik dalam ranah daring.
Kasus Singapura
Kami menguji asumsi kami dalam konteks Singapura—negara dengan penetrasi internet dan media sosial yang tinggi. Apatisme politik di Singapura merupakan salah satu yang tertinggi di dunia (Key, 2021; Ong, 2021). Bukti sebelumnya menunjukkan bahwa sebagian besar warga Singapura menahan diri dari keterlibatan politik yang berbiaya rendah sekalipun, seperti menandatangani petisi (Caplan, 2008). Sebuah laporan menemukan bahwa sebagian besar warga Singapura bersikap apatisme politik, sehingga sekitar 4 dari 10 responden tidak pernah membahas politik dengan teman-teman mereka, lebih dari setengahnya membahas sesekali, dan hanya 7,1% yang sering membahas (Ong, 2021). Jumlah warga Singapura yang tidak terlibat dalam berbagai aksi politik cukup tinggi—sebagian besar warga Singapura tidak ikut serta dalam aksi boikot (79,1%), demonstrasi damai (74,2%) mogok kerja tidak resmi (88%), atau mengorganisir kegiatan politik apa pun (90%) (Ong, 2021). Tidak mengherankan jika masyarakat Singapura berada di peringkat bawah dalam hal keterlibatan sipil dibandingkan dengan masyarakat Barat. Bukti yang lebih baru juga menegaskan bahwa warga negara di Singapura yang tidak terlibat secara politik juga tidak menggunakan media sosial untuk tujuan keterlibatan dan terpengaruh secara negatif oleh paparan berita di media sosial (Ahmed & Gil-Lopez, 2022). Penelitian lain menunjukkan bahwa kurangnya perhatian terhadap berita politik mendorong apatisme politik pada sebagian warga Singapura (Zhang, 2022). Di sini, kami berpendapat bahwa kita perlu melihat lebih dari sekadar faktor yang dianggap lazim dan menjelajahi faktor psikologis lain yang dapat melibatkan warga negara yang apatisme politik.
Kami meneliti hubungan antara FOMO dan keterlibatan politik daring dan bagaimana hubungan tersebut dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin. Berdasarkan uraian singkat di atas, kami membangun hipotesis bahwa FOMO punya kaitan positif dengan pembahasan politik di media sosial, yang terkait dengan keterlibatan politik daring. Kami juga menguji apakah mekanisme ini konsisten bagi semua warga Singapura atau apakah hubungan tersebut berbeda di seluruh kelompok usia dan gender.
FOMO terkait dengan Pembahasan dan Keterlibatan Politik
Kami melakukan survei daring di Singapura dengan menggunakan agen panel survei. Para peserta survei menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai demografi mereka, kebiasaan menggunakan media, konsumsi berita dari media sosial, FOMO, dan perilaku politik. Kami kemudian menggunakan data survei tersebut untuk melakukan analisis regresi, untuk menguji asumsi kami.
Analisis kami menunjukkan bahwa FOMO punya kaitan positif dengan pembahasan politik dan keterlibatan politik daring. Selain itu, pembahasan politik di media sosial juga memengaruhi keterkaitan antara FOMO dan keterlibatan politik daring. Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan tingkat FOMO yang lebih tinggi sering terlibat dalam pembahasan dan kegiatan politik daring di Singapura. Jadi, pembahasan politik semacam itu juga bertindak sebagai katalisator untuk keterlibatan politik daring.
Lebih lanjut, kami juga menemukan bahwa mekanisme tersebut dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, yang menunjukkan bahwa keterkaitan tersebut lebih kuat bagi warga negara yang lebih muda dan perempuan Singapura—dengan efek terkuat dari FOMO tampak pada kalangan perempuan muda.
Kesimpulan
Banyak pihak telah lama mempertanyakan jalan keluar atas apatisme politik. Meski kami tidak menawarkan jalan keluar pasti, kami menunjukkan bahwa FOMO dapat menjadi faktor penting dalam melibatkan kelompok-kelompok apatisme politik. Dalam kasus Singapura, kami menemukan bukti yang mendukung tesis bahwa FOMO dapat mendorong pembahasan dan keterlibatan politik di antara warga negara yang tidak terlibat—terutama bagi perempuan muda di Singapura. Sementara beberapa orang menyebut keterlibatan politik daring sebagai kliktivisme (clicktivism, juga dikenal sebagai slacktivism), dengan alasan bahwa aktivitas daring semacam itu tidak terejawantahkan ke dalam tindakan luring dan tidak menghasilkan perubahan sosial atau politik yang substansial di kehidupan nyata (misalnya, Christensen, 2011; Hindman, 2009; Shulman, 2004). Dengan kata lain, mereka memperdebatkan apakah aktivitas politik daring, yang hanya membutuhkan kibor dan klik tetikus, adalah tindakan sipil yang bermakna dan sah secara politik (Harlow & Guo, 2014).
Namun, kami berpendapat bahwa keterlibatan politik daring setidaknya, seperti pembahasan dan keterlibatan politik daring, dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan politik warga negara, yang bermanfaat bagi pemerintahan dan dasar-dasar kewarganegaraan yang demokratis, yang pada akhirnya mendorong keterlibatan politik luring dalam jangka panjang. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan potensi substansial dari kegiatan politik daring (misalnya, Halupka, 2014, 2017; Karpf, 2010). Secara khusus, beberapa bukti mendukung bahwa aktivitas politik daring terkait dengan tindakan politik luring di Singapura (Skoric & Zhu, 2015). Secara keseluruhan, keterlibatan politik daring menunjukkan ekspresi politik warga negara, suatu petunjuk yang dapat diandalkan untuk mengetahui sejauh mana masyarakat terlibat aktif secara politik, dan berpotensi besar untuk diwujudkan ke dalam keterlibatan politik luring. Selain itu, di luar dampak buruk FOMO yang disebutkan dalam sejumlah kajian (Blackwell dkk., 2017; Yin dkk., 2021), kami melihat beberapa nilai yang dapat mendorong masyarakat Singapura yang tidak terlibat secara politik.
Saifuddin Ahmed
Nanyang Technological University, Singapore
Muhammad Masood
City University of Hong Kong
References
Abendschön, S., & García-Albacete, G. (2021). It’s a man’s (online) world. Personality traits and the gender gap in online political discussion. Information, Communication & Society, 24(14), 2054–2074. https://doi.org/10.1080/1369118x.2021.1962944
Ahmed, S. (2022). Disinformation sharing thrives with fear of missing out among low cognitive news users: A cross-national examination of intentional sharing of deep fakes. Journal of Broadcasting & Electronic Media, 66(1), 89–109. https://doi.org/10.1080/08838151.2022.2034826
Ahmed, S., & Gil-Lopez, T. (2022). Incidental news exposure on social media and political participation gaps: Unraveling the role of education and social networks. Telematics and Informatics, 68, 101764.
Ahmed, S., & Madrid-Morales, D. (2020). Is it still a man’s world? Social media news use and gender inequality in online political engagement. Information, Communication & Society, 24(3), 381–399. https://doi.org/10.1080/1369118x.2020.1851387
Blackwell, D., Leaman, C., Tramposch, R., Osborne, C., & Liss, M. (2017). Extraversion, neuroticism, attachment style and fear of missing out as predictors of social media use and addiction. Personality and Individual Differences, 116, 69-72.
Christensen, H. S. (2011). Political activities on the Internet: Slacktivism or political participation by other means?. First Monday, 16(2). https://doi.org/10.5210/fm.v16i2.3336
Dean, D. G. (1965). Powerlessness and political apathy. Social Science, 40(4), 208–213. http://www.jstor.org/stable/41885108
Fioravanti, G., Casale, S., Benucci, S. B., Prostamo, A., Falone, A., Ricca, V., & Rotella, F. (2021). Fear of missing out and social networking sites use and abuse: A meta-analysis. Computers in Human Behavior, 122, 106839. https://doi.org/10.1016/j.chb.2021.106839
Gil de Zúñiga, H., Jung, N., & Valenzuela, S. (2012). Social media use for news and individuals’ social capital, civic engagement and political participation. Journal of Computer-Mediated Communication, 17(3), 319–336. https://doi.org/10.1111/j.1083-6101.2012.01574.x
Gil de Zúñiga, H., Molyneux, L., & Zheng, P. (2014). Social media, political expression, and political participation: Panel analysis of lagged and concurrent relationships. Journal of communication, 64(4), 612-634.
Griffin, J. D., & Newman, B. (2005). Are voters better represented? The Journal of Politics, 67(4), 1206–1227. https://doi.org/10.1111/j.1468-2508.2005.00357.x
Halupka, M. (2014). Clicktivism: A systematic heuristic. Policy & Internet, 6(2), 115–132. https://doi.org/10.1002/1944-2866.poi355
Halupka, M. (2017). The legitimisation of clicktivism. Australian Journal of Political Science, 53(1), 130–141. https://doi.org/10.1080/10361146.2017.1416586
Hansford, T. G., & Gomez, B. T. (2010). Estimating the electoral effects of voter turnout. American Political Science Review, 104(2), 268–288. https://doi.org/10.1017/s0003055410000109
Harlow, S., & Guo, L. (2014). Will the revolution be tweeted or facebooked? Using digital communication tools in immigrant activism. Journal of Computer-Mediated Communication, 19(3), 463–478. https://doi.org/10.1111/jcc4.12062
Henn, M., Weinstein, M., & Hodgkinson, S. (2007). Social capital and political participation: Understanding the dynamics of young people’s political disengagement in contemporary Britain. Social Policy and Society, 6(4), 467–479. https://doi.org/10.1017/s1474746407003818
Hindman, M. (2009). The myth of digital democracy. Oxford: Princeton University Press.
Jost, J. T., Barberá, P., Bonneau, R., Langer, M., Metzger, M., Nagler, J., Sterling, J., & Tucker, J. A. (2018). How social media facilitates political protest: information, motivation, and social networks. Political Psychology, 39, 85–118. https://doi.org/10.1111/pops.12478
Karpf, D. (2010). Online political mobilization from the advocacy group’s perspective: Looking beyond clicktivism. Policy & Internet, 2(4), 7–41. https://doi.org/10.2202/1944-2866.1098
Keaveney, P. (2015). Online lobbying of political candidates. In Frame, A., & Brachotte, G. (Eds.), Citizen participation and political communication in a digital world (pp. 220-234). Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315677569-21
Key, T. K. (2021, April 21). Are Singaporeans really politically apathetic?. Institute of Policy Studies. https://lkyspp.nus.edu.sg/ips/publications/details/are-singaporeans-really-politically-apathetic
Manning, N., & Holmes, M. (2013). ‘He’s snooty ‘im’: Exploring ‘white working class’ political disengagement. Citizenship Studies, 17(3–4), 479–490. https://doi.org/10.1080/13621025.2013.793082
Ong, J. (2021, July 2). Most Singaporeans politically apathetic, not keen on activism: IPS. The Straits Times. https://www.straitstimes.com/singapore/most-singaporeans-politically-apathetic-not-keen-on-activism-ips
Pontes, A. I., Henn, M., & Griffiths, M. D. (2017). Youth political (dis)engagement and the need for citizenship education: Encouraging young people’s civic and political participation through the curriculum. Education, Citizenship and Social Justice, 14(1), 3–21. https://doi.org/10.1177/1746197917734542
Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841–1848. https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014
Rosenberg, M. (1954). Some determinants of political apathy. Public Opinion Quarterly, 18(4), 349. https://doi.org/10.1086/266528
Rosenberg, M. (1954). Some determinants of political apathy. The Public Opinion Quarterly, 18(4), 349–366. http://www.jstor.org/stable/2745968
Rozgonjuk, D., Sindermann, C., Elhai, J. D., & Montag, C. (2021). Individual differences in Fear of Missing Out (FoMO): Age, gender, and the Big Five personality trait domains, facets, and items. Personality and Individual Differences, 171, 110546.
Shulman, S. W. (2004). The internet still might (but probably won’t) change everything: Stakeholder views on the future of electronic rulemaking. I/S: A Journal of Law and Policy for the Information and Society, 1 (1), 111-145
Skoric, M. M., & Zhu, Q. (2015). Social media and offline political participation: Uncovering the paths from digital to physical. International Journal of Public Opinion Research, 28(3), 415–427. https://doi.org/10.1093/ijpor/edv027
Skoric, M. M., Zhu, Q., & Lin, J. H. T. (2018). What predicts selective avoidance on social media? A study of political unfriending in Hong Kong and Taiwan. American Behavioral Scientist, 62(8), 1097–1115. https://doi.org/10.1177/0002764218764251
Snell, P. (2010). Emerging adult civic and political disengagement: a longitudinal analysis of lack of involvement with politics. Journal of Adolescent Research, 25(2), 258–287. https://doi.org/10.1177/0743558409357238
Tandon, A., Dhir, A., Almugren, I., AlNemer, G. N., & Mäntymäki, M. (2021). Fear of missing out (FoMO) among social media users: A systematic literature review, synthesis and framework for future research. Internet Research, 31(3), 782–821. https://doi.org/10.1108/intr-11-2019-0455
Vochocová, L., Štětka, V., & Mazák, J. (2015). Good girls don’t comment on politics? Gendered character of online political participation in the Czech Republic. Information, Communication & Society, 19(10), 1321–1339. https://doi.org/10.1080/1369118x.2015.1088881
Yin, L., Wang, P., Nie, J., Guo, J., Feng, J., & Lei, L. (2021). Social networking sites addiction and FoMO: The mediating role of envy and the moderating role of need to belong. Current Psychology, 40(8), 3879-3887.
Zhang, W. (2022). Political disengagement among youth: A comparison between 2011 and 2020. Frontiers in Psychology, 13, 809432. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2022.809432
Zhelnina, A. (2020). The apathy syndrome: How we are trained not to care about politics. Social Problems, 67(2), 358-378.