Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Integrasi meski dikucilkan: Identitas Nasional Thailand di kalangan Orang Isan

Ubon Thani Northeast Thailand KRSEA

Para penutur bahasa Lao di Thailand bagian Timur Laut, yang dikenal sebagai orang Isan, telah lama menjadi subjek diskriminasi dan pengucilan dari berbagai keuntungan pembangunan yang diperoleh kawasan tengah Thailand dan Bangkok. 1 Memang, kebijakan pemerintah selama beberapa dasawarsa “mengeringkan pedesaan hingga tampak seperti wilayah yang ditaklukkan” 2 demi mendanai modal dan memberi subsidi bagi para buruh perkotaan. Selain itu, persyaratan kemampuan bahasa yang ketat dalam pendidikan dan birokrasi pemerintahan merugikan penduduk asli Isan. 3 Secara ekonomi, wilayah Isan telah tertinggal dibandingkan wilayah-wilayah lainnya, dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dan mata pencaharian yang sebagian besar bertumpu pada sektor informal. 4 Secara politis, Isan juga telah sangat dikucilkan, sangat sedikit penduduk asli Isan yang naik ke jabatan politik lebih tinggi; beberapa yang berhasil melakukannya selama periode 1940-an justru dibunuh oleh negara. 5 Sejak itu, relatif sedikit orang dengan berlatar belakang Isan dapat masyhur di kalangan politik, meski etnis ini mengisi hampir 30 persen kantung populasi. 6

Gambar 1. Kelompok bahasa di Thailand.
Sumber: Lewis dkk. (2015); Premsirat dkk. (2004

Dengan pengucilan itu, tidak mengherankan apabila pengerahan etnis dilakukan. Agaknya pengerahan kedaerahan justru akan efektif. Penelitian saya tentang dampak politik dari bahasa menunjukkan bahwa penggunaan bahasa daerah Lao, dikenal sebagai Phasa Isan, alih-alih bahasa Thailand Tengah meningkatkan kemungkinan seorang politisi untuk dipilih di kalangan Isan sebanyak 17 persen.Lihat bahan tambahan untuk Jacob I. Ricks, “The Effect of Language on Political Appeal: Results from a Survey Experiment in Thailand,” Political Behavior, https://doi.org/10.1007/s11109-018-9487-z (2018).[/ref] Saowanee Alexander dan Duncan McCargo lebih lanjut menemukan bahwa identitas kedaerahan ini terus berkembang dan menguat, sebagiannya berdasarkan pembedaan linguistik. 7 Dalam hal ini, ada potensi untuk melibatkan pengerahan etnis.

Meski demikian, pengerahan etnis gagal bertahan dalam skala luas. Ini tampak dari betapa Partai Pheu Thai dan Gerakan Kaus Merah memiliki dukungan kuat di wilayah itu, tetapi tidak ada organisasi yang menyebut diri mereka sebagai “Isan”. Lingkaran kepemimpinan kedua organisasi tetap didominasi oleh orang Thailand dari daerah lain. Para pemimpin Kaus Merah Jatuporn Prompan, Nattawut Saikua, dan Veerakarn Musikapong berasal dari Selatan, sementara semua nama teratas Partai Pheu Thai pada Pemilu 2019 berbasis di Thailand Tengah dan Bangkok. Para pemimpin lama partai itu, klan Shinawatra, mengklaim Chiang Mai sebagai “basis”, tetapi mereka tidak segan menekankan bahwa mereka keturunan Tionghoa dengan basis di Bangkok. Dalam politik Thailand, soal etnisitas menempati posisi paling belakang dibandingkan kebijakan, kelas, dan daya tarik pribadi.

Mengapa kita tidak melihat peningkatan dalam pengerahan Isan? Saya berpendapat bahwa sebagian besar jawaban dapat ditemukan dalam keberhasilan integrasi orang Isan di dalam identitas nasional Thailand. Meski identitas etno-regional memotivasi beberapa kegiatan politik, hal tersebut juga dapat dinyatakan dalam identitas yang lebih luas, sehingga meniadakan kemampuan mereka untuk mengerahkan individu dan kelompok demi tujuan politik. Penelitian terkini menunjukkan bahwa perasaan nasionalisme dapat mengatasi perbedaan etnis dan mendorong orang yang berbeda secara etnis untuk menekankan persatuan nasional di atas kelebihan-kelebihan kelompok etnis. 8 Identitas nasional dengan demikian dapat sangat berguna bagi negara untuk menjembatani perbedaan sosial yang rumit di dalam masyarakat.

Pemerintah Thailand, setidaknya mengacu pada orang-orang Isan, selama lebih dari 100 tahun telah menetapkan kebijakan etnis integratif dengan tujuan memasukkan orang-orang Lao di Isan di dalam identitas Thailand yang lebih luas. Berbagai kebijakan ini dimulai di bawah reformasi tersentral Raja Chulalongkorn (1868-1910) dan berlanjut setelah jatuhnya monarki absolut pada 1932. Kebijakan ini mengambil bentuk paling jelas dalam pendidikan, dengan bertumpu pada standardisasi penggunaan bahasa Thailand Tengah di seluruh negeri, menjadikan bahasa sebagai pilar identitas Thailand. Charles Keys berpendapat bahwa banyak orang Isan, demi integrasi dengan ekonomi pasar, menggunakan bahasa Thailand Tengah dan identitas Thailand guna menikmati manfaat positif dari identifikasi sebagai orang Thailand. 9

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana upaya integrasi ini benar-benar membawa orang Isan ke dalam identitas Thailand, terlepas dari kerugian dan berlanjutnya pengucilan yang mereka hadapi. Saya menyelidiki masalah ini menggunakan data survei maupun melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Isan. Diskusi yang lebih terperinci mengenai hasil penelitian ini telah dipublikasikan secara terpisah, 10 dan dalam tulisan ini saya semata merangkum beberapa temuan.

Pertama, data survei dari empat survei nasional yang berbeda mendukung klaim bahwa orang Isan telah mengambil identitas nasional Thailand. Baik Asian Barometer (AB) 11 maupun World Values Survey (WVS) 12 telah melakukan beberapa putaran survei di Thailand, termasuk mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan identitas nasional serta identifikasi bahasa daerah responden. Hal ini memungkinkan kami untuk melakukan perbandingan tanggapan antara populasi etnis di Thailand, menguji apakah upaya integrasi telah berhasil dalam meyakinkan orang Isan tentang “ke-Thailand-an” mereka. Apabila kebijakan negara tidak efektif, maka kita dapat melihat reaksi orang Isan yang kurang nasionalis dibandingkan responden Thailand Tengah umumnya. Di sisi lain, jika kebijakan semacam itu manjur, kita dapat melihat orang Isan punya reaksi dengan tingkat yang sama dengan rekan senegaranya.

Gambar 2. “Seberapa bangga Anda menjadi orang Thailand?”
Catatan: Penutur bahasa Thai Tengah ditempatkan pada skor dasar (0), diagram batang mewakili 95 persen selang kepercayaan (confidence intervals). Jumlah penutur di setiap kelompok adalah sebagai berikut:
WVS (2007) Thai Tengah 641, Isan 494, Kam Meuang 106, Pak Tai 175;
AB (2010) Thai Tengah 772, Isan 450, Kam Meuang 63, Pak Tai 161;
WVS (2013) Thai Tengah 560, Isan 403, Kam Meuang 81, Pak Tai 106;
AB (2014) Thai Tengah 539, Isan 414, Kam Meuang 147, Pak Tai 87.
Data dari survei Asian Barometer gelombang 3 dan 4 dan WVS 5 dan 6.

Dalam grafik tersebut (Gambar 2), kita melihat perbedaan skor rata-rata antara empat kelompok bahasa utama di Thailand perihal tanggapan mereka atas pertanyaan “Seberapa bangga Anda menjadi orang Thailand?” Kelompok-kelompok ini termasuk penutur asli Thai Tengah, penutur Isan, Kam Mueang dari Thailand Utara, dan Pak Tai dari Thailand Selatan. 13 Skor rata-rata kelompok penutur bahasa Thai Tengah ditempatkan sebagai skor dasar, ditandai dengan angka nol. Skor di atas nol menunjukkan bahwa tanggapan kelompok rata-rata lebih tinggi daripada skor rata-rata kelompok penutur Thai Tengah, sedangkan skor di bawah nol menunjukkan tanggapan kelompok rata-rata lebih rendah. Garis tertutup yang lebih kecil adalah selang kepercayaan 95 persen; jika mereka melewati garis nol, maka kita tidak dapat menyatakan bahwa ada perbedaan antara tanggapan kelompok responden dan kelompok penutur bahasa Thai Tengah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden penutur bahasa Isan, sebagai sebuah kelompok, secara konsisten memperoleh skor lebih tinggi terkait rasa bangga akan ke-Thailand-an mereka dibandingkan para penutur bahasa Thai Tengah. Agaknya perbedaan ini signifikan secara statistik pada keempat putaran survei. Selain itu, penutur Isan memperoleh skor rasa identitas nasional lebih tinggi dibandingkan penutur Pak Tai dalam semua survei; terdapat sedikit konsistensi dalam perbedaan antara penutur Isan dan Kam Mueang. Dengan kata lain, hasil survei menunjukkan bahwa orang Isan telah memeluk identitas nasional Thailand pada tingkat lebih tinggi daripada penutur asli Thai Tengah dan setidaknya tingkat yang sama tingginya dengan kelompok penutur bahasa di Thailand Utara dan Selatan.

Gambar 3. “Saya melihat diri saya sebagai bagian dari bangsa Thailand.”
Catatan: Penutur Thai Tengah berfungsi sebagai skor dasar (0), diagram batang mewakili selang kepercayaan 95 persen. Jumlah penutur di setiap kelompok adalah sebagai berikut:
WVS (2007) Thai Tengah 641, Isan 494, Kam Mueang 106, Pak Tai 175;
WVS (2013) Thai Tengah 560, Isan 403, Kam Mueang 81, Pak Tai 106.
Data dari World Values Survei gelombang 5 dan 6.

Dengan mengulangi tes yang sama untuk skor responden akan tingkat persetujuan mereka atas frasa “Saya melihat diri saya sebagai bagian dari bangsa Thailand,” lagi-lagi kita menemukan bahwa orang Isan memperoleh skor lebih positif daripada penutur Thai Tengah (Gambar 3). Perbedaannya lagi-lagi positif dan signifikan di kedua putaran World Values Survey. Sementara itu, hasil survei untuk penutur Kam Mueang dan Pak Tai kurang konsisten. Temuan ini memberi bukti lebih lanjut bahwa upaya integrasi pemerintah Thailand telah berhasil meyakinkan penduduk asli Isan yang berasal dari Timur Laut Thailand bahwa mereka adalah orang Thailand. Agaknya orang Isan umumnya memberikan tanggapan lebih positif atas pertanyaan terkait identitas nasional dibandingkan masyarakat Thailand umumnya.

Untuk memperoleh pertimbangan yang lebih memadai dalam memahami sejauh mana orang Isan menyokong identitas nasional Thailand, saya melakukan serangkaian wawancara semi-terstruktur dengan penutur Isan dari berbagai kalangan. Semua responden saya menyatakan kebanggaan mereka akan identitas nasional Thailand mereka, dengan penekanan kuat pada “ke-Thailand-an” mereka, yang dirangkum dengan baik oleh seorang responden ketika diminta untuk membandingkan identitas Thailand dan identitas Isan yang tersemat padanya: 14

“Saya harus jelaskan bahwa orang Isan adalah orang Thailand. Tidak ada pemisahan. Ketika kami bangga atas ke-Isan-an kami, begitu pula kami bangga atas ke-Thailand-an kami karena orang Isan adalah orang Thailand.”

Orang-orang Lao di Isan, setelah lebih dari seabad kebijakan integrasi, telah menjadi orang Thailand. Sementara mereka mempertahankan identitas regional mereka, mereka melihat diri mereka secara alami cocok dalam bangsa Thailand dan mereka bangga akan identitas sebagai orang Thailand.

Saat menjawab pertanyaan lebih lanjut tentang potensi mobilisasi berdasarkan identitas Isan, sebagian besar responden merasa bahwa memobilisasi identitas etno-regional, terutama dengan bertutur dalam bahasa Isan, akan jadi strategi politik yang sukses, setidaknya di tingkat daerah. Di tingkat nasional, justru banyak pihak yang menentang politisi menggunakan bahasa Isan. Seorang responden berpendapat bahwa, “Itu tidak (patut). Bertutur dalam bahasa Isan tidak semestinya dilakukan karena ada anggota masyarakat yang tidak ingin mendengar bahasa Isan.” 15 Sementara yang lainnya menyatakan, “Saya mungkin senang mendengarnya, hanya saja bagaimanapun itu akan jadi buruk juga. Orang akan berpikir bahwa si politisi lebih mengutamakan Isan, dan ini bukan hal yang baik.” 16 Yang lain lagi menyatakan, “Sepenjuru negeri ini harus menerima seorang politisi, dan apabila ia bicara seakan-akan ia mewakili Isan, ini akan mengakibatkan masalah.” 17 Rupa-rupa tanggapan ini menyoroti keyakinan responden bahwa daya tarik etno-regional cenderung kurang penting dibandingkan penekanan pada persatuan nasional, dengan demikian identitas Isan masuk  ke dalam ke-Thailand-an yang lebih luas.

Jiwa nasionalisme Thailand yang kuat membantu mengurangi tekanan mobilisasi etnis-regional di Isan. Meski orang Isan terus dirugikan baik secara ekonomi maupun politik, persoalan-persoalan ini belum mengarah pada kebangkitan gerakan kedaerahan ataupun kehadiran partai etnis yang dapat mendorong konsolidasi identitas lebih besar, dan nampaknya mobilisasi semacam itu tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat, terutama dengan militer paranoid yang berulang kali melakukan intervensi dalam politik dan dengan penuh semangat memperkuat identitas nasional yang disetujui negara.

Jacob I. Ricks
Asisten Profesor Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Singapore Management University

Banner: Udon Thani, a major city in northeast of Thailand. Image: M2020 / Shutterstock.com

Notes:

  1. John Draper dan Joel Sawat Selway, “A New Dataset on Horizontal Structural Ethnic Inequalities in Thailand in Order to Address Sustainable Development Goal 10,” Social Indicators Research 141, no. 1 (2019), 275-297.
  2. Letjend. Saiyut Koetphon, “Govt Policy is Leading to Disaster in the Hills,” Bangkok Post (5 Januari 1976).
  3. John Draper, “Tales from the Wasteland I: Thai IQ by Ethnicity,” Prachatai English (11 Januari 2016): https://prachatai.com/english/node/6684; John Draper, “Tales from the Wasteland II: Thai Language Ability and Failure by Ethnicity,” Prachatai English (12 September 2016): https://prachatai.com/english/node/6766.
  4. UNDP, Advancing Human Development through the ASEAN Community (Bangkok: UNDP, 2014), 63-64.
  5. hak Chaloemtiarana, Thailand: The Politics of Despotic Paternalism (Ithaca: Cornell University Press, 2007), 59-62, 127-130.
  6. Pengecualian yang menonjol adalah diktator militer Panglima Tertinggi Sarit Thanarat (1959-1963) dan Jenderal Prayuth Chan-ocha (2014-sekarang), yang menekankan akar Isan “100%”-nya berdasarkan keluarga ibunya di Chaiyaphum dan tempat lahir serta masa kecilnya di kamp militer di Khorat. Lihat MGR Online, “Prayuth Cho Luead Isan Roi Poesen Yan Mai Torayot Bankoed Wonkho Wela Ya Prathuang,” 2 Februari 2015, https://mgronline.com/politics/detail/9580000013021.
  7. Saowanee Alexander dan Duncan McCargo, “Diglossia and Identity in Northeast Thailand: Linguistic, Social, and Political Hierarchy,” Journal of Sociolinguistics 18, no. 1 (2014), 60-86; Saowanee Alexander and Duncan McCargo, “Exit, Voice, (Dis)loyalty? Northeast Thailand after the 2014 Coup,” dalam After the Coup: The National Council for Peace and Order Era and the Future of Thailand, ed. Michael Montesano dkk. (Singapura: ISEAS, 2019), 90-113.
  8. Volha Charnysh, Christopher Lucas, dan Prerna Singh, “The Ties that Bind: National Identity Salience and Pro-Social Behavior Toward the Ethnic Other,” Comparative Political Studies 48, no. 3 (2015), 270-275; Andreas Wimmer, Nation Building: Why Some Countries Come Together While Others Fall Apart (Princeton: Princeton University Press, 2018): 28-32.
  9. Charles F. Keyes, Finding their Voice: Northeastern Villagers and the Thai State (Chiang Mai: Silkworm Books, 2014), 110-111, 140-149.
  10. Jacob I. Ricks, “Proud to be Thai: The Puzzling Absence of Ethnicity-Based Political Cleavages in Northeastern Thailand,” Pacific Affairs 92, no. 2 (2019), 257-285.
  11. Fu Hu dan Yun-han Chu, Asian Barometer (Taipei: National Taiwan University, 2017), beberapa putaran, www.asianbarometer.org.
  12. Ronald Inglehard dkk., ed., World Values Survey: All Rounds – Country-pooled Datafile (Madrid: JD Systems Institute, 2014), www.worldvaluessurvey.org.
  13. Paul M. Lewis, Gary F. Simons, dan Charles D. Fennig, “Ethnologue: Languages of Thailand,” dalam Ethnologue: Languages of the World, vol. 18, ed. Paul M. Lewis dkk. (Dallas, TX: SIL International, 2015); Suwilai Premsrirat dkk. Phaenthi Phasa Khong Klumchatphan Tang-Tang Nai Prathed Thai [Ethnoliguistic Maps of Thailand], (Bangkok: Mahidol University, 2004), 16, 33-60.
  14. Wawancara, 24 Juli 2017, Sakon Nakhorn.
  15. Wawancara, 14 Desember 2016, Bangkok.
  16. Wawancara, 5 April 2017, Khon Kaen.
  17. Wawancara, 19 Juli 2017, Khon Kaen.
Exit mobile version