Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Myanmar yang bergerak: Masa depan kedudukan penting militer

Myanmar yang bergerak: Masa depan kedudukan penting militer

Pendahuluan

Teori dan praktek pemerintahan modern di negara-negara Barat menyebutkan bahwa pemerintahan yang baik adalah suatu bentuk pemerintahan sipil (rakyat) yang melakukan kontrol atas militer. Di negara-negara komunis pun, partai politik diharapkan memegang kontrol sementara pihak militer menuruti komando sambil tetap berpegang pada ideologi negara, sekalipun di dalam kondisi yang tidak memungkinkan.

   Di sejumlah negara non-Barat kebijakan yang sama juga diterapkan, kadang-kadang setelah mengalami suatu pengalaman pahit seperti yang terjadi di Jepang. Pada tahun 1989, partai politik besutan Aung San Suu Kyi, National League for Democracy (Liga Nasional untuk Demokrasi, NLD), sebagai bagian dari janji politiknya, mendukung adanya kontrol sipil atas militer Myanmar – hal yang kontras terhadap kenyataan saat militer tetap memegang kontrol semenjak 1962. Bagaimanapun, relasi antara sipil dan militer yang kompleks dan sulit dimengerti ini selalu dilihat lewat pemahaman tentang adanya dualisme di antara dua ekstrim dari spektrum yang menggambarkan relasi tersebut.

   Di Myanmar, kontrol sipil atas peran militer pada saat kemerdekaan dan pada saat berkuasanya pemerintahan sipil (1948-1958, 1960-1962) sangat minim dibandingkan situasi di negara-negara Barat. Tanpa memperhatikan fakta yang sesungguhnya ataupun mitos yang berlebihan tentang peran militer di dalam pergerakan kemerdekaan Myanmar, tidak diragukan lagi militer Myanmar telah menjaga keutuhan negara terhadap aksi pemberontakan etnis Karen (satu kelompok etnis yang ada di Myanmar) yang berlangsung selama selang waktu yang singkat di hampir seluruh Myanmar dan merambah sampai ke pinggiran Rangoon. Militer Myanmar telah meredam berbagai aksi pemberontakan dari dua partai komunis yang dilatarbelakangi adanya perbedaan dalam pandangan politik, dan juga sejumlah pemberontakan oleh kelompok etnis tertentu. Di tahun 1958 militer Myanmar juga telah menghentikan kegiatan partai politik Anti-Fascist People’s Freedom League (Liga Kebebasan Rakyat Anti-fasisme, AFPFL) untuk terlibat dalam perang sipil. Militer Myanmar juga mengklaim telah mencegah runtuhnya negara dengan aksi kudeta pada 1962, yang diikuti dengan pembentukan Burma Socialist Programme Party (Partai Program Sosialis Birma, BSPP) yang dirancang dan dikontrol oleh militer. Kepala Angkatan bersenjata (yaitu, Jenderal Ne Win) juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan dan pada satu saat juga merangkap sebagai Wakil Perdana Menteri pada saat yang bersamaan. Pemerintahan sipil terlihat jelas tidak efektif di dalam menjalankan pemerintahan. Rezim yang didominasi oleh militer dan dipimpin oleh Tatmadaw (angkatan bersenjata) telah berkuasa selama 28 tahun (1958-60, 1962-1988) pada saat terjadinya kudeta militer tahun 1988 yang bertujuan untuk menyokong rezim militer. Kekuasaan militer bertahan selama 23 tahun berikutnya (1988-2011) dan memerintah layaknya monarki mutlak atau kediktatoran. Pengaruh militer masih terlihat dengan sangat nyata di mana-mana. Myanmar telah menjadi salah satu negara yang dikuasai oleh militer dalam jangka waktu terlama atau bahkan mungkin merupakan negara yang dikuasai oleh militer dalam jangka waktu terlama di dalam sejarah modern.

1. Peran Militer di dalam Myanmar Modern

Myanmar telah berada di bawah otoritas militer semenjak Maret 1962, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semenjak awal, sudah terlihat dengan jelas bahwa militer berambisi untuk memegang kekuasaan secara terus-menerus. Tatmadaw telah berkuasa secara langsung, layaknya monarki mutlak atau kediktatoran, selama 35 tahun semenjak Maret 1962 (1962-1974, 1988-2011), dan secara tidak langsung melalui mandat militer dan kontrol atas BSPP selama 14 tahun (1974-1988). Pengaruh Tatmadaw telah berakar kuat di dalam semua lapisan masyarakat. Mereka telah mengontrol semua jalur mobilitas sosial. Mereka telah mendominasi ekonomi secara efektif, yang pertama melalui BSPP, dan kemudian melalui kendali mereka atas sektor publik, juga melalui Myanmar Economic Holdings Corporation dan Myanmar Economic Corporation (dua badan usaha ekonomi militer) yang dibentuk dan dikelola oleh pihak militer, dan melalui berbagai industri di bawah Office of Procurement of the Ministry of Defence (suatu Biro ekonomi di bawah Kementerian Pertahanan Myanmar). Sensor diterapkan terhadap semua media, buku-buku impor, dan beragam material sebagai upaya menyeluruh untuk mengisolasi rakyat Myanmar dari pengaruh-pengaruh luar yang dikhawatirkan akan memodernisasi masyrakat secara politik.

The Tatmadaw Emblem

Tatmadaw pada dasarnya telah menghancurkan apa yang telah merupakan sistem pendidikan dan sistem kesehatan yang relatif efektif untuk masyarakat umum, sementara pada saat yang sama menjamin para personel militer beserta anggota keluarga mereka melalui pengadaan lembaga-lembaga pendidikan dan kesehatan yang telah secara khusus dirancang khusus bagi mereka tersendiri. Tatmadaw juga berhasil mengadakan sensus bagi para biksu pada tahun 1980, suatu tujuan final dari semua penyelenggaraan administrasi, dan pada tahun 1982 mendefinisikan penduduk di dalam konfigurasi yang mereka pilih. Batasan-batasan juga ditetapkan untuk mencegah penganut agama non-Budha (Kristiani dan Muslim) dari kekuasaan yang efektif. Militer mengadakan gencatan senjata dengan grup-grup minoritas yang mengadakan pemberontakan, tetapi secara umum memperlakukan daerah-daerah yang ditempati oleh kaum minoritas seperti layaknya tentara pendudukan yang menguasai daerah-daerah rawan atau teritori lawan perang. Karena Myanmar merupakan masyarakat di mana kekuasaan terpusat pada individu dan bukan pada institusi, kepemimpinan Tatmadaw dimungkinkan melalui adanya koneksi-koneksi pribadi untuk menggenapkan dominansi total mereka terhadap masyarakat.daw dimungkinkan melalui adanya koneksi-koneksi pribadi untuk menggenapkan dominansi total mereka terhadap masyarakat.

2. Demokrasi yang berasaskan pengendalian: Merencanakan peran Tatmadaw di masa depan

Pada tahun 2003, Perdana Menteri jenderal Khin Nyunt, yang juga merupakan kepala badan intelijen militer, merencanakan tujuh langkah jalan menuju demokrasi yang berasaskan pengendalian, seperti yang didefinisikan oleh kepala negara, Jenderal Than Shwe. Pengendalian yang dimaksud di sini pada kenyataannya, diterapkan oleh militer untuk menjamin kelangsungan kontrol militer terhadap berbagai tujuan: kesatuan nasional, supremasi atas kekuasaan nasional, otonomi militer, budget militer, dan seperti yang mungkin telah diduga, keuntungan-keuntungan ekonomis yang mungkin didapatkan dari penerus posisi mereka.

   Bahkan semenjak 1993, pertemuan nasional yang disponsori oleh pemerintah, dan sangat jelas merupakan upaya rekayasa pemerintah untuk menformulasikan panduan terhadap konstitusi yang baru, dari awal sudah direncanakan sebagai wadah untuk mengesahkan Tatmadaw sebagai pemimpin di dunia politik. Hal ini dijabarkan di dalam konstitusi yang menyatakan (Pasal 6): “Tujuan konsisten Negara persatuan adalah … (butir f) memungkinkan partisipasi anggota militer di dalam kepemimpinan politik nasional.” (lihat juga Pasal 20). Hal ini disetujui dengan suara bulat ala Stalin pada tahun 2008 (mungkin dipacu oleh trauma yang disebabkan oleh “revolusi saffron” saat para biksu berdemonstrasi menentang pemerintah pada tahun 2007). Berdasarkan konstitusi tersebut militer akan menduduki berbagai posisi politik yang strategis, 25 persen dari semua anggota dewan perwakilan, baik lokal maupun nasional, yang akan diduduki oleh personel militer aktif, mereka akan ditunjuk oleh Menteri pertahanan, yang juga harus merupakan birokrat aktif, layaknya Menteri dalam negeri (memegang kontrol atas kepolisian) dan menteri yang bertanggung jawab atas daerah-daerah minoritas. Komandan angkatan bersenjata dapat mengambil alih pemerintahan pada saat situasi daurat. Tidak satupun kerabat dekat dari seorang calon presiden atau calon wakil presiden (presiden dan wakil presiden ditunjuk secara tidak langsung oleh Dewan perwakilan) yang diperbolehkan untuk beraliansi dengan kekuatan asing. Pemisahan diri daerah tertentu dari Republik Persatuan Myanmar tidak diperbolehkan. Karena amandemen terhadap konstitusi membutuhkan persetujuan dari 75 persen dari seluruh anggota dewan, militer dapat mengontrol upaya-upaya yang menuntut perubahan secara langsung tanpa perlu menggunakan Union Solidarity and Development Party (Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan, USDP) yang dikuasai oleh militer dan merupakan mayoritas di parlemen.

Yangon University (ရန်ကုန် တက္ကသိုလ်). Universities Central Library

Tatmadaw bertindak layaknya penguasa mutlak dengan merancang sebuah sistem yang secara abstrak akan menjamin kelangsungan kontrol kekuasaan oleh militer. Pada teorinya rencana ini terlihat sempurna dan akan menjamin dominasi militer sampai pada masa mendatang. Akan tetapi, walaupun militer mungkin terlihat sebagai satu kesatuan yang kokoh dan walaupun secara tata bahasa Tatmadaw dianggap sebagai bentuk tunggal, pengalaman telah menunjukkan bahwa militer tidak akan bertahan seterusnya sebagai suatu kesatuan yang koheren. Sangat besar kemungkinan persaingan pribadi akan mendominasi. Munculnya tokoh-tokoh penting dari militer dan terbentuknya relasi patron-klien menjadi ancaman bagi kesatuan militer, dan bahkan secara institusional, seperti layaknya pada masa BSPP, mungkin akan terjadi pertentangan tujuan antara komandan militer yang masih aktif bertugas dan yang sudah pensiun. Congressional Research Service di Amerika (suatu badan yang mengadakan penelitian atas suatu topik tertentu untuk Kongres di Amerika) menggambarkan pemerintahan baru tersebut dengan istilah “quasi-civilian” (sipil pura-pura) karena kursi kepemimpinan Tatmadaw ditempati oleh para pensiunan militer.

3. Dari Burma menuju Myanmar: Perbedaan dalam Mobilitas Sosial

Myanmar pada saat pelantikan pemerintahan baru di Maret 2011 secara sosial sangat jauh berbeda dibandingkan Burma pada 1 Maret 1962, menjelang berlangsungnya kudeta militer. Pada saat itu, daerah-daerah yang ditempati oleh orang Burma, dengan pengecualian daerah-daerah minoritas (sepertiga dari populasi Myanmar), mungkin merupakan masyarakat Asia Timur yang paling terbuka. Pegawai-pegawai pemerintahan berasal dari beragam etnis, bahkan keanggotaan kabinet terbuka bagi setiap etnis. Mobilitas pada dasarnya terdiri atas 4 jalur. Satu, melalui sistem pendidikan, yang tersebar secara merata, bahkan orang dari golongan ekonomi paling miskin sekalipun, pria maupun wanita, memiliki kesempatan untuk mengecap bangku kuliah di Universitas di Rangoon dan Mandalay yang disediakan secara gratis. Kedua, keanggotaan Sangha (rohaniawan Buddhis) terbuka bagi siapapun dan setiap laki-laki yang ikut di dalamnya dapat memperoleh kenaikan tingkat melalui sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh Sangha melalui universitas dan dapat mengundurkan diri dengan terhormat dari Sangha. Ketiga, organisasi-organisasi massa politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) merupakan merupakan jalan menuju kekuasaan. Lembaga-lembaga seperti All Burma Peasants Association (Asosiasi Petani Birma), All Burma Workers Association (Asosiasi Buruh Birma), organisasi para pensiunan militer, dan berbagai kelompok lainnya menyediakan jalan untuk memperoleh kekuasaan dan otoritas. Profesi di bidang militer sendiri merupakan profesi yang dianggap terhormat dan lebih cenderung dilakukan secara sukarela. Keempat, sektor privat, yang bagaimanapun pada umumnya masih didominasi oleh orang-orang asing. Peran wanita sangat menonjol di dalam masyarakat, khususnya untuk profesi-profesi dalam bidang pendidikan dan kedokteran, dan memiliki hak hukum yang sama – suatu hal yang tidak terdapat di negara lainnya pada masa itu.

Kondisi tersebut sangat berbeda dengan keadaan Myanmar pada saat ini, 50 tahun setelah dominasi militer. Sekarang Tatmadaw-lah yang memutuskan siapa yng bisa mengecap bangku kuliah, Sangha didaftar dan institusi-institusi pendidikan mereka dikontrol secara intelektual dan administratif. Organisasi-organisasi massa dan sektor privat dinyatakan terlarang oleh BSPP, atau dialihkan menjadi elemen yang dikontrol oleh negara. Penganut agama Islam dan Kristen tidak diperbolehkan menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan dan militer, seperti layaknya nasib kaum minoritas yang lain. Pada saat yang sama militer menjadi satu-satunya jalan menuju kekuasaan. Meskipun junta militer yang berkuasa sepanjang 1988-2011, yaitu State Law and Order Restoration Council (Dewan Negara Pelestarian Kuasa dan Hukum, SLORC) dan State Peace and Development Council (Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara, SPDC), membolehkan pembentukan “masyarakat sipil” (kemungkinan berdasar atas model China di tahun 1987), pada kenyataannya kelompok-kelompok sosial secara efektif dilarang untuk terlibat atau mengadvokasi jalur partisipasi politik alternatif di luar militer.

Dari masyarakat yang paling terbuka di Asia Timur, Burma/Myanmar telah berubah menjadi suatu masyarakat yang mana Tatmadaw dan organisasi-organisasi yang dikendalikan oleh Tatmadaw menjadi “negara di dalam negara,” atau bahkan negara itu sendiri. Pendidikan dengan kualitas terbaik berada di institusi-institusi militer, dan orang-orang yang tidak setuju dengan pemerintah militer atau mereka yang cempala lebih memilih untuk meninggalkan Myanmar mencari pekerjaan dan keuntungan-keuntungan politik di tempat lain. Sekitar setengah juta kaum berpendidikan meninggalkan Myanmar, ditambah sekitar 2 juta orang mengungsi dan menjadi buruh kasar di Thailand untuk melarikan diri dari perang dan kemiskinan.

4. Masa depan Tatmadaw di dalam konteks sosial Myanmar

Pada saat pelantikan pemerintahan yang baru pada 30 Maret 2011, Presiden Thein Sein secara terbuka mengakui bencana yang telah terjadi atas negara yang seharusnya menjadi negara terkaya di Asia Tenggara. Ia berniat untuk mengubah kondisi Myanmar dan mereformasi hampir semua aspek dari masyarakat dengan kondisi yang kelam itu. Hal tersebut tidak akan mudah. Masih kurangnya kapasitas menjadi masalah, meskipun sejumlah warga Burma eksil telah diundang untuk pulang kembali dan berpartisipasi dalam upaya reformasi Myanmar. Bermunculan pula untutan-tuntutan terbuka dan yang berbasis hukum mendesak perubahan atas parlemen dan atas media massa yang tak lagi disensor. Seruan-seruan pihak asing untuk mengurangi dominasi militer biasanya dinyatakan dengan gagasan-gagasan yang sederhana – amandemen konstitusi untuk meniadakan anggota militer aktif, mengubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemilihan tidak langsung dalam pemilihan presiden.

Myanmar Army personnel at Naypyidaw reception

Tuntutan atas peran militer yang lebih moderat tidak dapat diselesaikan dengan mudah, karena ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konstitusi, yang dianggap oleh kebanyakan orang tidak sesuai bukanlah penyebab dominasi militer di Myanmar, tetapi lebih merupakan refleksi dari masalah-masalah yang lebih mendasar yang baru dapat dipahami di dalam konteks rentang waktu yang lebih lama. Tidak ada jawaban instan atas peran militer yang dimoderatkan. Amandemen-amandemen konstitusional hanya merupakan pendekatan untuk memperbaiki masalah lain yang lebih mendasar.

Membentuk kembali tatanan sosial pluralistik akan membutuhkan waktu. Ini berarti pembukaan jalur-jalur mobilitas yang akan mengubah kondisi negara, dan pandangan pihak militer itu sendiri terhadap posisi superior mereka.

Politik sudah menjadi terbuka, meskipun partai milik pemerintah secara efektif didominasi oleh para pensiunan militer. Masyarakat sipil sekarang menjadi lebih bebas, universitas-universitas telah menghapus sensor dan kekakuan intelektual walaupun proses belajar pola menghafal masih mendominasi. Kehidupan akademik telah bangkit kembali. Karir di bidang militer tetap merupakan profesi idaman, dan hal tersebut sepertinya tidak akan berubah, dan nama baik militer mungkin dapat dikembalikan lagi. Hubungan yang lebih dekat di antara militer dan warga sipil mungkin dapat menciptakan rasa saling menghargai yang telah pudar setelah bertahun-tahun Tatmadaw mencibir politisi sipil sebagai buruk, korup, dan tidak efektif. Kemajuan mungkin akan terasa pada dekade berikutnya.

Tapi masih ada masalah yang tersisa. Sektor privat, dengan kurangnya dana publik yang disalurkan melalui sistem perbankan resmi, kemungkinn akan berakhir dengan dominasi orang-orang China, yang memiliki jalur lain dalam memperoleh modal untuk mengembangkan bisnis. Masalah ini harus dicarikan jalan keluarnya, karena kalau tidak kaum minoritas China dengan kondisi ekonomi yang berkelimpahan dapat menjadi kambing hitam (lagi) dari frustasi publik seandainya perekonomian ambruk.

Sejumlah contoh komparatif dapat memberikan gambaran jalur menuju perubahan yang mungkin terjadi di Myanmar. Korea Selatan, masyarakat dengan sistem kelas yang kaku dalam dominasi militer selama 1961-1987, dapat menyaksikan turunnya militer dari tampuk kekuasaan secara damai tanpa munculnya pertentangan karena adanya pembukaan berbagai jalur mobilitas sosial. Thailand merupakan contoh masyarakat dengan minimnya dominansi oleh militer karena militer Thailand memiliki jalur alternatif lain menuju kekuasaan, misalnya melalui politik dan bisnis lokal. Indonesia juga telah memulai proses yang serupa. Di setiap masyarakat ini, jalan untuk memperoleh nama baik, kekuasaan, dan otoritas yang sebelumnya pada dasarnya dimonopoli oleh militer, mengalami transformasi menjadi berbagai jalur. Hal yang serupa kemungkinan besar juga akan terjadi di Myanmar seraya berjalannya waktu.

Ironisnya dan bertentangan dengan pandangan umum, Myanmar justru diharapkan dapat berkembang dengan lebih mudah dibanding Thailand. Thailand adalah masyarakat dengan struktur hirarki yang sangat kental, dan walaupun ada kemajuan, kemajuan itu terhenti. Di sisi yang lain, di Myanmar, militer berasal dari latar belakang yang serupa dengan warga biasa, dan walaupun putra-putra dari pejabat tinggi militer (yang dikenal dalam sistem China sebagai “princelings”) sangat menonjol di akademi-akademi militer, hal itu juga sepertinya akan berubah. Jadi, Myanmar memiliki peluang yang lebih besar untuk berkembang menjadi sistem kekuasaan yang lebih egalitarian dibanding Thailand.

Meskipun Tatmadaw telah merancang suatu sistem yang menjamin keberlangsungan kekuasaan dan otoritas militer, kemungkinan besar sistem tersebut akan mengalami erosi sedikit demi sedikit. Hal ini akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi mayoritas masyarakat Burma, termasuk bagi wanita. Tetapi, warga minoritas -baik secara etnis atau agama- harus disadarkan tentang pluralisme dan ini membutuhkan upaya nyata dari pemerintah yang belum terlihat sampai pada saat ini.

David I. Steinberg
Guru besar Studi Asia, Universitas Georgetown

(Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary). 

 David I. Steinberg is Distinguished Professor of Asian Studies, School of Foreign Service, Georgetown University. His latest volume (with Fan Hongwei) is Modern China-Myanmar relations: Dilemmas of Mutual Dependence (2012).

 

 

 

 

 

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 14 (September 2013). Myanmar

Exit mobile version