Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Kitab tentang zombi

      

 Berbicara secara spesifik tentang zombi dan mayat, salah satu sumber lokal yang jarang dipelajari tetapi paling terkenal adalah Vetāla-prakaraṇam (Koleksi cerita tentang zombi). 

Vetāla-prakaraṇam adalah satu bagian dari seluruh jenis teks prakaraṇam, yang berdasarkan bukti manuskrip, telah beredar di Asia Tenggara semenjak abad ke-15. Beberapa contoh teks prakaraṇam yang paling penting antara lain Vetāla-prakaraṇam (Koleksi cerita tentang zombi), Nandaka-prakaraṇam (Koleksi cerita tentang kerbau, tetapi sebenarnya merupakan koleksi dongeng tentang kunjungan bermacam-macam binatang untuk menemui seekor kerbau jantan di dalam cerita-cerita di India, Jawa, Tamil, dan Laos), Maṇḍūka-prakaraṇam (Koleksi cerita tentang kodok), Piśāca-prakaraṇam (Koleksi cerita tentang hantu), dan Pakṣī-prakaraṇam (Koleksi cerita tentang burung) yang juga disebut Śakuna-prakaraṇam di beberapa penceritaan (kedua kata tersebut berarti burung di dalam bahasa Sanskerta). Biasanya teks-teks ini merupakan koleksi cerita pendek tentang monster dan binatang. Tetapi, istilah ini juga bisa digunakan, setidaknya di satu kasus, untuk merujuk pada koleksi sejarah mengenai legenda pembentukan suatu kota atau mengenai cerita suatu patung dan peninggalan tertentu. Dari satu sisi cerita-cerita ini mirip dengan dongeng Setsuwa dari Jepang abad pertengahan atau cerita Zhiguai dari Cina, tetapi cerita-cerita ini bukan merupakan cerita beastiaries [deskripsi tentang tampilan fisik dan sifat-sifat dari suatu jenis binatang tertentu, baik binatang nyata maupun imajinasi] seperti yang bisa ditemukan di Eropa. Cerita-cerita ini bukan merupakan deskripsi tentang dunia makhluk-makhluk fantastis atau ganjil, tetapi cerita di mana pelakunya adalah binatang atau setan dalam wujud manusia, hantu dan makhluk campuran. Di dalam cerita genre prakaraṇam tidak ada pembedaan jenis di antara koleksi cerita-cerita tentang burung atau kodok dengan koleksi cerita-cerita tentang mahluk ganjil atau hantu supernatural dan monster. Banyak dari cerita-cerita ini yang bisa ditemukan di dalam teks prakaraṇam yang ada di Asia Tenggara dan bersumber dari cerita Sanskerta di dalam Pañcatantra, Hitopadeśa, Kathāsaritsāgara, dan berbagai koleksi cerita India lainnya. Walaupun demikian, seperti halnya cerita-cerita India lainnya, ada perbedaan yang cukup besar di antara banyak cerita di Asia Tenggara dengan cerita yang sama di dalam versi India. Pakṣī-prakaraṇam di Laos dan Thailand khususnya secara tidak langsung berasal dari berbagai cerita berbeda di Pañcatantra, khususnya dari buku ketiga. Walaupun demikian, mereka pertama kali diperkenalkan di Asia Tenggara secara langsung (khususnya di Jawa, bagian utara Thailand, daerah Shan, dan Kamboja) melalui Tantropākhyāna (di Laos dikenal sebagai: Mun Tantai; di Thailand : Nithan Nang Tantrai; di Jawa: Tantri Kāmandaka atau Tantri Demung). 

Keterangan gambar: Lukisan mural di Wat Sommanat (Bangkok)

Manuskrip tertua dari koleksi ini di India ditemukan di Mysore dan berasal dari tahun 1031 Masehi. Beberapa ahli spesialis Sanskerta dan Asia Selatan: Edgerton, Venkatasubbiah, dan Artola telah melacak versi-versi yang berbeda dari teks Sanskerta, cerita Tamil, Kanada, dan Malalayam yang dihubungkan dengan pengarang India seperti Vasubhāga, Viṣṇuśarman dan Durgasimha. Ada kemiripan di antara versi-versi tersebut dengan cerita tentang seorang figur Jain, yaitu Pārçvanātha, yang dikarang oleh Bhāvadevasūri. Tentu saja, versi yang lebih terkenal dari cerita-cerita ini juga muncul dalam bahasa-bahasa Asia Tengah dan Timur Tengah. Misalnya, cerita Pahlavi, Persia, dan Syriac mengenai kisah Kalilah dan Dimnah (juga dikenal sebagai cerita fabel Bidpai ) yang sangat mirip dengan beberapa cerita tentang burung di dalam Pakṣī dan Pañcatantra. Beberapa dari cerita-cerita ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, bahasa Arab, bahasa Ibrani, dan bahasa Spanyol. Cerita Conference of the Birds (di Persia dikenal sebagai : Manteq at-Tair ) yang sangat terkenal yang dikarang oleh penyair dari abad ke-12 Farid I’d-Din Attar sangat identik dengan plot dan karakter burung dalam Pakṣī-prakaraṇam

Syam Phathranuprawat dan Kusuma Raksamani telah mempelajari secara mendalam tentang kemungkinan asal usul cerita-cerita ini dan membandingkannya dengan cerita Jawa (walaupun mereka tidak membandingkannya dengan teks-teks Buddha). Walaupun Kusuma berfokus pada Nandakaprakaraṇam, ia menunjukkan bahwa teks ini, dan juga Pakṣī, Maṇḍūka, dan Piśāca,, diperkenalkan ke bagian utara Thailand pada pertengahan 1400-an dan kemungkinan berasal dari tradisi Vasubhāga, walaupun sebagian besar dari Pakṣī kelihatannya memiliki hubungan tekstual dengan Viṣṇuśarman. Tidak ditemukan adanya dokumen sejenis di dalam bahasa Pali dan manuskrip dari bagian utara Thailand terdapat dalam bentuk nissaya yang berasal dari teks-teks Sanskerta dan bukan teks Pali. Dalam beberapa kasus istilah-istilah dalam Sanskerta telah dianggap sebagai Pali, tetapi sepertinya belum ada terjemahan lengkap dalam bahasa Pali dari teks-teks ini sebelum munculnya terjemahan dan penjelasan di dalam dialek Thailand bagian utara. Syam menekankan bahwa ada sedikit perbedaan di dalam cerita-cerita tentang Tantropākhyāna versi Thailand bagian utara, versi Laos, dan versi Thailand bagian tengah. Judul Tantropākhyāna berasal dari nama perempuan, Tantrī atau Tantrū dalam Sanskerta dan Nang Tantai atau Nang Tantrai atau Tantri di dalam tradisi Laos, Thailand, dan Jawa, [seorang pendongeng] yang menceritakan berbagai cerita ini pada seorang raja dan ini semuanya hampir 360 cerita, walaupun biasanya hanya ada 80 sampai 90 cerita di dalam koleksi Asia Tenggara. 

Vetāla-prakaraṇam, atau yang lebih umum dikenal di Thailand sebagai Nithan Wetan, sangat terkenal di Thailand dan dalam beberapa tahun terakhir telah muncul beberapa versi modern sekitar 20 – 25 cerita dari koleksi Sanskerta, yang telah beredar di Laos dan Thailand selama 4 abad terakhir. Koleksi ini ditemukan di berbagai cerita dalam Sanskerta dan dalam beberapa bahasa modern Asia selatan. Koleksi yang tertua kemungkinan besar terdiri atas 25 cerita dan berjudul Vetālapañcaviṃśati dan berasal dari sekitar abad ke-10. Koleksi ini lalu dileburkan ke dalam Kathāsaritsāgara yang disusun oleh Somadewa. Theodore Riccardi menulis disertasi berkaitan dengan cerita lain yang ditulis oleh Jambhaladatta yang dikenal di Nepal. Satu cerita yang terkenal dari kesebelas cerita tersebut disusun oleh Richard Buron berjudul Vikram and The Vampire (Vikram dan Vampir). Salah satu contoh terjemahan tidak lengkap lainnya adalah Twenty-Two Goblins (Duapuluh-dua goblin) yang disusun oleh Arthur Rider. Teks tersebut mengklaim bahwa cerita ini awalnya dikisahkan oleh seorang raja yang bernama Vikramāditya sebagaimana yang diakui dalam kopi manuskrip dari Asia Tenggara. 

Di dalam cerita-cerita yang ada di Asia Tenggara, Vikramāditya dikisahkan sebagai raja yang punya serangkaian percakapan dengan mayat hidup atau zombi yang bergelantungan di pohon. Mayat hidup atau zombi ini dikenal sebagai vetāla ( di Thailand dikenal sebagai: wetan). Raja ini berkeinginan untuk menangkap si zombi, memapah si zombi di pundaknya dan mempersembahkan zombi tersebut kepada seorang peramal Brahmin (dalam Sanskerta: ṛṣi / dalam Thai: phra reusi) dengan tujuan untuk memperoleh kekuatan gaib dari si peramal tersebut. Zombi tersebut berkali-kali meloloskan diri dari sang raja dengan menggunakan teka-teki yang mengandung berbagai cerita tentang bermacam-macam makhluk yang kadang-kadang cukup lucu. Setelah berhasil menipu sang raja (dengan memberi kesempatan kepada sang raja untuk menjawab teka-teki yang ia ajukan), zombi tersebut meloloskan diri dari sang raja dan memanjat kembali pohon tempat ia bergantungan. Sebagai contoh, di satu cerita ada seekor burung kakaktua dan seekor burung myna yang berdebat tentang siapa yang lebih bodoh: laki-laki atau perempuan. Si burung myna bercerita tentang seorang laki-laki yang tidak tahu bersyukur, yang meskipun dicintai oleh seorang perempuan cantik dan kaya, kerap menggerogoti harta kekayaan si perempuan dan pada akhirnya mencampakkan perempuan tersebut. Burung kakaktua bercerita tentang seorang perempuan yang meskipun telah menikah, punya hubungan rahasia jangka panjang dengan seorang Brahmin. Pada suatu hari, Brahmin tersebut salah dikira sebagai pencuri yang hendak menyelinap ke kamar si perempuan. Kepala brahmana itu dipukul oleh salah seorang pelayan pada saat ia menyelinap ke kamar perempuan tersebut. Sang Brahmin terbaring dalam kondisi hampir mati dan si wanita mencoba menolongnya dengan memberikan pernafasan buatan melalui mulut. Tetapi dalam pergelutannya menuju kematian, secara tidak sengaja Brahmin itu menggigit hidung si perempuan sampai lepas! Si perempuan menyalah-timpakan kejadian ini sebagai salah sang suami, sebab jika tidak, pasti akan dihukum mati oleh raja. Zombi tersebut lalu bertanya pada sang raja siapa yang lebih picik: laki-laki atau perempuan. Sang raja menjawab “perempuan”, yang lalu dibenarkan, tanpa alasan objektif, oleh si zombi. Di cerita yang lain sepasang ayah – ibu kasta Brahmana berduka atas kematian tiba-tiba putra mereka yang masih muda. Mereka membawa putra mereka ke pekuburan di mana mereka berjumpa dengan seorang yogi lanjut usia. Pada awalnya yogi itu menangis ketika melihat sang anak tetapi ia lalu melompat dan menari, lalu menggunakan ilmu sihirnya untuk merasuki tubuh anak muda yang meninggal itu secara spiritual. Kedua orangtua itu sangat gembira karena putra mereka yang sudah meninggal seolah-olah hidup kembali. Walaupun pada akhirnya, sang anak lalu memutuskan untuk menjadi seorang yogi yang taat untuk seumur hidupnya. Zombi itu lalu bertanya pada sang raja mengapa yogi dalam cerita itu pertama kali menangis lalu menari-nari. Sang raja sekali lagi menjawab dengan benar, bahwa si yogi sedih karena ia akan kehilangan tubuh lamanya, tetapi senang karena ia sekarang akan memiliki tubuh yang baru, tubuh seorang Brahmana muda. Selain kedua cerita di atas, ada bermacam-macam cerita teka-teki lain yang menggunakan kisah cinta, peracunan, percabulan, dan pergantian jenis kelamin dengan menggunakan kekuatan gaib. Di bagian akhir cerita-cerita ini antara sang raja dan zombi, si zombi menggunakan kemampuannya untuk membaca jalan pikiran manusia dan makhluk buas dan memperingatkan sang raja tentang niat si ahli peramal untuk membunuh sang raja dan menggunakan kekuatan si zombi untuk diri si peramal sendiri. Si zombi tidak membuat sang raja takut, tetapi pada akhirnya ia menyelamatkan hidup sang raja dan menjadi sekutu mistiknya. 

The display of infant corpses is a well-known practice in Thailand

Seperti yang tergambarkan di dalam cerita (atau mungkin “percakapan dengan zombi”) tentang zombi dalam Sanskerta, gagasan tentang orang mati sebagai konsultan permasalahan duniawi, sumber perlindungan, atau sumber keberuntungan dan nasib baik telah diterima di masyarakat sampai pada level tertentu. Cerita-cerita ini tersebar hampir di seluruh daratan utama Asia Tenggara dan Jawa, menjadi sumber untuk tradisi ritual dan beragam cerita yang ada pada saat ini. Cerita-cerita ini juga bahkan menjadi sumber untuk sukses besar industri film horor khususnya di Thailand (industri film Burma, Laos, dan Kamboja masih belum berkembang). Banyak dari film-film horor ini yang bertema zombi, mayat, hantu, dan makhluk supernatural lainnya. Film-film seperti Maha-Ut, Arahant Summer, The Coffin, Eternity, Uncle Boonmee who can remember his past lives, Nang Nak, Nak, Chom Khamang Wet, Ahimsa, dan banyak lagi yang lain menampilkan mayat-mayat atau hantu-hantu yang dapat menyediakan kekuatan dan pengetahuan atau bisa menyiksa dan membunuh. Film-film seperti ini biasanya menampilkan karakter biksu Budhist dan juga orang-orang biasa. Sekarang adalah saatnya untuk mulai menginvestigasi bermacam sumber dari tampilan-tampilan budaya yang sangat khas di wilayah Asia Tenggara ini. 

Justin Thomas McDaniel
University of Pennsylvania

(Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary) 

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 12 (September 2012). The Living and the Dead

Exit mobile version