Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Melacak Akar Sosial-Politik Intelektual Islam Indonesia: Sebuah Survey Bibliografis

Pada dasarnya, tulisan ini ingin memberikan sketsa sosiologi intelektual Muslim pada era tahun 1990-an. sebab, hampir semua ilmuwan Islam yang dijadikan objek dalam kajian ini adalah mereka yang pernah belajar di Barat dan lulus pada tahun 1990-an. Karena itu, artikel ini hendak memberikan gambaran yang komprehensif bagaimana corak pemikiran Islam yang berkembang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan suatu argument bahwa terdapat kesinambungan pemikiran Islam yang berkembang selama tiga dasawarsa ini. Karena itu, untuk memahaminya perlu dijelaskan secara telegrafik bagaimana hal tersebut terjadi.

Hanya saja, untuk membedakan dengan kajian sebelumnya, saya akan menyajikan dengan studi bibliografis. Model ini memang belum pernah dilakukan oleh para sarjana, baik dalam maupun luar negeri. Karena itu, studi ini berusaha sekuat tenaga untuk menyajikan karya-karya yang terkait dengan pemikiran Islam di Indonesia era 1970-an dan 1980-an. Tentu saja, kelemahannya terletak pada sejauh mana pengetahuan saya tentang karya-karya tersebut. Untuk itu, tidak menutup kemungkinan model ini dapat dilengkapi oleh sarjana berikutnya yang tertarik dengan studi pemikiran Islam di Indonesia.

Sejauh ini, akar-akar pembaruan Islam memang belum ada kesepakatan di antara para sarjana Islam Indonesia. Sebab, akar-akar tersebut cenderung dilihat melalui satu sudut pandang semata, dimana mengabaikan sudut pandang yang lain. Sudah lazim malzum, bahwa pembaharuan Islam di Indonesia dimulai saat awal abad ke-20 atau menjelang akhir abad ke-19. 1 Namun belakangan, ada yang berpendapat,seperti yang sering ditulis oleh Azyumardi Azra, bahwa pembaruan Islam di Indonesia telah dimulai pada pada abad ke-17. 2 Hal ini tentu saja memberikan impak yang serius terhadap wacana pembaruan, terutama mengenai sejarah intelektual Islam di Indonesia. Jika kita sepakat pembaruan pemikiran Islam muncul pada pendapat pertama, maka sekian data-data sejarah intelektual Islam pada abad sebelumnya hanya menjadi “pengembira” dalam kajian intelektual Islam. Sebaliknya, jika kita mulai sepakat dengan pendapat kedua, maka tugas kita selanjutnya adalah menulis kontiunitas sejarah Intelektual Islam setelah abad tersebut. Dan, harus diakui bahwa jika ada kajian yang mulai menulis tentang topik ini, maka dinamika intelektual di Haramayn dan Mesir tidak dapat diabaikan sama sekali. 3

Karena itu, wacana gerakan pembaruan pada awal abad ke-19 dan 20 pun masih ikut “melirik” dentuman peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Timur Tengah. Hanya saja, yang diambil oleh para pionir pembaru di Indonesia adalah semangat dan model pembaruan melalui pengembangan pikiran tokoh dan media surat kabar (jurnal). Dalam konteks ini, pembaruan masih sebatas menghadang arus kolonialisme, 4 Kristenisasi yang dijalankan para penjajah, 5dan “pembetulan” disana-sini perilaku ibadah umat Islam yang telah “terjerat” TBC (Taklid, Bid’ah dan Churafat). 6

Misi pembaruan ini tentu saja tidak bertahan lama, sebab menjelang kemerdekaan dan paska kemerdekaan, energi tokoh Islam lebih “terkuras” dalam perdebatan dasar negara, hubungan agama dan negara, dan arah politik Indonesia yang sedikit banyak telah “dikuasai” oleh kelompok nasionalis sekular. 7 Bahkan menjelang keruntuhan era Orde Lama, pemikiran Islam sangat sulit sekali dikembangkan, sebab perhatian bangsa ini masih tertuju pada bagaimana “mencuci piring” akibat ulah PKI.

Akhirnya, pemikiran Islam baru berkembang pada era 1970-an. Dalam hal ini, M. Dawam Rahardjo dalam bukunya, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa menuturkan bahwa faktor objektif yang menghadirkan gejala kecendekiawanan Muslim adalah aktivitas pemikiran dan bahkan gejolak pemikiran di sekiar paham pembaharuan yang dilontarkan oleh kalangan muda di awal dasawarsa 1970-an. 8Dari sini menunjukkan bahwa peran kelompok muda yang dimotori oleh Nurcholish Madjid memang terjadi pada tahun 1970-an. Kelompok muda menginginkan agar umat Islam tidak lagi mengingat memori tentang kekuatan politik umat Islam pada era Orde Lama. Karena itu, mereka menginginkan agar perjuangan umat Islam lebih diarahkan kepada substansi ajaran Islam melalui pemodernan pemahaman Islam.

Dalam konteks di atas, kehadiran intelektual saat itu, merupakan respon terhadap isu pembangunanisme (modernisasi) yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru yang mencoba membungkus rapat-rapat kekuatan politik Islam. Dalam hal ini, M. Syafii Anwar dalam karyanya Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia menandaskan bahwa pemerintah Orde Baru akan menggeser ideologi politik yang bersifat primodialisme. 9 Hal ini yang menyadarkan kelompok muda Islam, agar ideologi politik Islam tidak perlu lagi digembar-gemborkan, sebagaimana digelorakan oleh kelompok tua yang merasa dirugikan oleh pemerintah Orde Lama.

Kajian yang cukup komprehensif tentang bagaimana peran Cak Nur telah berhasil dikupas agak tuntas oleh M. Kamal Hassan melalui disertasi Ph.D-nya di Columbia University pada tahun 1975 dengan judul Muslim Intellectual Response to “New Order” Modernization in Indonesia. 10 Belakangan hasil penelitian ini digugat oleh Greg Barton melalui karyanya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. 11 Hasil penelitian Barton, terutama yang menyangkut klasifikasi Islam Liberal, kemudian banyak dibantah oleh anak muda NU, seperti yang dilakukan oleh Ahmad Baso dalam tulisan “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam.” 12 Selain kajian Kamal, studi yang dilakukan oleh Bahtiar Effendy dalam karyanya Islam dan Negara, 13 M. Rusli Karim melalui bukunya Negara dan Peminggiran Islam Politik, 14 juga ikut mengulas bagaimana bagaimana dinamika Pembaharuan Pemikiran Islam dalam merespon politik Orde Baru. Bukan hanya mereka, ada juga sarjana yang mencoba melihat dari sisi ketegangan dengan Pancasila seperti yang dilakukan oleh Faisal Ismail lewat karyanya Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama. 15 Di samping itu, ada pula yang melihat bagaimana dinamika tersebut jika dihadapkan dengan wacana demokrasi seperti yang dikaji oleh Masykuri Abdillah melalui karyanya Demokrasi di Persimpangan Makna. 16

Apa yang menarik dari kajian-kajian di atas adalah bahwa pikiran generasi muda era 1970 telah mendapat tempat yang layak dalam studi pemikiran Islam di Indonesia. Lebih dari itu, implikasi dari pemikiran tersebut ternyata telah merubah kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Impak ini dapat dirasakan misalnya, dari bentuk kebijakan yang bersifat akomodatif. Bahtiar Effendy memaparkan bahwa tanggapan akomodatif negara ini dapat terlihat dalam empat bidang yaitu akomodasi struktural, legislatif, infrastruktural, dan kultural. Dalam bidang struktural, bentuk akomodasi yang paling mencolok adalah direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru ke dalam lembaga-lemabag eksekutif (birokrasi) dan legislatif negara. 17 Adapun akomodasi legislatif dapat dilihat dari produk undang-undang atau peraturan yang agak “berpihak” kepada Islam. Sementara akomodasi infrastructural adalah dibangunnya beberapa bangunan sebagai “proyek kegamamaan” dan adanya pengakuan pemerintah terhadap keberadaan Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Terakhir, akomodasi cultural dimana para pejabat sudah mulai memakai idiom-idiom Islam dalam acara kenegaraan. Kajian lanjutan tentang hal tersebut dapat dibaca dalam karya Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru 18 dan buku Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia. 19

Lebih lanjut, kancah intelektual Islam pada era 1970-an juga dipicu oleh figur Harun Nasution yang mencoba “membumikan” pemikiran Mu’tazilah di Indonesia. Kendati pada awalnya, ditentang oleh banyak kalangan, namun upaya Harun melalui IAIN Jakarta telah banyak menghasilkan sarjana pemikiran Islam pada era 1980-an dan 1990-an. Peran sentral Harun dalam membuka diskursus pemikiran Islam di Indonesia cukup terasa impaknya bagi bagi generasi berikut. Hal ini terekam jelas dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution dimana para sarjana Islam dari berbagai generasi 60-an, 70-an, 80-an, dan 90-an mengakui peran Harun dalam menyeru pemikiran rasional di Indonesia, seperti yang ditulis oleh Arief Subhan, 20 Saiful Muzani 21 dan Fauzan Saleh. 22

Di samping Harun, sosok Munawir juga ikut memainkan peran penting dalam menyekolahkan beberapa sarjana era 1990-an keluar negeri agar mempelajari Islamic Studies di Barat. Hal ini tentu saja berkat peran Munawir Sjadzali yang mengirim beberapa dosen IAIN untuk belajar ke Barat. Tidak sedikit generasi ini memiliki peran penting dalam mengembangkan pemikiran Islam di Indonesia. Adapun mengenai peran Munawir ini terlihat jelas dalam buku Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (1995). Dalam karya tersebut, para sarjana cukup menyadari bagaimana kiprah Munawir dalam mengirim dosen IAIN ke berbagai universitas ternama di Barat. Setelah pulang dari Barat, para sarjana ini kemudian menulis tentang kiprah Munawir seperti yang terlihat dalam Islam Berbagai Perspektif: Didekasikan untuk 70 Tahun Prof. H. Munawir Sjadzali, MA (1995). Peran Munawir ini sering disebut dengan alam pencairan ketegangan ideologis sebagaimana tampak dalam artikel yang ditulis bersamaan oleh Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, Arife Subhan, 23 Bahtiar Effendy, 24 dan Agus Wahid. 25

Lebih lanjut, tokoh lain yang cukup berjasa dalam menelurkan pemikir muda pada era 1970-an adalah Mukti Ali. Melaui diskusi Limited Group di Yogyakarta, tidak sedikit para pemikir muda ikut andil di dalamnya. Karena itu, sampai sekarang, peran Mukti Ali,sebagai sebagai penggagas studi Perbandingan Agama di IAIN, juga sebagai pendobrak semangat kelompok muda di Yogyakarta, seperti Ahmad Wahib (alm), M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan lain-lain. Tentang kiprah ilmuwan multidimensi ini, dapat dibaca dalam Abdurrahman, Burhanuddin Daya, dan Djam’annuri (ed), Agama dan Masyarakat: 70 Tahun H.A. Mukti Ali (1993). Di samping itu, peran Mukti juga diuraikan secara komprehensif oleh Ali Muhannif 26 dan Nasrullah Ali-Fauzi. 27

Di atas mereka semua, peran H. M. Rasjidi dapat dikatakan sebagai tokoh – meminjam istilah Cak Nur – Godfather “Mafia McGill.” 28 Dia yang pertama kali mengenyam studi Islam di Barat yang kemudian menghantarkan nuansa pemikiran Islam tesendiri di Indonesia. Tidak sedikit para sarjana yang memuji jasa Rasjidi seperti tercermin dalam 70 Tahun Prof. H.M. Rasjidi. Namun demikian, karena Rasjidi agak menentang pembaharuan yang dikembangkan oleh Cak Nur Cs., maka agak sedikit perhatian para sarjana terhadap mantan Menteri Agama RI pertama ini. Setidaknya, kajian tentang Rasjidi hanya dapat dilihat kupasan Azyumardi Azra 29 dan tulisan yang mengenang kewafatan tokoh ini pada tanggal 30 Januari 2001 oleh Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman. 30

Setelah kita mendapatkan peran tokoh, saya tertarik untuk melihat bagaimana peran organisasi, lembaga, atau yayasan menjadi “kendaraan” sekaligus menjadi “transmitter” pembahuruan bagi generasi era 1990-an. Setidaknya, ada beberapa “kendaraan” yang menjadi “lokomotif” gerakan pemikiran pada era 1980-an. Pertama, Yayasan Paramadina. Yayasan ini merupakan salah satu “kendaraan” yang mengusung pemikiran Cak Nur secara independen. Kendati pada saat yang sama, dia adalah Ahli Peneliti Utama LIPI dan Dosen pada IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, menurut Greg Barton, Paramadinalah yang menjadi kendaraan utamanya dan merupakan fokus untuk energinya. 31 Secara berkala, Cak Nur mengisi sejenis diskusi bulanan KKA (Klub Kajian Agama) yang menghadirkan kelompok menengah dari hotel ke hotel. Tentu saja, setiap topik yang diisi oleh Cak Nur selalu dicari pembandingnya dari seorang ilmuwan lainnya. Dari sinilah, karya-karya Cak Nur “membanjir” di Indonesia 32 dan karya ilmuwan lainnya baik dari kelompok Paramadina maupun bukan yang tentu saja diterbitkan oleh yayasan ini (mis. LAZIS) atau funding internasional. Adapun tentang studi Islam yang diajarkan oleh yayasan ini dapat dibaca dalam Buku Panduan Program Pusat Studi Islam dan tulisan-tulisan “warganya” seperti Komaruddin Hidayat 33 dan Budhy Munawar-Rachman. 34 Yayasan ini juga menerbitkan jurnal Paramadina yang sampai sekarang baru terbit dua edisi. Selanjutnya sama dengan yang lainnya, yaitu menjadi “almarhum.”

Kedua, LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat). Lembaga ini memang amat berjasa dalam mensosialisasikan pikiran pembaharuan pemikiran Islam pada era 1980-an melalui berbagai kegiatan ilmiah. Kendati terbit pada tahun 1990-an, namun isu-isu yang diangkat juga tidak begitu jauh dengan apa yang terjadi pada era 1980-an. setidaknya, ini terlihat dari terbitnya Jurnal Ulumul Qur’an yang dipimpin oleh M. Dawam Rahardjo yang selalu mencoba mengangkat isu-isu pembaruan atau pemikiran terkini yang berkembang di seputar studi Islam. Selain mengisi tetap pada rubrik Assalamu’alaikum, Dawam juga mengisi Ensiklopedia Qur’an yang belakangan artikel-artikel tersebut diterbitkan oleh penerbit Paramadina. 35 Dengan kata lain, LSAF ini memang sangat dekat Paramadina. Selain, Dawam sebagai pendukung Cak Nur, para personil di LSAF juga personil Paramadina. Hal ini juga terlihat dari artikel yang diterbitkan yang senyawa dengan misi Paramadina. Di yayasan ini bertengger nama-nama intelektual muda yang amat enerjik seperti Saiful Muzani, Budhy Munawar-Rachman, Ihsan Ali-Fauzi, Arief Subhan, Nasrullah Ali-Fauzi, Agus Wachid, Edy A. Efendy, Dewi Nurjulianti, Nurul Agustina dan lain sebagainya. Tentu saja mereka sekarang sudah menjadi pemikir dengan berbagai disiplin ilmu yang mereka kuasai. Namun harus diakui, peran UQ yang dikembangkan oleh LSAF memang telah menjadi menjadi generasi paska Cak Nur yang memilik teori tersendiri dalam menyajikan pemikiran Islam. 36

Kedua, Yayasan Muthahhari. Yayasan ini dipimpin oleh Jalaluddin Rakhmat yang banyak berkiprah di Bandung. Yayasan ini didirikan oleh Kang Jalal bersama dengan Haidar Bagir, Ahmad Tafsir, dan Achmad Muhadjir pada 3 Oktober 1988. 37 Adapun alasan mengapa digunakan Muthahhari adalah karena tokoh ini merupakan ulama-intelektual abad 20 yang bisa dianggap sebagai salah satu model sarjana Islam dalam hal pemilikan tiga syarat yang banyak diimpikan tapi jarang bertemu dalam satu pribadi: akar yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan memadai atas ilmu-ilmu non-agama, serta concern dan karya nyata di bidang sosial – sebagai aktivis Islam dan penulis prolific – seperti tampak dalam perjalanan hidupnya. 38 Harus diakui, bahwa yayasan ini sering dilekatkan dengan pemikiran Syiah, sebab mereka banyak sekali mensosialisasikan pikiran tokoh-tokoh Syiah, terutama dengan jurnal yang diterbitkan Al-Hikmah. Jurnal ini kendati sudah “almarhum” namun sedikit banyak mencerminkan bagaimana misi yang dikembangkan oleh Kang Jalal. Sebab, jurnal tersebut memiliki keunikan tersendiri yaitu lebih banyak menerjemahkan karya-karya tokoh Syiah dan orientalis, sehingga warna pemikiran keislaman pun sangat beragam. Hal ini juga ditunjang oleh hubungan Yayasan ini dengan penerbit Mizan yang memang agak gencar menerbitkan buku-buku tentang Syiah, seperti karya-karya Ali Syari’ati. Karena itu, lewat “kendaraan” ini, Kang Jalal selain mengembangan pikirannya, juga sekaligus mengembangkan pikiran Syiah. Hal ini, tentu saja menyemarakkan tradisi pemikiran keislaman di Indonesia dimana dikembangkan bukan hanya tradisi Sunni, melainkan juga Syiah.

Ketiga, LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Lembaga ini didirikan pada pada tahun 1971 yang dibantu oleh Friedrich Nauman Stiftung (FNS) dari Jerman. 39 Dalam Ornop ini, tidak sedikit cendekiawan muda yang bekerja sebagai peneliti (mis. Fachry Ali, Hadimulyo, M. Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid dan lain sebagainya). Di dalam organisasi ini, terdapat M. Dawam Rahardjo yang menggerakan dunia pesantren dimana mereka memiliki sekian banyak program untuk memberdayakan. Karena itu, tema-tema yang diangkat pun tidak lagi bergelut pada tema-tema normative, namun lebih kepada empiris melalui pendekatan-pendekatan dalam ilmu sosial. Di samping itu, LP3ES juga menerbitkan buku yang sering menjadi acuan pemikiran Islam di Indonesia. 40 Di samping itu, lembaga ini juga menerbitkan jurnal Prisma yang selalu memuat tema-tema sosial dimana pikiran yang terkait dengan agama kemudian dicoba dibukukan sebagai bukti bahwa ada pemetaan yang khas tentang pemikiran Islam di Indonesia. 41 Sebab, kehadiran Prisma memang dengan semangat anti-ideologi, anti partai dan anti politik, sebagai oposisi dari sikap ideologi, partisan dan politis khalayak (termasuk para cendekiawan) masa sebelumnya. 42 Karena itu, tidak sedikit pemikir Islam yang besar dari lembaga LP3ES dan jurnal Prisma yang pada gilirannya membantu kita untuk mengatakan betapa LSM merupakan faktor penting dalam dinamisasi pemikiran Islam di Indonesia. Atau, dalam bahasa Fachry Ali, “lembaga yang telah berjasa mengakomodasikan hasrat intelektual itu adalah LP3ES. Melalui kegiatan penelitian dan jurnal Prisma-nya, lembaga ini telah menginspirasikan dan mewadahi hasrat pengembangan intelektual yang dirintis Cak Nur dalam komunitas kami.” 43

Keempat, P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Lembaga ini didirikan pada tahun 1983 yang dipimpin Masdar F. Mas’udi yang bertujuan untuk menyediakan bentuk dukungan intelektual pada elemen-elemen pembaruan di dunia pesantren. 44 Secara kelembagaan pendiri lembaga ini juga mereka yang terlibat dalam proyek LP3ES, tetapi P3M lebih merupakan usaha bersama kalangan NU dan Masyumi, tanpa kehadiran beberapa intelektual “sekuler” dan non-Muslim sebagai yang terdapat dalam LP3ES. 45 Kajian yang dikembangkan oleh P3M memang agal berlainan saat itu, dia berusaha “mendobrak” tradisi lama yang sekian lama terkunkung oleh teks-teks klasik. Karena itu, pikiran-pikiran tokoh-tokoh P3M (mis. Masdar dan Gur Dur) sering mencerminkan kelanjutan dari pikiran Cak Nur. Disamping itu,   lembaga ini juga menerbitkan jurnal empat bulanan Pesantren yang memuat infomarsi “terkini” tentang dunia pesantren dan hal-hal lain yang terkait dengan misi P3M. Menurut Martin Van Bruinessen, majalan Prisma telah meransang sikap yang lebih kritis terhadap studi-studi scriptural tradisional dengan menyertai setiap isu yang diangkat dengan tinjauan pustaka secara kritis terhadap sebuah kitab kuning. 46

Kelima, PPSK (Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan). Organisasi ini memang lahir agak belakangan, dibandingkan “kawan-kawannya” di atas. Berbeda dengan mereka, organisasi ini lahir di Yogyakarta menjelang kelahiran ICMI. Disini melahirkan figur M. Amien Rais dan beberapa sarjana dari kampus UGM lainnya (mis. Watik Pratiknya, Kuntowijoyo, Sofyan Effendy, Jamaluddin Ancok, Ichasul Amal, Yahya Muhaimin, Dochak Latif, Chairul Anwar, (alm.) Affan Gaffar). Menurut Amien, lembaga ini lahir yang dilatarbelakangi oleh hasrat sejumlah cendekiawan Yogyakarta untuk membentuk sebuah “dapur pemikiran bagi umat Islam.” 47 Lembaga ini memang menjadi semacam think thank bagi kelahiran ICMI yang belakangan tempat berkumpulnya berbagai sarjana Muslim Indonesia. Kecuali itu, lembaga ini juga menerbitkan jurnal kwartalan Prospektif yang memuat tulisan para staf PPSK. Harus diakui, bahwa jaringan PPSK ini banyak sekali mewarnai konstelasi pemikiran Islam dalam bidang sosial-politik. Karena itu, tidak dapat diabaikan bahwa langgam pemikiran yang dikembangkan memang agak senafas dengan organisasi di atas, kendati eksponennya bukan dari kalangan IAIN.

Demikianlah beberapa lembaga yang menjadi “kendaraan” bagi “penumpangnya.” Dari sini terlihat bahwa gerak pemikiran Islam di Indonesia memang selalu terkait dengan lembaga yang menjadi paying sang-pemikir tersebut. Kendati Cak Nur merupakan ilmuwan dari IAIN dan LIPI, namun publik lebih mengenalnya melalui Paramadina. Karena itu, “kendaraan” ini mampu memberikan implikasi serius bagi yang “menumpangnya.” Dari Paramadina misalnya, sosok Komaruddin Hidayat, telah berhasil menjadi pemikir Islam garda depan pada era 1990-an. demikian juga, LP3ES telah menyebabkan Fachry Ali sedemikian ahli dalam bidang ilmu-ilmu sosial, kendati dia lulusan IAIN Jakarta. Di P3M, tranmisi intelektual di kalangan NU sedemikian menggema sehingga, sampai sekarang lembaga ini telah cukup sukses dalam mencetak kadernya pada era 2000-an (mis. Zuhairi Misrawi). Di samping itu, peran LSAF juga telah menaikkan pamor beberapa pemikir muda yang dulunya mereka hanya sebagai penerjemah, editor atau penulis lepas di koran dan jurnal. Dari sini muncul Saiful Muzani Cs, yang pada akhirnya lebih banyak berkiprah di PPIM, sebuah lembaga yang digagas oleh Azyumardi Azra.

Selanjutnya dalam setiap “kendaraan” tentu memiliki daya tarik tersendiri yang membuat para “penumpangnya” betah untuk naik di dalamnya. Dalam konteks ini, hampir dapat dipastikan bahwa dalam rangka mensosialisasikan pikiran pemikir dalam organisasi tersebut, jurnal merupakan salah satu cara yang paling efektif. Hal ini tampak jelas bahwa jurnal yang terbit (Prisma, Pesantren, Ulumul Qur’an, Al-Hikmah) selalu memuat tulisan sang pemikir dan ilmuwan lainnya yang sesuai dengan misi jurnal tersebut. namun hampir dapat dipastikan pula, semua jurnal tersebut telah “almarhum” seiring dengan naiknya pamor sang intelektual yang membidaninya. Dalam konteks ini, jurnal kemudian hanya menjadi saksi sejarah intelektual para pemikir era 1980-an. Tentu saja, tulisan-tulisan tersebut telah menjadi bahan penelitian bagi para pengkaji untuk mendalami studi pemikiran Islam di Indonesia. tidak hanya disitu, jurnal-jurnal tersebut menjadi “barang wajib” bagi siapapun pemikir di Indonesia yang ingin dikenal pemikirannya oleh publik. Setelah mereka menempati posisi strategis, jurnal ini menjadi terbengkalai. Jika dibandingan dengan sejarah pemikiran Islam pada awal 1900-an, jurnal memang memainkan peran penting. Setidaknya, transmisi pemikiran Islam lebih sering dikembangkan melalui jurnal. Di Nusantara, nama-nama jurnal atau majalah yang memiliki peran penting dalam pembaharuan pemikiran Islam adalah Al-Manar, Al-Imam, Al-Munir, Al-Muslimun, Ittihad, Seruan al-Azhar, Pilehan Timoer, al-Islah, Pembela Islam, al-Islam, dan lain sebagainya. 48Jadi, peran jurnal memang sangat memainkan peran penting dalam mensosialisasikan pemikiran dalam dunia Islam.

Selanjutnya, sejalan dengan kenyataan di atas, saya akan menguraikan bagaiman peran penting media dan penerbit buku dalam mensosialisasikan pemikiran Islam pada era 1980-an. Hal ini mengingat bahwa perdebatan memang sering muncul ketika isu-isu pemikiran Islam dijadikan sebagai bahab media massa atau minat penerbit buku untuk “menjualnya” ke publik. Dalam hal ini, saya akan menyoroti beberapa media yang dipandang cukup berkopenten dalam menyebarkan isu-isu pemikiran Islam pada tahun 1980-an. Salah satu yang paling berjasa dalam menyebarkan pemikiran Islam pada awal 1980-an adalah majalah Tempo. Majalah ini merupakan pers yang memiliki visi intelektual, atau tepatnya “visi pembaruan”, dan tampaknya visi itulah yang menjadi serangkaian nilai dasar sekaligus menentukan visi penerbitan. 49 Dalam konteks demikian, maka misi pembaruan pemikiran Islam yang diusung oleh Cak Nur senyawa dengan misi Tempo. Hampir dapat dikatakan bahwa ide-ide Cak Nur menjadi sedemikian menggelembung adalah berkat upaya Tempo dalam mempublikasikan pikiran-pikirannya. Karena itu, tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa yang “membesaran Nurcholish itu pada hakekatnya Tempo” atau Tempo sebagai “corongnya Nurcholish Madjid.” 50

Pada dasarnya dalam situasi di atas ada dua pihak yang merasa diuntungkan. Pada piha Cak Nur, misalnya, dia akan mudah mensosialisasik pikiran-pikirannya ke khalayak ramai. Sebab, Tempo merupakan majalah nasional yang mencakup seluruh Indonesia. Untuk ukuran saat itu, Tempo merupakan majalah yang banyak pembacanya. Karena itu, isu-isu pemikiran Islam sempat menjadi headline majalah ini beberapa kali dalam yaitu edisi Mei 1971, April 1972, Juli 1972, Desember 1972, Januari 1973, Juni 1986, dan April 1993. 51Pada pihak lain, keuntungan Tempo juga mendapat isu yang layak untuk “dijual” ke pembaca setianya. Dalam hal ini, mantan redaktur Tempo, Yulizar Kasiri menandaskan bahwa “Tempo menangkap gagasan-gagasan neo-modernisme Islam seperti yang digulirkan Cak Nur hanya merupakan umpan kepada masyarakat pembaca. Masalah diterima atau tidak, bukan urusan Tempo. Artinya, hal itu urusan atau hak masing-masing individu yang membacanya. Tak ada paksaan.” 52

Selain Tempo, majalah Panjimas (Panji Masyarakat) juga ikut berperan dalam perdebatan pemikiran Islam di Indonesia. Majalah ini berdiri pada pada 15 Juni 1959 oleh KH Faqih Usman, Hamka, dan Yunan Nasution, 53 merupakan majalah yang selalu menebar nilai-nilai pembaruan pemikiran Islam. Majalah ini memang diasuh generasi tua seperti Hamka, yang tentu saja menentang pikiran Cak Nur. Namun, uniknya, majalah ini justru memuat tulisan-tulisan Cak Nur. 54 Hal ini mengindikasikan bahwa Panjimas merupakan majalah yang menjadi motor penggerakn pembaruan Islam di Indonesia, sebab dia merupakan kesinambungan dari majalah-majalah kelompok reformis sebelumnya yang telah berhasil membawa pembaharuan ke Indonesia. Selain itu, Panjimas merupakan semacam training intellectual bagi para aktifis pembaru pada tahun 1970-an. Hal ini tampak jelas dari usaha para mahasiswa IAIN untuk bekerja atau sekedar magang di kantor majalah ini. Pengalaman ini membawa kesan tersendiri bagi pengembaraan intelektual mereka. Hampir dapat dipastikan para pemikir Islam tahun 1980-an dan 1990-an pernah “dekat” dengan Panjimas. Dalam hal ini, Fachry Ali menuturkan bagaimana dia merekrut kawan-kawannya yang sekarang ini telah menjadi “orang besar:”

Saya ingin menyebut Komaruddin Hidayat (kawan seangkatan), alm. Iqbal Abdurrauf Saimima, Azyumardi Azra (kawan) yang atas kepercataan Pak Rusjdi Hamka, saya rekrut bekerja di Panji Masyarakat. Tetapi kehadiran saya di majalah iti dibantu oleh (Kak) Farid Hadjiri. Beberapa penulis muda lainnya, seperti Sudirman Tebba (kini di ANTEVE). Asafri J. Bakrie, Bahtiar Effendy, Dazrizal, M. Amin Nurdin, Pipip Ahmad Rifa‘i turut dalam asuhan “intelektual” kami. 55

Jadi, sekali lagi, Panjimas memiliki arti tersendiri bagi mereka yang sekarang menjadi “tokoh” di pentas publik Indonesia. Karena itu, tidak sedikit dari mereka, jika kita lihat riwayat hidupnya pernah menjadi wartawan/redaktur/kontributor Panjimas. Sayangnya, sampai sekarang belum ada kajian yang komprehensif yang meneliti tentang posisi Panjimas dalam percaturan intelektual di Indonesia.

Lebih lanjut, media yang paling “berjasa” dalam membentuk opini pemikiran Islam pada era 1980-an adalah koran Kompas. Tidak sedikit para sarjana yang “bermimpi” agar tulisannya dimuat dalam koran ini. Sebab, begitu tinggi impak yang dirasakan oleh penulisnya. Karena itu, jika kita membaca buku-buku para pemikir Islam era 1980-an, maka akan tampak jelas bahwa sumber tulisan tersebut adalah Kompas. Hal ini menunjukkan betapa para sarjana tersebut memandangan Kompas sebagai media yang cukup handal agar pikirannya diterima secara menasional. 56 Terhadap isu yang digulirkan oleh Cak Nur, Kompas memang tidak begitu kentara, mengingat koran ini memang bukan milik Islam, namun belakangan hampir dapat dipastikan, Kompas selalu memuat pikiran “cerdas” yang berbau pemikiran Islam. Sampai sekarang, Kompas memang sangat berperan dalam menerbitkan tulisan-tulisan kelompok yang “sepaham” dengan Cak Nur.

Selain media di atas, salah satu penerbit yang cukup berjasa dalam memperkenalkan warna pemikiran Islam pada tahun 1980-adalah Mizan. Penerbit yang berdiri pada tahun 1983 dipimpin oleh Haidar Bagir ini memang selalu menjadi penerbit terdepan dalam mempublikasikan karya-karya pemikir Islam, baik dalam maupun luar negeri. Dalam konteks ini, buku-buku tentang cendekiawan Muslim sempat mengalami beberapa cetak ulang yang pada gilirannya menyiratkan bahwa buku-buku tersebut memang dinanti oleh pembaca. Kendati belum ada penelitian yang mengangkat bagaimana peran Mizan, namun saya berkeyakinan bahwa buku-buku penerbit ini selalu menjadi incaran untuk mendapatkan informasi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Sebagai bukti, penerbit ini telah menerbitkan seperti karya Cak Nur, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Harun Nasution Islam Rasional, M. Dawam Rahardjo Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik, Jalaluddin Rakhmat Islam Aktual, M. Amien Rais Cakrawala Islam, Ahmad Syafii Maarif Peta Bumi Intelektualisme Islam Indonesia, dan M. Quraish Shihab “Membumikan” Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Karya-karya tersebut sering menjadi rujukan ketika seseorang ingin membedah pemikiran Islam pada era 1980-an. Pada era 1990-an pun, tidak sedikit karya-karya pemikir Islam yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. Hal ini menampakkan betapa jasa Mizan dalam memperkenalkan pemikiran masing-masing tokoh perlu dipertimbangkan guna memahami bagaimana pemikiran tersebut mampu menjalar setiap lorong-lorong perdebatan di sudut diskusi, seminar, penelitian, dan bedah buku.

Demikianlah beberapa media yang cukup berjasa dalam menyebarkan pemikiran Islam yang digagas oleh para pemikir pada era 1980-an. hampir dapat dipastikan bahwa media di atas masih sangat instant dikatakan sebagai pelopor, namun upaya serius mereka dalam bahu membahu menerbitkan karya-karya pemikir tersebut perlu ditelaah lebih lanjut. Karena itu, media massa dan penerbitan merupakan faktor penting dalam menyebarkan setiap isu yang ingin diterima oleh khalayak. Media di atas memang terkadang punya orientasi akademik dan bisnis yang ingin dipacu dalam satu helaan nafas, yang karenanya, impaknya pun dapat dirasakan oleh tiga pihak sekaligus, yaitu: sang pemikir (penulis), media itu sendiri, dan audience (pembaca). Karena itu, rentak dan langgam pemikiran Islam di Indonesia berkembangan pesat. Hal inilah menyebabkan para peneliti asing selalu memperhatikan peran media dalam mengkaji dinamika keislaman di Indonesia, termasuk pemikiran. 57

Lebih lanjut, dalam melacak pembaharuan pemikiran Islam pada era 1980-an, ada cendekiawan yang menurut saya cukup “berjasa” yaitu Fachry Ali dan M. Dawam Rahardjo. Kedua ilmuwan inilah melebarkan sayap-sayap pemikiran yang digulirkan oleh Cak Nur. Fachry Ali misalnya, seorang pengamat/peneliti/cendekiawan Muslim yang memang sejak tahun 1970-an berusaha “membumikan” pikiran Cak Nur. Dan, harus diakui bahwa Fachry merupakan senior bagi generasi pemikir 1990-an, khususnya alumni IAIN Ciputat. Dengan kata lain, Fachry mengajak kawan-kawannya baik yang seangkatan maupun juniornya (seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayar, Bahtiar Effendy , Badri Yatim, Hadimulyo,) untuk melakukan intellectual community di Ciputat yang didasarkan pada pikiran Cak Nur. Sehingga, tidak mengherangkan, jika kemudian Fachry melibatkan beberapa di antara mereka pada dunia tulis menulis. Ini merupakan salah satu cara untuk “Nurcholish Madjid kolektif.” 58 Belakangan, muncul lagi tokoh muda yang sudah S-2 dan S-3 seperti Ali Muhannif, Ihsan Ali-Fauzi, Ahmadi Thaha, Nanang Tahqiq, Saiful Muzani, Muhammad Wahyuni Nafis, Nasrullah Ali Fauzi, yang terlibat dalam program dari gagasan Fachry ini. Hasilnya memang terlihat bahwa nama-nama tersebut sering menjadi penerjemah, editor, penulis, dan kontributor beberapa buku yang terbit pada tahun 1980-an, 1990-an, dan 2000-an. Bahkan Azyumardi Azra yang sekarang menjadi “star” dalam berbagai forum ilmiah pernah mengedit buku Fachry Ali dan “terkagum-kagum” dengan anak muda Aceh ini. 59 Dengan demikian, “jasa” ini memang telah berhasil menempatkan mereka semua sebagai pendukung setia Cak Nur.

Adapun M. Dawam Rahardjo merupakan sosok yang “unik” sebab dia mampu menerjemah dan mengajak pendudung Cak Nur ini ke lapangan. Dia sering merekrut alumni IAIN untuk bergabung baik dalam LSAF, LP3ES, P3M untuk melakakunan berbagai program penelitian/kajian/seminar/lokakarya/penerbitan yang melibatkan nama-nama di atas. Dengan kata lain, Dawam seolah-olah menyediakan media bagi mereka untuk meluahkan semangat intelektual guna melihat kehidupan yang real di lapangan. Karena itu, jika Cak Nur mencetuskan ide, maka prakteknya ada pada sosok Dawam ini. Melalui Prisma, dia ingin mengajak ilmuwan Muslim berkenalan dengan tema-tema sosial yang lebih bersifat empiris. Demikian juga, lewat Ulumul Qur’an, Dawam mengundang sejumlah ahli untuk ikut mengisi jurnal ini dengan tema-tema actual dalam pemikiran Islam kontemporer. Bagaimana peran Dawan, dapat dilihat dapat setiap terbit jurnal ini, dia selalu memberikan pengantar pendek secara filosofis tentang tema yang akan diangkat. Adapun melalui Pesantren, Dawam seakan-akan ingin mengajak pembaca untuk ikut “menyelami” dunia pesantren yang belakangan banyak menelurkan pemikir Islam di Indonesia. Karena itu, Dawam dapat diibaratkan sebagai seorang yang memperkenalkan pemikiran tokoh-tokoh Islam di Indonesia, setidaknya dapat dilihat dari frekwensi dia menulis pengantar untuk setiap buku yang ditulis oleh pemikir Islam. 60

Demikianlah beberapa ulasan awal untuk memahami akar pembaruan pemikiran Islam era 1980-an. Uraian di atas dapat diikat menjadi empat hal utama. Pertama, terdapat kesinambungan antara pemikiran era 1970-an dan 1980-an yang pada urutannya berpengaruh pada era 1990-an. Paling tidak, kajian di atas menampakkan bagaimana tokoh-tokoh generasi Harun Cs. memberikan arah pemikiran yang cukup liberal bagi generasi selanjutnya. Kedua, peran Cak Nur dengan ide sekularisasinya disambut baik oleh generasi muda saat itu. Kendati awalnya merupakan respon terhadap cara keberagamaan umat Islam, khususnya dalam bidang politik, ide Cak Nur seakan-akan menjadi snow ball yang terus menggelinding dan secara apik dikembangkan oleh Fachry Ali melalui “dunia tulis menulis” dan Dawam yang menyediakan media untuk sosialisasi pikiran-pikiran progressif generasi muda tersebut. Ketiga, harus diakui bahwa sedikit sarjana yang melihat bagaimana kontribusi penerbit dan media massa dalam memperkenalkan pemikiran tokoh-tokoh Islam saat itu. Karena itu, seyogyanya dipikirkan betapa elemen ini tidak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran Islam di Indonesia. Keempat, setiap pemikiran Islam di Indonesia, khususnya pada era 1980-an memiliki kekhasan masing-masing.

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad
Dosen, Regional Studies Program, Institute of Liberal Arts
Walailak University, Thailand

 Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 8-9 (March 2007). Culture and Literature

Notes:

  1. ]Untuk “resensi” pembaharuan Islam di Indonesia pada era pra dan paska kemerdekaan, baca Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, 2002, Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press.
  2. Lihat Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan; idem, 1999, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 159-163; idem, 1989, “Jaringan ‘Ulama’ Timur Tengah dan Indonesia Abad Ke-17 (Sebuah Esei untuk 70 Tahun Prof. Harun Nasution),” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Nasution, Jakarta: LSAF, 358-384.
  3. Lihat Azyumardi Azra, 1999, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah & Kekuasaan, Bandung: Rosdakarya, 143-161; Mona Abaza, 1999, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar, Jakarta: LP3ES.
  4. Lihat Azyumardi Azra, 1999, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah & Kekuasaan, Bandung: Rosdakarya, 143-161; Mona Abaza, 1999, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi: Studi Kasus Alumni Al-Azhar, Jakarta: LP3ES.
  5. Baca Alwi Shihab, 1997, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 3-36; idem, 1998, MembendungArus: Respons Muhammadiyah terhada Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan.
  6. Baca antara lain Akh. Minhaji, Ahmad Hassan And Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta Press, 2001).
  7. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekuler” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, (Jakarta: Rajawali Press, 1986); Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988); Ahmad Suheimi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999); Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LKiS, 2003).
  8. M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h.24.
  9. M.Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h.8.
  10. Belakangan disertasi ini dterbitkan di Kuala Lumpur pada tahun 1982 oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
  11. Lihat kritik Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, Nanang Tahqiq (terj), (Jakarta: Paramadina, 1998), h.28-32.
  12. Artikel ini dimuat dalam Tashwirul Afkar, No.10, (2001), h.24-25; idem, “Epilog: PMII, dari “Islam Liberal” ke “Post-Tradisionalisme” Tradisionalime Islam” dari Communal Society ke Civil Society,” dalam Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rachman, Post-Tradisionalisme Islam: Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: ISISINDO Mediatama, 2000), h.95-96.
  13. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Ihsan Ali-Fauzi (terj), (Jakarta: Paramadina, 1998), 142-144.
  14. M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era 1970-an dan 1980-an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h.206-207.
  15. ]Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h.253.
  16. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h.83. Baca juga idem, “Theological Response to the Concepts of Democracy and Human Rights: The Case of Contemporary Indonesia Muslim Intellectuals,” Studia Islamika, Vol.3, No.1 (1996), h.1-42.
  17. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, h.273.
  18. Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
  19. Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia; Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
  20. Arief Subhan, “Prof. Dr. Harun Nasution: Penyemai Teologi Islam Rasional,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Tokoh dan Pemimpin Agama: Biografi Sosial Intelektual, (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI dan PPIM, 1998), h.439-477.
  21. Lihat Saiful Muzani, “Reaktualisasi Teologi Mu’tazilah Bagi Pembaharan Umat Islam: Lebih Dekat dengan Harun Nasution,” Rubrik Pakar dalamUlumul Qur’an, No.4, Vol.IV (1993), h.1-12.
  22. ]Fauzan Saleh, Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Centurty Indonesia: A Critical Survey, (Leiden: Brill, 2001), h.197-240.
  23. Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, Arief Subhan, ““Munawir Sjadzali MA: Pencairan Ketegangan Ideologis,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: Litbang Depag, PPIM, dan INIS, 1998), h.367-412.
  24. Bahtiar Effendy, “Islam and the State in Indonesia: Munawir Sjadzali and the Development of a New Theological Underpinning of Political Islam, “Studia Islamika, Vol.2, No.2 (1995), h. 97-121, yang kemudian dimuat dalam Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi(Yogyakarta: Galang Press, 2000), h.67-85.
  25. Agus Wahid, “Munawi Sjadzali,” Ulumul Qur’an, No.3, Vol.VI (1995), h.32.
  26. Ali Muhannif, “Islam and the Struggle for Religious Pluralism in Indonesia; A Political Reading of the Religious Thought of Mukti Ali,” Studia Islamika, Vol.3, No.1 (1996): 79-126 dan “Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik Keagamaan Orde Baru,” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (Jakarta: (Jakarta: Litbang Depag, PPIM, dan INIS, 1998), h.269-320.
  27. Nasrullah Ali-Fauzi, “Abdul Mukti Ali,” Ulumul Qur’an, No.3, Vol.VI (1995), h.30-31.
  28. Nurcholish Madjid, “Model Metodologi Kajian Islam dalam Kerangka Ilmiah,” dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyobi (peny.), Studi Islam Asia Tenggara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999), h.286.
  29. Azyumardi Azra, “Guardian the Faith of the Ummah:The Religio-Intellectual Journey of Mohammad Rasjidi”, Studia Islamika. Vol.1, No.2, (1994), 87-119; “H.M. Rasjidi, BA; Pembentukan Kementrian Agama dalam Revolusi”, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik, (Jakarta: INIS, PPIM, dan Badan Litbang Agama Departemen Agama RI, 1998), h:3-33.
  30. Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “In Memoriam: Prof. Dr. H.M. Rasjidi, 1915-2001,” Asy-Syir’ah, No.8 (2001), h.111-130.
  31. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h.505.
  32. Untuk sekedar menyebut beberapa karya dari Cak Nur yang diterbitkan oleh Paramadina adalah sebagai berikut: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 1992); idem, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1994); idem, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995); idem, Islam Agama Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995); idem, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997); idem, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997); idem, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, (Jakarta: Paramadina, 1997); idem, Bilik-Bilik Pesantren,(Jakarta: Paramadina, 1997); idem, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998); idem, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999).
  33. Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), h.203-215.
  34. Buhdy Munawar-Rachman, “Model Kajian Agama di Kalangan Kelas Menengah: Kasus Paramadina,” Lektur, V (1996), 59-74; idem, “Reformulasi Tradisi Intelektual Islam: Sebuah Pengalaman Studi Islam di Paramadina,” Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Reformulasi Pembidangan Ilmu di PTAI,” Yogyakarta, 5-6 November (2003), h.1-11.
  35. Lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996)..
  36. Lihat misalnya, M. Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar,” dalam Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam: Mazhab Ciputat, (Bandung: Zaman Wacana Mulya, 1999), h.xxvii.
  37. Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran & Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulya, 1998), h.152.
  38. “Tentang Yayasan Muthahhari,” Al-Hikmah, No.1 (1990), h.102.
  39. Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h.236.
  40. Untuk sekedar menyebutkan karya-karya yang paling sering dirujuk studi pemikiran Islam di Indonesia adalah buku Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996); Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996); Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996); Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994). Semua buku-buku tersebut telah mengalami beberapa kali cetak ulang, ini mengindikasikan bahwa karya-karya ini memang memiliki signifikansi tersendiri dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia.
  41. LP3ES (ed.), Agama dan Tantangan Zaman: Pilihan Artikel Prisma 1975-1984, (Jakarta: LP3ES, 1985). Pada tahun 1999, LKiS mencoba membukukan tulisan Gus Dur dalam jurnal ini dengan judul Prisma Pemikiran Gus Dur(Yogyakarta: LKiS, 1999).
  42. Hairus Salim HS, “Gus Dur dan Kenangan Cendekiawan Zaman Prisma,” dalam Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, h.ix.
  43. ]Fachry Ali, “Epilog Intelektual, Pengaruh Pemikiran, dan Lingkungannya: Butir-Butir Catatan Untuk Nurcholish Madjid,” dalam Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam: Mazhab Ciputat, h.313. Artikel ini semula terbit dengan judul “Kata Pengantar: Intelektual, Pengaruh Pemikirannya dan Lingkungannya: Butir-butir Catatan untuk Nurcholish Madjid,” dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), h.xxi-lvii.
  44. Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h.495.
  45. Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, h.246.
  46. Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, h.222.
  47. “M. Amien Rais: Belajar Ke Barat, Tapi Anti Orientalis,” Ulumul Qur’an, No.3, Vol.V (1994), h.104.
  48. Lihat Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002); idem, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h.32-33; Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XXI, Yudian W. Asmin dan Affandi Mochtar (terj.) (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996); Muhammad Rezduan Othman, “Islam dan Proses Politik dalam Peradaban Malaysia,” (Makalah tidak diterbitkan, t.th.).
  49. M. Deden Ridwan, “Tempo dan Gerakan Neo-Modernisme Islam Indonesia,” Ulumul Qur’an, No.3, Vol.VI (1995), h.51.
  50. ]M. Deden Ridwan, Tempo dan Gerakan Neo-Modernisme, h.51.
  51. M. Deden Ridwan, Tempo dan Gerakan Neo-Modernisme, h.52.
  52. Agu Wahid, “Cak Nur dan Tempo,” Ulumul Qur’an, No.3, Vol.VI (1995), h.53.
  53. Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, h.30.
  54. Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, h.33.
  55. Fachry Ali, Epilog Intelektual, h.312.
  56. Lihat misalnya karya Fachry Ali, Agama, Islam dan Pembangunan, (Yogyakarta: PLP2M, 1985).
  57. Lihat misalnya R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), h.100-132; idem, Islam Pasar Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h.43-90.
  58. Fachry Ali, Epilog Intelektual, h.293.
  59. zyumardi Azra, “Pengantar Penyunting,” dalam Fachry Ali, Agama, Islam dan Pembangunan, h.1-3.
  60. Kebiasaan Dawam memberikan pengantar memang tidak diragukan, setidaknya dapat dilihat dari beberapa karya berikut yang diberi pengantar oleh peminat Ekonomi Islam dan studi al-Qur’an ini: M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi Nurcolish Madjid,” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), h.11-31.; idem, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan: Pengantar,” dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (peny.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), h.1-16; idem, “Kata Pengantar” dalam dalam Edy A. Effendy (ed.), Dekonstruksi Islam: Mazhab Ciputat, h.vii-xxviii; idem, “Kata Pengantar: Dari Modernisme ke Pasca Modernisme,” dalam Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), xvii-xxv; idem, “Islam Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat,” dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), h.11-19.
Exit mobile version