Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Kilas Balik Aksi Muslim Moderat Indonesia Menolak Serangan As Ke Irak

Dalam tulisan ini, saya mencoba merefleksikan sikap kalangan Islam moderat dalam menanggapi rencana pemerintah Geoge W. Bush yang sangat berapi-api untuk menyerang Irak, dua tahun lalu. Ini penting sekali karena Indonesia selama ini dikenal sebagai negara muslim terbesar dan mayoritas memiliki pandangan keislaman yang moderat dan toleran. Terjadi pro dan kontra dari muslim di Indonesia menanggapi rencana serangan tersebut. Dari kalangan Islam fundamentalis ini menjadi amunisi dan legitimasi untuk membuktikan bahwa Amerika Serikat (AS) adalah Setan Besar. Mereka tidak bisa membedakan mana warga (citizenship) Amerika Serikat dan kebijakan pemerintah (government policy) Amerika Serikat. Karenanya, tindakan yang mereka lakukan saat itu adalah “sweeping” terhadap warga AS. Sementara dari kalangan Islam moderat melihat bahwa rencana AS tersebut bisa menghancurkan citra dan bangunan Islam di Indonesia yang mereka lakukan selama ini dengan susah payah dalam membangun masyarakat Islam yang civil di Indonesia. Pernyataan ini terlontar dan diwakili oleh ketua umum Muhamadiyah, Dr. Syafi’I Maarif. Karena itu yang dikritik keras adalah kebijakan pemerintah George W. Bush-nya. Selama ini, organisasi besar muslim di Indonesia seperti Muhamadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) juga termasuk Jaringan Islam Liberal (JIL) telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk menciptakan masyarakat Islam yang toleran, moderat, pluralis dan emansipatif. Dan kegiatan-kegiatan ini mendapat support yang baik dari USAID.

Awal Oktober 2002, saya sebagai wakil dari Jaringan Islam Liberal (JIL) mengontak teman-teman yang mewakili organisasi-organisasi keagamaan Islam yang “moderat.” Ada dari elemen-elemen Nahdhatul Ulama (NU) seperti Lakpesdam, Muslimat, Fatayat dan lain-lain; Muhamadiyyah seperti Pemuda Muhamadiyah, Mahasiswa Muhamadiyah, Aisyiyah dan lain-lain; serta kampus-kampus berbasis Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Universitas ParamadinaMulya. Saat itu, saya perlu menanyakan tanggapan teman-teman tersebut berkaitan dengan rencana AS menyerang Irak. Surprise, seluruh teman-teman tanggapannya seragam: menolak serangan itu. Sebelumnya, sejak jauh-jauh hari, JIL dalam kegiatan-kegiatannya menolak serangan itu baik kami lontarkan lewat wawancara dengan nara sumber dalam bentuk talk show di radio tiap minggunya maupun dalam artikel di website www.islamlib.com dan sindikasi media kami.

Namun ketidak setujuan akana rencana serangan itu tak cukup JIL lontarkan lewat media dan tulisan saja. Harus ada aksi nyata yang semua publik tahu bahwa ketidak setujuan atas serangan AS ke Irak harus dikonkretkan. Akhirnya, kami menetapkan tanggal 8 Oktober untuk menunjukkan ketidaksetujuan atas serangan tersebut. Caranya dengan aksi unjuk rasa dengan sasaran tempatnya yaitu Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta. Saat itu, belum ada satu pun lembaga atau organisasi yang melakukan unjuk rasa menentang serangan tersebut. Kalau boleh kami mengklaim, JIL dan organisasi Islam “moderat” menjadi pelopor atas aksi-aksi ke kedutaan Amerika Serikat.

Banyak yang terkejut dan tidak menyangka dengan rencana aksi kita. Pihak kedutaan AS menelpon saya sehari sebelum aksi berlangsung. Mereka sangat khawatir kalau aksi yanga kita lakukan akan menjadi justifikasi untuk tindakan-tindakan keras kelompok fundamentalis yang selama ini sudah membenci AS. Saya jawab bahwa aksi ini akan positif untuk kalangan muslim moderat. Karena rencana gila AS serang Irak harus ditolak. Dan hal ini tidak ada kaitan sama sekali dengan tindakan kelompok fundamentalis selama ini. Malah kalau kalangan Islam moderat mendiamkan dan tidak berekasi terhadap rencana tersebut, akan menjadi bumerang dan preseden jelek untuk keberlangsungan masa depan Islam di Indonesia. Bahkan dalam aksi ini, kami ingin memperlihatkan kepada kalangan Islam fundamentalis bahwa rencana serangan tersebut adalah murni kebijakan pemerintah George W. Bush dan tidak bisa diidentikkan dengan seluruh warga AS. Karena kebanyakan warga AS pun menolak rencana pemerintahnya sendiri. Rencana serangan AS ke Irak bagi kami lebih karena pertimbangan kemanusiaan karena kalau perang terjadi maka akan menjadi ancaman bagi perdamaian dunia serta akan menciptakan korban berjatuhan dari masyarakat sipil. Jawaban saya membuat pihak kedutaan AS sangat welcome dengan aksi yang kami lakukan.

Keterkejutan atas aksi yang kami lakukan juga datang dari kalangan fundamentalis. Karena mereka menyangka aksi tersebut tak mungkin dilakukan dan dikoordinir oleh JIL. Alasannya, selama ini bagi mereka, JIL dan teman-teman dianggap sangat pro-Amerika dan selama ini AS, dalam hal ini USAID, memberikan dana untuk kegiatan kami. Tentu saja arguamen mereka sangat lemah buat kami. Tidak mentang-mentang karena JIL dan teman-teman dari lembaga NU dan Muhamadiyah mendapatkan dana dari AS kemudian hal itu membuat kami tak kritis dan menutup mata atas tindakan sewenang-wenang dan kebijakan pemerintahan AS. Yang kami tak setujui dan benci adalah kebijakan pemerintah George W. Bush atas rencana serangan ke Irak, bukan warga Amerika. karena itulah kami tak setuju dan mengutuk keras dengan tindakan “sweeping” terhadap warga AS di Indonesia yang dilakukan kelompok-kelompok Islam fundamentalis saat itu.

President George Bush, surrounded by leaders of the House and Senate, announces the Joint Resolution to Authorize the Use of United States Armed Forces Against Iraq, 2 October 2002.

 Bagi kami, seluruh pernyataan dan dokumen resmi dari pemerintah Amerika Serikat mengenai rencana penyerangan terhadap Irak tidak dapat dinalar, penuh kontradiksi, sarat semangat kebencian dan nafsu perang, dan tidak ada hubungannya dengan tragedi 11 September, dengan “Al Qaida,” bahkan tidak ada kaitannya dengan “perang melawan terorisme.”

Bahkan rencana tersebut bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menetapkan tujuannya untuk “menyelamatkan generasi-generasi mendatang dari bencana perang” (Pembukaan Piagam PBB); dan yang didirikan untuk “mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif guna mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap perdamaian” (Pasal 1 ayat 1).

Kami melihat, dalih yang dikemukakan dalam dokumen resmi yang disebut “Doktrin Bush” yang menetapkan “serangan pencegahan” (pre-emptive attack) tersebut melawan hukum internasional, karena Piagam PBB juga mengutuk aksi sepihak yang melampaui perbatasan negara lain tanpa dilandasi alasan untuk membela diri. Dan dalam hal ini, tiada alasan apapun bagi pemerintah Amerika Serikat untuk membela diri dari Irak. Resolusi No. 678 Dewan Keamanan PBB juga melarang negara manapun untuk menyerang tanpa persetujuan Dewan Keamanan.

Penyerangan terhadap Irak tersebut ingin dilakukan setelah selama lebih dari 10 tahun negara itu dikenai sanksi ekonomi, yang telah menyengsarakan berjuta-juta warga sipil Irak, terutama anak-anak dan perempuan, karena sanksi itu meliputi penghancuran akses terhadap air bersih. Tindakan sanksi ekonomi itu sendiri berlawanan langsung dengan Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 1977 tentang hukum perang, yang melarang pengepungan ekonomi terhadap warga sipil sebagai metode perang. Sanksi ekonomi itu mungkin merupakan penyebab kematian yang lebih banyak di Irak dibanding pembunuhan yang mungkin terjadi oleh apa yang disebut senjata pemusnah massal di sepanjang sejarah (John & Karl Muller, Foreign Affairs, Mei/Juni 1999).

Alasan yang dikemukakan pemerintah Amerika adalah karena rezim Irak mengembangkan persenjataan pemusnah massal (senjata kimia, biologi dan nuklir), yang mengancam keamanan internasional. Alasan tersebut tetap dikemukakan meski faktanya senjata pemusnah massal tersebut justeru di masa lalu, di saat berlangsungnya perang Iran-Irak, dikembangkan berkat dukungan penuh pemerintah Amerika sendiri, yang bantuannya meliputi penyediaan bahan-bahan baku, sarana penyimpanan dan tenaga ahli. Fakta-fakta ini telah diungkap oleh badan-badan PBB, lembaga-lembaga nonpemerintah internasional, bahkan oleh sumber-sumber di dalam Kongres Amerika sendiri.

Dan sekarang apa yang disebut senjata pemusnah massal yang dinyatakan dimiliki Irak itu tak terbukti keberadaannya. Padahal, kalaupun benar Irak memilikinya, tetap saja Amerika Serikat tidak punya hak untuk menyerang, sebagaimana Irak tak berhak menyerang negara Amerika Serikat, meski faktanya Amerika memiliki senjata pemusnah massal dalam jumlah dan skala yang jauh lebih besar.

Menurut Kami, jelaslah perang ini semata-mata dilakukan untuk mencapai ambisi-ambisi hegemonik dan imperialistik Amerika, sebagaimana yang diindikasikan dengan jelas dalam “Doktrin Bush.” Perang ini adalah untuk menjadikan semua negara lain sebagai negara bagian dalam Imperium Amerika, sebagai partisipan dari “Pax Americana.”

Dan jika dipandang dari perspektif ancaman, ambisi-ambisi Amerika Serikat untuk menjadi imperium global itulah yang justeru merupakan ancaman yang langsung dan nyata (clear and present danger) terhadap perdamaian, kesejahteraan dunia, dan kemanusiaan semesta.

Dalam aksi tersebut, sikap kami adalah sebagai berikut,

 Kami menentang rencana penghancuran terhadap negara dan rakyat Irak itu – kami menentangnya dengan derajat terkuat dan tertinggi dari ungkapan ini. Ini sama sekali tidak berarti kami mendukung kediktatoran Presiden Saddam Hussein dalam segala bentuknya, yang selama hampir seperempat abad berkuasa telah sangat banyak menimpakan penderitaan terhadap sebagian besar rakyatnya.

 Kami mengimbau kepada para pemimpin Amerika dan dunia untuk memetik pelajaran yang gamblang dari sejarah, bahwa perang tak akan membawa umat manusia ke mana-mana kecuali ke arah malapetaka dan kesengsaraan; tidak akan membawa manfaat apa-apa kecuali semakin menggersangkan dunia di zaman yang kian genting ini. Perang hanya akan menimbulkan luka peradaban yang mendalam, sebab perang bukan hanya menyengsarakan para korbannya, tapi juga menciderai batin dan kemanusiaan para pelakunya.

Saya sangat percaya, perang, dalam suatu penggempuran oleh suatu negara atas negara lain, sesungguhnya tidak akan ada yang muncul sebagai pemenang; bahwa pihak-pihak yang bertikai sepenuhnya hanya akan menuai kekalahan – kekalahan sebagai manusia, juga kekalahan karena keterbelakangan budaya. Perang bukanlah lembaran terbaik untuk memulai abad ke-21 ini, yang mestinya – sesudah pengalaman selama 20 abad sebelumnya – semakin menyempurnakan kemanusiaan segenap umat manusia; yang mestinya semakin menyadarkan umat manusia bahwa kita semua terikat oleh semangat kemanusiaan yang tunggal; bahwa karena itu keharusan logisnya adalah kooperasi, bukan konfrontasi di antara para penghuni bumi yang sama ini.

Demikian, refleksi yang saya lakukan terhadap serangan AS ke Irak. Saya berharap, di masa depan, tak ada lagi penyerangan suatu negara ke negara lain atas nama perdamaian dunia atau ingin mendemokratiskan negara lain.

Nong Darol Mahmada
Bekerja untuk Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 5 (March 2004). Islam in Southeast Asia

Exit mobile version