Pada Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand (Constitutional Court of Thailand, CC) mengeluarkan dua putusan yang berdampak penting bagi iklim politik Thailand. Pada 7 Agustus, MK membubarkan Partai Gerak Maju (Move Forward Party, MFP) dengan alasan melakukan pengkhianatan terhadap kerajaan.[1] Seminggu kemudian, parlemen memecat Perdana Menteri Srettha Thavisin dari koalisi pimpinan Partai Pheu Thai (Pheu Thai Party, PTP) yang berkuasa, dengan dalih ketidakjujuran dan integritas karena menunjuk mantan narapidana yang dianggap tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatan di kabinet.[2]
Sejak didirikan berdasarkan Konstitusi 1997, MK Thailand dan “Persidangan Konstitusi” yang dibentuk para periode interim di bawah kendali junta setelah kudeta 2006,[3] telah menjadi kekuatan yang semakin berpengaruh dalam politik Thailand.[4] Setelah kudeta dan revisi konstitusi yang terjadi secara beruntun,[5] kekuasaan pengadilan meluas, semakin tunduk pada pengaruh Senat—sebuah badan yang tidak demokratis dalam konfigurasi politik saat ini. MK juga mengeluarkan beberapa putusan yang menurut para pihak telah melemahkan integritas pemilu, kerap kali mendukung hasil yang mengukuhkan kekuatan elite penguasa dan melemahkan partai-partai oposisi.
Bukti-bukti menunjukkan pola yang berulang, MK bertindak aktif selama atau langsung setelah pemilihan umum, dengan memberhentikan anggota parlemen, membubarkan partai politik, dan dalam beberapa kasus, membatalkan pemilu. Dengan menggunakan alasan-alasan hukum untuk menjatuhkan putusan yang tidak dapat diganggu gugat, keputusan yudisial yang terus bertambah tetapi tidak terkendali atas hasil pemilu tersebut telah menimbulkan kekhawatiran mengenai dampak MK atas integritas pemilu dan oleh karenanya, atas kondisi demokrasi di Thailand.
Independensi dan Kredibilitas Mahkamah Konstitusi
Terdapat tiga hal—cakupan kekuasaan yang luas, proses penunjukan hakim, dan kurangnya pengawasan—yang dianggap dapat memengaruhi independensi dan kredibilitas MK.[6] Ketiga hal ini secara bersama-sama telah membuat MK tidak akuntabel kepada publik dan putusannya yang kontroversial dalam kasus-kasus politik telah memengaruhi persepsi tentang legitimasi MK.[7]
Pertama, kekuasaannya. MK kali pertama muncul dalam “Konstitusi Rakyat”, sebuah konstitusi yang dipandang sebagai salah satu konstitusi paling demokratis di Thailand.[8] Bersamaan dengan perluasan eksekutif dan legislatif, Konstitusi tersebut membentuk beberapa “lembaga independen”, termasuk MK, yang sebagian besarnya terisolasi dari pemerintah yang berkuasa pada saat itu sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat mengawasi dan memastikan akuntabilitas para tokoh politik.[9] Dengan ruang lingkup yang diperluas setelah kudeta berturut-turut dan pemberlakuan konstitusi yang diberlakukan oleh militer,[10] yurisdiksi MK mencakup berbagai fungsi Eksekutif, Legislatif, dan politik. Di bawah Konstitusi 2017[11] dan sejumlah undang-undang tambahan, yuridiksi MK semakin meluas termasuk misalnya meninjau konstitusionalitas undang-undang dan pemilihan umum, mengevaluasi kualifikasi dan perilaku tokoh-tokoh dan partai politik, dan mencegah kegiatan-kegiatan yang dianggap “melemahkan rezim”.
Kedua, proses seleksi yang tidak demokratis dalam Konstitusi 2017 memastikan bahwa MK (dan lembaga independen lainnya yang serupa) terdiri dari para hakim konservatif dan teknokrat yang bersekutu dengan para elite tradisional.[12] Para hakim MK dicalonkan di antara para hakim Mahkamah Agung, para hakim Mahkamah Tata Usaha Negara, dan komite seleksi yang terdiri dari Ketua Mahkamah Agung, Ketua DPR, Ketua Oposisi, Ketua Mahkamah Tata Usaha Negara, serta perwakilan dari “lembaga-lembaga independen” lainnya.
Individu yang dicalonkan kemudian harus disetujui oleh Senat. Namun, proses ini tidak memiliki legitimasi karena para senator sendiri tidak dipilih secara demokratis. Per Oktober 2024, semua hakim MK dipilih oleh para senator yang ditunjuk langsung oleh junta militer setelah kudeta 2014. Kelak, hakim MK akan dipilih oleh Senat yang dipilih melalui proses seleksi yang tidak melibatkan masyarakat umum. Sistem ini melemahkan representasi demokratis yang sesungguhnya di Senat dan akibatnya, legitimasi demokratis MK.
Ketiga, kurangnya pengawasan yang efektif terhadap MK semakin memperparah masalah ini. Hal ini terwujud dalam dua cara. Pertama, keputusan-keputusan MK bersifat final dan mengikat semua entitas negara. Hal ini membatasi kemampuan lembaga-lembaga lain untuk meninjau atau mempertanyakan keputusan-keputusan tersebut; dengan demikian membuat keputusan-keputusan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Kedua, meski Konstitusi menyediakan mekanisme untuk memberhentikan hakim-hakim di MK, mekanisme ini bertumpu pada hakim yang melanggar “standar etika”. Namun, hal itu menimbulkan konflik kepentingan karena “standar etika” sebagaimana dimaksud dalam konstitusi adalah dokumen yang dibuat dengan masukan dari MK sendiri. Situasi demikian membatasi pengawasan publik terhadap perilaku MK.
Menimbang luasnya cakupan kekuasaan MK, proses seleksi yang tidak demokratis, dan kurangnya pengawasan dan keseimbangan, proses MK kerap dieksploitasi oleh mereka yang disebut “pemohon petisi berantai”[13] yang bersekutu dengan berbagai faksi elite konservatif dan mengajukan petisi yang merugikan para tokoh politik—terutama pihak oposisi—demi tujuan politik. Pada gilirannya, keputusan MK kerap sejalan dengan prinsip-prinsip yang tidak demokratis, melayani kepentingan para pemohon, dan malah menumbangkan kehendak rakyat yang memberikan suara di kotak suara saat pemilu.
Putusan MK dan Dampaknya terhadap Integritas Pemilu di Thailand
Putusan-putusan MK hingga saat ini telah menghasilkan penangguhan caleg pemilu, pembubaran partai politik, dan pembatalan pemilu. Putusan-putusan tersebut, khususnya, menggulingkan pilihan para pemilih yang dibuat selama pemilu sehingga mengikis integritas pemilu di Thailand.
Pertama, penangguhan caleg terpilih melalui penggunaan teknis hukum.
Alasan teknis hukum, seperti perilaku moral politisi, sering kali dikutip oleh MK untuk menangguhkan dan memberhentikan anggota parlemen dan eksekutif. Dalam sebuah kasus pada Agustus 2024, PM Srettha diberhentikan oleh MK dengan dalih ketidakjujuran, karena menunjuk seseorang yang dianggap tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatan di kabinet. Sebagai gantinya, Paetongtarn Shinawatra mengisi kursi PM segera setelah itu.
Alasan teknis lainnya adalah penangguhan anggota parlemen terpilih karena memiliki saham di perusahaan media. Hal ini dilakukan dengan menggunakan definisi yang luas tentang apa yang dsebut perusahaan media, sehingga mencakup semua organisasi yang memiliki fungsi umum di bidang komunikasi massa, meski sedang tidak beroperasi. Definisi ini juga mengabaikan pertimbangan-pertimbangan terkait wewenang riil yang dimiliki oleh seseorang atas organisasi tersebut.[14]
Pada November 2019, Thanathorn Juangroongruangkit, pemimpin dan anggota parlemen dari Partai Masa Depan Maju (Future Forward Party, FFP) (pendahulu MFP) ditangguhkan lantaran memiliki saham di sebuah perusahaan induk media yang sudah tidak aktif dan sebelumnya menerbitkan majalah gaya hidup.[15] Demikian pula, selama musim pemilu 2023, sebuah petisi diajukan untuk menangguhkan Pita Limjaroenrat, pemimpin dan anggota parlemen dari MFP, karena memiliki saham di sebuah perusahaan yang sudah tidak aktif lagi yang pernah memiliki hak siar TV.[16] Dalam kasus yang terakhir, Pita pada akhirnya dibebaskan setelah ada dokumen yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut tidak terdaftar sebagai perusahaan yang terlibat dalam kegiatan media.[17]
Kasus-kasus tersebut memperlihatkan kekhawatiran tentang penggunaan teknis hukum tanpa mempertimbangkan dampak yang lebih luas terhadap integritas pemilu. Kasus-kasus tersebut juga menunjukkan adanya potensi berlatarbelakang politik. Seorang pemohon petisi berantai “membongkar” kasus Thanathorn sesaat setelah partainya memenangkan sejumlah besar kursi,[18] sementara kasus Pita diungkap oleh pemohon yang berafiliasi dengan partai konservatif seminggu sebelum pemilu.[19]
Kedua, putusan MK menghukum partai-partai yang telah mengusulkan atau mengampanyekan kebijakan untuk mereformasi kerajaan.
Pada 31 Januari 2024, MK memutuskan bahwa garis haluan partai yang menghendaki amandemen aturan lèse-majesté (Pasal 112 Kitab Hukum Pidana, yang menetapkan hukuman bagi mereka yang memfitnah atau mengancam kerajaan), termasuk juga kegiatan partai seperti memberikan jaminan hukum atas orang-orang yang ditangkap berdasarkan aturan tersebut, merupakan “upaya menjalankan hak atau kebebasan untuk menggulingkan rezim pemerintahan”. MK menyatakan bahwa Pasal 112 sangat penting bagi stabilitas kerajaan dan secara efektif tidak bisa diamandemen. Lantaran mempolitisasi masalah Pasal 112, termasuk berkampanye tentang masalah ini, tindakan Partai Gerak Maju (MFP) dipandang oleh MK sebagai pengkhianatan tingkat tinggi. Akibatnya, partai MFP tersebut dibubarkan pada 7 Agustus 2024 dan para anggota pengurus eksekutifnya dilarang untuk terlibat dalam kegiatan politik selama sepuluh tahun.[20]
Sebaliknya, MK menolak petisi yang ingin membubarkan Partai Pheu Thai (Pheu Thai Party, PTP), yang sebelumnya juga berkampanye untuk mengamandemen Pasal 112 tapi kemudian memutuskan untuk bergabung dengan koalisi dengan partai-partai konservatif dan yang bersekutu dengan militer. Meski MK memutuskan untuk membubarkan MFP, MK menganggap petisi terhadap PTP tidak beralasan, menyatakan bahwa MK tidak percaya PTP bermaksud untuk menggulingkan rezim politik dengan mengampanyekan amandemen Pasal 112.[21]
Pada akhirnya, dengan menyatakan bahwa pandangan-pandangan yang ingin mereformasi sistem politik sebagai upaya untuk menggulingkan rezim, MK mengekang pluralitas politik selama pemilihan umum, sehingga mengikis fondasi demokrasi multipartai di Thailand.
Ketiga, keputusan-keputusan MK di masa lalu yang membatalkan pemilu tidak hanya menolak kehendak rakyat, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas pemilu di masa depan.
Pada Pemilu 2006, MK mengutip beberapa ketidakberesan pemilu yang keseluruhannya mendasari keputusan untuk membatalkan pemilu.[22] Pertama, MK berpendapat bahwa keputusan untuk menyelenggarakan pemilu 37 hari setelah deklarasi—meski secara teknis konstitusional—tidak adil bagi partai-partai lain. Pemilihan waktu ini mengakibatkan boikot oleh partai-partai lain, sehingga banyak daerah pemilihan yang hanya memiliki caleg dari Partai Thai Rak Thai yang berkuasa. Akibatnya, MK meragukan keseriusan partai-partai yang boikot. Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran akan politisasi peradilan dan sejauh mana MK dapat menganggap tindakan “secara teknis konstitusional” bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, MK juga mengutip kekhawatiran mengenai penempatan kotak suara yang membahayakan privasi pemilih, meski tidak ada bukti manipulasi yang meluas.
Kemudian, setelah Pemilu 2014, MK memutuskan bahwa pemilu tersebut tidak konstitusional karena Komisi Pemilihan Umum gagal melaksanakan pemungutan suara di seluruh distrik lantaran kurangnya jumlah caleg di 28 distrik[23] karena para caleg dihalangi oleh kelompok-kelompok pemrotes untuk mendaftar sebagai caleg.[24] Keputusan tersebut memunculkan beberapa kekhawatiran. Dasar pemikiran MK membenarkan pembatalan pemilu yang tidak proporsional berdasarkan ketidakberesan prosedur di 28 daerah pemilihan. Putusan tersebut juga melarang pemilihan sela untuk diadakan di distrik-distrik tersebut. Pada saat yang sama, putusan MK mengabaikan perlindungan hak-hak konstitusional para pemilih, dan gagal mengakui pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan kelompok-kelompok pemrotes yang secara fisik menghalangi para caleg untuk mendaftar.
Meski MK hanya memutuskan untuk membatalkan dua pemilu di atas, sejak putusan tersebut, sejumlah petisi untuk membatalkan pemilu berikutnya menjadi hal yang umum. Setelah Pemilu 2019, pemohon petisi lainnya—yang juga kembali menjadi terkenal sejak Pemilu 2023—mengajukan pengaduan ke Kantor Ombudsman Thailand guna mengajukan petisi kepada MK agar membatalkan pemilu. Individu tersebut merujuk pada pelaporan pemilu Komisi Pemilihan Umum yang mengandung inkonsistensi dan perhitungan daftar partai yang mereka anggap tidak konstitusional. Namun, Ombudsman memutuskan untuk tidak menindaklanjuti pengaduan tersebut. Wacana mengenai kemungkinan pembatalan Pemilu 2023 juga muncul, meski tidak ada bukti kuat mengenai ketidakberesan.[25]
Mulai dari menangguhkan caleg terpilih, membubarkan partai politik, dan membatalkan pemilu, putusan-putusan MK telah mengikis integritas pemilu di Thailand. Normalisasi peran MK dalam keputusan-keputusan tersebut mengancam kelangsungan pemilu sebagai sarana transisi kekuasaan secara damai. Lebih jauh lagi, secara historis, kekacauan dan kekosongan politik setelah pemilu yang dibatalkan telah mengakibatkan kudeta militer pada 2006 dan 2014. Bahkan saat pemilu tidak dibatalkan, penangguhan caleg terpilih dan pembubaran partai politik menunjukkan keputusan-keputusan MK tersebut menyebabkan kemerosotan integritas pemilu di Thailand.
Simpulan
Peran MK dalam membatalkan suara para pemilih di kotak suara telah mengakibatkan kemerosotan integritas pemilu di Thailand. Keputusan-keputusan MK terutama melibatkan: penangguhan caleg pemilu melalui masalah teknis hukum, pembubaran partai politik karena mengusulkan reformasi kerajaan, dan pembatalan pemilu. Masalah-masalah ini diperburuk oleh kekuasaan MK yang luas, proses seleksi yang tidak demokratis, dan kurangnya akuntabilitas publik yang memengaruhi independensi dan kredibilitasnya. Baik dampak langsung terhadap pemilu maupun pengaruh tidak langsungnya menimbulkan keraguan terhadap integritas pemilu Thailand di masa depan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada seruan yang semakin kuat untuk membahas peran MK, seperti mengamandemen undang-undang untuk menghapus wewenangnya terhadap perilaku para politisi.[26] Juga telah muncul sejumlah wacana yang mempertanyakan perlunya MK.[27] Berbagai prakarsa tersebut, serentak berusaha untuk mengurangi pengaruh MK, terutama dalam masalah pemilu. Namun, seruan-seruan semacam itu sebagian besar terbatas pada partai-partai oposisi. Tanpa kemauan politik yang luas untuk melakukan reformasi MK, kemungkinan besar MK akan terus memengaruhi hasil pemilu.
Oleh Ekmongkhon Puridej, Asia Centre
Kepustakaan
[1] Bangkok Post (2024) ‘Court dissolves Move Forward Party’, Bangkok Post, melalui:
https://www.bangkokpost.com/thailand/politics/2843182/court-dissolves-move-forward-party.
[2] Bangkok Post (2024) ‘Srettha dismissed as PM after court ruling’, Bangkok Post, melalui:
https://www.bangkokpost.com/thailand/politics/2847093/srettha-dismissed-as-pm-after-court-ruling.
[3] “Constitution of the Kingdom of Thailand (Interim), 2006”, ConstitutionNet, melalui: https://constitutionnet.org/sites/default/files/2006_Interim_Constitution_constitution.pdf.
[4] ThaiPublica (2024) ‘นิติศาสตร์ 4 สถาบันชี้ “ศาลรัฐธรรมนูญอำนาจเหนือรัฐธรรมนูญ” กระทบสิทธิประชาชน [Four law faculties points out “Constitutional Court’s power over the Constitution”, affecting citizen’s rights]’, ThaiPublica, melalui: https://thaipublica.org/2024/08/academics-say-excessive-power-of-constitutional-court-affecting-peoples-rights; Thairath (2024) ‘แฮชแท็ก #ศาลรัฐธรรมนูญ พุ่งติดอันดับ 1 หลังอ่านคำวินิจฉัยคดี “พิธา-ก้าวไกล” [Hashtag #ConstitutionalCourt soars to number 1 after the court reads “Pita – Move Forward” verdict]’, Thairath, melalui:
https://www.thairath.co.th/news/society/2759589.
[5] Wachana Wanlayangkul (2021) ‘ศาลรัฐธรรมนูญแบบไหนที่สังคมไทยต้องการ? [What kind of Constitutional Court does Thai society need?]’, The101, melalui: https://www.the101.world/constitution-dialogue-constitutional-court.
[6] Wachana (2021) ‘What kind of Constitutional Court does Thai society need?’.
[7] Eugénie Mérieau (2022) ‘Democratic Breakdown through Lawfare by Constitutional Courts: The Case of Post- “Democratic Transition” Thailand’, Pacific Affairs 95(3): 475–496, melalui:
https://eugeniemerieau.com/wp-content/uploads/2023/02/pa-lawfare-in-thailand-2022.pdf.
[8] James R. Klein (1998) ‘The Constitution of the Kingdom of Thailand, 1997: A Blueprint for Participatory Democracy’, Working Paper No. 8, The Asia Foundation Working Paper Series, melalui: https://constitutionnet.org/sites/default/files/Paper_on_the_1997_constitution_2.pdf.
[9] Khemthong Tonsakulrungruang (2022) ‘Thai Constitutions as a Battle Ground for Political Authority: Barami versus Vox Populi’, in Tom Ginsburg and Benjamin Schonthal (eds.) Buddhism and Comparative Constitutional Law, Cambridge: Cambridge University Press (Comparative Constitutional Law and Policy), 161–180.
[10] Wachana (2021) ‘What kind of Constitutional Court does Thai society need?’.
[11] “Constitution of the Kingdom of Thailand, 2017” Constitute Project, melalui: https://www.constituteproject.org/constitution/Thailand_2017.
[12] Khemthong (2022) ‘Thai Constitutions as a Battle Ground for Political Authority’.
[13] BBC Thai (2017) ‘ศรีสุวรรณ จรรยา กับ 5 เรื่องน่ารู้ของ “นักร้อง” [Srisuwan Chanya and 5 interesting facts about “serial petititoners”]’, BBC Thai, melalui: https://www.bbc.com/thai/thailand-39626226.
[14] Natchapakorn Nammuang (2023) ‘แนวคำวินิจฉัยศาลรัฐธรรมนูญคดีหุ้นสื่อ ถือหุ้นจริง + ทำสื่อจริง = มีความผิด [Constitutional Court’s rulings in media share cases: Holding real shares + really doing media business = guilty], Thairath, melalui: https://plus.thairath.co.th/topic/politics&society/103290.
[15] Bangkok Post (2019b) ‘Court suspends Thanathorn from MP’, Bangkok Post, melalui: https://www.bangkokpost.com/thailand/politics/1682696/court-suspends-thanathorn-from-mp.
[16] Bangkok Post (2024a) ‘Pita survives media shareholding case’, Bangkok Post, melalui:
https://www.bangkokpost.com/thailand/politics/2729909/pita-survives-media-shareholding-case.
[17] Ibid.
[18] Thai PBS (2023) ‘ย้อนรอย “ถือหุ้นสื่อ” จาก “ธนาธร” ถึง “พิธา” [Backtracking “holding media shares” from Thanathorn to Pita]’, Thai PBS, melalui: https://www.thaipbs.or.th/news/content/327630.
[19] PPTV (2023) ‘เลือกตั้ง 2566 : เบื้องลึก! แฉ”พิธา”ถือหุ้นITV บังเอิญหรือเกมตัดตอน? [Insider! Reveals that “Pita” owns iTV shares – coincidence or intentional?]’, PPTV, melalui: https://www.pptvhd36.com/news/การเมือง/197169.
[20] Bangkok Post (2024b) ‘Court dissolves Move Forward Party’.
[21] Thairath (2024b) ‘ศาลรัฐธรรมนูญตีตก ร้องสอย พท.แก้ 112 สั่ง กกต.ชงใหม่ เอกสารยุบก้าวไกล [Constitutional Court dismissed petition to take down PTP for amending 112 – Orders Election Commission to reconsider documents for MFP dissolution case]’, Thairath, melalui: https://www.thairath.co.th/news/politic/2772173.
[22] Constitutional Court (2006) ‘สรุปคําวินิจฉัยศาลรัฐธรรมนูญที่ 9/2549 วันที่ 8 พฤษภาคม พ.ศ. 2549 [Summary of the Decision of the Constitutional Court No. 9/2006 Date: 8 May 2006]’, Constitutional Court, melalui:
https://www.constitutionalcourt.or.th/occ_web/download/article/file_import/t9_49.pdf.
[23] Reuters (2014) ‘Thai court declares February general election void’, CNBC, melalui:
https://www.cnbc.com/2014/03/21/thai-court-declares-feb-general-election-void.html; BBC News (2014) ‘Thai court rules general election invalid’, BBC News, at: https://www.bbc.com/news/world-asia-26677772.
[24] Ibid.
[25] BBC Thai (2023) ‘เลือกตั้ง 2566 : ประธาน กกต. ตอบสื่อต่างชาติเลือกตั้งจะโมฆะหรือไม่ [Election 2023: Election Commission chairman responds to foreign media: will the election be invalid or not?]’, BBC Thai, melalui: https://www.bbc.com/thai/articles/cxwppjvd484o; TODAY (2023) ‘ความไม่ชัดเจนเรื่องการแบ่งเขตเลือกตั้ง อาจนำไปสู่เลือกตั้งโมฆะ ซ้ำรอยปี 49 [Ambiguity regarding the division of electoral districts may lead to an invalid election, repeating the situation of 2006]’, TODAY, melalui: https://workpointtoday.com/news-260.
[26] The Standard (2024) ‘สว. นันทนา มองการตรวจสอบจริยธรรมไม่ควรเป็นตัวชี้วัดเดียว เสนอลดอำนาจศาลรัฐธรรมนูญที่ล้นเกิน [Senator Nanthana views ethics should not be the only indicator, proposes to reduce the excessive powers of the Constitutional Court]’, The Standard, melalui: https://thestandard.co/nantana-senate-ethics-probe.
[27] Thepjorn (2024) ‘ฝ่ายค้าน ฝ่ายแค้น ชักธงรบ วางเกมยาว ล้ม “ศาลรัฐธรรมนูญ” [The opposition raise the battle flag and planned the long game to overthrow the Constitutional Court]’, Bangkok Biz News, melalui: https://www.bangkokbiznews.com/politics/1141760.