Qanun Jinayat (bahasa Arab: “hukum pidana”) yang telah diloloskan oleh DPRD Provinsi Aceh pada akhir September 2014, antara lain menyatakan bahwa mereka yang tertangkap basah terlibat praktek hubungan sesama jenis (misalnya liwath: seks anal antar lelaki; dan musahaqqah: perempuan yang saling “menggesekkan” tubuhnya demi kepuasan seksual) dapat dijatuhi hukum cambuk hingga 100 dera di depan publik. Hukum cambuk di depan publik, sebagaimana dikutip dari pejabat setempat, lebih bertujuan untuk mempermalukan orang yang terlibat daripada sebagai bentuk hukuman jasmani. Pada tahun 2009, Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf, menolak menandatangani versi awal hukum pidana Aceh, yang memasukkan hukuman rajam untuk perselingkuhan. Hal ini menjadikan anggota DPRD Aceh menulis-ulang hukum pidana tersebut selama lima tahun sesudahnya. Aturan pidana yang anti-homoseksual tersebut merupakan perkembangan terbaru sistem hukum Syariah di Aceh. Pelaksanaan syariah dijamin oleh pemerintah pusat sebagai bagian dari perjanjian damai tahun 2005 yang mengakhiri Aceh sebagai Daerah Operasi Militer selama 30 tahun sebelumnya. Awalnya diklaim untuk menampung ekspresi “nilai” dan tak akan ditegakkan secara kaku, namun pada kenyataannya hukum Syari’ah di Aceh diberlakukan secara ketat. Hal ini terbukti dengan pembentukan pasukan polisi moral (Wahdatul Hisbah) untuk mengawasi masyarakat Aceh dan menegakkan ketaatan terhadap syari’ah.
Di lain pihak, MUI adalah organisasi Islam yang memiliki pendapat hukum (bahasa Arab: fatwa) yang kerap dirujuk oleh negara dan masyarakat luas sebagai sumber pengetahuan otoritatif dalam hukum, teologi, dan etika Islam. Baik badan eksekutif maupun legislatif di Indonesia mempertimbangkan isi fatwa MUI sebagai salah satu sumber perancangan hukum negara. Meskipun tidak mengikat secara hukum, fatwa MUI sering digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan atas agama lain atau minoritas, seperti kekerasan terhadap anggota gerakan keagamaan Ahmadiyah pada tahun 2011. Saya memandang diberlakukannya dua usulan hukum ortodoks ini sebagai gejala penentangan terhadap kemajuan hak-hak warga negara dalam hal kemitraan sesama jenis-kelamin dan hukum anti-diskriminasi di dunia Barat. Tak ada ruang yang cukup di sini untuk membahas isu ini lebih lanjut.
Penting untuk dicatat di sini bahwa pandangan saya tentang Islam ortodoks berangkat dari penjelasan esensialis Islam sebagai kategori ontologi tunggal (Asad 1986), yang dalam dalam konteks wacana hak-hak kelompok queer di Barat kerap distigma sebagai bentuk penindasan dan sumber praktek budaya kekerasan (Dhawan 2013), dan juga telah digunakan untuk merepresentasikan dunia Islam yang terbelakang (Massad 2002). Mengikuti Talal Asad (1986), saya memandang perhatian terhadap Islam ortodoks sebagai salah satu domain saja dalam berbagai macam pemahaman terhadap agama besar ini (Schielke 2010), yang “bukan hanya serangkaian pendapat, tapi juga hubungan yang khusus – hubungan kekuasaan. [Islam ortodoks adalah] di saat kaum Muslim mempunyai kekuasaan untuk mengatur, menegakkan, mengharuskan, atau menyesuaikan praktik yang benar, dan untuk mengutuk, menyingkirkan, melemahkan, atau menggantikan praktik yang tidak benar” (Asad 1986: 15-16). Saya berpendapat bahwa lokasi kuasa yang demikian tersebut dan bagaimana hal ini terbentuk hingga menjadi tatanan normatif, tak bisa diabaikan dalam melihat model vernakular pengucilan seksual dan ketimpangan dalam dunia yang saling tergantung, bukan hanya di Indonesia namun juga dalam konteks yang lebih luas di Asia Tenggara.
Analisa dalam artikel ini berfokus pada pandangan Islam yang telah dilegitimasi mengenai homoseksualitas di Indonesia dan bagaimana hal ini membentuk perasaan publik terhadap kelompok queer 1 yang Muslim. Sebagai bagian proyek penelitian yang lebih besar mengenai bagaimana politik afeksi dan emosi kelompok queer Muslim, saya percaya bahwa fokus pada dimensi emosional dinamika agama dan homoseksualitas dapat membantu memperdalam studi wacana hegemonik, wilayah yang secara tradisional didominasi oleh pandangan artikulasi, praktek, dan ideologi legal formal.
Kekerasan Normatif dalam Sejarah Kontemporer Seksualitas di Indonesia
Evelyn Blackwood (2007) menggambarkan regulasi kontemporer homoseksualitas di Indonesia dalam tiga fase sejarah. Pertama, pada masa 1980-an, negara di bawah rezim Orde Baru mengontrol seksualitas melalui, “penciptaan warga negara yang dinormalisasi dan reproduktif,” yang mayoritasnya adalah “penganut Islam taat” (Blackwood 2007:294). Lalu Blackwood mengidentifikasi tahun 1990-an sebagai dekade saat wacana seksualitas yang sebelumnya diatur bersama oleh negara dan pemuka agama Islam bergeser merespon tekanan international untuk mendukung hak seksualitas. Ketiga, periode sejak berakhirnya rezim Suharto pada tahun 1998, adalah masa didorongnya agenda kalangan Islam konservatif, termasuk hukum yang lebih ketat dalam KUHP dan usaha langsung mengundangkan pernikahan heteroseksual dengan memerinci daftar yang eksplisit dan bersifat membatasi sejumlah tindakan hukum. Di lain pihak, sengaja mengambangkan status legal perilaku sesama jenis kelamin antar dua orang dewasa yang bersepakat. Di periode terakhir ini, Blackwood juga menggambarkan debat publik yang makin intensif mengenai peran negara dalam mendefinisikan tatanan normatif, yang menciptakan “kepanikan moral” (2007: 303). Dalam menghadapi kondisi sosio ekonomi yang bergejolak, digabungkan dengan tantangan desentralisasi politik dan munculnya sistem multi-partai berdasar agenda politik ethno-lokal, negara didesak memprakarsai proses legislasi reaksioner berdasar “moralitas” dalam rangka membangun citra stabilitas di kehidupan publik.
Indonesia pasca-Reformasi juga mengalami pasang surut kekerasan bermotif agama terhadap seksualitas dan jender non-normatif dalam kehidupan sehari-hari. Pola kekerasan, termasuk serangan fisik, meningkat terhadap pertemuan dan kegiatan publik kelompok LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/sexual, and Queer) (lihat: Thajib 2014). Tom Boellstorff (2004) menggambarkan pola kekerasan ini sebagai bentuk “homofobia politis” bahwa orang-orang non-normatif dipersepsikan sebagai ancaman bagi kaum maskulinis dominan dan logika heteronormatif tentang kebersamaan dalam berbangsa. Bagian selanjutnya membahas situasi terkini di Indonesia.
Apa Yang Harus Dilakukan dengan Perasaan Publik yang abadi
Istilah “panik” dalam “kepanikan moral” dan “fobia” dalam “homofobia politis,” meskipun biasanya dikiaskan secara metafor, menyiratkan keterlibatan emosi dalam pembuatan tatanan normatif. Janice Irvine (2009) menjelaskan hal ini dalam analisa kepanikan moral seputar pendidikan seks di Amerika Serikat, yang menyertakan penolakan emosional seperti ketakutan, kemarahan, kebencian, dan kemuakan dalam wacana publik untuk menyoroti bentuk moralitas normatif yang dianggap paling penting. Memang tatanan normatif sebagai bentuk wacana, “memiliki kekuatan untuk dibawa ke ruang publik melalui apa yang mungkin disebut perasaan terorganisir” (Irvine 2009, 247).
Pendapat Irvine memperlihatkan bagaimana pemerintahan konservatif dan tokoh agama menjalankan wacana afeksi untuk mengklaim otoritas moral mereka sendiri, sembari mengutuk gairah dan aktivitas sesama jenis kelamin. Ini terjadi di Aceh sebelum diloloskannya Qanun Jinayat pada akhir 2014, ketika Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza S. Djamal, menyebut homoseksualitas sebagai “penyakit sosial yang harus dibasmi”, dengan mendorong hukuman yang lebih keras terhadap perilaku seksual yang melawan kepatuhan terhadap Hukum Syariah Islam di daerah tersebut (Jakarta Globe, 07/05/2013). Contoh lainnya adalah ketika Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama di Aceh, Tgk Faisal Ali, dilaporkan “terkejut” bahwa “wabah” homoseksual telah mencapai Aceh dan menyerukan kepada pemerintah daerah untuk proaktif menanggulangi “masalah sosial” ini sembari menekankan pentingnya peran anggota keluarga dalam mengubah perilaku seksual “menyimpang”, karena menurutnya, lebih sulit bagi orang di luar keluarga untuk melakukan bimbingan moral (Merdeka.com, 16/03/2014).
Berbagai retorika emosional yang didengungkan oleh kaum agamis orthodoks meliputi seruan untuk hukuman yang lebih berat dengan menekankan peran keluarga dalam “menyembuhkan” para pelaku “seks menyimpang” hingga pernyataan-pernyataan yang menilai para pelaku “perbuatan keji” ini layak mati, seperti yang diutarakan oleh MUI. Saya melihat bentuk-bentuk kekerasan normatif ini (Butler 2004) membawa pengaruh yang dalam atas psikis (jiwa) kelompok queer Muslim Indonesia, yang membuat mereka menjadi semakin rentan atas tindakan kekerasan legal yang dibenarkan agama sedemikian.
Sementara itu pemerintah pusat yang terlihat sekuler nyatanya menunjukkan respon suam-suam kuku terhadap isi dalam wacana hukum Islam yang anti-homoseksual, dengan kebijakan “tunggu dan lihat”. Tak pelak hal ini membuat kelompok queer Muslim yang taat beragama berada dalam keadaan canggung tak berkesudahan. Para penggiat HAM dan LGBTIQ di tingkat lokal telah mengingatkan berulang kali kemungkinan disahkannya hukum Islam yang berbahaya tersebut bisa berdampak luas. Para penggiat cemas bahwa provinsi-provinsi konservatif lainnya akan mengikuti langkah hukum seperti di Aceh bila pemerintah nasional tidak membatalkan hukum tersebut (Advocate.com, 05/10/2014). Pengamat juga mengingatkan bahwa pernyataan yang diungkapkan organisasi besar semacam MUI dapat berpotensi mendorong kelompok radikal mengambil alih, dengan dampak yang lebih parah terhadap kelompok minoritas seksual tersebut (Jakarta Globe, 15/03/2015).
Di tulisan lain saya telah menunjukkan bahwa bahwa serangkaian aksi kekerasan yang menargetkan minoritas seksual telah menciptakan iklim ketakutan (Thajib 2014) sehingga, dengan meminjam kalimat Tom Boellstorff (2014: 155), “perasaan terancam yang nyata dan bakal berlangsung lama” telah berkembang. Strategi bergerak di bawah tanah atau “kembali bersembunyi diam-diam” (Menyawi 2006) dilaporkan banyak dipilih oleh kelompok penggiat queer di Aceh (Jakarta Globe, 28/12/2014) sebagai usaha menciptakan ruang yang aman dari penganiayaan. Dampak dari situasi ketakutan ini dalam banyak situasi, secara bersebrangan, malah memperkuat ikatan persekutuan yang telah ada. Bagi banyak kelompok queer Muslim yang diwawancarai dalam penelitian ini, istilah “komunitas” meningkat relevansinya dalam imajinasi mereka sebagai kebersamaan kolektif. Di Yogyakarta, sekelompok pemuda queer antar-keyakinan secara rahasia menyelenggarakan mimbar bersama untuk merenungkan strategi menjembatani jurang antara agama yang homofobik dan hasrat sesama jenis kelamin, sembari mengatasi tantangan marjinalisasi sosial dan meningkatnya kekerasan. Bentuk konsolidasi mikro-politis demikian di antar sesama target kekerasan normatif yang homofobik membuka peluang untuk bersatu dan mengubah tatanan normatif yang menindas.
Ferdiansyah Thajib
Lembaga Antropologi Budaya dan Sosial, Universitas Freie, Berlin, Jerman
(Diterjemahkan oleh Abdul Hamid dari teks asli dalam bahasa Inggris)
Issue 18, Kyoto Review of Southeast Asia, September 2015
References:
Asad, Talal. ’The Idea of an Anthropology of Islam,’ Occasional Papers Series, Washington, DC: Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University.
Blackwood, Evelyn. 2007.’Regulation of Sexuality in Indonesian Discourse: Normative Gender, Criminal Law and Shifting Strategies of Control.’ Culture, Health & Sexuality,Vol. 9, No. 3. 293-307.
Boellstorff, Tom. 2014 ‘Lessons from the Notion of “Moral Terrorism”.’ Feelings at the Margins: Dealing with Violence, Stigma and Isolation in Indonesia. Birgitt Röttger-Rössler and Thomas Stodulka (Eds.), Campus-Verlag.148-158.
Boellstorff, Tom. 2004. ’The Emergence of Political Homophobia in Indonesia: Masculinity and National Belonging.’ Ethnos, 69(4), 465–486.
Butler, Judith. 2004. Undoing Gender, London: Routledge, 2004.
Dhawan, Nikita. 2013, ’The Empire Prays Back: Religion, Secularity and Queer Critique,’ Boundary 2 40(1): 191-222.
Irvine, Janice M. 2009. ‘Transient Feelings: Sex Panics and the Politics of Emotions’ Moral Panics, Sex Panics: Fear and the Fight over Sexual Right. Gilbert Herdt (Ed.) New York University Press. 234-276.
Massad, Joseph. 2002. ’Re-orienting Desire: The Gay International and the Arab World.’ Public Culture, 14(2), 361–385.
Menyawi H. 2006, ’Activism from the Closet: gay rights strategising in Egypt,’ Melbourne Journal of International Law 7, 1: 28-51.
Schielke, Samuli.2010. ’Second thoughts about the anthropology of Islam, or how to make sense of grand schemes in everyday life.’ Working Papers no.2. Zentrum Moderner Orient.
Thajib, Ferdiansyah. 2014. ‘Navigating Inner Conflict: Online Circulation of Indonesian Muslim Queer’ Feelings at the Margins: Dealing with Violence, Stigma and Isolation in Indonesia. Birgitt Röttger-Rössler and Thomas Stodulka (Eds.), Campus-Verlag.159-179.
Notes:
- Queer dalam artikel ini digunakan sebagai lensa analisa dan kategori sosial lokal termasuk subyektivitas non-normatif yang tidak menetapkan (dan tidak punya hak untuk menetapkan) diri mereka sendiri berdasarkan hasrat dan praktik seksualnya. ↩