Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

“Known Knowns, Known Unknowns, Unknown Unknowns, dan Unknown Knowns” di dalam konflik Laut Cina Selatan

Mantan Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld membuat pernyataan semantik pada tanggal 12 Februari 2002 ketika ia menyampaikan penjelasan yang sangat membingungkan mengenai isu Irak dengan menggunakan konsep “known knowns” (hal-hal yang diketahui yang diketahui), “known unknowns” (hal-hal yang diketahui yang tidak diketahui) dan “unknown unknowns” (hal-hal yang tidak diketahui yang tidak diketahui). Saya cenderung setuju dengan Donald Rumsfeld bahwa konsep tentang “known knowns, known unknowns dan unknown unknowns” merupakan kerangka berpikir yang berguna untuk menganalisa masalah-masalah yang kompleks. NASA bahkan sebenarnya telah menerapkan konsep ini dalam perencanaan misi luar angkasa dan dalam merencanakan persiapan untuk mengatasi resiko-resiko yang mungkin timbul dari “known knowns, known unknowns dan unknown unknowns”. Saya akan menggunakan gagasan Donald Rumsfeld tentang “known knowns, known unknowns dan unknown unknowns” untuk menjelaskan kompleksitas konflik di Laut Cina Selatan.

Known Knowns

“Known Knowns” adalah hal-hal yang kita tahu kita ketahui atau dengan kata lain, pengetahuan umum yang kita miliki. Situasi di Laut Cina Selatan sepanjang tahun 2013 dapat dikatakan relatif tenang. ASEAN dan Cina menyelenggarakan peringatan ke-10  kerjasama strategis Cina-ASEAN pada tahun 2013. Sepanjang tahun 2013 Cina menunjukkan sikap moderat di Laut Cina Selatan. Pada saat yang bersamaan, ASEAN juga merayakan peringatan 40 tahun hubungan sebagai “mitra dialog” dengan Jepang. Perayaan yang berlangsung sepanjang tahun 2013 tersebut diakhiri dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Jepang ke-2 di Tokyo pada 13-14 Desember.

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menginginkan dukungan ASEAN untuk peran proaktif Jepang yang baru di bidang keamanan. Tetapi, ia tidak begitu mendapat dukungan yang diharapkannya itu ketika bertemu dengan para pemimpin ASEAN pada konferensi tingkat tinggi di Tokyo. Hampir semua pemimpin ASEAN terlihat sangat berhati-hati dan berharap Jepang menjalankan peran proaktifnya yang baru di bidang keamanan tanpa memicu konflik dengan tetangga-tetangga Jepang di Asia Timur Laut, khususnya Cina dan Korea Utara.

Meskipun demikian, pemerintahan Abe mengajukan rencana strategis baru “pasifisme yang proaktif,” yang meliputi penambahan biaya militer, penguatan aliansi militer dengan Amerika, dan pembentukan hubungan keamanan yang baru dengan negara-negara ASEAN. Jepang akan memperpanjang pinjaman yen untuk mendukung penguatan militer Filipina, termasuk di dalamnya pembelian 10 kapal patroli penjaga pantai buatan Jepang untuk meningkatkan kekuatan armada laut Filipina di Laut Cina Selatan.

Sementara pada saat itu, kredibilitas Amerika dengan kebijakan luar negeri atas Asia mengalami rintangan karena Presiden Barack Obama harus membatalkan kunjungannya ke Asia Tenggara pada bulan Oktober disebabkan oleh masalah dana di Kongres dan berhenti beroperasinya pemerintah Amerika. Akan tetapi, Kongres Amerika baru-baru ini telah menyetujui perjanjian dana, yang akan mencegah berhenti beroperasinya pemerintah Amerika pada 2014. Ini akan memungkinkan Obama untuk mengunjungi Myanmar (Ketua ASEAN untuk tahun 2014) untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Amerika yang kedua dan EAS ke Sembilan di Naypyidaw pada awal November 2014. Myanmar sangat ingin menunjukkan bahwa Myanmar dapat menjadi tetangga baik Cina dan mitra Amerika pada saat yang bersamaan. Myanmar merupakan wakil ASEAN untuk mengkoordinasi Kerjasama Strategis ASEAN-Amerika dari tahun 2013 sampai 2015.

Menguatnya kehadiran militer Amerika di Laut Cina Selatan akan meningkatkan resiko terjadinya konfrontasi dengan Cina. Insiden terakhir yang hampir memicu bentrokan antara Amerika dan Cina terjadi pada 5 Desember, yang melibatkan USS Cowpens dan sebuah kapal tempat pendaratan tank milik Cina. Insiden tersebut terjadi setelah USS Cowpens tidak mengindahkan tuntutan Cina untuk berhenti memonitor latihan armada laut yang diperkuat Liaoning, pembawa pesawat tempur Cina.

Untuk mengatasi kebijakan luar negeri Amerika atas Asia dan peran proaktif Jepang yang baru di bidang keamanan, Cina berupaya memperkuat daya tarik Cina terhadap negara-negara Asia Tenggara, melalui penawaran Cina (yang diterima oleh ASEAN) untuk memperbaharui perjanjian Pasar Dagang Bebas ASEAN-Cina 2010, dan perjanjian baru berkaitan dengan hubungan bertetangga yang baik dan kerjasama yang bersahabat.

Known Unknowns

Yang lebih mengkhawatirkan adalah berkaitan dengan hal-hal yang kita tahu kita tidak ketahui, atau tidak diketahui potensi resikonya. Mungkin contoh yang paling tepat mengenai ‘known unknown’ adalah misteri tak terpecahkan mengenai solar sistem yang kita tempati; bagaimana ia terbentuk, sumber dari (atau mungkin sumber-sumber?) kehidupan yang ada di Bumi, dan tujuan dari solar sistem tersebut di kosmos yang maha luas.

Berkaitan dengan Laut Cina Selatan, satu ‘known unknown’ yang baru adalah kasus hukum yang diajukan Filipina terhadap klaim luar biasa dan kontroversial Cina mengenai ‘Sembilan garis putus-putus berbentuk huruf U’. Tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, pada bulan Januari, Filipina mengajukan tuntutan resmi terhadap Cina di International Tribunal for the Law of the Sea (Pengadilan Internasional tentang Hukum Laut). Suatu pengadilan yang terdiri atas lima hakim telah dibentuk untuk menganalisa kasus tersebut, meskipun Cina telah menyatakan penolakan untuk berpartisipasi. Sejumlah ‘known unknowns’ dalam skala kecil dan jangka waktu singkat dapat diidentifikasi dalam kasus ini.

Tidak ada seorangpun tahu apakah pengadilan tersebut akan menyetujui bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi untuk menganalisa lebih jauh kasus yang diajukan Filipina. Seandainya pengadilan menyimpulkan bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi, apakah itu berarti bahwa Cina memenangi kasus tersebut dan tidak boleh ada tantangan hukum baru yang boleh diajukan atas klaim Cina mengenai ‘Sembilan garis putus-putus berbentuk huruf U’ tersebut? Di sisi yang lain, seandainya pengadilan menyimpulkan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi, tidak jelas bagaimana pengadilan tersebut akan memberi keputusan terkait sejumlah tuntutan yang diajukan oleh Filipina. Karena Cina tidak pernah secara resmi mengklarifikasi makna dari sembilan garis putus-putus berbentuk huruf U tersebut, pengadilan mungkin tidak akan dapat memutuskan apapun berkaitan dengan hal tersebut. Bahkan seandainya pengadilan menyimpulkan bahwa Cina memang telah melanggar zona-zona maritim Filipina atau telah merampas wilayah-wilayah yang seharusnya berada di dalam lingkup EEZ milik Filipina, bagaimana keputusan atas Cina tersebut akan dijalankan?

‘Sembilan garis putus-putus berbentuk huruf U’ adalah salah satu “known unknowns” yang paling meresahkan soal Laut Cina Selatan. Di dalam sebuah peta yang diterbitkan pada tahun 1947 perwakilan pemerintah Cina menggunakan sebelas garis putus-putus untuk menandai wilayah di Laut Cina Selatan. Sangat jelas mereka tidak begitu memberi perhatian pada detail pemetaan dengan tidak mengidentifikasi sebelas garis putus-putus tersebut dengan koordinat geografi apapun. Seandainya sebelas garis putus-putus tersebut dimaksudkan sebagai batas wilayah maritim, maka ke sebelas garis putus-putus tersebut seharusnya dijadikan satu garis lurus lengkap dengan koordinat geografi yang akurat pada semua titik-titik penting.

Setelah tahun 1949, Cina mengadopsi peta Laut Cina Selatan yang dibuat oleh pemerintahan nasionalis Kuomintang yang menggunakan sebelas garis putus-putus tersebut. Setelah penyelesaian sengketa dengan Vietnam Utara tentang penentuan batas maritim di awal 1950-an, dua dari sebelas garis tersebut yang terkait dengan Teluk Tonkin dihapus oleh Cina. Sehubungan dengan situasi pada saat ini, Cina memiliki kontrol dalam strategi ambiguitas terencananya dengan membuat pihak-pihak lain yang terlibat di dalam sengketa terus bertanya-tanya tentang makna sebenarnya dari ‘Sembilan garis putus-putus berbentuk huruf U’ tersebut.

Satu “known unknown” lainnya yang melibatkan Taiwan adalah pendudukan militer atas Taiping/Itu Aba, yang merupakan pulau terbesar dari pulau-pulau Spartly yang menjadi diperebutkan. Cina mentoleransi kehadiran personel militer Taiwan tanpa alasan yang tidak diketahui. Mungkin ini merupakan suatu contoh manifestasi dari kebijakan ‘Satu Cina’.

Apa yang akan terjadi seandainya Cina berhasil mempertahankan klaimnya dengan hak-hak historis atas daerah-daerah yang menjadi konflik di Laut Cina Selatan? Ini merupakan satu “known unknown” yang merisaukan. Efek yang pertama mungkin adalah penghapusan UNCLOS. Negara-negara adidaya lainnya mungkin akan tergoda untuk mencaplok daerah-daerah dan zona-zona maritim di wilayah lain yang menjadi konflik, dengan menggunakan klaim atas hak-hak historis. Sampai seberapa jauh seseorang dapat menggali ke sejarah masa lalu untuk mengajukan klaim yang berdasarkan atas hak-hak historis? Bagaimanapun, kita semua berasal dari nenek moyang yang sama jika kita menelaah mundur sejarah cukup jauh.

Satu “known unknown” lainnya adalah niat strategis Cina untuk lebih menunjukkan pengaruhnya di Laut Cina Selatan. Cina nampkanya bersikeras bahwa terbang-lintas dan kebebasan navigasi di daerah tersebut tidak akan menjadi masalah bagi negara manapun yang mempraktekkan ‘right of innocent passage’ (hak lintas damai). Tetapi, Cina akan menolak aktivitas militer dari kapal perang dan pesawat terbang asing di dalam lingkup 200-nm EEZ Cina, dan bahkan kadang-kadang akan mencoba mengganggu.

Dalam jangka waktu dekat Cina bahkan mungkin akan memberlakukan Air Defence Identification Zone (Zona Identifikasi Pertahanan Udara, ADIZ) di wilayah Laut Cina Selatan secara sepihak, yang mungkin akan bermula dari Paracel dan merentang ke arah selatan hingga ke Spratly, lokasi tempat pesawat-pesawat terbang Cina telah siap untuk beraksi. Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry, dalam kunjungannya ke Filipina pada 17 Desember 2013, memperingatkan Cina untuk tidak memberlakukan ADIZ di Laut Cina Selatan.

Ketidakpastian seputar Perjanjian Pertahanan Bersama antara Amerika-Filipina pada tahun 1951 juga merupakan suatu “known unknown.” Amerika pada saat ini tengah meningkatkan bantuan militernya untuk Filipina, termasuk di dalamnya 40 juta dolar Amerika yang diumumkan oleh Kerry di Manila pada 17 Desember. Tetapi sejauh ini Amerika masih menunjukkan sikap ambigu terkait tindakan yang akan Amerika ambil apabila terjadi konflik bersenjata antara Filipina dan Cina di Laut Cina Selatan. Ini mungkin merupakan satu bagian dari kebijakan ambiguitas strategis Amerika. Membiarkan Cina menebak-nebak sampai sejauh mana mereka dapat bertindak di Laut Cina Selatan.

Bagaimana persaingan antara Cina dan Amerika akan berkembang merupakan suatu “known unknown” yang serius. Tentu sangat tidak menyenangkan untuk melihat bahwa persaingan tersebut telah memulai persaingan kekuatan militer yang dapat dilihat dengan jelas di Asia Tenggara. Apa yang mungkin terjadi seandainya persaingan tersebut menajam? Akankah perang dunia ketiga akan terjadi di bagian dunia yang kita huni ini?

Unknown Unknowns

“Unknown unknowns” adalah jenis resiko yang paling buruk; kita bahkan tidak menyadari bahwa kita tidak mengetahui keberadaan resiko semacam itu, dan resiko tersebut dapat menyebabkan efek yang serius. Di dalam sejumlah contoh, satu pihak mungkin melihat suatu resiko sebagai “known unknown,” tetapi pihak yang lain mungkin sama sekali tidak menyadari resiko tersebut adalah suatu “unknown unknown.” Serangan tiba-tiba atas Pearl Harbour oleh Jepang merupakan salah satu contohnya. Serangan tersebut merupakan suatu “unknown unknown” bagi Amerika, sebagian besar karena Jepang melanggar hukum-hukum internasional dan norma-norma diplomatik. Pada saat yang sama, tentara Jepang menyadari apa yang sedang mereka lakukan, tetapi mereka tidak dapat membayangkan konsekuensi-konsekuensi dari serangan tersebut, atau bahkan kekalahan pahit Jepang pada Perang Dunia Kedua.

Di dalam konteks Laut Cina Selatan, sangat sulit untuk menemukan contoh dari “unknown unknowns.” Sesuai dengan definisi, kita tidak menyadari bahwa “unknown unknowns” tersebut ada, dan bahkan tidak dapat memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari “unknown unknowns” tersebu

Unknown Knowns

Slavoj Zizek, seorang filosof penganut Marxisme, mengatakan bahwa hal yang paling penting bagi umat manusia adalah apa yang ia sebut dengan “unknown knowns.” “Unknown knowns” ini adalah hal-hal yang ada dan telah mempengaruhi kehidupan umat manusia dan cara kita memahami realitas dunia, tetapi kita tidak menyadari apa yang kita tahu tentang keberadaan mereka, atau kita tidak menyadari nilai mereka, atau bahkan yang paling buruk, kita menolak untuk mengakui bahwa kita mengenal “unknown knowns” tersebut.

Di tingkat nasional, tiap-tiap negara anggota ASEAN mungkin bersikap pro-Cina, atau pro-Amerika, atau berada di batas pagar melihat situasi. Tetapi ketika mereka semua berbaur sebagai satu grup dalam ASEAN, tiap negara ASEAN tersebut mengatakan bahwa mereka akan mencoba untuk mempertahankan sikap netral dan konstruktif ASEAN. Mereka menginginkan ASEAN untuk menjadi pusat dialog dan kerja sama, bersahabat terhadap setiap negara besar. ASEAN telah berhasil menjadikan Cina, Jepang, Korea Selatan, India dan Amerika sebagai ‘mitra strategisnya’. Goh Chok Tong, ketika menjabat sebagai Perdana Menteri Singapura, pernah menggambarkan permainan ASEAN ini sebagai “virtuous promiscuity” (promiskuitas nan saleh).

Seberapa efektifkah kenetralan dan kesentralan ASEAN? Dan untuk berapa lama? Akankah persaingan Cina-Amerika menyebabkan perpecahan yang serius di dalam ASEAN, atau bahkan kehancuran dari organisasi yang telah berumur 47 tahun tersebut? Ini adalah suatu kekhawatiran yang bahkan tidak ingin dibayangkan oleh hampir seluruh negara anggota ASEAN, suatu “unknown known.”

Satu contoh lain dari “unknown known” adalah ketidakberhasilan para pemimpin Asia Timur untuk menyelesaikan berbagai konflik mengenai pulau-pulau di wilayah tersebut. Terlepas dari kasus Laut Cina Selatan, ada berbagai konflik antara Cina dan Jepang mengenai Diaoyu/Senkaku, antara Jepang dan Korea Selatan mengenai Takeshima/Dokdo, antara Jepang dan Rusia mengenai Wilayah-Utara/Kuril. Konflik mengenai pulau-pulau ini merupakan sumber ketegangan politik, yang dapat memicu ketidakstabilan. Tetapi konflik-konflik tersebut sepertinya merupakan “unknown known” bagi kebanyakan pemimpin-pemimpin Asia Timur.

Kesimpulan

Berdasarkan atas “known knowns,” konflik Laut Cina Selatan tetap merupakan suatu masalah yang beresiko bagi wilayah Asia Tenggara. Untuk menyelesaikan konflik ini diperlukan waktu dan niat politik yang baik. Tetapi, melalui dialog dan kerja sama dan bekerja sebagai satu ASEAN, semua pihak-pihak yang terlibat dapat saling meningkatkan rasa saling percaya satu sama lain dan menghindarkan terjadinya ketegangan-ketegangan baru. Terciptanya suatu Code of Conduct ASEAN-Cina yang baik di Laut Cina Selatan akan menjadi lompatan luar biasa dalam pencapaian tujuan tersebut.

Jika semua pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa Laut Cina Selatan mencoba menyelesaikan sengketa tanpa niat ingin menang sendiri, mereka dapat mencoba untuk menemukan berbagai solusi yang praktis dan adil bersama-sama, di dalam semangat memberi dan menerima. Mereka dapat meminimalisasi resiko-resiko dari “known unknowns.”

Kegagalan mereka untuk bertindak dengan menggunakan akal sehat akan tetap membuat wilayah kita rentan pada suatu kemungkinan terjadinya kejutan luar biasa di Laut Cina Selatan, suatu “unknown unknown,” yang mungkin dapat meledak pada suatu hari dan menghancurkan perdamaian dan kesejahteraan yang telah tercipta selama ini.

Untuk menghindari terjadinya masa depan yang mengerikan seperti itu, pengakuan atas adanya “unknown knowns” di dalam konflik Laut Cina Selatan oleh tiap-tiap pihak yang terlibat di dalam konflik merupakan langkah awal yang sangat penting. Mereka tidak dapat terus-menerus berpura-pura tidak mengetahui keberadaan dan menunda-nunda penyelesaian “unknown knowns” tersebut,

Sekarang adalah waktunya untuk mengambil tindakan. Sementara, waktu yang tersisa tinggal sedikit.

Termsak Chalermpalanupap
Visiting research fellow, ASEAN Studies Center, ISEAS, Singapura

(Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary)

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 15 (March 2014). The South China Sea

Exit mobile version