Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan di Asia Tenggara

Profesor Michael Leifer, seorang pakar ternama dalam studi tentang Asia Tenggara, diminta menulis pendahuluan untuk buku bertitel Monarchy in Southeast Asia (Kerajaan di Asia Tenggara) karangan Roger Kershaw, sebuah buku yang banyak dipuji oleh kritikus. Dalam pendahuluan yang ia buat, Leifer menulis: “Sudah merupakan pengetahuan umum kalau kerajaan sudah menjadi sebuah anomali pada saat ini. Dalam kasus Asia Tenggara, prinsip ini hanya berlaku sampai pada titik tertentu. Walaupun ada banyak pergolakan dalam masyarakat tentang institusi ini yang disebabkan oleh perasaan anti-kolonialisme dan upaya untuk meniadakan kolonialisme, di Asia Tenggara terdapat satu kerajaan absolut (Brunei), dan tiga variasi dari kerajaan konstitusional (Kamboja, Malaysia dan Thailand).” 1 Kershaw sendiri mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat menarik sebagai respons terhadap tulisan Leifer. Ia bertanya: “Apakah kemampuan kerajaan untuk bertahan sampai pada saat ini disebabkan oleh kekokohan dan sifat natural dari nilai-nilai politik tradisional, atau apakah keberadaan kerajaan, di samping sebagian merupakan kebetulan, sekarang dimanipulasi oleh para elit (bahkan oleh para penguasa kerajaan itu sendiri), untuk me-nonefektif-kan efek destruktif atau efek destabilisasi dari modernisasi – yang justru menyebabkan sulitnya menebak kemampuan kerajaan untuk bertahan?” 2

Artikel pendek ini bermula dari konteks di atas. Tetapi ketimbang memperlakukan kerajaan sebagai anomali seperti yang bisa dilihat dalam penelitian-penelitian sebelumnya, di sini akan diberikan sejumlah petunjuk untuk menjelaskan bertahannya kerajaan di Asia Tenggara di tengah-tengah iklim politik yang baru.

Kershaw tidak salah ketika ia menggambarkan isu modernisasi sebagai ancaman terhadap kerajaan. Dan memang benar, bukan hanya modernisasi yang menantang relevansi politik dari kerajaan, demokrasi juga menjadi ancaman terhadap keberlangsungan kerajaan.  Pada dekade yang lalu, gelombang demokrasi telah menerpa kawasan Asia Tenggara tanpa henti. Puluhan tahun pemerintahan otoriter di Indonesia akhirnya berakhir ketika negara tersebut berarak menuju era demokrasi yang baru. Setelah terisolasi dari dunia semenjak tahun 1962, Myanmar, yang dulu dikenal sebagai Burma, sekarang menyambut reformasi politik. Dan di bagian dunia yang lain, khususnya di Timur Tengah, demokrasi telah menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan. Di tengah-tengah kecenderungan ini, kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara telah ditempatkan di bawah penelitian yang lebih ketat. Banyak orang-orang di negara-negara yang masih mengadopsi sistem kerajaan mulai menanyakan pertanyaan yang genting: apakah kerajaan dapat berjalan selaras dengan demokrasi?

Kershaw’s book relates the political history of the South East Asian Monarchy to the politics of the region today.

Pada tahun 2008, Nepal memutuskan untuk mengakhiri sistem kerajaan absolut dan mendeklarasikan pembentukan Republik Federasi Demokratik Nepal. Berakhirnya Dinasti Shah di Nepal yang telah bertahan selama 239 tahun mengindikasikan bahwa institusi kerajaan sangat rentan karena kerajaan memiliki tampilan yang seolah-olah bertentangan dengan demokrasi. Ada satu perbedaan fundamental di antara aktor-aktor politik, termasuk aktor politik di dalam keluarga kerajaan, tentang peran yang sesuai bagi kerajaan di Nepal masa sekarang. Walaupun anggota keluarga kerajaan Nepal telah bersikeras untuk memainkan peran aktif dalam bidang politik dan menyatakan ulang diri mereka sebagai inti kerajaan, sayang sekali, para politisi hanya melihat fungsi kerajaan tidak lebih dari apa yang diindikasikan dalam konstitusi. Dengan kata lain, raja seharusnya memerintah tetapi tidak berkuasa. 3 Upaya para anggota keluarga kerajaan untuk mengintervensi politik juga turut menjadi penyebab dari ambruknya kerajaan absolut di Nepal.

Di Asia Tenggara, sejumlah kerajaan telah berhasil mempertahankan kekuasaan melawan gelombang demokrasi. Tetapi, beberapa berpotensi untuk lenyap. Pada saat ini, empat dari sepuluh negara di Asia Tenggara menggunakan sistem kerajaan yang bervariasi, mulai dari sistem absolut, konstitusional dan seremonial. Dalam edisi spesial ini, prospek masa depan dari kerajaan di Thailand, Kamboja, Malaysia dan Brunei akan dibahas.

Raja Bhumibol Adulyadej merupakan raja dengan masa pemerintahan terlama di dunia dan merupakan pusat dari kesatuan politik Thailand. Ia naik tahta pada tahun 1946, setelah kakak laki-lakinya raja Ananda Mahidol dibunuh secara misterius. Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei telah menunjukkan kemampuan untuk mempertahankan legitimasi dari pemerintahan absolut yang ia pimpin di tengah-tengah era negara demokrasi. Raja Kamboja Sihamoni, walaupun sebagian besar hanya berfungsi di dalam upacara adat, memainkan peran vital dalam pembentukan identitas nasional Khmer. Tetapi sebenarnya, posisi monarki Kamboja telah menjadi tidak jelas setelah kematian raja sebelumnya yang sangat populer, Norodom Sihanouk, pada Oktober 2012. Malaysia menggunakan sistem monarki berdasarkan pemilihan. Yang Dipertuan Agung merupakan jabatan tertinggi yang ada di dalam konstitusi Federasi Malaysia. Yang Dipertuan Agung yang berkuasa saat ini, Sultan Abdul Hamid, adalah sultan dari negara bagian Kedah, dan merupakan Yang Dipertuan Agung ke 14. Ia mulai berkuasa pada 13 Desember 2011 setelah ia dipilih melalui Conference of Rulers (Majlis raja-raja).

Di dunia barat, kerajaan telah dianggap sebagai anomali politik di tengah-tengah maraknya pemerintahan berdasarkan demokrasi. Kerajaan Inggris Raya mampu bertahan karena pembaharuan terus-menerus yang dilakukan untuk menyesuaikan kerajaan dengan perkembangan politik di Inggris. Dennis Kavanagh menyatakan,  “Kunci dari bertahannya kerajaan Inggris adalah kemauan kerajaan untuk menyerahkan kekuasaan pada waktu yang tepat selama tiga abad terakhir untuk menghindari tuntutan atas peniadaannya.” 4 Di Asia Tenggara, sisa-sisa peninggalan era kerajaan dan kesultanan telah mampu bertahan pada era demokrasi. Tapi untuk berapa lama?

Krisis politik berkepanjangan di Thailand saat partai-partai berkompetisi dengan sangat intens untuk memperkuat kedudukan mereka telah menenggelamkan raja yang sangat dipuja ke dalam pertentangan politik yang lebih jauh lagi. Tapi menilai secara jujur, sebenarnya Bhumibol selalu menjadi raja yang aktif. 5 Dan semenjak kudeta militer tahun 2006, sejumlah anggota tertentu dari keluarga kerajaan Thailand tidak lagi bermain politik di belakang layar, mereka sekarang maju bergerak ke panggung politik. Sebagai contoh, kehadiran ratu Sirikit di acara pemakaman seorang anggota kelompok baju kuning, yaitu kumpulan orang-orang yang setia pada keluarga kerajaan (People Alliance For Democracy) telah dianggap sebagai tanda keterlibatan kerajaan dalam politik. Kehadiran sang ratu dalam acara pemakaman tersebut membuat anggota-anggota kelompok baju merah sangat marah.

Sejauh ini sultan Brunei telah menunjukkan kemampuannya untuk menyesuaikan sistem politik Brunei terhadap berbagai tantangan. Ia membentuk legitimasi kekuasaan dengan menggunakan ideologi Melayu Islam Beraja (MIB) yang memungkinkan Islam untuk memegang peranan penting pada tingkat nasional. Tetapi proses ini bersifat eksklusif dan beresiko ditentang oleh masyarakat non-muslim Brunei.

Sementara itu, nama baik sejumlah anggota keluarga kerajaan di Asia Tenggara telah dicemari oleh berbagai macam skandal dan perilaku buruk. Hal-hal ini mencemari citra kerajaan dan menjadi ancaman terhadap keberlangsungannya. Sebagai contoh, Tengku Temenggong Mohammad Fakhry, pangeran dari negara bagian Kelantan, Malaysia, telah dituduh memperlakukan istrinya yang merupakan mantan model dan masih berusia 17 tahun sebagai budak seks. Ini bukan merupakan kontroversi pertama yang melibatkan anggota keluarga kerajaan Malaysia. Hazliza Ishak, seorang mantan model yang berusia 26 tahun, merupakan istri kedua dari raja Jaafar Raja Muda Musa, yang berada di baris kedua pewaris tahta negara bagian Perak, Malaysia. Ia ditemukan meninggal pada tahun 2002 di dekat Ipoh. Kematiannya memicu skandal yang menghebohkan Malaysia untuk beberapa bulan.

Seorang pakar asal India, Sreeram Chaulia, berpendapat bahwa masa depan kerajaan di Asia bergantung pada kombinasi dari kepribadian dan kemampuan politik serta bagaimana kerajaan menampilkan diri bukan sebagai ancaman terhadap demokrasi. 6 Di dalam konteks Asia Tenggara, keberadaan kerajaan sepertinya sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri pada tiga level: pribadi, nasional dan internasional.

Pada level pribadi, kerajaan sangat perlu menunjukkan peningkatan dalam hal pertanggungjawaban dan keterbukaan supaya dapat hidup berdampingan dengan suatu sistem pemerintahan demokrasi. Di daratan utama Asia Tenggara, dikenal adanya konsep tentang raja sebagai titisan dewa. Raja Thailand dan Kamboja diharuskan untuk bertindak sebagai Budha Dhammarajas, atau raja yang sesungguhnya, dengan tujuan untuk meningkatkan karisma raja dan dengan demikian, memperoleh hormat dari bawahan. Begitu juga halnya seorang sultan harus menunjukkan bahwa ia memerintah berdasarkan Islam. Kesakralan religius dari tahta sebagai seorang raja tak terelakkan untuk keberlangsungan kesultanan. Hal ini juga menunjukkan hubungan yang sangat erat antara kerajaan dan agama, yang jika dimanfaatkan dengan baik, bisa meningkatkan kesakralan suatu kerajaan. Hancurnya kerajaan absolut Nepal di bawah pimpinan raja Gyanendra Bikram Dev juga sebagian disebabkan oleh kurangnya karisma religius sang raja. Chaulia menyatakan:

Mitos berlatar belakang sakral selalu menjadi fondasi dari kekuasaan kerajaan, tetapi ini juga mengindikasikan suatu bentuk harapan tertentu dari masyarakat luas bahwa seorang raja harus memerintah dengan benar dan tanpa cela. Karisma tidak diperoleh secara otomatis, bahkan dalam suatu kerajaan yang berdasarkan garis keturunan secara religius sekalipun, tetapi diperoleh melalui tindakan-tindakan yang mengingatkan orang-orang pada kesakralan tahta kerajaan. Raja Nepal Gyanedra melupakan aspek penting ini dan menyia-nyiakan sisa-sisa penghormatan dan pemujaan yang diperoleh oleh para pendahulunya. Bermula dari masalah pribadi mengenai ketidakmampuan untuk mengendalikan hasrat seksual yang berujung pada kriminalitas, skandal-skandal dan publikasi negatif tentang keluarga kerajaan yang tidak berhasil diatasi oleh Gyanendra menjatuhkan popularitasnya di mata publik. 7

Pada level nasional, kemampuan suatu kerajaan untuk bertahan bergantung pada aliansi dengan militer. Seperti yang telah ditunjukkan oleh sejarah, sudah menjadi kewajiban militer untuk melindungi institusi kerajaan. Raja-raja terdahulu maupun raja-raja pada saat ini telah berupaya untuk menjalin hubungan yang intim dengan militer, seperti bisa dilihat dari penggunaan awalan “Royal” (bersifat kerajaan) untuk menyebut tentara nasional di beberapa negara. Penggantian nama tentara Thailand menjadi Pasukan Bersenjata Kerajaan, menyimbolkan sang raja sebagai kepala komandan. Dalam kasus Thailand, sangat jelas bahwa raja Bhumibol telah sangat menikmati dukungan yang kuat dari pihak militer. Jenderal Prem Tinsulanonda, presiden dari Dewan Penasehat dan mantan perdana menteri – posisi yang ditunjuk secara langsung oleh presiden – dari tahun 1980-1988, pernah menyatakan “Militer adalah kuda yang melayani sang raja, bukan politisi.” 8 Pada kenyataannya, militer memiliki mandat yang seringkali menentukan jangka waktu kehidupan dari semua jenis pemerintahan, baik itu monarki, despotis, atau demokrasi.  Faktor yang sangat menentukan keberlangsungan suatu kerajaan adalah kesetiaan pihak militer. Tetapi ikatan yang sangat intim di antara kerajaan dan militer tidak pernah bisa menjamin kestabilan mahkota kerajaan, khususnya apabila ikatan semacam itu membahayakan demokrasi. Sekali lagi, krisis yang terjadi di Thailand baru-baru ini telah menunjukkan bahwa aliansi kerajaan dan militer perlahan-lahan telah kehilangan kekuatannya. Gerakan kelompok baju merah memiliki tujuan untuk melawan dominasi politik oleh pihak militer. Lebih jauh lagi, keikutsertaan kerajaan di dalam politik telah menyebabkan lahirnya suatu golongan yang disebut sebagai elemen anti-kerajaan di Thailand.

Pada akhirnya, pada level internasional, ada keharusan bagi setiap kerajaan untuk memastikan bahwa keberadaannya memberi keuntungan bagi mitra asing yang kuat, dan untuk memastikan bahwa kerajaan tersebut tetap merupakan institusi politik yang penting. Adanya dukungan dari kekuatan asing bisa menjadi sesuatu yang sangat menguntungkan pada saat krisis, khususnya dalam menghadapi lawan politik. Sebagai contoh, Amerika Serikat dikenal sebagai penjamin keamanan kerajaan Thailand pada saat ancaman penyebaran komunis di daerah tersebut.

Semua petunjuk tentang keberlangsungan kerajaan di Asia Tenggara yang dijabarkan di sini tidak secara otomatis menjamin masa depan yang cerah bagi mereka. Sejumlah faktor-faktor baru muncul seiring berjalannya waktu dan menjadi tantangan bagi integritas dan legitimasi dari kekuasaan kerajaan. Penggunaan kekerasan untuk melawan tantangan-tantangan ini bisa menimbulkan efek balik yang negatif. Penerapan hukum lese-majeste untuk melawan unsur anti-kerajaan telah menyebabkan kekhawatiran mendalam tentang situasi hak asasi manusia di Thailand. Penggunaan kekerasan tidak selamanya menunjukkan kekuatan suatu kerajaan, tapi justru betapa penguasa kerajaan sangat ingin menyingkirkan ancaman terhadap kerajaan tersebut.

Sistem kerajaan telah eksis selama ribuan tahun. Sistem ini telah melemah, dan bahkan di dalam beberapa contoh telah lenyap saat negara-negara di dunia telah mengadopsi demokrasi sebagai sistem pemerintahan, tentu saja dengan kadar dan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kunci utama terhadap bertahan atau tidaknya suatu institusi kerajaan bergantung pada bagaimana cara kerajaan itu beraksi dan bereaksi untuk memenuhi meningkatnya kebutuhan orang-orang akan demokrasi. 

Pavin Chachavalpongpun
Center for Southeast Asian Studies
Universitas Kyoto

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 13 (March 2013). Monarchies in Southeast Asia

Daftar Pustaka

Chaulia, Sreeram. 2008. Monarchies in Asia: Crowns Die Hard. Opinion Asia, 11 June <sreeramchaulia.net/publications/Monarchies%20in%20Asia.doc> (diakses 27 Desember 2012).
Joshi, Bhuwan L. and Rose, Leo E. 1966. Democratic Innovations in Nepal: A Case Study of Political Acculturation, Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Kershaw, Roger. 2001. Monarchy in Southeast Asia: The Faces of Tradition in Transition, London: Routledge.
Magone, José M. 2011. Contemporary European Politics: A Comparative Introduction, Oxon: Routledge, 2011.
Thongchai, Winichakul. 2013. “The Monarchy and Anti-Monarchy: Two Elephants in the Room of Thai Politics and the State of Denial” dalam ‘Good Coup’ Gone Bad: Thailand’s Political Developments since Thaksin’s Downfall, editor Pavin Chachavalpongpun. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Notes:

  1. Roger Kershaw, Monarchy in Southeast Asia: The Faces of Tradition in Transition, (London: Routledge, 2001), hal. XI.
  2.  Ibid, hal. 6.
  3. Bhuwan L. Joshi and Leo E. Rose, Democratic Innovations in Nepal: A Case Study of Political Acculturation, (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1966), hal. 386-7.
  4. Dikutip dari José M. Magone, Contemporary European Politics: A Comparative Introduction, (Oxon: Routledge, 2011), hal. 176.
  5. Thongchai Winichakul, “The Monarchy and Anti-Monarchy: Two Elephants in the Room of Thai Politics and the State of Denial”, dalam ‘Good Coup’ Gone Bad: Thailand’s Political Developments since Thaksin’s Downfall, editor Pavin Chachavalpongpun (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2013).
  6. Sreeram Chaulia, “Monarchies in Asia: Crowns Die Hard”, Opinion Asia, 11 June 2008 <sreeramchaulia.net/publications/Monarchies%20in%20Asia.doc(diakses 27 Desember 2012).
  7. Ibid.
  8. Lihat hasil wawancara dalam Far Eastern Economic Review: <http://testfeer.wsj-asia.com/free-interviews/2006/september/general-prem-tinsulanonda1> (diakses 27 Desember 2012).
Exit mobile version