Realitas dari penerbitan buku komik di Singapura adalah memenangkan suatu penghargaan atau memperoleh nominasi untuk suatu penghargaan tidak setara dengan jumlah penjualan dari buku komik yang diperlukan untuk bertahan sebagai pengarang komik penuh waktu. Terlepas dari kritik sangat positif yang diperolehnya, dari 1000 eksemplar komik Ten Sticks and One Rice yang dicetak, hanya 650 saja yang terjual. (Nanda, 2014) Koh berusaha untuk membuat komik penuh waktu, tetapi dengan angka penjualan komik yang kecil, ia terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan kerja paruh waktu dan mengajar paruh waktu di sebuah sekolah seni. Di sisi yang lain, Oh memiliki sebuah perusahaan web-desain yang memungkinkannya untuk membuat komik sebagai hobi. 1000 eksemplar dari ‘Monsters, Miracle, and Mayonnaise’ terjual habis, dan sekarang sedang dalam proses cetakan yang kedua. Tan mungkin lebih tepat disebut seniman bebas yang membuat komik sebagai pekerjaan sampingan berdasarkan permintaan.
Sejarah komik di Singapura bercirikan pada seniman pembuat komik yang tidak menggantungkan diri pada pembuatan komik sebagai pekerjaan utama. Contoh yang paling tepat dari hal ini adalah Unfortunate Lives: Urban Stories and Uncertain Tales (Hidup-hidup yang tidak beruntung: Cerita daerah perkotaan dan Dongeng tak pasti) yang dikarang oleh Eric Khoo, novel bergambar dari cerita-cerita pendek yang pertama di Singapura, yang diterbitkan pada tahun 1989 (Lim, 2013). Khoo berasal dari sebuah keluarga kaya dan merupakan seorang direktur film penerima penghargaan. Elemen ketidakmampuan untuk hidup hanya dari pembuatan komik ini telah menyebabkan sebuah fenomena yang menarik di dalam dunia komik Singapura. Kebanyakan pengarang memilih untuk menceritakan kisah pribadi mereka ketimbang menyesuaikan diri dengan minat publik atau didikte oleh pertimbangan komersial. Asumsi mereka adalah: walaupun mereka mengarang komik dengan tema yang populer, hasil karya mereka tidak akan mampu berkembang dan bertahan secara ekonomi oleh karena kecilnya pasar Singapura. Sebagaimana yang dijelaskan oleh seorang seniman: “Masalah yang lebih unik lagi adalah Singapura merupakan sebuah pulau kecil dengan populasi yang beragam. Oleh karena itu, seniman lokal akan menghadapi pertarungan yang sangat sulit untuk menemukan cerita dan karakter/tokoh yang mampu memikat cukup banyak penduduk lokal yang beragam untuk memiliki angka penjualan yang bagus.” Ada beberapa pengecualian terhadap hal ini, dan saya akan kembali untuk membahasnya nanti.
Di sini bisa kita ambil contoh Ten Sticks and One Rice. Buku ini bercerita tentang seorang penjual jalanan yang berupaya untuk memahami perubahan Singapura tempat ia tinggal selama ini. Ini merupakan sebuah cerita otobiografi yang didasarkan atas kehidupan dari orangtua pengarang yang berprofesi sebagai penjaja jalanan. Seseorang dapat berpendapat bahwa otobiografi adalah salah satu tren yang populer di dunia komik Singapura. Ini berbeda dengan keadaan di Amerika Serikat, yaitu otobiografi hanya dianggap sebagai alternatif (Hatfield, 2005). Karya otobiografi utama di dalam komik Singapura pada saat ini adalah lima jilid The Resident Tourist (Penduduk Turis) yang dikarang oleh Troy Chin. Sebagai sebuah bentuk pujian terhadap seorang gadis yang ia sukai, The Resident Tourist adalah kisah Chin tentang kembalinya ia ke Singapura setela lelah dengan pekerjaan sebagai direktur musik di New York. The Resident Tourist bercerita mulai dari masa kecil hingga persahabatannya pada saat ini. Saya juga muncul di dalam cerita komik tersebut seraya Chin beranjak ke sejumlah peristiwa pada saat kini. Sebagai penghargaan atas upaya dan keberaniannya dalam mengambil resiko, Chin menerima penghargaan artis muda Dewan seni Nasional Singapura (NAC) pada 2011.
Peninggalan tema-tema populer untuk kisah pribadi dimungkinkan dengan adanya dana dari NAC dan “Media Development Authority of Singapore” (Otoritas Pengembangan Media Singapura/ MDA). Koh, Chin, dan yang lainnya merupakan penerima dana dari lembaga-lembaga ini. Adanya dana ini membantu pengaturan biaya penerbitan karena biaya untuk mencetak buku dibayar sebagian oleh dana dari NAC dan MDA. Dengan kata lain, buku-buku tersebut membiayai pengadaan diri mereka sendiri. Ini dapat berdampak buruk mengurangi motivasi para penerbit untuk mempromosikan buku komik tersebut, yang dapat menimbulkan kerugian yang besar. Hal ini menjelaskan angka ajaib dari pencetakan sebesar 1000 eksemplar. Meskipun angka penerbitan yang lebih besar mengurangi biaya produksi dan meningkatkan kemungkinan untuk meraup keuntungan, biaya inventoris menjadi suatu kecemasan karena Singapura tidak memiliki jumlah massa yang kritis. Hal ini ironis karena kesuksesan ekonomi Singapura adalah justru karena ukurannya yang kecil yang memungkinkan pengendalian hal-hal dengan cepat dalam hal kebijakan-kebijakan dan izin populasi. Tetapi Singapura tidak memiliki pasar konsumen yang cukup besar untuk musik, buku, dan komik lokal.
Ada dua konsekuensi dari perkembangan ini. Konsekuensi yang pertama, ada lebih banyak karya bernilai seni yang diproduksi karena seniman tidak memikirkan angka penjualan buku. Dengan angka penerbitan yang kecil, seniman tidak mungkin dapat bertahan hanya dari menggambar komik. Sebagai contoh, buku terbitan Epigram dijual dengan harga 18,90 dolar Singapura per eksemplar. Bahkan jika semua 1000 eksemplar habis terjual, royalti yang diterima oleh seniman komik akan menjadi lebih kecil dari 18.900 dolar Singapura, setelah pemotongan biaya produksi dan pembagian keuntungan bagi penjual buku dan distributor. Produksi setiap komik dapat menghabiskan waktu 4 bulan sampai setengah tahun. Mustahil untuk bertahan hidup hanya dengan mengarang komik. Dengan mempertimbangkan hal ini, kebanyakan seniman di Singapura tidak melakukan hal tersebut, yang menjelaskan sikap mereka di dalam bercerita. Koh menghabiskan waktu lebih dari satu tahun untuk menulis dan menggambar komik terbarunya, yang bercerita tentang kereta terakhir yang berangkat dari Stasiun kereta Tanjong Pagar di Singapura yang sudah tidak berfungsi lagi pada saat ini. Komik tersebut adalah karya terbesarnya yang menghubungkan sejarah pribadi dengan perkembangan ekonomi Singapura. Sebagai seorang guru sejarah, saya sangat menyukai komik tersebut. Tapi saya tidak yakin apakah komik tersebut menarik menurut publik umum. Setelah ini, Koh akan bekerja sama dengan Oh dalam suatu cerita tentang suatu kebun rambutan, yang didasarkan atas sebuah artikel akademik tentang sejarah seni. Kedua proyek tersebut didanai oleh NAC, yang bertujuan untuk mendukung seni lokal. Tetapi strategi pendanaan seperti itu mungkin tidak akan membantu para seniman untuk memperoleh fans-baca baru.
Hal ini menuntun kita pada konsekuensi kedua dari perkembangan ini. Kebanyakan penulis dan seniman membuat komik hanya sebagai hobi. Mereka memiliki pekerjaan penuh waktu, yang memungkinkan mereka untuk membuat komik ketika mereka memiliki waktu luang. Meskipun hal ini telah menyebabkan lebih banyak kisah pribadi yang diceritakan dan fenomena menarik yaitu genre otobiografi menjadi arus utama, ini tidak mendorong berkembangnya industri komik dari segi profesionalisasi. Hal ini dapat menjadi suatu situasi catch-22 yaitu kedalaman cerita dan jenis cerita yang diceritakan terbatas pada waktu yang dimiliki oleh para pengarang komik untuk mengerjakan komik mereka. Pengecualiannya adalah: mereka yang mengesampingkan soal keuangan dan bekerja penuh waktu untuk komik mereka seperti Koh dan Chin.
Wawancara yang baru-baru ini saya lakukan terhadap 10 pengarang komik di Singapura menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan dalam pandangan tentang apa yang diinginkan oleh pembaca Singapura menyangkut komik. Saya peroleh jawaban beragam mulai dari jawaban yang paling umum seperti “kombinasi dari plot cerita yang bagus dan seni yang luar bias”’ sampai pada humor dan isu-isu lokal. Sejumlah kecil berfokus pada bentuk komik, bahwa pembaca Singapura lebih tertarik dengan komik berbentuk manga dan isi yang memilik daya tarik cross-media (lintas media). Masalahnya, seperti yang ditunjuk oleh salah satu dari mereka, adalah kurangnya penelitian untuk menemukan apa yang diinginkan oleh pasar. Lebih jauh lagi, “Kebanyakan komik adalah kendaraan pribadi dari tiap seniman atau penulis untuk menyatakan ekspresi. Tidak benar-benar bertujuan untuk memperoleh konsumen. Tidak ada rencana pemasaran. Tidak ada kerjasama di dalam komunitas, tidak ada strategi, kurangnya struktur yang cukup. Tidak adanya kepemimpinan.” Tidak ada penyesuaian terhadap pembaca tentang apa yang ingin mereka baca di dalam sebuah komik Singapura (Salah satu seniman berkata: “Saya tidak memiliki ide tentang apa yang mereka inginkan. Saya hanya tahu apa yang saya inginkan”). Ini telah menuntun pada pola-pikir yang cenderung negatif di antara pembaca komik bahwa komik Singapura tidak begitu bagus atau menarik. Ketika ditanya apa mereka pernah membaca komik Singapura, jawaban mereka biasanya tidak.
Ada beberapa pengarang komik yang memperhatikan minat pasar, tetapi mereka harus berfokus pada pasar luar negeri. The Celestial Zone (Zona Malaikat) karangan Wee Tian Beng, yang telah diterbitkan semenjak 1999, adalah satu dari komik berseri Singapura yang paling sukses. Komik ini didistribusikan secara internasional oleh Diamond dan cukup populer sehingga bisa ditemukan secara online di beberapa situs internet yang menyediakan skan manga. Dengan melampaui batasan pasar Singapura, Wee dan TCZ studio miliknya mampu mengatasi batasan angka penerbitan kecil yang saya sebutkan sebelumnya. Tiap nomor dari The Celestial Zone terjual beberapa ribu kopi dan komik ini punya fans-baca di banyak negara Asia di luar Singapura, di Eropa, dan di Amerika. Untuk lebih memperkuat pendapatannya dari permintaan pasar luar negeri, Wee telah mulai menjual versi buku elektronik The Celestial Zone di dalam bahasa Inggris dan Mandarin. Bagaimanapun, ini adalah solusi distribusi atau angka penjualan. Seandainya cerita dan gambarnya tidak menarik, para pembaca tidak akan tertarik. Seperti yang ditunjuk oleh Wee: “Pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan sebuah komik komersial di antara pengarang lokal sangat rendah.”
Mungkin untuk alasan inilah salah satu seniman komik Singapura yang paling sukses, Sonny Liew, tidak membuat komik untuk pasar Singapura. Liew telah menembus pasar komik Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu dan menggambar komik untuk DC/Vertigo, Marvel, Image dan First Second. Berbasis di Singapura, ia memperoleh pendapatan yang lebih dari cukup untuk hidup nyaman dari pekerjaannya di Amerika. Tetapi untuk proyek pribadinya di Singapura, mereka penuh dengan olok-olok, penuh dengan permainan, dan menangani subyek berat yang berkaitan dengan sejarah dan politik. The Art of Charlie Chan Hock Chye, yang akan diterbitkan oleh Epigram Books, juga didanai oleh MDA di Singapura. Buku ini sangat dinantikan oleh fans-baca komik serius Singapura karena telah ditunda lebih dari satu tahun, disebabkan oleh komitmen Liew atas pekerjaannya yang lain. Tetapi belum pasti apakah komik ini akan diterima oleh lingkup pembaca yang lebih luas. Tuntutan terhadap kartunis politik online, Leslie Chew, tahun lalu adalah satu pengingat lain bahwa sindiran politik adalah hal yang terlarang (Wong, 2013). Singapura sebenarnya memiliki suatu situasi kartun politik yang hidup pada tahun 1950 dan 1960-an. Akan tetapi situasi itu menghilang ketika Negara menuntut media massa untuk memainkan suatu peran pembentukan persetujuan dibanding peran sebagai pilar kelima (Lim, 1997).
Ini menjelaskan mengapa lebih banyak kisah pribadi diceritakan ketika sarana politik untuk berekspresi dibungkam. Para seniman mencari alternatif yang lebih aman. Dengan fokus Singapura pada bidang pendidikan, komik edukasi adalah jenis komik populer Singapura yang lain. Seri Petualangan Sir Fongs dalam Sains yang dikarang oleh Otto Fong telah memasuki jilid yang keempat sampai pada saat ini, telah berulang kali dicetak dan telah terjual lebih dari 10.000 eksemplar secara keseluruhan.
Para orangtua di Singapura tidak akan ragu untuk menghabiskan banyak uang untuk membayar uang sekolah dan membeli buku tugas agar anak-anak mereka dapat berhasil di sekolah. Sejumlah di antaranya mengalir ke komik edukasi. Fong mengadakan acara di sekolah-sekolah untuk mempromosikan buku-bukunya, yang didasarkan atas kurikulum sains di Singapura.
Wee, Liew dan Fong adalah beberapa dari sedikit contoh pengarang komik yang memperoleh pendapatan cukup dengan membuat komik di Singapura. Banyak seniman lain seperti yang karyanya diterbitkan oleh Asosiasi Artis Komik Singapura (ACAS) membuat komik sebagai hobi di waktu luang mereka. Buku-buku ACAS juga didanai oleh NAC.
Komik sepertinya terperangkap di dalam suatu sindrom seni yang umum di Singapura, bahwa memenangkan atau memperoleh nominasi untuk suatu penghargaan adalah suatu tanda validasi yang lebih penting dibandingkan pembaca atau angka penjualan. Ada keuntungan yang jelas dengan menjadi seniman pemenang suatu penghargaan di Singapura. Ada dana lebih besar yang didapatkan untuk berpesiar, konferensi, dan bahkan beasiswa. Buku berikutnya mungkin akan membiayai sendiri biaya pengadaannya, yang berarti penerbit merasa senang dan dewan seni telah memenuhi mandatnya untuk mendukung seni dengan dana yang dimilikinya. Tetapi situasi ini mengikat dengan baik bagi industri dalam jangka waktu panjang atau dalam jangka waktu menengah di dalam batasan menceritakan suatu kisah yang secara komersial dapat hidup dan berhubungan dengan pembaca yang lebih luas. Satu buku yang saya sunting, Liquid City Volume 2 (Image Comics, 2010), suatu antologi komik Asia Tenggara, dinominasikan untuk kategori antologi terbaik di Eisner Awards tahun 2011. Tanpa perlu saya katakan, buku tersebut tidak berhasil memperoleh penghargaan dan saya masih berkutat dengan pekerjaan harian saya.
Oleh: Lim Cheng Tju
Pendidik, berdomisili di Singapura
(Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Michael Andreas Tandiary)
Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 16 (September 2014) Comics in Southeast Asia: Social and Political Interpretations
Daftar Pustaka
Chin, Troy. The Resident Tourist. 5 vols. Singapore: Self-published, 2008-2011. Print.
Fong, Otto. Sir Fong’s Adventures in Science. 4 vols. Singapore: Ottonium Comics, 2008-2012. Print.
Hatfield, Charles. Alternative Comics : An Emerging Literature. 1st ed. Jackson: University Press of Mississippi, 2005. Print.
Liew, Sonny, and Cheng Tju Lim, eds. Liquid City Volume 2. Vol. 2. Berkeley, CA: Image Comics, 2010. Print.
Lim, Cheng Tju. “Singapore Political Cartooning.” Southeast Asian Journal of Social Science 25.1 (1997): 125-50. Print.
—. “The Early Comics of Eric Khoo.” s/pores: new directions in singapore studies.11 (2012). Web.
Nanda, Akshita. “Local Comic Book Wins Manga Award.” The Straits Times (2014). Web.
Oh, Yong Hwee, and Hong Teng Koh. Ten Sticks and One Rice. Singapore: Epigram Books, 2012. Print.
Tan, Andrew (drewscape). Monsters, Miracles and Mayonnaise. Singapore: Epigram Books, 2012. Print.
Wee, Tian Beng. The Celestial Zone. Singapore: TCZ Studio, 1999-present. Print.
Wong, Chun Han. “Singapore Cartoonist Apologizes for Court Lampoon.” The Wall Street Journal (2013). Web.