Malaysia dan Singapura mewakili dua variasi utama dari suatu rezim campuran, atau sesuatu yang menggabungkan cirri-ciri dua tipe rezim: rezim liberal dan rezim illiberal, yaitu berupa competitive authoritarianism (mengandung unsure kelembagaan demokrasi, tetapi sering terjadi pelanggaran atas kebebasan sipil dan politik oleh pemegang kekuasaan dengan tujuan untuk mempertahankan kekuasaan) dan hegemonic electoral authoritarianism (mengandung sejumlah unsur demokrasi yang primitif). Pada tiap tipe, partai atau koalisi yang sama telah memegang kekuasaan semenjak kemerdekaan, memenangkan pemilihan secara beturut-turut melalui satu gabungan dari legitimasi yang dapat dipercaya (sebagian besar didasarkan pada hasil kerja sebelumnya), insentif dengan target tertentu, dan satu wilayah kekuasaan yang ditujukan untuk kepentingan sendiri. Pada tahun-tahun belakangan, tantangan-tantangan baru telah bermunculan untuk mengoyahkan kesetimbangan tersebut. Pada satu sisi yaitu media berbasis internet yang baru, mulai dari situs berita hingga jaringan sosial, telah memperluas wilayah guna ekspresi politik secara lisan, membuka ruang politik yang secara relatif tidak dapat ditembus oleh campur tangan negara. Sementara pada sisi yang lain, kondisi eksternal dari pertumbuhan yang ditetapkan; -meningkatnya ketidakadilan pendapatan dan kekayaan, migrasi ke dalam dan ke luar yang dikendalikan dengan kuat oleh isu pekerjaan, jaring pengaman sosial yang terbelah- memberikan dasar yang cukup di dalam wacana social dengan memanfaatkan beberapa forum baru ini sebagai wadahnya. Karena terlihat enggan memperlambat laju ‘pembangunan’ atau menyerahkan lapangan politik pada prioritas dan susunan alternatif, rezim-rezim ini menghadapi tantangan yang tidak pernah dijumpai sebelumnya semenjak pemerintah pemegang kekuasaan – di bawah People Action Party (Partai Aksi, PAP) di Singapura dan United Malays National Organization (Organisasi Nasional Melayu Bersatu, UMNO) mengkonsolidasi kontrol mereka untuk pertama kalinya pada tahun 1950 sampai 1960-an. 1
Bukti dari ketidakadilan
Singapura dan Malaysia telah menyaksikan naiknya berbagai indikator ketidakadilan ekonomi milik mereka, juga sejumlah diskusi yang memanas dan semakin memanas mengenai kecenderungan tersebut, setidaknya semenjak tahun 1990-an. Bahkan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengakui di parlemen pada tahun 2011 bahwa, ” ketidakadilan pendapatan lebih nyata dibanding sebelumnya… anak-anak dari orang-orang sukses lebih berhasil sementara anak-anak dari orang-orang yang kurang sukses kurang berhasil,” menyebabkan keluarga-keluarga “putus asa, cemas, dan khawatir mengenai diri mereka” (Lee 2011). Dan meskipun demikian pemimpin pemerintahan di kedua negara telah banyak mentoleransi pergesaran ini, dikendalikan dengan konsep kompetisi: untuk membangun dan memajukan suatu tenaga kerja berkapasitas tinggi yang lebih terdidik dibanding sebelumnya, sementara pada saat yang sama juga menjamin jumlah tenaga kerja yang cukup untuk konstruksi, pertanian, manufaktur, dan posisi-posisi lain dengan bayaran rendah yang hanya membutuhkan sedikit keterampilan. Sebagian dari upaya tersebut telah mengakibatkan penerimaan atas kesenjangan yang semakin mendalam di antara para warga negara; sebagian telah berarti penerimaan tenaga kerja melalui migrasi secara lebih agresif, menyebabkan pergeseran pola-pola demografi yang dapat dilihat.
Meskipun persepsi-persepsi mengenai ketidakadilan mungkin terlalu berlebihan dibanding keadaan yang sebenarnya, pada kenyataannya, buktinya ada. Singapura dan Malaysia telah saling berlomba semenjak akhir tahun 1990-an dalam nilai koefisien Gini, suatu indeks atas ketidakadilan ekonomi, tertinggi di Asia Tenggara dengan hanya perbedaan tipis. Nilai rata-rata koefisien Gini dari negara anggota OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) pada akhir tahun 2000-an adalah 32; berkisar dari 1 (keadilan sempurna) hingga 100. Terlepas dari transfer pendapatan pemerintah yang melimpah, indeks Gini Singapura mencapai nilai tertinggi di 46.7 pada tahun 2007 dan turun hanya hingga 45.9 pada tahun 2012. 2 Sementara sebagian dari ketidakseimbangan tersebut bersifat intra-etnis, di dalam mayoritas etnis Tionghoa, stratifikasi etnis bertahan: tingkat pendapatan dan pendidikan etnis India sedikit lebih rendah dibanding etnis Tionghoa Singapura, sementara warga dari etnis Melayu memiliki rata-rata penghasilan bulanan hanya sebesar 60 persen dari etnis Tionghoa, dan tingkat pendidikan tinggi hanya seperenam dari etnis Tionghoa; (Feter 2008, 147-8). Terlepas dari redistribusi pendapatan yang bersumber dari aksi afirmatif, koefisien Gini Malaysia juga mengkhawatirkan, yaitu pada tingkat 46.2, 3 dan beberapa individu mungkin sebenarnya berada pada kondisi yang lebih buruk di Malaysia dibanding yang diindikasikan oleh penghitungan pada tingkat keluarga ini (Lee 2013).
Sementara itu, biaya hidup terus meningkat. Inflasi telah berada pada tingkat yang rendah secara konsisten di Singapura- secara umum tidak lebih dari 2 persen per tahun semenjak pertengahan tahun 1990-an. Inflasi mencapai 6,5 persen pada tahun 2008, lalu turun secara berangsur hingga sekitar 4,5 persen. 4 Sejumlah survei di Malaysia juga mengindikasikan bahwa biaya hidup merupakan kekhawatiran utama para pemilih pada waktu pemilihan tahun 2013. Ketidakseimbangan pendapatan antar-etnis telah menurun seiring berjalannya waktu, sebagian besar merupakan hasil dari kebijakan-kebijakan ekstensif yang menguntungkan bumiputera, etnis Melayu, dan minoritas-minoritas asli, tetapi ketidakseimbangan intra-etnis telah meningkat, sebagai contoh: aliran dana ke daerah kota yang lebih besar dibandingkan ke kebanyakan daerah pedesaan (Gomez, dkk., 2012: 10). Bahkan di antara bumiputera, akses yang tidak merata terhadap keuntungan atau perlindungan -keistimewaan dari apa yang disebut dengan UMNO putera, yang memiliki hubungan dengan partai yang berkuasa – telah menuai kekhawatiran dan kritik.
Pengalaman akan pengiritan pengeluaran memicu kecemasan. Kecemasan tersebut menggusarkan khususnya di Singapura oleh ketakutan, sebagian akan kompetisi dan sebagian akan tantangan terhadap karakter nasional mengingat deklarasi niat pemerintah untuk meningkatkan jumlah tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan rekrutmen tenaga kerja asing yang lebih besar dibanding sebelumnya. Imigrasi besar-besaran ke dalam Singapura telah berlangsung semenjak 1990-an. Warga negara dan penduduk permanen Singapura mencakup 97 persen dari populasi pada tahun 1970, 95 persen pada tahun 1980, 90 persen pada tahun 1990, 81 persen pada tahun 2000, dan hanya 72 persen pada saat ini. Dengan kata lain, seperempat dari 5.1 juta populasi Singapura pada saat ini adalah orang-orang asing non-warga negara Singapura, yang kebanyakan berasal dari negara-negara lain di Asia.
Perubahan demografis ini telah mendorong para ‘heartlanders’ (orang yang lahir dan dibesarkan di Singapura) yang biasanya tenang dan juga para ‘cosmopolitans’ (orang yang tidak memiliki prasangka terhadap orang dari negara lain) yang mengecap pendidikan gaya Barat, biasanya mengikuti pemerintah, dan cenderung berpikiran terbuka, untuk berbicara, dengan mode yang bervariasi, mulai dari diskusi lewat internet yang menghasut untuk mendukung partai-partai oposisi. Data pemilihan dan opini menyiratkan bahwa generasi muda dari kelas menengah etnis Tionghoa yang berpendidikan baik – mungkin penerima manfaat-manfaat dari kebijakan PAP – merupakan yang paling skeptis terhadap partai pada saat ini (Fetzer 2008: 136). Dinyatakan di berbagai karya, mulai dari film hingga fiksi, blog-blog, isu-isu tersebut misalnya kecenderungan negara terhadap tenaga kerja asing yang terampil menimbulkan ketidaksenangan: para pendatang ini dipandang akan mengambil pekerjaan tanpa perlu melaksanakan kewajiban pelayanan nasional layaknya warga negara Singapura, dan kelihatannya menikmati perlakuan dan bantuan istimewa (Ortmann 2009, 37-41). Bahkan, penduduk bukan warga negara dalam jumlah yang berarti secara etnis memihak pada kelompok minoritas lokal, mengundang prasangka-prasangka yang telah berurat akar.
Mobilisasi di sekitar ketidakadilan
Ketidakadilan atau frustasi ekonomi jelaslah bukan satu-satunya hal yang membuat warga negara susah hati. Di Malaysia sebagai contoh, seruan untuk islamisasi atau hak-hak bersama mungkin bertabrakan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan material, tetapi mencerminkan sebuah premis yang berbeda dan mungkin akan mengganggu sejumlah anggota warga negara. Akan tetapi, ketidakadilan ekonomi telah menjadi sangat menonjol, dan menantang secara legitimasi, dasar dari mobilisasi di kedua negara.
Pada saat yang sama, internet menawarkan ruang publik yang baru untuk menyuarakan dengan jelas alternatif-alternatif. Singapura termasuk salah satu masyarakat dengan tingkat akses internet tertinggi di dunia: tidak hanya 3/4 dari seluruh penduduk Singapura memiliki akses internet, tetapi 97 persen dari penduduk berusia 15-19 tahun menggunakan internet secara teratur dan 80 persen dari mereka yang berusia 25-34 tahun merupakan pengguna Facebook (Kemp 2012b). Sekitar 60 persen dari penduduk Malaysia juga memiliki akses internet, dan 90 persen di antara mereka mengakses situs-situs media sosial (Kemp 2012a). Media-media berpengaruh di kedua negara dikendalikan dengan ketat: keberadaan media berbasis internet membuka akses terhadap informasi, diskusi, dan mobilisasi, karena untuk menyenangkan hati para investor, kedua negara membatasi sensor atas internet (Weiss 2014a).
Protes-protes yang terjadi baru-baru ini di Singapura dan Malaysia sebagian besar telah diorganisasi dengan menggunakan internet. Ketika sebuah dokumen pemerintah Singapura mengungkapkan dengan jelas rencana rezim untuk meneruskan perekruitan tenaga kerja asing secara cepat untuk mengimbangi populasi lokal yang terus berkurang, kemarahan secara luas atas apa yang dianggap sebagai ancaman atas pekerjaan-pekerjaan lokal dan kualitas kehidupan (sebagai contoh kepadatan lahan Singapura yang sangat terbatas) menemukan jalan keluar melalui media berbasis internet. Kritik-kritik di dunia maya melahirkan munculnya protes di dunia nyata, misalnya ketika penggiat-penggiat anti imigrasi menggunakan Facebook untuk mengorganisir dua dari aksi protes terbesar di Singapura selama beberapa dekade terakhir pada awal 2013. Dampak dari keluhan-keluhan sosial ini sedemikian dahsyat sehingga memaksa pemerintah PAP untuk memperluas keuntungan spesifik yang hanya diterima oleh warga negara Singapura, dibandingkan atas apa yang diterima para migran (sebagai contoh dalam hal sekolah). Partai-partai politik oposisi juga telah diuntungkan. Liputan berbasis internet mengenai berbagai pengumpulan massa dan mimbar mereka selama kampanye tahun 2011 tidak hanya memperluas jangkauan dari pesan-pesan mereka (kebanyakan di antaranya merupakan isu yang berkaitan dengan pekerjaan), tetapi sepertinya telah mendorong lebih banyak orang untuk turut mengambil bagian secara pribadi di dalam aksi-aksi oposisi, dan untuk memilih partai-partai tersebut.
Juga serupa di Malaysia, kenaikan sebesar 23 persen di kalangan pemilih baru di dalam pemilihan tahun 2013 dibanding pemilihan sebelumnya tidak pernah dijumpai sebelumnya. Sebagian besar dari pemilih-pemilih baru ini mungkin merupakan orang-orang muda, melek internet, dan cenderung berpihak kepada oposisi- secara luas diduga berhubungan dengan berita-berita dan diskusi-diskusi menggunakan internet, juga protes-protes massa baru-baru ini yang sebagian besar diorganisasi dengan menggunakan internet, yang terbesar di antaranya adalah untuk “Bersih”, yaitu koalisi untuk pemilihan yang bersih dan jujur. Pokok dari ideologi oposisi adalah pemerintahan yang baik – juga merupakan tema inti bagi “Bersih” – dan menentang korupsi, akan tetapi janji-janji utama yang ditekankan oleh oposisi pada kampanye tahun 2013, secara sempit berkaitan dengan ekonomi, yang diajukan kepada warga dengan basis kelas menengah yang cemas, misalnya janji akan pendidikan tinggi dan akses internet nirkabel secara gratis, penurunan tarif jalan tol dan harga bensin, dan sejenisnya. Upaya untuk mengimbangi pesan-pesan ini adalah liputan-liputan dengan gambar yang mencolok atas angota-anggota BN (tidak terkecuali perdana menteri beserta istrinya) sebagai kroni-kroni yang tamak dan dengan kekayaan yang mencurigakan.
Berbagai implikasi terhadap rezim
Di terbitan lain penulis telah menyatakan bahwa perkembangan-perkembangan ini mungkin memiliki implikasi yang cukup berarti terhadap hakikat dari rezim-rezim campuran ini (Weiss 2014b),. Electoral authoritarianism di Malaysia dan Singapura berdasarkan atas sebuah dasar tentang partisipasi yang aktif tetapi terkendali secara terbatas dan juga persaingan yang terkendali – jauh dari tipe ideal ‘polyarchy’ (sistem pemerintahan dengan pembagian kekuasaan) yang dikemukakan oleh Robert Dahl (Dahl 1971). Kegagalan negara berkembang untuk mempertahankan keuntungan-keuntungan yang dijanjikan itu, di dalam batas-batas mutlak atau relatif, tidak hanya mendorong politik dengan keterlibatan yang lebih besar, tetapi juga telah mendorong peserta-peserta baru menjadi pejabat pemerintah dan isu-isu baru ke dalam agenda-agenda kebijakan. Percampuran dari rezim membutuhkan suatu tingkatan kesepakatan yang tinggi dengan status: kepercayaan bahwa apa yang membatasi ‘demokrasi’ adalah cukup, tanpa keharusan untuk paksaan yang terlalu terang-terangan untuk memaksa pelaksanaan. Meningkatnya wilayah dan lingkup keterlibatan, dan munculnya suara-suara politik yang baru, kemungkinan akan menyebabkan sejenis persaingan yang meningkat yang telah nyata pada saat ini atau kegagalan pemerintah untuk memadamkan semangat itu – respon yang terakhir ini lebih tidak mungkin karena adanya mungkin dapat mengganggu mitra dagang atau investor-investor, atau mendorong yang terbaik dan paling berbakat untuk beremigrasi. Masing-masing skenario mendorong rezim pada suatu keadaan statis yang baru, akan tetapi menempa suatu jalan menuju pergantian rezim. Dipacu oleh kecemasan dan hal-hal yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya yang diwakili oleh ruang politik yang baru, tantangan di dalam pemilihan baru-baru ini membuat jelas tentang suatu pergeseran yang lebih dalam dan lebih luas yang tengah berlangsung, menuju suatu tatanan politik yang diperebutkan dan memungkinkan lebih banyak partisipasi di kedua negara dengan rezim campuran ini.
Meredith L. Weiss
Universitas Negara Bagian New York, Albany
Issue 17, Kyoto Review of Southeast Asia, March 2015
Bibliography
Dahl, Robert A. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven: Yale University Press.
Fetzer, Joel S. 2008. ‘Election Strategy and Ethnic Politics in Singapore’. Taiwan Journal of Democracy 4, no. 1: 135-53.
Gomez, Edmund Terence, Johan Saravanamuttu and Maznah Mohamad. 2012. ‘Malaysia’s New Economic Policy: Resolving Structural Inequalities, Creating Inequities?’ In The New Economic Policy in Malaysia: Affirmative Action, Ethnic Inequalities and Social Justice, edited by Edmund Terence Gomez and Johan Saravanamuttu. 1-28. Singapore: NUS Press/ISEAS; Petaling Jaya: SIRD.
Kemp, Simon. 2012a. ‘Social, Digital and Mobile in Malaysia’. We Are Social, 4 Jan. http://wearesocial.net/blog/2012/01/social-digital-mobile-malaysia/.
––––. 2012b. ‘Social, Digital and Mobile in Singapore’. We Are Social, 5 Jan. http://wearesocial.net/blog/2012/01/social-digital-mobile-singapore/.
Lee Hsien Loong. 2011. ‘Speech by Prime Minister Lee Hsien Loong at the Debate on the President’s Address, 20 October 2011 at Parliament’. Prime Minister’s Office. http://www.pmo.gov.sg/content/pmosite/mediacentre/speechesninterviews/primeminister/2011/October/Speech_by_Prime_Minister_Lee_Hsien_Loong_at_the_Debate_on_The_President_Address.html#.UjxLXBbGlz8.
Lee Hwok-Aun. 2013. ‘Is Inequality in Malaysia Really Going Down? Some Preliminary Explorations’. Paper presented at World Economics Association Conference on the Inequalities in Asia: 27 May to 12 July. http://iiaconference2013.worldeconomicsassociation.org/is-inequality-in-malaysia-really-going-down-some-preliminary-explorations/.
OECD. 2011. Divided We Stand: Why Inequality Keeps Rising. Paris: OECD Publishing.
Ortmann, Stephan. 2009. ‘Singapore: The Politics of Inventing National Identity’. Journal of Current Southeast Asian Affairs 28, no. 4: 23-46.
Statistics Singapore. ‘Key Household Income Trends, 2012’. Department of Statistics Singapore (February 2013). http://www.singstat.gov.sg/Publications/publications_and_papers/household_income_and_expenditure/pp-s19.pdf.
Tan, Eugene K. B. 2003. ‘Re-Engaging Chineseness: Political, Economic and Cultural Imperatives of Nation-Building in Singapore’. China Quarterly 175 (Sept.): 751-74.
Weiss, Meredith L. 2014a. ‘New Media, New Activism: Trends and Trajectories in Malaysia, Singapore, and Indonesia’. International Development Planning Review 36, no. 1: 91-109.
––––. 2014b . “Of Inequality and Irritation: New Agendas and Activism in Malaysia and Singapore.” Democratization 21, no. 5: 867-87.
Notes:
- Argumen di sini sebagian besar didasarkan atas Weiss 2014, yang menawarkan diskusi dan analisis secara lebih luas dan mendalam. ↩
- Statistics Singapore, ‘Key Household Income Trends’, 12; OECD 2012, 22. ↩
- World Bank, GINI index, http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.GINI ↩
- http://data.worldbank.org/indicator/FP.CPI.TOTL.ZG, diakses pada 29 Maret 2014. ↩