Seraya kartun ditujukan sebagai alat kritik berbagai masalah masyarakat secara halus, komik dilihat sebagai bentuk hiburan yang terjangkau, yang dimanfaatkan oleh masyarakat Filipina untuk melepaskan diri dari realitas kehidupan kerja. Meski demikian, Reyes melihat bahwa tema-tema yang lebih dominan di komik tidak hanya berkaitan dengan fantasi, tetapi juga mengandung aspek-aspek realitas. Seniman komik mengubah media ini dari sesuatu yang menyediakan tawa, menjadi suatu genre bercerita. Dari tahun 1930-an sampai tahun 1980-an, berbagai genre dimasukkan ke dalam repartie (menjawab dengan cepat) komik seperti cerita roman, fiksi-sains, cerita untuk orang dewasa, telah mampu menggantikan sastra Filipina seperti hikayat, syair kepahlawanan, novel, cerita pendek, awit, dan corridor, dengan efektif. Daya tarik komik tidak hanya berasal dari daya jangkaunya, tetapi juga dari bahasa yang digunakan, dan gambar-gambar yang melengkapi teks-teks tersebut. (Reyes, 1985)
Seraya media menjadi matang, media juga memperluas fungsinyahingga mencakup fungsi edukasi/pendidikan. Setelah masa pendudukan Jepang, sejumlah seniman komik mulai membuat berbagai cerita tentang perang. Salah satu dari karya paling awal adalah ‘Lakan Dupil: Ang Kahanga-hangang Gerilya’ milik Antonio yang diterbitkan di majalah Liwayway pada Maret 1947. Terlepas dari fakta bahwa seri tersebut berpusat pada karakter fiktif, cerita tersebut memiliki latar masa pendudukan Jepang dan mengupas isu-isu seperti kegiatan gerilya, pengkhianatan Kalibapi, dan penyiksaan oleh Kempeitai. Firma penerbitan komik terbesar di Filipina, Ace Publications, Inc., menerbitkan karya yang keenam, Educational Klasiks. Hal tersebut bermula pada 11 Januari 1960 dengan tujuan untuk menjadi alat baca pelengkap untuk sekolah negeriswasta (Komiklopedia, 2007).
Terlepas dari keberadaan komik bertema sejarah, diperlukan waktu sebelum para pembaca mulai menggunakan komik untuk tujuan pendidikan. Salah satu dari yang paling awal adalah ‘Florante at Laura’ karya Balagtas yang diadaptasi oleh Ped C. Tiangco dan digambar oleh Mike C. Lombo pada tahun 1965. (Balagtas, 1965) Komik ini berkembang mengadaptasi novel karangan Jose Rizal yaitu ‘Noli Me Tangere’ dan ‘El Filibusterismo.’ Walaupun kedua novel ini dikarang dalam bahasa Spanyol, Noli Me Tangere diadaptasi ke dalam bahasa Filipina sementara El Filibusterismo diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. (Rizal, Noli Me Tangere, 1961)(Rizal, El Filibusterismo, 1956) Satu tujuan dari pengadaan karya komik ini adalah untuk memungkinkan lebih banyak masyarakat umum dalam menikmati karya sastra klasik, karena versi komik lebih murah (harga komik berkisar Rp. 10000-20000, dibandingkan harga novel berkisar Rp. 100000-200000). Tujuan yang lain adalah untuk menggerakkan minat para pembaca, dan dengan harapan mendorong mereka untuk membaca karya sastra yang asli. Akan tetapi, ketika seseorang mengacu pada penggunaan komik edukasi pada saat ini, mereka berfungsi sebagai ‘cliffnotes (semacam panduan belajar)’ bagi siswa-siswa yang masih muda yang tidak berniat membaca versi asli yang ditulis dalam bahasa yang kaku. Tata letak panel dan gambar-gambar yang menyertainya membuat media komik ini mudah diatur oleh siswa sebagai pembaca. Dengan demikian, sayangnya, menciptakan generasi siswa yang tidak akan membaca karya sastra yang diadaptasi komik.
Satu bentuk lain dari komik edukasi adalah komik sejarah yang memperkenalkan sejumlah tokoh sejarah terkenal kepada para siswa didik. Komik ini memiliki fungsi yang sama dengan tipe komik sebelumnya, yang memungkinkan siswa untuk mengenal tokoh sejarah terkenal dan peristiwa bersejarah tanpa berurusan dengan bahan pelajaranyang sering kali kering. Contoh dari komik ini antara lain adalah ‘Lapu-Lapu’ karya Coching yang diterbitkan sebagai seri yang terdiri atas 25 bagian di Pilipino Komiks dari November 1953 sampai September 1954, yang lalu dikompilasi dan diterbitkan ulang oleh Atlas Publishing pada 2009. (Samar, 2013) National Bookstore menerbitkan ‘Filipino Heroes Comic Series (Seri Komik Pahlawan Filipina)’ selama tahun 1970-an, menampilkan sejumlah tokoh seperti Marcelo H. del Pilar, Datu Puti, dan politikus seperti Jose Abad Santos, Sergio Osmena, semuanya ditulis oleh M. Franco. Popularitas dari seri ini mendorong perusahaan penerbitan yang lain, Merrian Webster untuk menerbitkan seri mereka sendiri yang ditulis oleh Mario ‘Guese’ Tungol pada tahun 1988.
Belakangan ini, dapat diamati kemunculan satu bentuk yang berbeda dari komik edukasi. Satu contohnya adalah ‘Mythology Class (Kelas Mitologi)’ karya Arre yang, sebagaimana tergambar dari judulnya, berkaitan dengan mitologi-mitologi Filipina. Arre menggunakan konsep-konsep budaya di dalam sebuah latar fiktif yang menghibur para pembaca, dan mendorong mereka untuk menyelidiki kebenaran dari cerita tersebut. ‘Mythology Class’ menggunakan beragam mahluk fantasi dari cerita rakyat dan menjelaskan bagaimana kepercayaan lokal ini dilupakan karena konversi agama menjadi Katolik. Seri ini pada awalnya dipublikasikan pada 1999, dan dikompilasi menjadi sebuah novel bergambar pada 2005. Komik ini memperoleh Penghargaan Buku Nasional untuk kategori Buku komik oleh Manila Critics Circle pada tahun 1999.
Genre ini mulai menjadi populer kembali seraya Petempuran Mactanditafsir-ulang ke dalam komik oleh Juan Palolo Ferrer dan Chester Ocampo di dalam karya mereka ‘Defiant: The Battle of Mactan (Melawan: Pertempuran Mactan)’ yang memperoleh tempat ketiga pada ajang Penghargaan Grafik / Fiksi Filipina yang pertama. Institut untuk Vulkanologi dan Seismologi Filipina (PHILVOLCS) bekerjasama dengan JICA-Manila menghasilkan komik yang bertujuan pendidikan tentang bencana alam dengan menampilkan cerita tentang seorang ibu rumah tangga Filipina yang mengalami secara langsung bencana Gempa dan Tsunami Jepang 2011.
Meski demikian, terlepas dari kesuksesan komik edukasi ini, genre ini tidak digunakan secara aktif di sekolah seperti yang diniatkan oleh para pengarang komik tersebut. Sementara tokoh-tokoh golongan terpelajar seperti Soledad Reyes dan seniman seperti Gery Alanguilan, menyadari dan menulis tentang kegunaan komik di dalam bidang pendidikan, akan diperlukan waktu sebelum sektor pendidikan akan memikirkan untuk menggunakan komik.
Ini tidak mencegah para seniman untuk menciptakan lebih banyak komik edukasi. Satu perusahaan penerbit buku komik yang baru, Black Ink Comics, merilis satu buku ‘Pepe: The Lost Years of Rizal, (Pepe: Tahun-tahun yang hilang dari Rizal)’, ditulis oleh Ron Mendoza yang menggambarkan Rizal muda di dalam narasi fiksi. Sementara penafsiran dengan gaya steampunk oleh Gerry Alanguilan menghasilkan karya yang mengagumkan ‘The Marvelous Adventures of the Amazing Dr. Jose Rizal, (Petualangan-petualangan menakjubkan dari Dr. Jose Rizal)’ yang mulai ia kerjakan semenjak tahun 2007. Lebih jauh lagi, Tepai Pascual menafsir-ulang cerita Lapu-Lapu di dalam hasil karyanya Maktan 1521.
Baru-baru ini, sebuah komik online yang diberi judul ‘Dead Balagtas’ merintis komik yang memadukan humor, peristiwa bersejarah, dan referensi budaya populer. Komik tersebut dikerjakan oleh Emiliana Kampilan dan website dari komik tersebut dikelola oleh teman-temannya Maria Lorenza dan Vernice del Rosario. Satu fakta yang menarik mengenai seri ini adalah pengerjaannya dilakukan oleh wanita, yang sampai pada tahun belakangan ini merupakan minoritas di dalam dunia komik. Lebih jauh lagi, komik tersebut memberikan penghormatan pada akar-akar dari komik Filipina dengan menerbitkan komik-komik lelucon non-sequitur (suatu kesimpulan yang tidak mengikuti dasar pendapat), serupa dengan komik Kenkoy. Seraya pembaca membaca seri tersebut, pembaca akan menemukan ketidakhormatan pengarang komik atas fakta sejarah ditandai dengan penggunaan referensi budaya populer yang sangat sering. Hasil karya tersebut kelihatannya tidak memiliki nilai edukasi sampai pada ketika pembaca menyadari bahwa referensi itu bertujuan untuk memberi rasa keterikatan atas peristiwa bersejarah dan tokoh sejarah terkenal bagi pembaca yang tidak memiliki ketertarikan atas sejarah Filipina. Komentar-komentar pengarang akan mengajak para pembacanya untuk menyelidiki lebih jauh peristiwa atau tokoh di dalam cerita, terutama apabila mereka tidak memahami suatu lelucon.
Ruang lingkup dari seri tersebut beragam mulai dari penjajahan Spanyol sampai pada era pasca-perang. Seperti halnya kebanyakan seniman yang berurusan dengan komik edukasi, Jose Rizal menjadi salah satu dari tokoh sejarah yang ditampilkan dalam komik karya Kampulan. Selama hari Rizal, 29 Desember 2013, ia menampilkan parodi perjuangan Jose Rizal dalam melakukan operasi atas mata ibunya. Meski, ia juga menulis di kolom komentar bahwa Rizal belajar di bawah arahan Dr. Louis De Wecker dan bagaimana ia benar-benar melakukan operasi atas ibunya pada dua kesempatan berbeda. (Kampilan, Rizal’s Super Advanced Surgery Skillz)
Satu pahlawan lain yang ia tampilkan adalah Andres Bonifacio. Digambarkan bagaimana Bonifacio dan para Katipunan mencari bantuan Jepang dengan meminta senjata untuk revolusi mereka melawan Spanyol. Sayangnya untuk beragam alasan transaksi pembelian senjata tersebut tidak berhasil. Di samping menulis tentang peristiwa ini, ia juga memberi komentar pendek mengenai Jose Moritaro Tagawa, orang Jepang yang membantu dalam negosiasi tentang pembelian senjata tersebut (Kampilan, Ibang tulong ang kailangan naming Kongo, 2013)
Satu tema popular lainnya adalah tentang Perang Dunia 2 dan pendudukan Jepang. Satu tampilan yang menarik adalah ilustrasi tentang isu yang sensitif yaitu tentang bagaimana orang Filipina mengkhianati sesama orang Filipina pada periode tersebut. Penggunaan budaya popular Jepang yang ia lakukan di dalam komik strip tanggal 2 Februari 2014, anime, membuat ringan topik berat tersebut untuk para pembaca. (Kampilan, Luis Taruc x Otaku 2014)
Kampilan menyebutkan bahwa salah satu yang menjadi sumber inspirasi kesukaannya atas sejarah adalah neneknya yang merupakan seorang pakar sejarah yang dapat menjelaskan mengapa ia juga menampilkan beberapa tokoh sejarah wanita di dalam strip komiknya. Ia membuat dua komik strip tentang Felipa Culala, seorang komandan skuadron Hukbalahap. (Kampilan, Showa Whitewash, 2013)(Kampilan, Abante Culala!, 2013) Wanita lain yang ia tampilkan adalah Josefa Llanes Escoda, pendiri organisasi kepanduan wanita Filipina, dan seorang pembela kebebasan bersuara bagi perempuan. Escoda dikenal sebagai ‘Florence Nightingale of the Philippines, (Florence Nightingale dari Filipina)’. (Kampilan, Surgery Mano Mano, 2014) Ia juga menampilkan Marcela Marino de Agoncillo, Melchora Aquino, dan Gabriela Silang.
Satu tampilan menarik dari komik strip tersebut adalah integritasnya terhadap karya sastra. Salah satu hasil karyanya memberi suatu referensi samar kepada syair pahlawan Ilocano ‘Biag ni Lam-ang.’ (Kampilan, untitled, 2013) Ia juga menampilkan karakter dari novel karya Rizal. (Kampilan, Clara, Join the Darkside of The Force, 2014) Ia juga memberitahu para pembaca komik stripnya bahwa mereka harus membaca karya sastra yang asli apabila mereka tidak memahami strip yang ia buat.
Sementara orang-orang yang senantiasa berpikiran negatif mungkin akan berpendapat bahwa komik strip tersebut ‘dangkal’, atau meyesatkan para pembacanya, karya-karya tersebut sebenarnya tidak dimaksudkan untuk 100% tepat menurutsejarah. Komik-komik ini dibuat tidak dengan tujuan untuk digunakan di ruang kelas, walaupun pengarang komik-komik ini akan senang apabila hal tersebut terjadi. Komik-komik tersebut mengingatkan saya pada kolum dua mingguan dari Ambeth Ocampo di Philippine Daily Inquirer, yang memberikan para pembacanya informasi sejarah untuk dipikirkan pada porsi yang sesuai. Terlepas dari kritik atas Ocampo untuk kualitas penelitiannya yang tidak baik, kolom yang ia buat memiliki basis pembaca yang besar. Para pembaca meliputi masyarakat umum dari berbagai lapisan, dan ini telah menyebabkan orang Filipina berpikir lebih jauh tentang sejarah mereka. Ocampo telah membuat sejarah Filipina dapat diakses oleh semua orang, dan tidak hanya oleh kaum terpelajar.
Kampilan juga melakukan hal yang sama dengan komiknya. Komik tersebut tidak membuat takut para pembacanya dengan bahasa akademik yang berlebihan. Ia justru menggunakan kombinasi dari bahasa Filipina, bahasa Inggris, dan bahasa jalanan (slang) dalam dialog yang muncul di dalam komiknya, yang menarik para pembaca terhadap karyanya. Selain leluconnya itu, komik strip tersebut diciptakan melalui proses berpikir dan penelitian yang panjang. Inilah sebabnya mengapa pembaca tidak berakhir dengan membaca komik itu belaka, tetapi dituntun pada proses berpikir dan penelitian tersendiri yang lebih jauh.
Komik edukasi telah mencapai kesuksesan, dan apa yang telah kita saksikan adalah satu seri dari perubahan-perubahan atas penciptaan komik tersebut. Meski Dead Balagtas karya Kampilan masih cukup baru, buku tersebut membuat saya merasa tertarik tentang bagaimana genre ini akan berekspansi dan berkembang pada masa yang akan datang, tidak hanya berkaitan dengan penciptaannya, tetapi juga berkaitan dengan penggunaannya.
Oleh Karl Ian Uy Cheng Chua
Fakultas Sejarah, Universitas Ateneo de Manila, Filipina
Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 16 (September 2014) Comics in Southeast Asia: Social and Political Interpretations
Daftar Pustaka
Balagtas, F. (1965). Florante at Laura. (P. C. Tiangco, Trans.) (Quezon City: Manlapaz Publishing Company).
Kampilan, E. (2013, December 29). Rizal’s Super Advanced Surgery Skillz. Dead Balagtas. Philippines.
_____(2013, November 30). Ibang tulong ang kailangan namin Kongo. Dead Balagtas . Philippines.
_____(2014, February 2). Luis Taruc x Otaku. Dead Balagtas. Philippines.
_____(2013, October 28). Showa Whitewash. Dead Balagtas. Philippines.
_____(2013, November 9). Abante Culala! Dead Balagtas. Philippines.
_____(2014, January 26). Surgery Mano Mano. Dead Balagtas. Philippines.
_____(2013, August 22). Untitled. Dead Balagtas. Philippines.
Komiklopedia. (2007, April 8). Educational Klasiks. Retrieved January 30, 2014, from Snapshot from .
Lent, J. (2004). From 1928 to 1993: The First 75 Years of Philippine Komiks. Comic Book Artist , 2 (4), pp. 74-95.
McCoy, A. W., & Roces, A. (1985). Philippine Cartoons: Political Caricature of the American Era, 1900-41. (Manila: Vera-Reyes).
Ocampo, A. (1990). Rizal: Father of Philippine Comics. In A. Ocampo, Rizal Without the Overcoat. (Pasig: Anvil Publishing).
Reyes, S. S. (1985). Romance and Realism in the Komiks. In J. Cynthia Roxas and Joaquin Arevalo
A History of Komiks of the Philippines and Other Countries (Quezon City: Islas Filipinas Publishing Co., Inc), pp. 47-52.
Rizal, J. P. (1956). El Filibusterismo. (G. R. Miranda, Trans.) (Mandaluyong National Book Store Publications).
_____(1961). Noli Me Tangere. (L. M. Dumaraos, Trans.) (Mandaluyong: National Book Store Publications).
Roxas, C., & Arevalo, J. J. (1985). A History of Komiks of the Philippines and Other (R. R. Marcelino, Ed.) (Quezon: Islas Filipinas Publishing Co., Inc.).
Samar, E. C. (2013, April 3). History and Heroism in Francisco V. Coching’s “Lapu-Lapu”.Retrieved January 31, 2014, from .
Villegas, D. (2011, June 12). Jose Rizal: Komikero. Retrieved January 23, 2014, From <http://myrizal150.com/2011/06/jose-rizal-komikero/>.