Site icon Kyoto Review of Southeast Asia

Atas Nama Rakyat: Sihir dan Kekuatan misteri dalam Tata kelola Kesehatan di Thailand

Pada September 2014, Jenderal Prayuth, pemimpin kudeta militer baru-baru ini, mengumumkan pada sebuah pertemuan pemerintah tingkat tinggi bahwa dia telah menjadi korban serangan sihir oleh kekuatan yang menentang pemerintahan militer. Sebuah surat kabar lokal mengabarkan bahwa dia menghubungkan sakit tenggorokan dan sakit di lehernya dengan “ilmu hitam” – sayasaat – tetapi mereka yang menghadiri pertemuan tersebut tidak perlu khawatir, karena dia telah mengirimkan kutukan-balasan kepada mereka yang mengharapkan pemerintahannya menjadi buruk.

Sejumlah ahli kesehatan Thailand di sebuah lembaga negara tempat saya melakukan penelitian lapangan etnografi sejak tahun 2011 menyarankan bahwa liputan media tentang kutukan dan kutukan-balasan oleh Jenderal Prayuth tidak perlu dipercaya; bahwa, meskipun seruan sihir dalam politik seringkali muncul di media Thailand, sayasaat tidak memiliki tempat yang nyata dalam dunia politik. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua sihir juga disangkal keberadaannya. Kim, salah seorang ahli di lembaga itu, mengatakan, “sayasaat adalah tentang kekerasan dan keserakahan. Hanya orang yang mudah ditipu [ngom-ngai] dan tidak berpendidikan yang akan dibodohi oleh hal tersebut.” Namun pada saat yang sama, dia mengakui bahwa memang ada, “beberapa orang mempunyai kekuatan luar biasa.” Merujuk pada istilah barami, Kim menyatakan bahwa kerajaan, dewa-dewa, biarawan dan Buddha semuanya adalah tempat penyimpanan barami, kekuatan dari mereka yang menjadi sumber dari segala kearifan.

Para peneliti dalam kajian tentang Thailand sering menerjemahkan barami sebagai kehormatan, karisma, atau kekuatan kosmis (lihat Gray 1986, Johnson 2013, Jory 2002), tetapi Kim menggambarkan kepada saya (dalam bahasa Inggris) dengan sederhananya sebagai “keagungan”. Ini mengacu pada kekuatan manusia luarbiasa, yaitu mereka yang bertindak sesuai dengan atau menetapkan hukum alam semesta – dharma. Dalam tradisi Theravada, seorang raja yang kebetulan memiliki banyak barami menggunakan pengaruhnya tidak hanya pada masyarakat, tetapi juga terhadap penyakit, hujan dan hasil pertanian karena kekuatan istimewanya memancar keluar dari dalam dirinya kepada sekelilingnya (Gray 1986:236). Oleh karena itu, “keagungan” mengacu pada kemampuan raja-raja istimewa untuk menyambung jarak antara hukum buatan manusia dan dharma; mereka menyatu secara politik yang diciptakan baik dan mutlak, “alami,” baik di bawah amanat umum dari pemerintahan yang adil.

Di sini, saya mengikuti saat-saat pemikiran sihir dalam politik Thailand tidak untuk memberikan stigma yang buruk akan hal itu sebagai sesuatu yang tersembunyi, tetapi untuk menunjukkan bagaimana penyangkalan politik melalui peralihan sumber-sumber kebenaran yang utama oleh lembaga-lembaga negara mempunyai kaitan dengan keadaan di Thailand dan juga di luar itu.

Kim sering menjelaskan kepada saya bagaimana keagungan raja dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Menunjuk pada pengaruh yang merusak dari kapitalisme maju di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, dia berpendapat bahwa Thailand bernasib lebih baik karena campur tangan raja.

“Raja Thailand memberikan kami gagasan tentang kecukupan. Falsafah keagungannya tentang kecukupan mengajarkan kami untuk berhenti membuntuti orang-orang Barat [tam kon farang]. Falsafahnya itu memberitahu kami untuk menghormati tradisi agama Buddha dan untuk mengingat bahwa menginginkan iPhone baru, menginginkan kehidupan yang dimiliki orang-orang di kota besar, menginginkan apa yang tetangga kamu miliki hanya dapat menyebabkan kesengsaraan. Dia menyelamatkan kami dari penderitaan penyakit sosial yang mempengaruhi masyarakat Barat. Farang (orang asing) berpikir hanya dalam hal apa yang masuk akal secara ekonomi, mereka tidak peduli dengan apa yang membuat moral, alam, atau spiritual masuk akal,” katanya.

Merujuk orang Barat sebagai farang, Kim menceritakan kembali pandangan umum di kalangan pendukung raja bahwa Raja Bhumibol, yang sering disebut sebagai “ayah,” berjuang melawan pengaruh dari luar dan orang-orang di dalam negeri untuk mengarahkan negara menjauh dari pengaruh kapitalisme yang melampaui batas dan merusak dengan mengajarkan nilai-nilai konsumerisme yang berkesadaran. Dia dengan bangga mendukung pengakuan seorang pejabat senior kesehatan di Thailand yang menempatkan ajaran raja tentang “Filosofi Ekonomi yang berkecukupan” (Sufficiency Economy Philosophy, SEP) sebagai konsep/gagasan asli yang mengilhami model tata-kelola berbasis kesehatan dari WHO.

Meskipun pemahaman WHO tentang tata-kelola kesehatan pemerintahan dipisahkan dari kerangka agama Buddha akan pemahaman Thailand tentang gagasan ini, keduanya mendukung untuk memikirkan kembali kepentingan ekonomi dan politik yang pada dasarnya dibatasi oleh proses lingkungan dan biologi. Kedua model tersebut berpendapat bahwa pemerintahan yang didorong oleh persaingan global untuk kekuatan ekonomi dan politik cepat atau lambat harus menjawab keadaan yang menantang kebahagiaan dan kesejahteraan. Keduanya menawarkan bentuk pemerintahan yang “benar”, yang berpusat pada teknokrat yang mampu mempertimbangkan hasil-hasil biologis alam dalam proses pembuatan kebijakan.

Memang, kesamaan antara SEP dan gagasan WHO untuk membuat, seperti yang WHO katakan, “kebijakan yang sehat,” telah menjadi landasan bagi kudeta sebelumnya di Thailand, pada tahun 2006. Pemimpin junta pada saat itu, Surayud Chulanot, menempatkan ahli kesehatan seperti Kim di muka dan pusat dari reformasi politik mereka dan melangkah lebih jauh dalam mengabadikan prakarsa WHO untuk tata kelola kesehatan bersama dengan SEP raja dalam undang-undang baru.

Prime Minister Prayut Chan-o-cha showing a collection of Buddhist amulets he wears around his neck during a press interview at Government House in Bangkok.

Bangkitnya lembaga negara seperti lembaga tempat Kim bekerja itu terjadi pada saat yang bersamaan dengan apa yang disebut sebagai “perubahan moral” yang diberlakukan oleh pemerintahan militer Surayud. Menghadapi perdana menteri terpilih, Thaksin Shinawatra, yang menyamakan negara seperti perusahaan dan dirinya sebagai pimpinan perusahaan, junta Surayud menyoroti dampak lingkungan, sosial dan kesehatan yang negatif dari pemerintahan Thaksin sebagai bukti bahwa tata-kelola yang digerakkan oleh keuntungan melampaui batas alamiah dari keserakahan manusia. Setelah mengangkat dirinya sendiri sebagai penjaga kesehatan bangsa dengan persetujuan raja, pemerintah militer sementara membenarkan kudeta tersebut sebagai “kejahatan yang diperlukan” untuk menghadapi keserakahan. Thaksin, menurut mereka, mengutamakan ekonomi dan mengabaikan dharma – sifat dan kebenaran dari sesuatu, dan karenanya itu, dalam ketidakpeduliannya akan kebenaran ini yang mendasari hukum dan ketertiban alam semesta gagal melindungi bangsa dari kerusakan lingkungan, penyakit dan perselisihan sosial.

Tom, ahli kesehatan lain di badan kesehatan negara, menyatakan dukungannya terhadap pandangan dan keraguan Surayud akan demokrasi Thailand setelah negara kembali ke pemerintahan sipil pada tahun 2011. “Thailand belum siap,” katanya, dan dia menjelaskan bahwa demokrasi dapat berjalan baik di negara-negara Barat, tetapi itu hanyalah khayalan dalam keadaan Thailand saat ini. Menurut Tom, masyarakat umum kurang “arif” dan rentan atas para politisi egois yang menipu rakyat untuk memilih mereka. Hanya “orang-orang baik” – orang-orang yang sehat, yang artinya sama seperti orang yang memiliki kearifan, orang-orang yang dapat membuat keputusan yang akan menghasilkan hal-hal yang sehat “baik” sesuai dengan hukum kosmis – dapat mengembalikan keyakinan pada negara Thailand: “orang-orang baik” seperti diri mereka sendiri, para ahli kesehatan.

Mengikuti program WHO tentang “pengetahuan masyarakat [saat] kekuasaan dan wewenang tidak lagi dipusatkan pada pemerintahan” (Kickbusch dan Gleicher 2012: vi), para ahli kesehatan negara seperti Tom dan Kim yang saya perkenalkan di sini membuktikan bahwa hanya mereka yang tidak terlibat langsung dalam pembuatan keuntungan politiklah yang dapat membuat kebijakan-kebijakan untuk kepentingan bersama. Baik SEP raja maupun gagasan WHO tentang tata-kelola kesehatan memperbolehkan para ahli kesehatan untuk membuat khayalan diri sebagai manusia yang netral dan objektif yang dapat melakukan campur tangan atas nama rakyat.

Di sini, kita melihat apa yang pada mulanya tampak seperti teknokrasi model klasik, sebuah pengaturan pasca-politik yang menggantikan ruang politik yang tepat dengan ukuran dan pengelolaan kesehatan. Tetapi, seperti yang saya sarankan di bagian pembukaan, ada hal lain dari gagasan pemerintahan menurut Kim, yaitu pemerintahan yang bergantung pada kekuatan misterius barami. Barami, tidak seperti keahlian, tidak dapat didapatkan atau dipelajari. Itu mengacu pada kemampuan bawaan lahir pada orang-orang tertentu untuk menegakkan dharma. Jadi, para ahli adalah mereka yang mengaku dapat mengenali barami dan dikenali olehnya. Dengan demikian, teknokrasi (pengelolaan kehidupan masyarakat yang dilakukan oleh teknokrat) yang dibayangkan oleh para ahli ini adalah satu bentuk pemerintahan yang di dalamnya setiap ahli dalam berbagai derajat kesarjanaannya, menyalurkan kekuatan kosmis dari raja terdahulu – beliau sendiri digolongkan sebagai pimpinan ahli tertinggi. Hubungan antara pengetahuan para ahli dengan barami ini dilambangkan secara kentara oleh kaum terdidik Thailand dalam foto yang tergantung di dinding mereka.

Ketika raja menyerahkan semua gelar kesarjanaan (sebuah tugas yang kemudian dilimpahkan kepada para anggota keluarganya), upacara pemberian gelar tersebut berfungsi ganda yaitu untuk membuktikan selesainya pendidikan dalam displin ilmu tertentu serta menganugerahkan sebuah amanat kepada setiap penerima gelar, yang disikapi dengan sangat serius oleh mereka yang terlibat. Apa yang selamanya terekam dalam foto adalah sebuah gambaran diri mereka dengan tangan terulur yang menerima ijazah dari tokoh yang diposisikan berada di atas mereka. Sebuah tautan yang aneh muncul antara rakyat dan raja di panggung yang ditinggikan itu. Pada saat itulah ijazah menghubungkan keduanya, sebuah tautan yang menghubungkan kesenjangan antara mereka yang mencari ilmu pengetahuan dan mereka yang menjadi sumber kebenaran muncul.

Saat keajaiban barami menjadi pelumas dalam mekanisme politik yang dinaturalisasikan di Thailand, orang dapat berpendapat, mengikuti para pemikir pasca-politik (bandingkan dengan Badiou 2008; Rancière 2006; Žižek 2006), bahwa gagasan WHO tentang tata-kelola kesehatan itu sendiri bergantung pada fetisisme akan pengetahuan dan praktek ilmiah seperti yang diberkati dengan kekuatan untuk menjawab semua hal yang dianggap sebagai tata-kelola yang baik. Seperti yang Ernesto Laclau (1996) katakan, gagasan tentang politik muncul persisnya karena masyarakat dibangun berdasarkan atas ketiadaan komponen, tidak adanya hukum absolut yang membawa masyarakat bersama-sama. Tetapi saat lubang lebar dalam kehidupan sosial ini memastikan kehidupan politik, hal itu menjadi tidak berguna bahwa para ahli kesehatan berusaha untuk bergantung pada barami dan pengetahuan ilmiah. Menurut para ahli seperti Tom, kurangnya landasan moral dalam kehidupan sosial yang memperkenankan politisi korup seperti Thaksin untuk menyalahgunakan massa. “Ada pengetahuan yang tepat,” kata Yok, ahli lainnya dari satu lembaga negara. “Namun,” lanjutnya, “orang lebih suka mendengarkan orang-orang yang bisa memberi tahu mereka bagaimana caranya untuk menjadi cepat kaya.”

Namun, karena apa yang disebut “tepat” ini didasarkan pada kebenaran utama yang tidak terbuka di dalam debat publik, penanganan atas suara-suara yang berbeda disalahgunakan dalam bentuk penindasan yang kejam. Kekerasan ini terbukti dalam pembelaan Tom terhadap campur tangan militer terhadap rezim demokratis, tapi juga, dalam kekerasan massal baru-baru ini yang ditujukan terhadap orang-orang Thailand yang terlihat tidak berkabung atas wafatnya sang raja. Selama masa berkabung nasional, kepala sekolah menyita pakaian yang bukan berwarna putih ataupun hitam, dan dalam beberapa contoh kelompok pelayat memukul dan memaksa orang-orang yang diketahui ragu-ragu untuk sujud di depan foto sang raja (Gambar 1). Mengambil jalan kekerasan menunjukkan tidak hanya apa yang Tom lihat sebagai gagalnya orang-orang yang kurang memiliki kearifan untuk membuat “pilihan yang sehat” tetapi juga gagalnya mereka yang mengaku memiliki akses atas kebenaran melebihi semua kebenaran sosial. Seperti Hanna Arendt (1972) mengatakan, hanya mereka yang tidak memiliki kuasa untuk menghasilkan persetujuan harus bergantung pada kekerasan untuk memaksakan apa yang mereka anggap benar. Dan di sinilah beragam untaian yang berbeda itu bertemu. Meskipun Kim menolak kekuasaan yang didasarkan pada paksaan (seperti dalam sayasaatnya Prayuth), ia menganjurkan barami model campur-baur ini dan pengetahuan ilmiah yang global tersebut mendapati dirinya ditarik kembali ke sana sebagai sarana untuk melestarikan kebenaran yang seharusnya, dalam rumusan mereka, terbukti dengan sendirinya.

Saat Kim dan yang lainnya di lembaga kesehatan negara menyebut para pendukung Thaksin sebagai orang-orang yang sebagian besar mudah ditipu dan tidak berpendidikan yang dengan mudah terpikat oleh jenderal militer yang mencoba bermain dengan ilmu hitam dan oleh para politisi egois, ada banyak yang melihat para ahli kesehatan sebagai orang-orang yang terpesona oleh kekuatan bukan dari diri mereka sendiri. Telah terjadi peningkatan jumlah kasus lèsemajesté (anti kerajaan) sejak kudeta militer pada tahun 2006, dan meningkatknya kecaman yang diajukan terhadap lembaga-lembaga seperti tempat Kim bekerja karena mendukung kepentingan elite dengan mengatasnamakan kepentingan sebagian besar warganegara.

Michael Taussig mengingatkan kita bahwa sihir merujuk pada “pengetahuan akan pengetahuan itu sendiri yang harus tetap tidak dapat didalami agar pengetahuan itu menjadi ada” (1987: 262). Jadi, sihir, seperti yang Taussig katakan, hanya dapat berfungsi jika satu aspek penting dalam pemikiran dan pengetahuan harus tetap tersembunyi. Apa yang harus tetap tersembunyi bagi para ahli kesehatan ini adalah landasan dari barami. Hanya dengan menyembunyikan kebenaran ini, khayalan akan pemerintahan yang baik akan bisa terwujud.

Akan tetapi, gagasan akan apa yang bagus itu yang dapat mengatasi ketidakjelasan yang pokok dalam inti politik tersebut berada di luar Thailand. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa hal tersebut – dan juga mungkin sekali kekerasan yang mendasarinya – tersembunyi dalam persamaan fakta ilmiah, karena kebenaran yang tidak bersumber sejarah seperti itu mampu bertahan atas suasana politik dan ekonomi dari waktu ke waktu.

Daena Funahashi
Asisten Profesor, Koordinator Program Master dalam Antroplogi Medis/Kedokteran
Departemen Antropologi, Universitas Aarhus

Issue 22, Kyoto Review of Southeast Asia, September 2017

REFERENSI

Arendt, Hannah. 1972. Crises of the Republic. San Diego, California: Harcourt.
Badiou, Alain. 2008. The Meaning of Sarkozy. London: Verso.
Gray, Christine. 1986. Thailand: The Soteriological State in the 1970s. Ph.D. Dissertation: University of Chicago.
Johnson, Andrew Alan. 2013. “Moral Knowledge and its Enemies: Conspiracy and Kingship in Thailand” in Anthropological Quarterly 86(4): 1059-1086.
Jory, Patrick. 2002. “The Vessantara Jataka, Barami, and the Bodhisattva-Kings: The Origins and Spread of a Premodern Thai Concept of Power” in Crossroads: An Interdisciplinary Journal of Southeast Asian Studies 16(1):179-80.
Kickbusch, Ilona and David Gleicher. 2012. “Governance for Health in the Twenty-First Century.” Copenhagen: World Health Organization Regional Office for Europe. http://www.euro.who.int/en/publications/abstracts/governance-for-health-in-the-21st-century.
Laclau, Ernesto. 1996. “Deconstruction, Pragmatism, Hegemony.” In Deconstruction and Pragmatism. Chantal Mouffe (ed.), London: Routledge. hal. 47-68.
Rancière, Jacques. 2006. Hatred of Democracy. London: Verso.
Taussig, Michael. 1987. Shamanism, Colonialism and the Wild Man: A Study of Terror and Healing. Chicago: University of Chicago Press.

.

Exit mobile version