Budaya Populer Jepang di Asia Timur and Tenggara: Saatnya untuk Sebuah Paradikma Regional?

Nissim Kadosh Otmazgin

   

Selama dua dekade terakhir, produk-produk  budaya pop Jepang telah diekpor, diperdagangkan dan dikonsumsi secara besar-besaran diseluruh Asia Timur dan Tenggara. Berbagai jenis dari produk-produk ini secara sangat mudah didapat dan siap di pasaran khususnya di kota-kota besar wilayah ini. Sebagai contoh, banyak majalah fashion di Hongkong berasal dari Jepang, dalam versi asli ataupun dalam versi bahasa Canton. Buku-buku komik Jepang diterjemahkan secara rutin kedalam bahasa-bahasa Korea Selatan, Thailand, Indonesia dan Taiwan. Buku-buku ini mendominasi pasaran buku komik di Asia. Karakter-karakter animasi Jepang, seperti Hello Kitty, Anpan Man, dan Poke’mon dapat ditemui di mana-mana di pasar-pasar yang ada di kota-kota Asia, dalam bentuk mainan ataupun peralatan sekolah/kantor baik yang berlisensi maupun tidak. Animasi Jepang yang biasanya di alih bahasakan, merupakan animasi yang paling populer. Astro boy, Sailor Moon, dan Lupin merupakan bebapa contoh animasi yang sukses dan dapat ditemui di hampir semua toko animasi di Hongkong dan Singapura. Di kota-kota besar di Cina, saat ini setelah kegiatan yang menyangkut kegemaran atau hobby makin diterima, produk-produk budaya populer jepang dengan cepat memasuki toko-toko lokal, membuka pintu bagi penyebaran pasar budaya negaranya.

Keberhasilan budaya populer Jepang di Asia Timur dan Tenggara selama dua dekade terakhir telah menarik perhatian sejumlah banyak penulis untuk menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah tentang hal tersebut. Walaupun topik ini masih sering tidak ditanggapi dalam ilmu politik dan literatur hubungan internasional, topik ini mempunyai basis yang cukup kuat dalam pendidikan budaya, anthropologi, dan ethnografi. Kebanyakan tulisan berfokus pada permasalah khusus yang menitik beratkan pada permasalahan reaksi konsumen pada penyebaran budaya dalam hubungannya dengan perbincangan global-local (Alison 2000; Craig 2000; Ishii 2001; Iwabuchi 2004; Martinez 1998; Mori 2004; Otake dan Hosokawa 1998; Treat 1996). Sampai saat ini tidak ada penelitian yang menyajikan bukti-bukti empiris yang komprehensif tentang kapasitas pasar-pasar budaya Jepang yang baru terbentuk di Asia Timur dan Tenggara, ataupun penelitian yang mempelajari isu-isu ini dalam sebuah paradigma regional.

Bukanlah merupakan hal yang muskil untuk menganalisa banyak penelitian tentang disseminasi budaya populer Jepang dan semua gambaran yang ada dalam penelitian-penelitian tersebut, atau pun menganalisa kemampuan penulisnya untuk melihat permasalahan. Tetapi tulisan ini akan menyoroti beberapa pokok permasalahan mengenai teori dan analisa utama yang mereka gunakan, yang semuanya secara langsung menyentuh permasalahan pokok dalam menganalisa penyebaran budaya Jepang ke negara lain. Tujuan utamanya adalah untuk mengajukan sebuah paradikma regional dalam menganalisa disseminasi budaya di wilayah Asia Timur dan Tenggara, termasuk budaya populer Jepang.

Literatur yang ada: Semuanya Global

Kebanyakan penelitian tentang budaya populer Jepang di luar negeri terdiri dari sejumlah studi kasus yang berisi anekdot-anekdot dengan kecenderungan untuk memberikan hak istimewa kepada teks tersebut beserta hal-hal yang digambarkannya. Hal ini sebagian dapat dimengerti, karena ketertarikan terhadap sebuah disiplin khusus dalam akademik dan kurangnya informasi empiris yang comprehensif dalam bidang ini. Terbitan yang diedit oleh Timothy J. Craig  yang berjudul Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture (2000), merupakan contoh yang bagus. Buku ini mendiskusikan kesuksesan budaya populer Jepang di tahun 1990-an. Dalam tiga belas artikel terdepan terdapat analisa tekstual tentang musik Jepang, komik, animasi, program televisi, dan film-film, sementara empat artikel terakhir mendiskusikan tentang disseminasi komik, animasi dan artis-artis pop Jepang di luar negeri.

Contoh yang menarik lainnya adalah terbitan yang diedit oleh John Lent, Asian Popular Culture (1995), dan yang diedit oleh Timothy J. Craig dan Richard King, Global Goes Local: Popular Culture in Asia (2002). Buku-buku ini memuat analisa-analisa tentang produk-produk khusus dari budaya populer Jepang dan pangsanya, mengamati konteks-konteks dalam isi cerita, praktek, dan arti sosial secara luas. Contohnya dalam Asian Popular Culture, Ron Tanner mengamati pembuatan mainan animasi, proses ekspor ke Amerika, dan bagaimana mainan tersebut merefleksikan “kecenderungan negara (Jepang), paling tidak agenda pemerintah” dalam upaya untuk masa depan yang lebih cerah (100). Dalam edisi yang sama, Ito Kinko mempertanyakan tentang arti majalah komik mingguan di Jepang, di sini dia berargumen bahwa “ majalah komik merefleksikan kenyataan sosial tentang pekerjaan dan peran wanita, struktur kekuatan jender, dan standar ganda” (134). Sama halnya dalam Global Goes Local, Mark Mac Williams berpendapat bahwa komik terkenal Hi no tori (The Phoenix) karangan Osamu Tezuka secara tersirat merupakan “revisi dari kepercayaan orang Jepang“ . Ada banyak contoh lain seperti trend-trend ini yang telah diterbitkan. Seperti tulisan-tulisan penting oleh Martinez 1998; Mori 2004; Otake dan Hosokawa 1998; Achodt 1996; dan Treat 1996.

Japanese magazines in Taipei (November_2006)
Japanese magazines in Taipei (November_2006)

Dalam menjelaskan keberhasilan budaya populer Jepang di Asia Timur dan Tenggara (tidak di Amerika atau Eropa), beberapa orang berpendapat bahwa “cultural proximity” (kedekatan budaya) menentukan jalanya penyebaran aliran budaya, atau “Asian fragrance” (keharuman Asia) yang dengan mudah bergema dikalangan konsumen lokal. Menurut pendapat ini,  penyebaran budaya merupakan geo-kultural dan tidak hanya antar negara. Tulisan-tulisan  tentang drama TV Jepang di Asia Timur dan Tenggara, Iwao Sumiko memperkenalkan konsep “shared sensibilities” (perasaan besama) (1994: 74), Honda Shino menulis “East Asian psyche”(Jiwa Asia Timur) (1994 : 76), dan Igarashi Akio menulis “cultural sensibility” (perasaan budaya) (1997 : 11). Walaupun sebenarnya “kedekatan budaya” ini tidak dapat dijelaskan, contohnya mengapa kalangan pemuda Taiwan memilih untuk membeli produk-produk Jepang dari pada Cina, atau mengapa pelajar-pelajar Thailand lebih suka mendengarkan musik Amerika, yang secara nyata tidak dekat secara budaya.

Beberapa orang lain berpendapat bahwa produk-produk budaya populer Jepang “tidak bermuka” (faceless) (seperti tulisan Alison 2000; Shiraisi 2000). Ini karena daya tarik budaya populer Jepang yang bersifat tidak nasional dan karenanya sangat mudah untuk di-transfer, sehingga budaya tersebut tidak bisa dikenali lagi sebagai budaya orang Jepang. Memang sangatlah sulit untuk melihat ciri khas Jepang pada karakter animasi  Hello Kitty, Doraemon, atau Poke’mon, ataupun bagaimana melihat sebuah pesan budaya yang mungkin terbawa oleh produk-produk tersebut yang diterima oleh konsumen-konsumen di Asia.

Sementara itu, konsumen-konsumen di Asia Timur dan Tenggara sepertinya mampu mengenali produk-produk budaya yang berasal dari Jepang. Ketikan melakukan sejumlah interpretasi dari survey questioner dengan 239 mahasiswa dari universitas di Hongkong, Bangkok dan Seoul 1, salah kesan terkuat yang saya lihat adalah bahwa kebanyakan mampu mengidentifikasi animasi, musik, dan komik-komik yang berasal dari Jepang, walaupun produk-produk tersebut telah dialih bahasakan dengan bahasa lokal. Mereka juga mampu membedakan mana yang merupakan produk asli yang diimpor dan mana yang imitasi buatan lokal diantara produk-produk budaya populer Jepang. Dalam konteks ini, “bau ke-Jepang-an” dari barang barang tersebut mungkin terletak pada penampakan tertentu yang pengelompokannya dapat diasosiasikan dengan “Jepang” yang dapat dikenali dan dihargai oleh konsumennya, daripada isinya yang berupa budaya yang berbau “Asia”.

Tulisan Iwabuchi Koichi (2002; 2004) memberikan pendekatan baru, seseorang yang menginterpretasikan manifestasi kegiatan-kegiatan budaya Jepang dalam sebuah dinamika budaya yang lebih luas. Iwabuchi adalah seorah pioner dalam penelitian budaya populer Jepang di Asia Timur dan Asia Tenggara, dan hasil kerjanya memberikan banyak bukti tentang popularitas drama televisi Jepang di Taiwan, Hongkong, Bangkok, Korea Selatan, dan Cina daratan. Dia berpendapat bahwa konsep “cultural proximity” (kedekatan budaya) tidak selalu memberikan penjelasan tentang konsumsi budaya populer Jepang. Dia berargumen bahwa produk budaya populer Jepang mewakili ide-ide “modern” yang menjadi pilihan para konsumen.

Dalam bukunya Recentering Globalization (2002), Iwabuchi meletakkan kebangkitan kekuatan budaya Jepang sejalan dengan process globalisasi. Argumen dasar yang dia pakai adalah ekspansi budaya Jepang ke Asia di tahun 1990-an berhubungan dengan kekuatan desentralisasi dari hubungan global-lokal. Dalam pandangan Iwabuchi, perusuhaan-perusahaan media Jepang telah mengekpor pengalaman Jepang dalam penyebaran budaya barat di Asia (20). Dengan demikian orang-orang di Asia tidak lagi mengkonsumsi “Barat” tetapi versi yang dilokalisasi atau gabungan dari keduanya (105).

Dalam terbitan dimana Iwabuchi sebagai editornya yang berjudul Feeling Asian Modernities (2004), menyediakan cara yang paling rumit dalam usahanya untuk men-teori-kan isi dan aliran dari budaya populer Jepang. Seorang kontributor yang bernama Lisak Yuk-Ming Leung menganalisa dua drama populer Jepang yang ditayangkan di Hongkong di tahun 1992 (Love Generation) dan tahun 1997 (Long Vacation). Menurut dia, pesan “ganbaru” (“bekerja dan berusaha keras”) telah menyebar di seluruh Asia melalui drama-drama TV Jepang yang “membawa pesan-pesan Ganbaru dalan bentuk baru” (91). Tingkah laku yang ganbaru diperlihatkan oleh tokoh-tokoh pahlawan kota dalam drama tersebut yang telah berusaha keras dalam bekerja dan dalam percintaan…. yang disemangati oleh lawannya untuk berusaha terus” (92). Para penonton drama-drama tersebut, untuk dirinya sendiri, telah mengadopsi pesan ganbaru dalam berbagai intesitas di seluruh kelompok umur (100-102).

Dalam edisi yang sama, Yu-fen Ko berpendapat  bahwa pemain drama idole Jepang berperan dalam “laten ambivalensi dari kegelisahan dan keinginan untuk hal-hal modern (108). Dalam konteks ini, drama-drama Jepang memperlihatkan “permasalahan nyata dalam kehidupan” yang dihadapi orang-orang Taiwan (108). Penelitian Lee Ming-tsung juga menemukan bahwa praktek-praktek percampuran budaya yang dibayangkan di Taiwan dan yang dialami di Jepang memfasilitasi sebuah transformasi yang berorientasi budaya dan pengidentifikasian diri dengan dominasi budaya lain, yaitu Jepang (130). Dalam buku yang sama Siriyuvasak Ubonarat meneliti yang tentang Bangkok dan Dong-Hoo Lee yanag meneliti tentang Korea Selatan memberikan hasil yang sama tentang bagaimana produk-produk budaya populer Jepang “memproyeksikan kemodernan”. Penelitian-penelitian tersebut juga menyatakan bahwa tindakan pengkonsumsian budaya dan praktek budaya Jepang membawa suatu identitas dari Jepang and akhirnya memberikan dampak kepada identitas negara-negara di Asia Timur atau wilayah ini secara menyeluruh.

Semua penelitian yang disebutkan di atas kaya akan informasi dan analisa yang berhubungan dengan berbagai kegiatan budaya populer Jepang di negara lain. Menurut saya, hal yang paling penting adalah dalam menolak ide teoritis globalisasi Barat tentang kecenderungan budaya yang makin homogen (seragam). Teori-teori globalisasi menggambarkan sebuah dunia yang menyeragam di mana elovusi jaringan-jaringan bisnis dan budaya makin mempengaruhi nasib, identitas, dan budaya manusia (contohnya tulisan Druker 1993; Hannertz 1991; Huntington 1996; Kotckin 1992; Robertson 1991; Schiller 1974; Tomlinson 1991; dan Wallerstein 1991). Semua menggambarkan keunikan budaya suku bangsa yang tidak dibatasi oleh batas-batas negara bergabung untuk menyesuaikan dengan aturan global yang baru. Kontribusi dari peneliti-peneliti ethnografi di atas untuk pembelaannya terhadap teori budaya yang makin seragam terletak  pada penghargaannya yang besar terhadap berbedaan budaya dan praktek-prakter yang beragam yang tetap bertahan menghadapi kekuatan penyeragaman globalisasi.

 Kekurangan dari literatur ini adalah pengartiannya tentang paradigma global-lokal. Sebagian besar peneliti ini memandang ekspansi budaya Jepang ke luar negeri sebagai bagian dari proses global dan melihat pernyataan mereka sendiri yang mengidentifikasikan bahwa komoditas budaya Jepang mempunyai sirkulasi yang terbatas, penerimaan yang lebih mendalam, dan mempunyai dampak yang nyata pada geografi budaya di wilayah ini. Bagi mereka paradigma global-lokal digunakan hanya sebagai unit analisa; “lokal” adalah penerima dan pengadaptasi dengan budaya lokal (indigenizer), sementara itu Jepang dianggap sebagai indigenizer dan juga sebagai mediator ke yang “global”. Kecenderungan ini merupakan bagian dari phenomenon yang lebih luas mengenai analisa kontekstual dan pe-label-an praktek-praktek budaya yang diteliti sebagai bagian dari sebuah proses global (lihat contohnya Craig dan King 2002; dan Hall 1995).

Menariknya, mereka yang menyatakan secara jelas penerimaan wilayah untuk budaya Jepang di Asia Timur, mereka menyatakan argumennya tanpa berpikir lebih panjang. Penelitian-penelitian penting menjelaskan “Japanisasi/Asianisasi” (Otake dan Hosokawa 1998), “Pop Asianisme” (Ching 1996), “Lalulintas Budaya Trans-Asia” (Iwabuchi 2004), dan “Tentang Budaya Populer Asia Timur” (Chua 2003) cenderung melihat phenomena ini sebagai dampak dari globalisasi di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Karena mereka tidak menganggap bahwa “wilayah” dapat berfungsi sebagai sebuah unit analisa, analisa yang dibuat cenderung hanya melihat phenomena ini secara sepintas. Sebagai akibatnya, mereka gagal untuk mengerti apa peran hubungan intra-wilayah yang bermain dalam membentuk sirkulasi dan konsumsi produk-produk budaya.

Dalam konteks ini, Iwabuchi telah melakukan hal benar dengan mempertahankan pendapat bahwa pengaruh budaya Jepang telah nyata dan sangat kuat di Asia Timur and Tenggara. Sebaliknya, banyak produk budaya populer Jepang, seperti musik, aksesori gaya, dan bintang idola, jarang mendapatkan konsumen di luar geografi budaya wilayah ini (Iwabuchi 2002; 47, 84). Mungkin pengamatan ini dapat membawa kita pada argument lain dari pernyataan tentang globalisasi yang telah ada.

Saatnya untuk sebuah Paradigma Wilayah (Regional)

Sampai saat ini, argumen saya adalah bahwa kita seharusnya berusaha untuk membangun sebuah paradikma wilayah sebagai basis untuk menganalisa aliran penyebaran budaya antar negara di Asia Timur dan Tenggara. Dengan kata lain, kita sebaiknya melihat “wilayah” bukan hanya sebagai sebuah proses di mana budaya menyebar melewati batas-batas negara atau sebagai manifestasi dari hubungan global-lokal, tetapi melihatnya sebagai unit analisa yang memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari wacana tentang globalisasi.

Sebuah pertanda jelas adalah kenyataan bahwa wilayah telah menjadi hal yang penting dalan politik dan ekonomi dunia, walaupun di tengah era globalisasi (Hettne et al. 1999; Masfield and Milner 1999; Mittelman 1996). Sebuah indikasi dari phenomena ini adalah berkembangan yang telah dicapai oleh Uni-Eropa, dan beberapa upaya yang sedang dilakukan untuk membentuk satuan wilayah di Amerika Utara (NAFTA), Amerika Selatan (Mercosur), Afrika (AU), Asia (ASEAN, EAEC), dan Asia-Pasifik (APEC).

Di Asia Timur dan Tenggara, peningkatan ekonomi dalam 3 dekade terakhir telah meningkatkan kekuatan wilayah ini, yang fomasinya telah dibentuk oleh “dinamika pasar” dan kegiatan-kegiatan ekonomi antar negara. Proses ini terus berjalan walaupun ada kekurangan yang nyata dalam peng-institusi-an wilayah secara formal dan lebih menekankan dalam informalitas, negosiasi, dan pendekatan khusus dalam kebijakan regional, seperti yang diamati oleh beberapa peneliti (Castells 2000; Frankel and Miles 1993; dan Katzenstein 2002).

Beberapa penelitian yang mengamati dinamika ekonomi menyatakan bahwa proses-proses yang perpusat di pasar telah menjadi mesin utama yang  menggerakan regionalisasi Asia Timur dan Tenggara (Haggard 1997; Hatch dan Yamamura 1996; Katzenstein dan Shiraishi 1997; Petri 1993). Penelitian komprehensif baru-baru ini oleh Bank Dunia (World Bank) memberikan hasil temuan sebagai berikut, sejak pertengahan tahun 1980-an perdagangan intra-regional telah meningkat dengan tingkat peningkatan kurang lebih dua kali lipat dari perdagangan dunia dan lebih tinggi dari perdagangan intra-regional di NAFTA ataupun di Uni Eropa. Menurut penelitian Bank Dunia, hubungan dagang antara kebanyakan negara-negara Asia Timur dan Tenggara telah meningkat secara tajam dalam intensitas, dan hubungan ekonomi dan saling ketergantungan antara ekonomi wilayah ini telah diperkuat secara nyata (Ng dan Yeats, 2003).

Kebangkitan kelas-kelas menengah di kota-kota metropolitan di Asia Timur dan Tenggara merupakan sebuah indikasi lain. Kelas-kelas menengah ini merupakan hasil produksi dan sekaligus pendorong terjadinya regionalisasi di Asia Timur dan menyediakan model untuk diikuti oleh yang lain. Sejak akhir tahun 1980-an, dimana sekitar 10 tahun pertumbuhan ekonomi tahunan melebihi angka sepuluh persen, telah mewadahi munculnya kelas-kelas menengah di Asia Timur. Dengan memperhatikan kemunculan kelas-kelas ini, Shiraishi Takashi memberikan argumen bahwa “mereka adalah produk dari perkembangan ekonomi regional yang telah terjadi di bawah gelombang kekuasan informal Amerika, selama setengah abad, awalnya mulai di Jepang, kemudian Korea Utara, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura, lalu Thailand, Malaysia, Indonesia dan Philippina dan sekarang di Cina” (2004: 33). (Mengenai kelas menengah di Asia Timur, lihat juga tulisan Chua 2000; Hattori et al. 2002; dan Robson dan Goodman 1996) 2. Kekuatan sosial ekonomi mereka secara terus-menerus menimbulkan permintaan akan barang-barang konsumen dan produk budaya impor, menghidupka konsumsi regional dan mempertemukan pasar-pasarnya.

Dalam bidang kebudayaan, perkembangan yang cepat telah menghasilkan perubahan-perubahan. Pengamatan terhadap perubahan-perubahan ini mungkin akan menunjukkan arah ke sebuah paradikma regional yang menyediakan perlengkapan lebih baik untuk menganalisa manifestasi, praktek-prakterk, dan dampak budaya populer di Asia Timur dan Tenggara. Ciri khas utama budaya dari Asia Timur dan Tenggara sejak tahun 1990-an adalah pertemuan yang saling tumpang tindih antara budaya-budaya Amerika, Jepang, Cina dan Korea. Pertemuan antar budaya itu terjadi secara simultan dan dalam berbagai intensitas yang berbeda secara kontinyu membentuk penampakan budaya dan gaya hidup. Orang-orang di Asia Timur dan Tenggara berbagi sumber dari produk budaya populer yang mungkin mereka pilih menurut pilihan budaya, secara bersamaan mengkonsumsi produk budaya Amerika, Jepang, Cina, Korea dan budaya lain. Jutaan anak muda di Hongkong, Seoul, Shanghai, dan Jakarta menginginkan mode terbaru dari Tokyo, mendengarkan jenis musik pop dari Amerika yang sama, melihat drama Cina di televisi atau DVD, membaca buku komik Jepang, dan pergi dengan teman-temannya melihat film Korea yang terbaru (Otmazgin, 2005).

Pertemuan budaya di Asia Timur dan Tenggara, walaupun secara selektif-umumnya melibatkan kelas menengah di perkotaan, tidak seluruh populasi penduduk secara nasional. Kota-kota kita pahami sebagai pusat, karena merupakan pertemuan di mana budaya mengalir saling tumpang tindih dengan konsumsi yang berlebihan. Kota-kota Mega di Asia Timur (Bangkok, Hong Kong, Seoul, Shanghai, Singapura, Taipei, Tokyo dan lain-lain) berperan sebagai matrik untuk inovasi, ekpansi dan percampuran budaya; Di kota-kota inilah pembentukan kesadaran intra-regional dan extra-regional berpuncak. Oleh karena itu, di Asia Timur dan Tenggara, kita sebaiknya membicarakan tentang interaksi ynag berlapis antar kota-kota dari pada antar negara.

Terlebih lagi, kolaborasi regional antara perusahaan-perusahaan media massa dan promotor mempunyai dampak yang kuat di pasar Asian Timur dan Tenggara. Para pemain ini merupakan pengusaha penting dalam mencari kesempatan bisnis baru untuk melakukan  ekpansi dan mereka telah mendorong perkembangan pasar-pasar media Asia Timur dan Tenggara dalam dua dekade terakhir. Kegiatan mereka mendukung ekspansi pasar budaya Asia Timur dan Tenggara, mengembangkan dan memperkuat kerjasama dan hubungan regional, dan menyediakan isi budaya substansi bagi gambaran tentang “Asia”.

Army_of_Kitty-chans, Hong Kong (April 2004)
Army_of_Kitty-chans, Hong Kong (April 2004)

Film, Musik dan Televisi

Film-film Pan-Asia merupakan contoh yang nyata. Dengan hubungannya yang baik antara motif Asia dan Barat, mereka telah mendapatkan popularitas tinggi di Asia Timur dan Tenggara, dan juga secara lebih kecil di pasar Amerika. Film-film seperti Crouching Tiger, Hidden Dragon, Hero Jan Dara, 2046, Initial D, dan Musa diproduksi dan dipasarkan antar negara. Beberapa co-produksi ambisius melibatkan anggota staf dan artis dari Korea Selatan, Cina, Hong Kong, Jepang dan Thailand. 3 Tempat-tempat di mana biaya produksi rendah seperti Cina, Thailand dan Malaysia memberikan insentif untuk mengalihan lokasi produksi. Keberadaan konsumen potensial di pasar regional dan global mendorong strategi pemasaran yang bertujuan untuk melibatkan pemirsa dari kalangan luas di Asia Timur dan Tenggara serta lainnya. Gambaran yang dihasilkannya memberikan dampak bagi pemirsa di regional maupun extra regional dalam mengkonsepsualisasi “Asia”.

Kolaborasi-kolaborasi regional juga terjadi dalam bidang musik dan televisi, mencoba memanfaatkan kebangkitan dari budaya populer Asia Timur dan Tenggara dan menciptakan sebuah budaya baru. Dari penyiaran industri media, kecenderungan utama dari produksi musik dan televisi di Asia Timur dan Tenggara adalah lebih untuk membangun secara ragional dari pada sebagai usaha untuk memperluas secara global. Channel V merupakan salan satu pemain di sini. Channel ini adalan versi Asia dari MTV yang menikmati popularitas phenomenal di Asia Timur. Channel ini secara kontinue memperkenalkan musik pop dan rock lokal dan internasional kepada pemirsa televisi kabel secara luas. Program musik yang dimiliki Channel V  sering mengkategorikan musik pilihan sebagai “Musik Asia”, yang meliputi musik pop dari artis dan band dari berbagai negara Asia Timur. Sony Music Entertainment  juga bekerja untuk menciptakan jenis musik pan-Asia. Di tahun 2004 perusahaan ini memproduksi dua volume koleksi musik pop dengan menggunakan artis-artis dari Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan. Keberhasilan dari album ini memotivasi pembuatan volume baru di tahun 2005 yang juga melibatkan musik dari Thailand. 4

Di bidang per-televisian, beberapa kerja-sama antar negara telah terjadi, walaupun tingginya biaya produksi telah menghalangi usaha untuk melakukan produksi antar negara, yang membuat kerja sama ini terhenti di tahap awal. Pentingnya beberapa usaha yang telah dilakukan terletak pada explorasi wira swasta dan pengetahuan akan konsekwensi dari transfer produksi budaya. Dalan penyiaran televisi yang mencakup beberapa negara, Star TV merupakan perusahan terbesar di Asia akhir-akhir ini, berisi tentang berbagai ragam saluran hiburan, berita, dan olah raga dan menarik perhatian konsumen di 300 juta rumah mulai dari Cina sampai ke India. Strategi stasiun ini mengutamakan muatan lokal dan menyiarkannya dalam bahasa-bahasa Asia, khususnya Mandarin (Sinclair 1997).

Perusahaan-perusahaan musik dan televisi Jepang merupakan pemain yang penting. Beberapa di antaranya telah menjajaki pasar di Asia Timur, dipacu oleh perusahaan komersial dan permintaan lokal. Contohnya Pony Canyon dan Avex Trax, dua di antara enam besar perusahaan musik Jepang telah memperluas penyebarannya dalam pasar media Asia Timur dengan melakukan perubahan dari perjanjian lisensi dengan perusahaan lokal ke pembukaan cabangnya sendiri. Dalam bidang pertelevisian, Amuse, Rojam, Fuji TV, dan JET TV cukup terkenal. Perusahaan-perusahaan ini sering menggunakan basis formasi Jepang yang bergerak dalam berbagai penyiaran dan produksi televisi di tahun 1990an, melakukan kerja sama dengan perusahaan lokal dan organisasi-organisasi media. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya memasarkan musik dan program televisi Jepang, tetapi telah berperan sebagai contoh dan model industri-industri budaya lokal di Asia Timur.

Contoh-contoh di atas hanyalah sejumlah kecil dari perkembangan budaya regional di Asia Timur dan Tenggara dalam beberapa dekade terakhir. Perkembangan ini telah menciptakan sebuah kenyataan baru di mana kelas menengah perkotaan di Asia Timur dan Tenggara secara luas berbagi berbagai produk dan barang kesempatan budaya. Walaupun mereka terpaku di berbagai lokasi yang berbeda, dengan pendapatan yang berbeda, suatu tingkat konsumsi gaya hidup yang bisa diperbandingkan  ada bagi kalangan kebanyakan. Kelas menengah di perkotaan Cina, Malaysia dan Indonesia saat ini menginginkan pilihan budaya yang sama seperti negara tetangganya di Seoul, Singapura dan Bangkok.

Kesimpulannya, pasar-pasar dan masyarakat di Asia Timur dan Tenggara menjadi makin menyeragam akibat dari kekuatan ekonomi, sosial dan budaya. Di seluruh kota-kota di wilayah ini, khususnya pasar budaya populer dan mekanisme untuk kerja sama telah dibangun, proses-proses tersebut memberikan kesempatan untuk sebuah analisa yang panjang dan konsepsual mengenai dinamika pertemuan budaya regional. Dengan ini, pengamatan aliran budaya populer di sini dilakukan secara lebih detail dan akurat dari pada pembicaraan yang panjang dan retorik tentang hubungan global-lokal, dengan penekanan secara implisit maupun eksplisit pada homogenisasi. Sebuah paradigma regional yang mempertimbangkan kekhasan lokan dan regional mungkin akan lebih berguna dalam mempelajari aliran budaya di wilayah ini.

Nissim Kadosh Otmazgin
Mahasiswa PHD, Unviersitas Kyoto 

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 8-9 (March 2007). Culture and Literature

Daftar Pustaka

 Alison, Anne. 2000. “Can Populer Culture Go Global?: How Japanese ‘Scouts’ and ‘Ranger’ Fare in the US.” Dalam A Century of Popular Culture in Japan, ed.Dauglas Slaymaker. U.S.A.:Edwin Mellen Press.
Castells, Manuael. 2000. End of Millennium. Oxford: Blackwell.
Ching, Leo. 1996. “Imagining in the Empires of the Sun: Japanese Mass Culture in Asia.” Dalam Contemporary Japan and Popular Culture, ed. John W. Treat. Inggris: Curzon.
Craig, Timothy J., dan Richard King, eds. 2002.  Global Goes Local: Popular Culture in Asia. Canada: PenerbitanUBC.
Craig, Timothy J., ed. 2000. “Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture. U. S. A: M.E. Sharpe.
Chua, Beng-Huat. 2003. “The Making of East Asian Popular Culture.” Makalah dipresentasikan di Carolina Asia Center, Universitas North Carolina.
Chua, Beng-Huat. 2000.”Consuming Asians: Ideas and Issues.” Dalam Consumption in Asia: Lifestyles and Identities, ed. Beng-Huat Chua. London: Routledge.
 Drucker, Peter. 1993. Post Capitalist Society. New York: Harper Business.
Frankel, Jeffrey A., dan Miles Kahler. 1993. “Introduction.” Dalam Regionalism and Rivalry: Japan and the United States in Pacific Asia, ed. Jeffrey a. Frankel dan Miles Kahler. Chicago: Penerbitan Universitas Chicago.
Haggard, Stephan. 1997. “Regionalism in Asia and the Americas.” Dalam The Political Economy of Regionalism, ed. Edward D. Mamsfield dan Helen V. Milner. New York: Penerbitan Univesitas Columbia.
Hall, Stuart. 1995. “New Culture for Old”. Dalam A Place in the World? Places Cultures, and Globalization, ed. D. Massey dan P. Jess. Oxford: Penerbitan Universitas Oxford  
Hannertz, Ulf. 1991.” Scenario for Peripheral Cultures.” Dalam Cultural Globalization and World Systems, ed. A. King. London: Macmillan.
Hatch, Walter, dan Kozo Yamamura. 1996. Asia in Japan’s Embrace: Building a Regional Production Alliance. Hong Kong: Penerbitan Universitas Cambridge.
Hattori, Tamio, Funatsu Tsuruyo dan Torii Takashi, eds. 2002. Ajia Chukanso no Seisei to Tokushitsu [The Emergence and Features of the Asian Middle Classes]. Tokyo: Ajia Keizai Kenkyusho.
Hettne, Björn, Inotai András, dan Shukle Osvaldo. 1999. Globalization and the New Regionalization. U.K.: Pernerbitan Macmillan.
Honda, Shiro. 1994. “East Asian’s Middle Classes Turns into Today’s Japan.” Japan Echo 21, 4. 
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilazation and the Remaking of World Order. New York: Simon dan Schoster.
Igarashi, Akio. 1997. “From Americanization to ‘Japanization’ in East Asia!?.” The Journal of Pacific Asia 4:3-20.
Ishii, Kenichi. 2001. Higashi Ajia no Nihon Taishu Bunka [Japanese Mass Culture in East Asia]. Tokyo: Sososha.
Iwabuchi, Koichi, ed. 2004. Recentering Globalization: Popular Culture and Japanese Transnationalism. United States: Penerbitan Universitas Duke.
Iwabuch, Koichi, ed. 2004. Feeling Asian Modernities: Transnational Consumption of Japanese TV Dramas. Hong Kong: Penerbitan Universitas Hong Kong.
Iwao, Sumiko. 1994. “ Popular Culture Goes Regional”. Japan Echo 21, 4.
Katzenstein, Peter J. 2002. “Variation of Asian Regionalism”. Dalam Asian Regionalism, oleh  Peter J. Katzenstein, Natasha Hamilton-Hart, Kozo Kato, dan Ming Yue. Ithaca: Program Asia Timur Universitas Cornell.
Katzenstein, Peter J. dan Takashi Shiraishi, eds. 1997. Network Power: Japan and Asia. Ithaca dan London: Penerbitan Universitas Cornell.
Kotckin, Joel. 1992. Tribes: How Race, Religion, and Identity Determine Success in the New Global Economy. New York: Random House.
Mansfield, Edward D., dan Milner V. Helen. 1999. “The New Wave of Regionalism.” International Organization 53, no. 3: 589 – 627.
Martinez, D. P., ed. 1998.  The Worlds of Japanese Popular Culture: Gender, Shifting Boundaries and Global Cultures. China: Penerbitan Universitas Cambridge.
Mittelman, J. 1996. “Rethinking the ‘New Regionalization’ in the Context of Globalization”. Global Governance 2: 189-213.
Mori, Yoshitaka, ed. 2004. NishikiKanryu: “Fuyu no Sonata” to Nikantaishoubunka no Genzai [Japanese Style, Korean Boom: ‘Winter Sonata’ and Current Japanese Korean  Mass Culturral Relations]. Jepang: Serika Shobo.
Ng, Francis dan Yeats, Alexander. 2003. “Major Trade Trends in East Asia: What are Their Implications for Regional Cooperation and Growth?” The World Bank Development Research Group, Policy Research Working Paper No. 3048 (Juni).
Otake, Akiko. Dan Shuhei Hosokawa. 1998. “Karaoke in East Asia: Modernization, Japanization, or Asianization.”Dalam Karaoke around the World: Global Technology, Local Singing, ed. Toru Mitsui dan Shuhei Hosokawa. London: Routledge.
Otmazgin, Kadosh Nissim. 2005. “Cultural Commodities and Regionalization in East Asia” Contemporary Southeast Asia, 27 (3): 499-523.
Petri, Peter A. 1993. “The East Asian Trading Bloc: An Analytical History”. Dalam Regionalism and Rivalry: Japan and the United States in Pacific Asia, ed. Jeffrey A. Frankel dan Miles Kahler. Chicago: Penerbitan Universitas Chicago.
Robertson, Ronald. 1991. “Social Theory, Cultural Relativity and the Problem of Globality.” Dalam Cultural Globalization and World Systems, ed. A. King. London: Macmillam.
Robison, Richard and Goodman S. G. David. 1996. “The New Rich in Asia: Economic Development, Social Status and Political Consciousness.” Dalam The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and Middle Class Revolution, ed. Richard Robinson dan David S. G. Goodman. London: Routledge.
Schiller, H. 1976. Communication and Cultural Domination.  New York: M. E. Sharpe.
Schodt, Frederik. 1996. Dreamland Japan: Writing on Modern Manga. Berkeley: Penerbitan Stonebridge.
Shiraishi, Saya. 2000. “Doraemon Goes Abroad” Dalam Japan Pop! Inside the World of Japanese Popular Culture, ed. Timothy J. Craig. USA: M.E. Sharp.
Shiraishi, Takashi. 2004. “ The Rise of New Urban Middle Classes in Southeast Asia: What is its National and Regional Significance?.” Makalah dipresentasikan di Workshop Core University Program, Universitas Kyoto, Oktober.
Sinclair, J. 1997. “The Business of International Broadcasting: Cultural Bridges and Barriers.” Asian Journal of Communication 7, no. 1: 137-155.
Tomlinson, John. 1991. Cultural Imperialism. Baltimore: Penerbitan Universitas John Hopkins.
Treat, W. John, ed. 1996. Contemporary Japan and Popular Culture.  Inggris: Curzon.
Wallerstein, Immanuel. 1991. Geopolitics and Geocultur. Cambridge: Penerbitan Universitas Cambridge.

Notes:

  1.  Survey dengan menyebarkan questioner dan interview dilakukan oleh penulis dengan 239 mahasiswa di  Hongkong (Juni 2004), Bangkok (Februari 2005), dan Seoul (April 2005). Pertanyaan questioner mencakup 19 pertanyaan bebas, dan 2 pertanyaan dengan pilihan jawaban. Saya bertanya tentang konsumsi pola budaya secara umum dan konsumsi khusus budaya populer Jepang di kalangan mahasiswa, serta tentang tanggapan dan pendapat mereka mengenai berbagai aspek dari masyarakat Jepang dan Jepang sebagai sebuah negara. Saya sangat berterimakasih kepada Dr. Ubonrat Siriyuvasak (Universitas Chulalongkorn) dan Dr. Shin Hyun Joon (Universittas Sungkonghoe) atas segala bantuan yang telah diberikan pada saat penyebaran questioner.
  2. Dalam penelitian-penelitian ini kelas-kelas menengah di Asia Timur umumnya diklasifikasikan sebagai kalangan berpendidikan dan bekerja, contohnya sebagai profesional, teknisi, juru tulis, manager, bisnis eksekutif, insinyur, dan akuntan.
  3. Lihat pemberitaan film-film ini di Newsweek, 21 Mei 2001, 15 Desember 2004, dan Edisi Khusus, Juli-September 2001; dan Time, 21 Januari 2002.
  4. Kantor regional Sony Music Entertainment di Hong Kong secara strategis telah mendorong cabang-cabangnya di Asia Timur untuk memproduksi album-album kompulasi yang melibatkan kolaborasi artis musik dari berbagai negara (trans-nasional). Hasil wawancara di Bangkok dan Seoul, Februari dan April 2005.