Si Darah Biru dari Istana Besar —Ibrahim A. Jubaira

(Terjemahan oleh Bayu Kristianto)

Meski hati tidak lagi peduli, pikiran selalu dapat mengingat kembali. Pikiran selalu dapat mengingat kembali, karena selalu ada hal-hal untuk diingat: hari-hari lesu masa kecil yang menyedihkan; hari-hari ceria yang dinikmati bersama di bawah sinar matahari yang menyilaukan; cinta yang tersembunyi dan nasib yang mengolok-olok; dan lain-lain. Kukira kau masih ingat padaku.

Masih ingat, kan? Setahun lebih setelah aku menjadi yatim piatu, bibiku memutuskan untuk menyerahkan aku pada ayahmu, Sang Datuk. Kala itu para datuk berkewajiban memelihara mereka yang miskin dan tidak mampu. Itulah sebabnya, bibiku telah melakukan yang hal benar dengan menempatkan aku di bawah pemeliharaan ayahmu. Lagipula, ia sendiri juga miskin, sehingga dengan melakukan itu, ia tidak hanya membebaskan dirinya dari beban kemiskinan tapi juga menjaga keberlangsungan hidupku.

Tapi aku tidak dapat menanggung pikiran akan perpisahan dengan bibiku, meski cuma sejenak. Dia sudah seperti ibu bagiku, dan akan selalu menjadi ibu bagiku.

“Tolonglah, Babo,” aku memohon. “Cobalah memberiku makan lebih lama lagi. Biarkan aku tumbuh besar bersamamu, dan aku akan bangun sebuah rumah untukmu. Aku akan bayar kembali semuanya suatu hari nanti. Ijinkan aku melakukan sesuatu untuk membantu, tapi tolonglah, Babo, jangan suruh aku pergi….” Aku benar-benar menangis.

Babo mengusap pundakku dengan tangannya yang lembut, menenangkan. Persis seperti tangan Ibu. Aku merasa sedikit terhibur, tapi sekarang aku menangis lagi. Usapan tangannya membuatku guncang.

“Dengarkan aku. Berhentilah menangis. Ayolah, nak, diam. Kamu tahu, kita tidak bisa seperti ini terus, “Babo berkata. “Pekerjaanku membuat tikar tidak mungkin cukup untuk membeli pakaian dan memberi makan buat kamu dan aku. Memang berat, anakku, memang berat. Kamu harus pergi. Tapi aku akan menemuimu tiap minggu. Kamu akan bisa mendapatkan apapun yang kamu inginkan di rumah Sang Datuk.”

Aku mencoba menatap Babo melalui airmataku. Namun tak lama, angan-angan untuk memperoleh apapun yang aku inginkan menguasai pikiran kanak-kanakku. Aku berhenti menangis.

“Katakan kamu mau pergi,” Babo membujukku. Akhirnya aku menurut, umurku baru lima tahun saat itu – masih mudah untuk diatur.

Babo memandikan aku sore harinya. Badanku tidak mengelak ataupun menggigil, karena laut saat itu hangat dan nyaman, serta menyenangkan. Ia membersihkan kuku-kuku jariku dengan teliti. Lalu ia mengambil segenggam pasir dengan lekukan telapak tangannya, menyebarkannya pada punggungku, dan mengusap tubuku yang kotor karena debu yang melekat, terutama bagian belakang telingaku. Ia menuangkan air segar ke seluruh tubuhku sesudah itu. Betapa bersih aku jadinya! Tapi pakaianku usang…..

Babo mengajariku sebelum kami pergi ke rumahmu: aku tidak boleh lupa mencium kaki ayahmu, dan untuk mengundurkan diri pada waktu diperintahkan tanpa memutar punggungku; aku tidak boleh menatap mata ayahmu; aku tidak boleh berbicara terlalu banyak; aku harus selalu berbicara dengan kata ganti orang ketiga; aku tidak boleh …. Ah, Babo, terlalu banyak untuk diingat.

Babo mencoba untuk bersikap sabar denganku. Ia mengujiku berulang-ulang tentang tata cara keningratan. Dan satu lagi: aku harus mengatakan “Pateyk” untuk ya, dan “Teyk” untuk apa, atau untuk menyahut bila dipanggil.

“Oh Babo, mengapa aku harus mengatakan hal-hal itu? Mengapa aku benar-benar harus ….”

“Ayolah, nak, ayolah.”

Kami berangkat sore itu juga. Angin sepoi-sepoi terasa sejuk di wajahku. Kami tidak kelelahan karena kami ngobrol sepanjang jalan. Ia bercerita tentang banyak hal. Dia bilang bahwa kau yang tinggal di rumah besar itu memiliki darah biru.

“Bukan merah seperti punya kita, Babo?”

Babo berkata bukan, bukan merah seperti milik kami.

“Dan Sang Datuk punya anak seumuranku, Babo?”

Aku bertanya pada Babo juga apakah aku boleh menusuk kulitmu untuk melihat apakah kau sungguh-sungguh punya darah biru. Tapi Babo tidak menjawab pertanyaanku lagi. Ia cuma suruh aku diam. Begitulah, aku jadi banyak bicara lagi.

Apakah itu benar-benar rumahmu? Ya ampun, besar sekali! Babo memarahiku. “Kita tidak menyebutnya rumah,” katanya. “Kita menyebutnya istana, rumah Sang Datuk.” Maka aku cuma bilang oh, dan tetap diam. Mengapa Babo tidak memberitahuku sebelumnya?

Tiba-tiba Babo menghentikan langkahnya. Apakah aku sudah benar-benar bersih? Oh, oh, lihat bibir sumbingku. Dengan tapisnya ia membersihkan bibir sumbingku dari ingus kehijauan yang mengalir turun dari hidungku. Poi! Kini lebih nyaman rasanya. Meski aku tidak merasakan perbaikan apa-apa dari bentuk bibirku yang cacat. Aku semata-mata merasa lebih bersih.

Sungguhkah aku anak-laki-laki yang dibicarakan Babo? Kau tertawa, Darah Biru muda yang cantik. Gembira mungkin bahwa aku memang bocah itu. Atau mungkin geli melihat bibir sumbingku. Aku tidak berani bertanya padamu tentang itu. Aku takut bahwa andai saja kau tidak menyukaiku, aku akan menjadi sasaran perlakuanmu yang tidak menyenangkan. Maka, aku tertawa bersamamu, dan kau senang.

Babo menyuruhku mencium tangan kananmu. Mengapa tidak kakimu? Oh, kau masih anak kecil. Aku bisa menunggu sampai kau dewasa.

Tapi kau menarik tanganmu tiba-tiba. Kupikir bibir sumbingku pasti menimbulkan perasaan geli. Walau begitu, aku benar-benar mabuk oleh keindahan sejenak yang ditimbulkan oleh gerakanmu sampai aku memutuskan dalam hatiku bahwa aku akan mencium tanganmu setiap hari. Bukan, bukan, ini bukan cinta. Ini hanya semacam kesukaan yang nakal. Bayangkan rasa bangga yang kurasakan bisa begitu dekat dengan seorang dari kaum berdarah biru….

“Selamat datang, Yatim Kecil!” Apakah itu ditujukan padaku? Benar-benar padaku? Aku menatap Babo. Tentu saja itu ditujukan padaku! Kami dipersilahkan masuk dengan penuh keramahan. Terima kasih atas kebaikan ayahmu. Dan terima kasih juga atas tawamu padaku.

Aku mencium kaki Appah-mu, ayahmu yang terhormat namun sudah tua, dan yang sepanjang hari pekerjaannya hanya beristirahat. Ia tidak merasa geli oleh bibir sumbingku seperti halnya kau. Ia tidak menertawaiku. Malah, ia menunjukkan belas kasihannya padaku. Begitu juga Amboh-mu, ibumu yang baik hati. “Duduklah, duduklah, tidak perlu malu.”

Namun begitulah kau, dengan tanpa belas kasihan kau menghujani Babo dengan pertanyaan-pertanyaan: Mengapa aku seperti itu? Apa yang telah terjadi padaku?

Untuk membuatmu puas, Darah Biru yang cantik, Si Kecil yang selalu ingin tahu, Babo terpaksa menjelaskan: Jadi, Ibu pernah tergelincir di vintanya saat ia mengandung bayi berusia enam bulan yang adalah aku. Hasilnya: bibir sumbingku. “Jafaar yang malang,” ayahmu berkata. Aku hampir menangis, tapi melihat kau menatapku, aku merasa malu sehingga aku menahan airmataku. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menjadi sentimental, kau tahu. Mungkin, kehilangan orangtua saat usiaku begitu muda menyebabkan aku begitu.

“Kau pikir kau akan bahagia tinggal bersama kami? Apakah kau akan merindukan Babo-u?”

“Paytek, hamba akan bahagia,” jawabku. Lalu pikiran bahwa aku tidak akan merindukan Babo lagi membuat aku mengernyitkan dahi. Tapi Babo mengangguk ke arahku, berusaha menentramkan aku.

“Paytek, hamba tidak akan merindukan, …. merindukan Babo lagi.”

Dan Babo pergi sebelum tanya-jawab itu selesai. Ia harus menempuh jarak lima mil sebelum senja turun. Aku tetap tidak menangis, seperti yang mungkin kau kira aku akan lakukan, karena – sudah kukatakan bukan? – Aku malu menangis di hadapanmu.

Begitulah ceritanya bagaimana aku mulai tinggal denganmu, ingat kan? Babo datang mengunjungiku setiap minggu sesuai janjinya. Dan kau – kalian semua – punya banyak hal untuk diceritakan padanya. Bahwa aku adalah pekerja yang rajin -oh, tak diragukan lagi, begitulah Appah dan Amboh-mu bercerita pada Babo. Dan kau, Darah Biru kecil yang suka terang-terangan, kau ikut bergabung dengan koor yang menyanjung-nyanjungku. Tapi kamar tidurku selalu bau kencing, timpalmu, sambil tertawa. Ini mengundang teguran bertubi-tubi dari Babo, juga janji sungguh-sungguh dariku untuk tidak ngompol lagi.

Ya, Babo datang mengunjungiku, untuk menasehatiku tiap minggu, selama dua tahun berturut-turut – yakni, sampai kematian memanggilnya, tak meninggalkan siapapun kecuali seorang kemenakan dengan bibir sumbing.

Ingat kan? Aku adalah orang yang paling kausukai dan kau selalu ingin bermain-main denganku. Aku akhirnya mengerti bahwa mengapa setelah beberapa waktu, kau gembira setiap kali memandangi bibir sumbingku. Terkadang, saat kita keluar berjalan di bagian tepi laut yang airnya tidak dalam, kau akan berhenti dan menatapku. Aku akan menatapmu juga, bertanya-tanya. Akhirnya, tawamu akan meledak. Aku akan ikut tertawa, tidak sadar bahwa aku mengolok-olok diriku sendiri. Lalu kau akan menyubitku keras sekali supaya aku menangis. Oh, kau ingin mencobai aku. Kau bilang bahwa kau tidak bisa membedakan apakah aku menanngis atau tertawa.: gerak bibirku sama saja ketika aku menangis atau tertawa di matamu yang bersinar-sinar. Dan mukaku tidak berubah merah karena malu bahkan ketika kau berkata seperti itu. Karena bagaimanapun juga, bukankah ibuku tergelincir di dalam vinta?

Begitulah caramu. Dan aku ingin membalasnya dengan caraku sendiri. Aku ingin menusuk kulitmu dan melihat apakah kau sungguh-sungguh memiliki darah biru. Tapi ada sesuatu tentang dirimu yang memperingatkan aku, seorang yatim yang cacat, untuk tidak menggangumu. Satu-satunya yang kurasakan, waktu itu, adalah suatu kebanggaan yang bodoh, menangis dan tertawa bersamamu – untukmu – semata-mata untuk memuaskan darah biru yang angkuh memperolok-olok dalam dirimu. Ya, aku juga punya caraku sendiri.

Ingat kan? Rasanya aku mau melakukan apapun untukmu. Aku akan memanjat pohon kelapa untuk memetik buah kelapa muda. Kau akan kagum oleh begitu mudah dan tangkasnya aku naik ke atas pohon kelapa itu, tapi kau juga takut kalau-kalau aku jatuh. Kau akan memohon agar aku turun segera, dan cepat. “Tidak.” Kau akan melempariku dengan kerikil bila aku menolak untuk turun. Tidak, aku tetap tidak mau. Kerikil-kerikilmu tidak bisa mencapaiku – kau tidak cukup kuat. Lalu kau akan mengancam akan melaporkanku pada Appah-mu. “Laporkan saja.” Sungguh aku suka berada di atas! Dan bernyanyi di sana saat kulihat kau di bawah. Kau begitu tak berdaya. Dalam getar amarahmu, kau akan mengutukku, mengharapkan kematianku. Baiklah, biarkan aku mati. Aku akan memanjat pohon-pohon kelapa di surga. Dan hantuku akan kembali untuk memberikan …. untuk memberikan buah-buah kelapa dari surga untukmu. Lalu kau akan kembali. Mengertikah kau? Seorang pelayan, seorang yatim piatu, juga dapat menyuruh Si Darah Biru yang cantik dan sombong untuk datang atau pergi.

Lalu kita akan mengumpulkan kerang-kerang kecil, dan mencari ketimun laut, atau menyelam mencari bulu babi. Atau berlari sepanjang bentangan pasir yang putih dan menyilaukan, aku di belakangmu – mengagumi kakimu yang lembut dan gesit, serta rambutmu yang berkibar. Lalu kita akan berhenti, terengah-engah, tertawa.

Setelah sejenak beristirahat, kita akan berlari lagi ke laut dan berperang melawan ombak laut yang datang menghantam-hantam. Aku akan menggosok punggungmu yang halus seperti sutra sesudah kita selesai berenang di laut. Aku akan mengambil air segar dengan batok kelapa yang bersih, dan membilas rambutmu yang halus dan hitam legam. Rambutmu turun melambai dengan lembut, berkilau dalam sinar mentari sore. Oh, indah sekali. Lalu aku akan memotong kuku jarimu dengan hati-hati. Kadang kau akan tersentak kesakitan. Oleh karenanya aku akan memohon padamu untuk mencambukku. Sehingga kau dapat membedakan antara tangisku dan tawaku. Dan bahkan rasa sakit yang kauberikan menjadi bagian dari keindahan itu sendiri.

Itulah caraku. Caraku satu-satunya untuk menunjukkan betapa bersyukurnya aku atas hal-hal yang telah aku kecap sebelumnya: persahabatanmu, tempat berteduh dan makanan di istanamu yang besar. Maka orangtuamu bilang kalau aku akan sungguh-sungguh menjadi pelayan yang baik. Dan kau juga berpikir demikian.

Orangtuamu menyekolahkanmu ke sekolah Muslim ketika usiamu tujuh tahun. Aku tidak disekolahkan bersamamu, tapi bagiku tidak ada bedanya. Apalagi, bukankah tugasku membawakan Al-Quranmu yang berwarna merah di atas kepalaku empat kali sehari? Dan kau gembira, karena aku dapat menghiburmu. Karena seseorang dapat menjadi pembawa air buatmu. Salah satu syarat belajar di situ adalah membawakan air setiap kali datang ke kelas Muslimmu itu. “Oh, mengapa? Maafkan bibir sumbingku yang gagap, tapi aku benar-benar ingin tahu.” Guru Muslimmu, Goro, menatapku dalam-dalam seolah-olah menyelidiki keseluruhan sistem diriku. Bodoh. Tidakkah aku tahu bahwa hati dapat menangkap yang diajarkan seperti air tenang yang terus mengalir? Hati. Hati, bukan otak. Tapi aku tidak menjawab. Apalagi, tugasku di sana bukanlah untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak sopan. Malu, malulah pada bibir sumbingmu untuk bertanya seperti itu, aku mencaci diriku sendiri diam-diam.

Begitulah caranya aku memainkan peran seorang Epang-Epang, seorang pelayan antar-jemput bagimu. Dan aku menjadi kian bersemangat tiap hari, berjalan susah payah di belakangmu. Aku nampak seperti anjing yang setia dan penuh kasih sayang, yang mengikuti tuan putrinya dengan langkah-langkah ringan dan hati berdendang. Karena kau, berjalan di depanku, adalah semacam ilham yang dapat aku ikuti tanpa kenal lelah, bahkan sampai ke ujung bumi….

Suara monoton dan suram alunan Al-Quran yang kau baca berlangsung selama tiga tahun. Kau begitu lamban, Goro-mu berkata. Terkadang, ia ingin mencambukmu. Namun tak tahukah ia bahwa kau adalah putri Sang Datuk? Aduh, pasti ia sendiri yang akan dicambuki. Tapi mencambuki seorang pelayan yang yatim piatu dan menjepit bibirnya yang terbelah dengan dua lempeng kayu jelas sekali diperbolehkan. Maka, Goro-mu menemukan pengganti yang tepat pada diriku. Sungguh aku mengerang kesakitan karena pukulan-pukulannya! Tapi betapa Goro-mu tertawa; penjepit-penjepit yang terbuat dari kayu tidak bisa membuat bibir sumbingku terkatup rapat. Penjepit-penjepit itu selalu lepas. Dan kelas juga bergemuruh dengan tawa – kau yang mengawali.

Namun ketika kembali di istanamu yang luas, kau telah mulai diajari bagaimana bersikap sebagai seorang perawan. Aku lebih tua darimu satu Ramadhan. Aku sering bertanya-tanya mengapa kau tumbuh begitu cepat, sedangkan aku tetap saja orang cebol yang dungu. Mungkin cara aku dibesarkan pada awal masa kecilkulah yang menghambat pertumbuhanku. Meski begitu, ada untungnya juga aku tidak bisa mengejar pertumbuhanmu. Karena aku punya firasat bahwa kau tidak akan terus-menerus memanfaatkan bantuanku pada tugas-tugas intim tertentu – seperti menggosok punggungmu saat kau mandi – seandainya saja badanku tumbuh sepesat badanmu.

Di sanalah aku, di tempat tidur, malam hari, sendiri, mabuk oleh gairah dan perasaan-perasaan yang mirip dengan apa yang dirasakan seorang pria dewasa. Diam-diam aku membayangkanmu, tanpa rasa malu, penuh nafsu: seorang Dayang-Dayang dengan tubuh matang berbaring di atas ranjangnya di pojok yang paling terlindung di kamar tidur mewahmu, buah dadamu yang bergerak naik turun dengan lembut laksana laut yang dibelai angin sepoi-sepoi; pipimu yang berwarna merah termuda, menyentuh bantal yang lembut; mata yang menatap penuh kedalaman seolah dalam mimpi – hangat, mencari-cari, penuh ungkapan; pantatmu yang bergerak gemulai dan tanganmu yang lentur, rambut hitam legam yang lembut dan berombak …..

Dayang-Dayang, bisakah kau memaafkan seorang pelayan yatim piatu yang cacat seandainya ia menjadi gila dan kehilangan rasa hormat dan takut terhadap Appah-mu? Bisakah kau mengampuni kesembronoan yang berlebihan seandainya ia meloncat dari tempat tidurnya, berlari menuju kamarmu, meraihmu dengan tangan-tangannya, dan membuat wajahmu geli dengan bibir sumbingnya? Aku ingin mengakui bahwa paling tidak untuk sesaat, mendambakan, lapar dan haus …. Tidak, tidak, aku tidak bisa mengatakannya. Kita seperti dua pola yang bertolak belakang. Bahkan penampilanmu yang indah – istana besar dimana kau tinggal – darah yang kaumiliki…

Bahkan jari-jari Allah pun mungkin tidak bisa menenun benang-benang hidup kita menjadi setara. Aku harus memuaskan diriku dengan kesempatan memandang berkali-kali keindahanmu yang tak terbandingkan. Seorang pelayan yang buruk rupa tidak boleh melewati batas-batas kecilnya.

Tapi tidak semua hal tetap seperti adanya. Seorang Datuk muda dari Bonbon datang kembali untuk meminangmu. Appah-mu dengan sangat gembira menyambutnya. Tidak ada yang lebih baik daripada perkawinan dua orang dengan darah yang sama. Selain itu, ia sudah mulai tua. Ia tidak punya anak laki-laki untuk menggantikannya suatu hari nanti. Nah, Datu muda itu betul-betul tepat pada waktunya untuk mengambil obor kerajaan yang sudah dibawa oleh Appah-mu selama bertahun-tahun. Namun aku – perasaanku berbeda, tentu saja. Aku ingin …. Tidak, aku tidak mungkin turut campur dalam rencana perkawinanmu. Lagipula, siapakah aku ini?

Tentu Appah-mu benar. Datuk muda itu memang tampan. Dan kaya pula. Ia memiliki sebidang tanah luas yang ditanami pohon buah-buahan, pohon kelapa, dan tanaman abaca. Dan kau juga senang. Bukan karena ia kaya – karena kau sendiri juga kaya. Tapi aku pikir aku tahu sebabnya: Datuk muda itu dapat menggosok punggungmu yang halus lebih baik daripadaku tiap kali kau mandi. Tangannya tidak kapalan seperti tanganku…. Namun aku tidak mengatakan hal ini padamu. Tentu saja tidak.

Appah-mu menyuruh hamba-hambanya untuk memperlebar istanamu di dua sisi. Istanamu sudah besar, tapi harus diperbesar lagi karena ratusan orang akan datang untuk menyaksikan perkawinanmu yang megah.

Keringat orang-orang itu mengalir deras. Mereka banyak melakukan pekerjaan memalu, memotong dan mengangkat saat mereka mendirikan tonggak-tonggak. Banyak yang makan-makan dan mengobrol. Dan mengunyah sirih dan pinang asli daerah itu. Dan melontarkan ludah warna merah sesudahnya. Hanya dalam waktu satu hari bangunan tambahan itu sudah selesai dibangun.

Lalu tibalah hari perkawinan besarmu. Orang-orang telah memenuhi istanamu sejak pagi untuk membantu penyembelihan sapi dan kambing menurut aturan agama. Juga untuk membantu makan dengan rakus hidangan pesta pernikahanmu. Beberapa orang datang menjelang sore. Mereka yang tidak bisa ditampung di atas terpaksa bertempat di bawah.

Obor-obor yang dibuat dari daun kelapa yang sudah kering menyala terang pada malam harinya. Orang-orang pribumi yang pakaiannya hanya membungkus sebagian tubuh mereka menyalakannya dengan api yang digunakan untuk memasak. Beberapa yang lain menumbuk beras untuk dibuat roti. Dan keringat mengalir deras pada tubuh-tubuh mereka yang coklat mengkilat.

Di halaman istana, para hamba Sang Datuk muda menari-nari dalam lingkaran-lingkaran besar. Anak-anak muda desa menari dengan anggun, pada saat tertentu mereka menggoyang pinggul mereka dengan gerakan penuh, pada saat lain mereka memutar tangan-tangan mereka yang lentur. Kaki-kaki mereka bergerak dengan lincah dan hampir tidak kelihatan.

Para penari pria akan membungkuk rendah, dengan tombak kayu, sebatang keris, atau sepucuk barong di satu tangan dan perisai kayu di tangan yang lain. Mereka mengundang peperangan berdarah dengan berlari menembus lingkaran penari-penari lain dan saling bertubrukan. Terompet pribumi, genderang, gabang, agong, dan kulintang menambah banyak keceriaan yang ditimbulkan oleh musik pada malam itu.

Menari. Menyayi dalam kegembiraan. Musik. Keriuhan. Tawa. Musik mengembang mengisi dunia seperti hati penuh darah, penuh semangat, menggetarkan. Tapi hatiku membengkak karena rasa sakit. Orang-orang bersorak: “Hidup Dayang-Dayang dan Sang Datuk, MURAMURAAN!” pada setiap jeda. Dan aku ikut bersorak – tanpa berpikir, sebelum aku sadar. Aku akan sangat kehilangan kau…..

Orang-orang berhamburan dan mendesak yang lain menuju ke istanamu ketika Sang Datuk muda dibawa ke hadapanmu. Karena kecil, aku berhasil menyelip sampai cukup dekat untuk bisa melihatmu dengan jelas. Kau, Dayang-Dayang. Wajahmu yang berbentuk seperti bulan rapi tertutup nasi yang ditumbuk halus. Rambutmu dikonde tinggi di bagian tengah kepalamu, dan penuh dengan penjepit rambut yang gemerlapan. Gaunmu yang ketat dan berwarna hitam kemilau tertutup mantel tipis berwarna merah paling muda yang bisa dibayangkan. Kancing baju dari emas menghiasi baju pengantinmu. Kau duduk dengan kaku di atas tikar, dengan bantal asli daerah itu yang penuh sulaman, ditumpuk dengan rapi di belakang. Cahaya lilin melembutkan wajahmu begitu cantiknya sehingga kau tampak seperti bidadari yang muncul di mimpi-mimpi. Kau terus-menerus menunduk.

Saatnya tiba. Pendeta yang memakai turban, berbicara dengan suara halus, membawa Sang Datuk muda kepadamu, sementara gadis-gadis terus menyanyikan lagu dari belakang. Sang pendeta meraih jari telunjuk Sang Datuk, dan menyentuhkannya tiga kali pada bagian di antara dua alismu. Dan setiap kali hal itu dilakukan, dadaku bergerak naik turun dan bibirku berkomat-kamit..

Ingatkah kau? Kau hampir menangis, Dayang-Dayang. Karena, seperti kata orang, kau akan dipisahkan dari orangtuamu. Suamimu akan membawamu ke Bonbon, dan kau akan hidup di sana seperti wanita desa. Namun ketika sekilas kau melihat ke arahku tanpa sengaja, sekali itu kau tersenyum, sebuah senyum kecil. Dan aku tahu alasannya: bibir sumbingku menghiburmu lagi. Aku membalas senyummu, dan segera mengundurkan diri. Aku mengundurkan diri tiba-tiba karena aku tidak tahan lagi melihatmu duduk di samping Datuk muda itu, dan aku tahu pasti bahwa aku yang berkeringat, bekerja keras dan melayanimu seperti anjing …. Tidak. Tidak, sungguh tak tahu malu aku berpikir seperti itu. Bukankah itu sudah menjadi tugas seorang pelayan?

Tapi aku melarikan diri malam itu, Darah Biru yang cantik. Ke mana? Ke mana saja. Tepatnya tujuh tahun yang lalu. Dan tahun-tahun itu telah memberikan hal-hal yang luar biasa padaku. Aku bukan lagi si cebol yang dungu, meski bibir sumbingku masih seperti dulu.

Aku juga sudah berhasil mengumpulkan sedikit uang setelah bekerja keras bertahun-tahun. Aku bisa saja memiliki dua atau tiga istri, namun aku belum pernah menemukan seseorang yang menyerupai kau, Darah Biru yang cantik. Maka, aku tetap sendiri.

Dan Roda Waktu Allah tetap berputar, dan tetap berputar. Maka perhatikanlah, suatu hari suamimu dipindahkan ke Pertanian San Ramon Penal, Zamboanga. Ia telah bangkit memberontak melawan pemerintahan Kristen. Ia ingin mendirikan pemerintahannya sendiri. Ia ingin menunjukkan kekuatannya yang tak seberapa dengan menolak membayar pajak tanah, dengan alasan tanah-tanah miliknya adalah harta mutlak miliknya atas dasar warisan yang sah. Ia tidak mengerti bahwa sejumlah kecil uang yang seharusnya ia berikan dalam bentuk pajak akan digunakan untuk melindungi dirinya dan para pekerjanya dari para penipu. Ia tidak mengerti bahwa sesungguhnya ia adalah bagian dari pemerintahan Kristen itu sendiri. Akibatnya, para hambanya kehilangan nyawa mereka dalam pertempuran memperjuangkan tujuan yang salah. Appah-mu juga ikut terlibat dalam kekacauan itu dan tewas bersama dengan yang lain. Harta miliknya disita. Dan Amboh-mu meninggal karena hancur hatinya. Suamimu harus menyerah untuk menyelamatkan nyawanya. Tanah-tanah miliknya juga disita. Hanya sebagian kecil tersisa untukmu sehingga kau bisa mengolahnya dan hidup darinya.

Dan masih ingat kan? Suatu hari aku pergi ke Bonbon untuk urusan dagang. Dan aku melihatmu di ladangmu yang sempit dengan anak-anakmu. Awalnya, aku tidak percaya bahwa itu adalah kau. Lalu kau lama menatapku dalam-dalam. Tiba-tiba mata Si Darah Biru yang sudah kukenal menangkap ciri-ciri orang yang dulu menjadi pelayannya. Dan kau juga tidak bisa mempercayai matamu sendiri. Kau tidak mampu dengan segera mengenaliku. Namun saat kau melihat bibir sumbingku tersenyum padamu, dengan sedikit ragu-ragu, akhirnya kau mengenaliku. Dan aku senang kau akhirnya mengenaliku.

“Oh, Jafaar,” kau menarik nafas karena terkejut, tanpa sadar menurunkan janapmu, sekopmu yang sudah kuno. Aku kira kau sudah mati, katamu. Sial. Sial. Masih saja saja gayamu terus-terang dan blak-blakan. Seolah-olah kau masih mampu bersenda gurau meski kesedihan sudah akan melepaskan sisa-sisa kecantikanmu. Betapapun, kau masih mampu menyembunyikan sakit dan dukacita itu di bawah kelakar dan tawamu. Dan aku juga senang karena itu.

Sebenarnya, aku akan mengatakan padamu bahwa Jafaar yang kau lihat sekarang adalah Jafaar yang jauh berbeda, Jafaar yang jauh lebih maju. Sungguh. Tapi yang keluar dari mulutku: “Oh, Dayang-Dayang,” aku berkata terbata-bata, sungguh sedih melihatmu bekerja. Kau telah dibesarkan dengan kesenangan dan kemewahan. Namun, aku berusaha keras untuk tidak sedikitpun menunjukkan bahwa aku memahami keadaanmu yang menyedihkan.

Salah seorang anakmu datang dengan berlari-lari dan bertanya siapa diriku. Sesungguhnya, aku adalah, aku adalah….

“Pelayan tuamu,” aku berkata tiba-tiba. Anakmu berkata oh, lalu diam, kembali bekerja. Kerja, kerja, Eting. Kerja nak. Ikat kayu bakar itu dan bawa ke dapur. Jangan pikirkan pelayan tuamu. Dia tidak akan muda lagi. Datuk kecil yang malang, bekerja demikian keras. Darah Biru cantik yang malang, harus juga bekerja keras.

Anehnya kami tetap diam cukup lama. Lalu kemudian: Omong-omong, dimana aku tinggal sekarang? Di Kanagi. Ada urusan apa di Bondon hari ini? Menemui Panglima Hussin untuk urusan sapi-sapi yang ia ingin jual, Dayang-Dayang. Sapi? Apakah aku sudah jadi pemilik tanah sekarang ? Kalau Darah Biru yang cantik dapat hidup seperti wanita desa, mengapa laki-laki seperti bekas pelayanmu tidak? Kau tahu, nasib baik melawanku dalam pekerjaanku mengarungi laut, sehingga aku harus beralih ke jual beli ternak. Oh, kaatamu. Lalu kau tertawa. Dan aku tertawa bersamamu. Tawaku kering. Ataukah tawamu? Namun, kau bertanya apa masalahnya. Oh, tidak ada apa-apa. Sungguh, tidak ada yang serius. Tapi kau tahu …. Dan kau kelihatannya mengerti saat aku berdiri di sana di depanmu, bersandar pada pohon mangga, tidak melakukan apa-apa selain menatap dan menatap kau.

Aku mengamati bahwa dirimu yang sekarang hanyalah hantu masa lalu yang membawa ingatan tentang Si Darah Biru dari istana besar. Sumber gairah hidup, kecantikan serta kekuatanmu sepertinya sudah mengering dari dirimu yang dulu menawan, yang kini harus dialirkan ke sepetak tanah yang kau garap. Tentu aku tidak mengharap kau secantik dulu. Namun seharusnya kecantikanmu – dari masa lalu – masih jelas terlihat. Bukannya mata kabur dikelilingi oleh lingkaran hitam; bukannya rambut yang kering dan kusam, bukannya wajah yang legam terbakar matahari, bukannya tangan berkapal yang keriput; bukannya …

Nampaknya kau semakin mengerti. Mengapa aku menatapmu seperti itu? Apakah karena aku sudah lama tidak melihatmu? Atau ada yang lain? Oh, Dayang-Dayang, bukankah perubahan yang buruk dalam dirimu itu membuat bekas pelayanmu ini prihatin? Seketika kau memalingkan matamu dariku. Kau meraih janapmu dan mulai menyekop tanah yang gembur. Sepertinya kau tidak mampu mengucapkan sepatah kata lagi karena tangismu akan pecah. Kau memutar punggungmu ke arahku karena kau benci aku melihatmu menangis.

Aku mencoba untuk memahami sebabnya: melihatku sekarang menghidupkan ingatan-ingatan lama. Melihatku, berbicara denganku, mengolok-olok aku, sama dengan melihat, berbicara dan bercanda di masa lalu di istana besar yang penuh dengan keceriaan. Dan kau menangis tersedu-sedu ketika aku berpikir demikian. Aku tahu kau menangis tersedu-sedu, karena pundakmu bergetar. Namun aku berusaha seolah-olah aku tidak menyadari tangismu yang berusaha kau tahan. Aku membenci diriku karena telah datang padamu dan membuat kau menangis …

“Boleh aku pergi sekarang, Dayang-Dayang?” aku berkata pelan, berusaha keras untuk menahan airmataku sendiri. Kau tidak berkata ya. Dan kau juga tidak berkata tidak. Tapi anggukan kepalamu sudah cukup bagiku untuk mengerti dan segera pergi. Pergi ke mana? Adakah tempat untuk pergi? Tentu saja. Ada banyak tempat untuk pergi. Namun jarang ada tempat untuk kembali.

Namun sesuatu membuatku terpaku di jalanku setelah aku berjalan kira-kira satu mil. Ada dorongan hati yang berjuang untuk membawaku kembali padamu, membuatku lupa akan ternak Panglima Hussin. Setiap naluri dalam diriku berkata bahwa sungguh tepat bagiku untuk kembali padamu dan berbuat sesuatu – mungkin memohon padamu untuk mengingat bibir sumbing milik Jafaar yang sudah tua, supaya kau dapat tersenyum dan menjadi ceria kembali. Aku ingin berlari kembali dan menghapus airmata dari matamu dengan penutup kepalaku. Aku ingin mengambil air segar dan membilas rambutmu yang kering dan berkerut, sehingga akan pulih menjadi kehalusan yang melambai-lambai dan kemilau yang megah. Aku ingin memotong rapi kuku-kukumu, dan membelai tanganmu yang kapalan. Aku rindu untuk mengatakan padamu bahwa tanah dan ternak yang kumiliki adalah milikmu. Di atas semuanya, aku ingin sekali berputar arah dan kembali padamu untuk memohon padamu dan anak-anakmu untuk pulang bersamaku. Meski rumah yang kutinggali tidak sebesar istana besarmu di Patikul, paling tidak rumah itu akan menjadi tempat berteduh yang menyenangkan, meski untuk sementara, sambil kau menunggu suamimu dibebaskan.

Desakan untuk kembali padamu, Dayang-Dayang, begitu kuatnya. Tapi aku tidak kembali karena tiba-tiba kecemasan melandaku: aku tidak punya darah biru. Aku hanya punya bibir sumbing. Bahkan jari-jari Allah pun tidak akan mampu menenun kita, bahkan saat ini, untuk menjadi setara.

Ibrahim A. Jubaira

blue_blood