Masa depan kerajaan di Kamboja

Charnvit Kasetsiri

         

Masa depan kerajaan di Kamboja 1

Berbagai kerajaan tradisional yang ada di Asia Tenggara, baik itu berasal dari tradisi Hindu-Budha atau tradisi Islam, telah digusur atau ditaklukkan oleh negara-negara kolonial besar. Salah satu kerajaan tradisional terkuat seperti Burma dihancurkan, sementara kerajaan-kerajaan tradisional yang lain harus menyesuaikan diri untuk bertahan, termasuk di dalamnya kerajaan Siam. Raja Burma yang terakhir, Thibaw (memerintah sejak 1 Oktober 1878 – 29 November 1885), dikirim ke pengasingan di luar Bumbai, sementara Kaisar Mughal yang terakhir dari India, Bahadur Shah Zafar, (memerintah sejak 28 September 1837- 14 September 1857), dikirim ke Yangon untuk menemui ajalnya di sana. Ada juga sejumlah raja atau raja boneka yang dibiarkan berkuasa untuk menjalankan fungsi dalam upacara adat atau untuk membantu penguasa kolonial, seperti yang dijumpai di Indonesia (Jawa dan Bali), tanah Melayu, Tai/Shan, Vietnam, Laos, dan Khmer.

Dengan kedatangan kolonisme Jepang dan berakhirnya Perang Dunia kedua, suatu periode baru dimulai. Kerajaan-kerajaan yang tersisa di Asia Tenggara harus memilih antara menjadi aktif atau tidak dalam lingkungan baru mereka yang patriotik-nasionalis. Kebanyakan dari kerajaan-kerajaan tersebut memilih untuk menuruti tuan lama mereka, seperti di Vietnam, Indonesia (dengan pengecualian untuk kasus sultan Yogya), Shan sawbuas, Laos (dengan pengecualian untuk sejumlah Lao chao), dan sultan-sultan Malaysia. Raja muda Thailand, Rama VIII, dan saudara laki-lakinya, yang kemudian menjadi Rama IX, beruntung karena mereka tinggal di Swiss yang netral selama berlangsungnya perang. Kasus raja Khmer, Norodom Sihanouk (1922-2012), bisa dikatakan tergolong tidak umum. Pada saat ini hanya ada 27 negara yang menggunakan sistem kerajaan di antara 193 anggota PBB (atau hanya sekitar 13 persen).

Dalam tulisannya pada tahun 2001, satu dekade sebelum kematian Sihanouk, seorang akademisi asal Inggris, menulis sebuah nota dengan nada yang mengkhawatirkan berikut:

[quote]Meskipun demikian, kita mungkin harus menyimpulkan, secara tentatif, bahwa kerajaan   Kamboja hanya memiliki peluang kecil untuk bertahan dalam jangka waktu lama setelah   Sihanouk, tidak akan ada penerus yang bisa menawarkan kombinasi yang sama dari legitimasi prestasi pribadi dan taktik politik yang licin (diinspirasi dan didasarkan atas informasi yang diperoleh dari minat pribadi) kepada Hun Sen atau penerusnya. Posisi raja Kamboja adalah sesuatu untuk diperhatikan – dengan harapan suram akan kekosongan  posisi tersebut untuk jangka waktu lama.[/quote]

Akademisi Inggris tersebut mungkin benar ketika ia menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menyamai atau menggantikan figur Sihanouk, yang disebutnya sebagai raja dengan sembilan kehidupan:

  1. Penguasa di bawah naungan Prancis (1941-45);
  2. Penguasa kerajaan absolut di bawah pengawasan Jepang (1945);
  3. Penguasa kerajaan semi-konstitusi, sekali lagi, di bawah Prancis (1946-52);
  4. Raja yang memenangkan kemerdekaan (1952-54);
  5. Seorang absolut yang mengundurkan diri dari kekuasaan dan mendirikan partai politiknya sendiri (1954-1955);
  6. Seorang populis (penganut populisme) /otokrat/pemimpin tanpa aliansi/ Kepala Negara (1950-70);
  7. Pemimpin FUNK (Front Uni National du Kampuchea), Kepala Negara Demokratik Kamboja – bersama dengan Khmer Merah (1970-75-79);
  8. Penyelamat negara melawan Khmer Merah dan Vietnam (1979-89-93);
  9. Raja, sekali lagi, dari tahun 1993 sampai pengunduran dirinya yang kedua kali pada 15 Oktober 2004, dan ayah dari sang raja sampai pada tahun 2012.

Seperti yang bisa dilihat dari sembilan inkarnasi politik dari raja yang berumur 71 tahun, Sihanouk benar-benar seorang pria besar berbadan kecil yang luar biasa. Bagi bangsanya, ia adalah raja dan ayah yang terlihat sebagai dharma/devaraja tradisional dan seorang penguasa modern pada saat yang bersamaan. Bagi Asia Tenggara, ia adalah tokoh besar seperti halnya Sukarno atau Ho Chi Minh. Mereka terperangkap dalam periode usai Perang Dunia kedua yang kacau balau dan harus bangkit berjuang pada masa perang dingin yang destruktif. Sihanouk harus memainkan suatu peran untuk bertahan di tengah-tengah politik domestik dan pada saat yang sama dihadapkan pada dua blok kekuasaan terbesar di dunia: Uni Soviet-Cina-Vietnam Utara di satu sisi dan Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya pada sisi yang lain. Sihanouk tidak disukai oleh Amerika dan sekutu-sekutunya dan juga oleh Thailand dan Vietnam Utara. Sihanouk dan negaranya terjepit di antara timur dan barat. Dan perlu diingat bahwa, pada tahun 1970, ia ditumbangkan oleh militer Khmer yang dipimpin oleh Lon Nol dengan bantuan Amerika dan Thailand. Kerajaan digulingkan dan Kamboja menjadi republik atau suatu bentuk non-kerajaan selama 23 tahun sampai pada1993.

Sihanouk visiting Romania in 1972, with Romanian President Nicolae Ceaușescu (left) and Queen Norodom Monineath (center). Photo: Romanian National History Museum - www.comunismulinromania.ro
Sihanouk visiting Romania in 1972, with Romanian President Nicolae Ceaușescu (left) and Queen Norodom Monineath (center). Photo: Romanian National History Museum – www.comunismulinromania.ro

Menilai dari jatuh bangunnya karir Sihanouk sebagai raja selama beberapa dekade, dengan dua kali masa jabatan dan dua kali pengunduran diri, kepala negara, perdana menteri, pemimpin gerakan gerilya, dan pada akhirnya “Preah Karuna Preah Bat Samdech Preah Norodom Sihanouk,” yang mengimplikasikan status seperti Bodhisattva, dapat dikatakan bahwa ia telah membangun baaramey yang luar biasa besar yang telah membantunya untuk bertahan dalam periode yang lama di dalam lingkungan politik dalam negeri yang tidak bersahabat. Ini memperkuat posisinya pada politik internasional dan dalam upaya untuk memperoleh rekonsiliasi. Baaramey adalah konsep Budha Khmer yang berarti menyimpan kekuasaan. Secara kultural, istilah ini juga bisa digunakan untuk merujuk pada seseorang yang memiliki kebajikan, kekuasaan, atau kepribadian terpuji, misalnya raja, biksu, orang atau benda kudus, orang-orang terkenal atau individu yang dihormati dan dipatuhi oleh banyak orang. Ketika seseorang tergolong ke dalam suatu kelas tertentu, misalnya seorang raja, ia diwarisi baaramey atau membawanya sejak lahir. Tapi yang lebih penting adalah seseorang harus mengakumulasi baaramey dengan kemampuannya sendiri. Ini untuk memperoleh respek dari orang lain. Baaramey merupakan milik pribadi dan tidak dapat ditransfer. Budha Kotama harus menghabiskan 500 siklus lahir – hidup berulang-ulang untuk mengumpulkan cukup baaramey untuk mencapai nirwana. Tidak perlu dikatakan lagi, baaramey yang dimiliki oleh Sihanouk tergolong sangat banyak untuk ukuran bangsanya dan untuk satu kehidupan yang dijalaninya pada saat ini, tapi tidak cukup banyak untuk ukuran agama atau untuk mencapai status Budha.

Dari semua raja-raja hebat Angkor, Preah Bat Jayavarman VII (berkuasa sejak 1181-1218) dikenal sebagai penganut Budha yang taat, ia membangun banyak rumah sakit (arokayalasa), jembatan (sapian), kuil (prasat), dan mempertahankan kerajaannya melawan bangsa Cham. Reputasi Jayavarman VII tersebar luas dan patung dirinya dikirim ke berbagai wilayah di seluruh kerajaann untuk dipamerkan, termasuk ke wilayah yang kini terletak di bagian utara Vietnam, Laos, dan Thailand (ada satu patung besar yang menyerupai Jayavarman VII di Prasat Phimai, timur utara Thaland). Meskipun demikian, rakyat tidak pernah mendapat kesempatan untuk bertemu langsung dengan raja Jayavarman VII. Tapi di dalam kasus Sihanouk, seperti yang pernah dikatakan oleh mantan Duta besar Kamboja, Pou Sothirak: “sang raja bepergian mengelilingi negeri untuk berdialog dengan para petani miskin, untuk menyampaikan ide-ide nasionalistik dan menciptakan suatu versi Kamboja yang bebas dari penjajah Perancis. Cara yang ia tempuh terbukti sangat efektif sehingga Norodom Sihanouk menjadi pemimpin yang paling dihormati – seorang pendukung kebebasan dan kemerdekaan nasional.” 2 Berkunjung, berbaur, dan mengadakan kontak dengan rakyat biasa serta mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, kuil-kuil, jembatan-jembatan, dan jalan-jalan pada saat yang sama adalah sesuatu yang baru di Kamboja. Hal ini bahkan menjadi lebih berkesan karena dilakukan di luar Phnom Penh. Hal ini tidak pernah terpikirkan sebelum atau bahkan setelah era Angkorian. Di era modern dan dengan menggunakan teknologi modern – mobil, kereta, helikopter, radio, televisi, film-film, dan belakangan kemudian, internet, Sihanouk mungkin merupakan raja pertama yang mengadakan kontak secara langsung dengan rakyat banyak. Sihanouk bahkan memproduksi, menyutradarai, dan berakting dalam film-film dan dokumentasi-dokumentasi buatannya yang berjumlah sekitar 30-an. Semua ini menambah akumulasi baaramey-nya yang sudah berjumlah luar biasa.

Dengan melekatnya konsep baaramey pada pribadi Sihanouk, kita dapat mengasumsikan bahwa penerus raja Sihanouk, raja Sihamoni dan kerajaan Khmer akan menghadapi kesulitan yang luar biasa dalam melanjutkan pemerintahan. Apakah raja yang baru dapat membentuk baaramey-nya sendiri dan pada saat yang sama mempertahankan kerajaan? Banyak pengamat yang menganggap kerajaan Khmer, seperti halnya kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara, belum terinstitusikan, tidak serupa dengan Inggris Raya atau Eropa Barat. Di sana, kerajaan berada di atas politik dan dengan demikian kondisi kerajaan terjamin. Bisa dikatakan, kerajaan di Kamboja memiliki masa depan yang tidak menggembirakan.

Dalam ajaran Budha Theravada di Kamboja, Laos, dan Thailand, baaramey bisa berkurang atau habis. Ini bisa terjadi karena perilaku buruk seseorang. Atau dalam bahasa Khmer sehari-hari, bat baaramey. Bat berarti menghilangkan, atau merusakkan (seperti kehilangan muka atau nama baik) – atau baaramey itu menjadi hilang-lenyap. Hal yang paling menarik dari raja Sihanouk adalah ia menjabat sebagai raja untuk dua kali masa pemerintahan, yang pertama sejak 25 April 1941 – 2 Maret 1955, dan yang kedua sejak 24 September 1993 – 7 Oktober 2004. Ia mengundurkan diri untuk pertama kali pada tahun 1955, ketika ia masih berkecimpung di dunia politik, dan yang kedua, pada tahun 2004, untuk lepas dan berada di atas politik. Ia berhenti pada usia 33 tahun dan 82 tahun.

Meeting in Beijing in 1956: from left Mao Zedong, Peng Zhen, Sihanouk, Liu Shaoqi
Meeting in Beijing in 1956: from left Mao Zedong, Peng Zhen, Sihanouk, Liu Shaoqi

Setelah mengundurkan diri, Sihanouk menghabiskan waktunya di luar Kamboja. Ia kebanyakan berdiam di China dengan ratu yang penuh pengalaman, Monineath (sebelumnya dikenal sebagai Paule-Monique Izzi, kelahiran 18 Juni 1936, seorang wanita cantik keturunan Prancis-Italia-Khmer, ia menikah dengan raja pada tahun 1952, pada usia 16 tahun, dan memiliki 2 putra dari pernikahannya dengan sang raja). Sihanouk memiliki beberapa orang istri dan total 15 anak. Karena masalah kesehatan, Sihanouk telah meninggalkan dunia politik selama 8 tahun sampai pada saat ia meninggal. Bisa dikatakan bahwa Sihanouk meninggal ketika baaramey-nya berada pada puncaknya, dengan kata lain: tidak bat. Bisa juga dikatakan, pengunduran diri Sihanouk adalah solusi yang baik bagi dirinya dan kerajaan Khmer. Dengan kata lain, walaupun Sihamoni mungkin tidak mewarisi baaramey milik ayahnya, secara praktis, ia dapat bersandar pada baaramey milik ayahnya.

Yang menarik, kasus Kamboja terlihat serupa dengan kasus kerajaan kecil, Bhutan, yang pada tahun 2006, raja yang tengah berkuasa, Jigme Singye, pada usia 61 tahun, mengundurkan diri dari tahta kerajaan agar putranya yang masih muda, Jigme Khesar Namgyel, pada saat itu masih berusia 26 tahun, dapat naik tahta. Raja Jigme Singye terkenal untuk berbagai reformasi modern yang ia lakukan dan ia masih sangat populer pada saat ia mengundurkan diri sehingga ia bisa tinggal untuk membantu putranya dalam masalah pemerintahan. Sementara itu, ketika Sihamoni menjadi raja bujangan pada usia 51 tahun, ia telah memperoleh banyak perlindungan dari orangtuanya yang populer. Ia terlihat puas dengan peran sebagai raja walaupun tanpa kekuasaan yang sebenarnya, tidak seperti ayahnya. Sangat menarik untuk melihat bahwa di banyak kantor-kantor, toko-toko, dan berbagai tempat-tempat umum di Kamboja, selalu ada tiga foto berbingkai, foto Sihanouk, Monineath, dan Sihamoni yang digantung bersama-sama.

Kerajaan Kamboja mungkin tidak terinstitusi seperti versi Inggris atau kerajaan Eropa barat lainnya, tetapi pengunduran diri Sihanouk sepertinya berhasil menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kerajaan di masa yang lalu. Oleh karena itu, ini bukanlah kematian sang raja, “Long live the king”.

 Charnvit Kasetsiri
Thammasat University, Thailand

Kyoto Review of Southeast Asia. Issue 13 (March 2013). Monarchies in Southeast Asia

Daftar Pustaka

Chandler, David. 1997. From ‘Cambodge’ to Kampuchea: State and Revolution in Cambodia, 1863-1979. Thesis Eleven 50, hal. 35-49.
Edwards, Penny. 2008. Cambodge: The Cultivation of A Nation: 1860-1945. Honolulu: University of Hawaii Press.
Kershaw, Roger. 2001. Monarchy in South-East Asia: The faces of tradition in transition. London/ New York: Routledge.
Remembering the King Norodom Sihanouk, 1922-2012. 2012. The Cambodia Daily. 31 Oct 2012, hal. 1-24.

Notes:

  1. Terima kasih untuk Benedict Anderson, Chhany Sak-Humphry, Philippe Peycam, Phra Lah, Chap Prem, Theara Thun, Thongchai Winichakul atas saran dan informasinya. Terima kasih untuk Caroline Hau dan Pavin Chachavalpingpun yang membantu penulis menyebrang dari perbatasan Thailand. 
  2. Wawancara dengan Pou Sothirak, 31 Oktober 2012.