Menggugat Ruang Pemahaman dalam Politik Buddhisme

Alicia Turner

Gambaran umum dan ilmiah tentang mobilisasi umat Buddha di Myanmar belakangan ini mengangkat persoalan bagaimana pendekatan teoritis dan analitis dapat menentukan kajian Buddhisme, politik dan masyarakat. Munculnya organisasi monastik nasionalis “MaBaTha” dan upayanya untuk memberlakukan undang-undang yang ketat dan menentukan politik pemilihan umum di Myanmar yang baru-baru ini mulai mengalami demokratisasi, telah menempatkan lagi isu politik Buddhisme dan nasionalisme di tengah banyaknya analisis di Asia Tenggara. MabaTha mengambil namanya dari slogan nasionalis anti-penjajahan pada awal abad ke-20 yaitu “Amyo (Ma), Batha (Ba), Thathana (Tha)” yaitu: ras, agama/bahasa, dan sāsana (ajaran dan sendi keagamaan Buddha). Nama itu sendiri menggambarkan hubungan antara perkembangan saat ini dan pergerakan massa Buddhisme yang terkenal di Burma sejak lebih dari satu abad lampau.

Masalahnya adalah, tidak seperti kebanyakan kajian atas agama Buddha yang sudah ada, banyak analisis terhadap munculnya MaBaTha dan paham nasionalis lainnya dan gerakan anti-Muslim di Myanmar merujuk sebab-musababnya entah pada umat Buddha yang menggunakan agama untuk kepentingan politik, atau pada paham nasionalis yang kolot atau sentimen anti-asing yang dianggap hakiki dalam umat Buddha di Burma. Kedua hal ini tentu saja salah, bukan hanya karena mereka terlalu mengampangkan, tetapi karena mereka mewakili satu pendekatan yang bermasalah tentang pemikiran, agama dan identitas Buddhisme. Mereka menyiratkan bahwa Buddhisme memiliki hakikat yang pasti sepanjang waktu atau bahwa agama dan politik itu dapat dengan mudah dikenali sebagai dua hal terpisah sebagai bagian pengalaman dan tindakan manusia. Jika kita menggali lebih dalam persoalan ini, akan menjadi jelas bahwa hasil dari gerakan-gerakan ini bukan untuk mendukung tafsiran tertentu atau berkaitan dengan situasi politik, identitas nasional atau ritual umat Buddha, tetapi secara aktif membentuk dan menentang kerangka berpikir yang menjadi perdebatan tersebut bergantung.

Saat ini terlalu banyak wacana publik yang berpusat pada gerakan-gerakan tersebut gagal untuk memahami bahwa mereka sedang membangun dan menciptakan kembali Buddhisme dan identitas sebagai orang Burma dalam usahanya untuk melestarikannya, sama seperti gerakan-gerakan sebelumnya. Dalam hal ini, Buddhisme dan negara adalah dua wadah cair yang berfungsi sebagai mekanisme untuk menciptakan dan mengubah struktur dan tingkatan-tingkatan sosial. Selain itu pula, laporan jurnalistik dan kebijakan juga secara tidak sengaja mendukung ide tentang Buddhisme atau bangsa Burma sebagai konsep yang statis, luar biasa dan dapat dikenali. Terlalu sering karya-karya akademis menyiratkan bahwa hal-hal ini adalah objek pengetahuan yang tetap sehingga kita dapat memperoleh pengakuan sebagai ahli dalam menggambarkan dan menjelaskan. Dampak nyata dari kekeliruan ini adalah bahwa secara tidak sengaja melibatkan kita dalam politik budaya dari lokasi tempat kita belajar dan berpotensi menghilangkan temuan-temuan lain tentang Buddhisme dan modus identitas dan pergerakan yang tidak diartikan dalam istilah bangsa, ras atau ekslusi.

Buddhist monks who support Ma Ba Tha attend a celebration of four controversial bills with a rally in a stadium at Yangon October 4, 2015. Photo: Central Patriotic Association Facebook page: https://www.facebook.com/centralpatrioticassociation/info/
Buddhist monks who support Ma Ba Tha attend a celebration of four controversial bills with a rally in a stadium at Yangon October 4, 2015.
Photo: Central Patriotic Association Facebook page: https://www.facebook.com/centralpatrioticassociation/info/

Pada pergantian abad ke-20, banyak umat Buddha di Burma mengalami perubahan yang meresahkan sebagai akibat dari pemerintahan kolonial, yang berarti bahwa ajaran Buddha menghilang. Mereka melakukan perubahan secara besar-besaran untuk mempertahankan Buddhisme, yang punya akibat pada berbagai aspek di dalam masyarakat, organisasi sosial dan juga, politik nasional anti-penjajahan. Hal ini nampaknya juga paralel dengan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Myanmar sekali lagi menghadapi pergolakan sosial, politik dan ekonomi yang besar. Banyak penduduk Burma mengungkapkan ketidakyakinannya akan menjadi stabilnya perubahan yang terjadi dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang penting menghilang. Gerakan-gerakan yang menyatakan bermaksud melindung Buddhisme, ajaran Buddha dan budaya bangsa Burma, telah menciptakan pergerakan massa. Nampaknya jelas, berbagai langkah yang berkaitan dengan upaya melestarikan Buddhisme, serta wacana tentang siapa dan apa yang merupakan ancaman bagi Buddhisme (Muslim, partai politik, LSM asing, perubahan gaya hidup) telah membangun identitas diri bagi banyak orang di Myanmar.

Namun, daripada menggunakan kaitan antara dua peristiwa untuk mencari penjelasan tentang hakikat umum wacana umat Buddha ataupun nasionalisme bangsa Burma, langkah ke depan sebaiknya adalah melihat bagaimana kedua peristiwa tersebut telah menciptakan dan menyusun kategori-kategori utama: Myanmar/Burma, Buddhisme dan agama. Hal ini dalam rangka memperhatikan kategori-kategori tersebut sebagai sesuatu yang fleksibel, dapat berubah dan punya kuasa, dan bagaimana masyarakat mengatur diri mereka sehingga kita dapat melihat penggunaan kekuasaan dalam masyarakat—itu adalah politik Buddhisme.

Pandangan kritis Benedict Anderson sangat tegas untuk kasus di Asia Tenggara, sehingga hal ini memudahkan kita untuk mengubah pemahaman akan kebangsaan dalam wacana pergerakan ini dan menguraikan bagaimana mereka membayangkan Myanmar dalam identitas beragama yang khusus. 1 Karya-karya yang membangun dan mempertanyakan bangsa dan identitas nasional seringkali tersurat dan mudah dihubungkan dengan wacana politik, sekalipun bahkan jika pengamat terlalu sering mengabaikan gerakan perlawanan yang lebih liberal juga bersama-sama terlibat dalam menciptakan Myanmar sebagai bangsa. Ini adalah langkah awal yang penting dalam mengkaji apa yang dipertaruhkan dalam gerakan tersebut dan juga bermanfaat, tetapi itu hanya langkah awal. Langkah berikutnya, mungkin lebih ditujukan bagi para ahli kajian tentang agama, adalah mengubah pemahaman akan Buddhisme dan memusatkan perhatian kita tentang bagaimana gerakan-gerakan tersebut membentuk kembali batasan-batasan tentang arti Buddhisme di Myanmar melalui wacana dan rencana-rencana mereka. Kebanyakan analisis umum dan kebijakan berpendapat seolah-olah ada hakikat di luar batas-batas sejarah dari Buddhisme yang ditunjukkan atau diputarbalikkan oleh pergerakan bersejarah tertentu, dan bukannya mengakui bahwa Buddhisme berada dalam perubahan dari tafsir Buddhis itu sendiri. Jelaslah bahwa gerakan di Myanmar saat ini secara aktif membentuk-kembali arti Buddhisme dalam pelaksanaannya, sekalipun mereka mengakui bahwa mempertahankan dan melindungi Buddisme adalah tujuan utama misi mereka.

Selain itu, karya yang mempertanyakan dan menata-kembali kategori yang penting ini tidak terbatas hanya pada gerakan-gerakan yang berlabel nasionalis, fundamentalis atau anti-Muslim; itu adalah sebuah proses yang dilakukan oleh gerakan Buddhis dan tokoh monastik di semua penjuru Myanmar dari berbagai ajaran. Fokus dari pertanyaan dan perumusan kategori-kategori tersebut adalah untuk melihat hubungan antara gerakan Buddhis yang berbeda di Myanmar saat ini dan untuk melihat perubahan mendasar yang mereka lakukan pada aspek sosial/ agama/ politik di Myanmar, di luar isi dari retorika mereka.

Kita perlu melakukan analisis dalam mengubah pemahaman atas kategori ini ke tingkat lain untuk melihat bagaimana agama dan sekuler dipertanyakan dan disusun melalui gerakan Buddhis, melalui cara yang sejatinya adalah interaksi politik dan sosial. Dalam hal ini, perhatian pada kategori mampu menawarkan nilai pembelajaran khusus, jika kita tertarik pada Buddhisme dan politik. Para sarjana terlalu sering mengganggap Buddhisme sebagai agama (tanpa menanyakan apa yang dimaksud dengan agama) dan cara yang tepat untuk mengupas agama dan politik adalah dengan melihat hubungan dan interaksi antar keduanya. Tetapi, ini mengasumsikan bahwa agama adalah sebuah kategori kehidupan/ tindakan/ pikiran yang terpisah dari politik. Hal ini mengasumsikan suatu cara pandang dan pembagian konsep yang di dalamnya agama sebagai satu kategori terikat yang bisa dipisahkan dari kehidupan sosial, yang dinamakan sekuler. Talal Asad dan yang lainnya mengajarkan kita bahwa pandangan hidup seperti itu tidak mutlak atau alami, tetapi sebuah paham dan cara tertentu dalam melihat dunia, dan kita tidak seharusnya menganggap semua orang di manapun hidup di dalam pandangan yang demikian. 2 Sebab, pandangan atas agama sebagai kategori terbatas adalah hasil dari perjalanan sejarah Eropa yang khas. Pandangan ini tiba di Asia Tenggara dibawa oleh penjajahan untuk menjalankan modus tertentu dari kekuasaan kolonial. Penganut Buddha di Asia Tenggara mulai menyesuaikan dengan pandangan hidup yang demikian di bawah kekuasaan kolonial, dan digabung dengan pola konseptual lokal (seperti lokiya/lokuttara, sāsana, dll), tapi kerangka tersebut tetap dipertanyakan dan dapat digugat. Garis khusus batas akan agama dan interaksinya dengan kategori sekuler seperti politik atau ekonomi adalah persoalan pembuatan, tafsiran dan tafsir-ulang secara aktif.

Benedict Anderson’s insights have been deeply formative for Southeast Asian studies
Benedict Anderson’s insights have been deeply formative for Southeast Asian studies

Pada masa kolonial, penganut agama Buddha dan penguasa Inggris bersama-sama aktif menjelaskan apa yang dimaksud dengan “sekuler.” Meskipun ada retorika pemisahan antara negara dan agama, di masa kolonial Inggris “sekularime” berarti pemerintah memberikan pengawasan terhadap para biksu (isi dari Kanon Pali tapi bukan Vinaya). Ini artinya bahwa mereka dapat memasukkan biara ke dalam sistem pendidikan pemerintah, selama Buddhisme tersebut terbatas pada isi teks dan bukan praktek mengajarkannya secara langsung. Pada masa kolonial di Burma, sekuler tampaknya memiliki ruang bagi konsep karma dan sāsana untuk berlaku, tetapi tindakan diatur oleh logika lainnya.

Dalam gerakan terkini ada perundingan penting tentang hubungan yang benar antara negara, wacana politik publik dan peran agama. Banyak yang berpendapat bahwa negara adalah sebuah mekanisme untuk melaksanakan rencan-rencana guna melindungi Buddhisme dari ancaman luar, menggunakan hukum untuk menetapkan batas-batas. Sebagian lain nampaknya mendukung peran aktif lembaga-lembaga Buddha dalam menggalakkan identitas nasional, pembangunan nasional dan pelestarian budaya yang sedikit tersiratkan memiliki tujuan sentimen anti-asing. Para duta besar asing di Myanmar secara aktif mendukung proyek-proyek pembangunan dan penafsiran agama Buddha dari biarawan tertentu dan golongan monastik dan pada malam pemilihan, menyuarakan pemisahan antara agama dan politik, seakan-akan kegiatan dalam mengartikan apa yang mencakup Buddhisme, agama dan politik tidak dijalankan sesuai dengan persetujuan sebelumnya.

Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan gambaran keadaan yang jauh lebih rumit tentang bagaimana kategori-kategori Buddhisme dan sekularisme dibangun. Gambar para duta besar pada pembukaan biara dan proyek pelayanan sosial umat Buddha terlihat hanya seperti sebuah lukisan usang bewarna coklat tua yang menggambarkan pemimpin kolonial Inggris yang sedang mengawasi pemeriksaan Pali atau menulis kembali kurikulum sekolah biara di abad ke-19. Buddhisme itu sendiri adalah hasil dari wacana kuasa dalam interaksi demikian. Dalam hal ini, tindakan tersebut mengesahkan cara untuk menentukan penafsiran Buddhisme yang berada dalam spektrum antara liberal dan nasionalistik, tetapi dengan begitu secara aktif akan menenggelamkan penemuan-penemuan lainnya dalam ritual agama Buddha, ide-ide dan identitas diri dan mobilisasi yang tidak ditentukan dalam lema bangsa, ras atau identitas yang eksklusif. Selain itu, mereka menyumbangkan wujud tertentu dari apa itu sekuler di Myanmar, dalam proses menyediakan sarana untuk beberapa suara dan membungkam suara yang lain.

Jika kita sebagai akademisi, meneliti Buddhisme dan politik dengan cara menganggap agama, politik atau sekuler sebagai kategori yang umum dan pasti, kita berisiko kehilangan apa yang telah dilakukan oleh mereka yang telah mengartikan dan membentuk kembali hal yang konseptual dalam situasi lokal. Terlalu mudah untuk menaruh kategori-kategori tersebut dalam pemahaman yang lumrah dan sesuai dengan harapan kita untuk digunakan sebagai perangkat analisis. Namun dengan melakukan hal demikian, kita mengabaikan gerakan politik yang sesungguhnya kita coba telaah, sebagai yang saya maksud adalah cara kerja kuasa dalam hubungannya dengan budaya dan pengetahuan. Dalam hal ini, mungkin, fokus kita lebih penting seharusnya adalah politik penegasan dan pengartian-ulang menurut penganut agama Buddha, tentang kategori utama dalam kehidupan masyarakat Burma. Hal ini membawa kita melihat bagaimana gerakan Buddhis baik di masa kolonial atau sekarang membentuk kembali hal yang konseptual tentang bagaimana masyarakat Burma melihat diri mereka sendiri, tindakan mereka, masa depan mereka dan masa lalu mereka melalui perubahan ide-ide dari sāsana, agama, politik, bangsa dan Buddhisme.

Saat kita menjadikan Myanmar/Burma dan Buddhisme masyarakat Burma sebagai obyek kajian ini, kita memberi konstruksi-konstruksi demikian suatu kenyataan dan otoritas yang sesungguhnya bermasalah. Jika “Burma/Myanmar” sebagai sebuah bangsa tanpa disadari masuk menjadi obyek yang alami, dikenal dan tetap tampak sehingga kita mengambil keuntungan dengan bertindak seolah-olah benar-benar mengetahuinya, maka kita telah memberikan sumbangsih bagi nasionalisme dan praktek khayalan bangsa, seperti yang dimaksud Benedict Anderson. Jika Buddhisme masyarakat Burma menjadi nyata dan alami dalam pekerjaan kita, daripada sebagai suatu konstruksi yang cair sehingga kita terus-menerus menyesuaikan diri dengan gerak kuasa, maka kita melibatkan diri dalam politik lokal dan secara tersirat berpihak pada wacana lokal yang dominan, sekalipun kita mempertanyakan isinya. Tapi kalau dalam karya ilmiah dan tulisan kita tentang “Buddhisme” “agama” dan “sekuler” secara tegas adalah suatu karya yang belum selesai, sebagai bentuk identitas dan pengecualiannya, dan suara tunggal dalam hiruk-pikuk budaya dan ungkapan, maka kita dapat mengenali bahwa tuntutan nasionalis (baik yang liberal dan eksklusif) untuk harga mati dari identitas dan realitas politik adalah mekanisme dalam menenggelamkan berbagai suara dan penafsiran lain tentang Myanmar, identitas dan Buddhisme.

Alica Turner
Alicia Turner adalah Lektor Kepala dalam bidang Kajian Studi Kemanusiaan dan Keagamaan di Universitas York di Toronto dan editor pada the Journal of Burma Studies. Bukunya yang terbaru adalah Saving Buddhism: The Impermanence of Religion in Colonial Burma (Hawaii, 2014).                  

Issue 19, Kyoto Review of Southeast Asia, March 2016

Daftar Pustaka

Anderson, Benedict R. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. rev. and ext. ed. London: Verso, 1991.
Asad, Talal. “The Construction of Religion as an Anthropological Category.” In Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam, edited by Talal Asad, 27-54. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993.
———. “Religion, Nation-State, Secularism.” In Nation and Religion: Perspectives on Europe and Asia, edited by Peter van der Veer and Harmut Lehmann, 178-93. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999.

 

Notes:

  1. Benedict R. Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, rev. and ext. ed. (London: Verso, 1991).
  2. Talal Asad, “The Construction of Religion as an Anthropological Category,” dalam Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam, ed. Talal Asad (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1993); “Religion, Nation-State, Secularism,” dalam Nation and Religion: Perspectives on Europe and Asia, ed. Peter van der Veer dan Harmut Lehmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999).